Westernisasi Dan Pengaruhnya Dalam Memodernsasi Peran Wanita Jepang Seiyouka To Nihonjosei Ni Taishite Kindaika No Eikyou

(1)

DAFTAR PUSTAKA

Ajip Rosidi, 1981. Mengenal Jepang. Jakarta: Pustaka Jaya.

Anwar , Etty Nurhayati. Desember 1991. Eksistensi Kaku Kazoku dan Ie dalam Masyarakat Jepang Dewasa ini. Jakarta: Media Intern Pusat Pengkajian Jepang UNAS No. ISSN 0853-2907.

Benedict Ruth. 1982. Pedang Samurai dan Bunga Seruni Pola-pola Kebudayaan Jepang. Jakarta: Sinar Harapan.

Chie Nakane. 1981. Masyarakat Jepang. Jakarta: Sinar Harapan.

Davis, Darrel William. 1996. Picturing Japaneseness. New York: Columbia University Press.

Fukutake, Tadashi. 1988. Masyarakat Jepang Dewasa Ini. Jakarta : PT.Gramedia. _______________. 1989. Nihon no Noson. Japan: University of Tokyo Press. Goldscheinder, Calvin. 1985. Populasi, Modernisasi, dan Struktur Sosial. Jakarta:

CV.Rajawali.

Hall, Jhon Whitney. 1980. Japan From Prehistory To Modern Times. Japan : Charles E. Tuttle Company.

Haruhara, Sachiyo. 1992. Kyoiku no Genri to Seido. Tokyo: Kyodo Shupan. Hendry, Joy. 1981. Marriage in Changing Japan. Inggris: Billing and Sons. Iwao, Sumiko. 1993. Japanese Woman: Traditional Image and Changing Reality.

New York: The Free Press.

Kementerian Luar Negeri Jepang. 1972. Jepang Dewasa Ini. Jakarta.

Koentjaraningrat. 1976. Metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: PT.Gramedia Pustaka Utama


(2)

Latourette, K. S. 1957. The History of Japan. New York: The Macmillan Company.

L.K.HSU, Francis. 1975. Iemoto: the heart of Japan. Cambridge: Schenkman Publishing Company.

Martinah, P. W. 1987. Wanita Jepang di Lingkungan Keluarga dan Pendidikan. Yogyakarta: FPIPS IKIP Yogyakarta.

Miura, Akira. 1985. ‘English’ in Japanese. Tokyo: Yohan Publications Inc.

Moleong, Lexy. J. 1994. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Munshi, Shoma. 2001. Images of the ‘Modern Woman’ in Asia, Global media, local meanings. Inggris: Curzon Press.

Okomura, Masu. 1983. Peranan Wanita Jepang. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Pasaribu, Saut. 2009. Sejarah Perang Dunia. Yogyakarta : Locus.

Reischauer, Edwin O. 1981. JAPAN: The Story Of A Nation, Third Edition. Japan : Charles E. Tuttle Company.

Saito, Shinichi. 1981. Nihonjin no Issho (Lingkaran Hidup Orang Jepang). Tokyo: Nihongo Kyoiku Gakkai.

Situmorang, Hamzon. 2009. Ilmu KeJepangan 1. Medan : USU Press

Sukmara, Rina dan Yusy Widarahesty. 2011. Perkembangan Diplomasi Luar Negeri Jepang Di ASEAN Pasca Perang Dunia II (Studi Tentang Sejarah Diplomasi Jepang Dari 1970-1997). Jakarta: Prosiding Bidang Penelitian Bidang Ilmu Sosial dan Humaniora.


(3)

Suryohadiprojo, Sayidiman. 1982. Kebudayaan Budidaya Manusia. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama.

_____________________. 1982. Manusia dan Masyarakat Jepang dalam Perjoangan Hidup. Jakarta : Universitas Indonesia-Press

Vogel, Ezea F. 1971. Japan’s New Middle Class. London: Univ. California Press. Weiner, Myron. 1986. Modernisasi Dinamika Pertumbuhan. Yogyakarta: Gajah

Mada University Press.

W.G. Beasley. 2003. Pengalaman Jepang: Sejarah Singkat Jepang. penerjemah Masri Maris. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

http://ameliaazzahra.weebly.com/26/post/2012/06/kajian-kebudayaan-orang-jepang-sekarang-sudah-berubah.html

http://kazuma-world.blogspot.com/2012/03/artikel-jepang-masa-kini.html

http://perpustakaancyber.blogspot.com/2013/03/restorasi-meiji-di-jepang-sejarah-latar-belakang-akibat-bidang-politik.html

http://www.slideshare.net/rialesmana/modernisasi-westernisasi-dan-sekularisasi#btnNext

http://sosialbudayajepang.blogspot.com/2012/07/pengaruh-ryousaikenbo-terhadap- karir_22.html

http://www.ikippgriwates.ac.id/det_berita.php?id=35

http://www.woamu.mangaku.net2012/02/kebangkitan-Jepang-sejarah-negara.html http://retnarestiyana.blogspot.com/2013/01/perekonomian-Jepang-pasca-perang-dunia.html


(4)

http://haruk1.wordpress.com/2011/01/21/hakko-ichiu-salah-satu-alasan-jepang-ikut-dalam-perang-dunia-ii/

http://www.dawncenter.or.jp/english/publication/edawn/0212/women.hmtl http://sosialbudayaJepang.blogspot.com/2012/07/pengaruh-ryousaikenbo-terhadap-karir_22.html


(5)

BAB III

PENGARUH WESTERNISASI TERHADAP WANITA JEPANG

3.1 Peran Wanita Jepang Sebelum Restorasi Meiji

Sejak zaman Tokugawa sampai akhir Perang Dunia II sistem keluarga Jepang diatur oleh konsep Ie. Ie muncul di Jepang pada saat kaum militer yang disebut bushi berkuasa di Jepang. Ie (家) berarti „rumah‟ dalam arti biasa, dan dalam arti yang lebih abstrak „keluarga‟ dalam kaitan “garis keluarga, tradisi keluarga”. Menurut Ariga Kizaemon, ie adalah kelompok kerjasama dalam mengelola kehidupan. Ariga tidak menyetujui apabila ie dikatakan merupakan ikatan sedarah, karena pekerjaan didalam ie pun adalah merupakan anggota keluarga ie tetapi belum tentu ada ikatan darah.

Tadashi Fukutake mengatakan “kata ie seperti yang sudah kita ketahui, menunjuk pada sebuah konsep yang memiliki pengertian lebih daripada sebuah „keluarga‟ sebagai suatu keluarga yang terdiri dari individu-individu yang hidup saat ini. Dalam kata ie mengandung arti rumah fisik dan harta benda milik keluarga, sumber-sumber yang menjadi penerus usaha keluarga, kuburan tempat para leluhur dimakamkan, sebagai suatu kehormatan yang mengikat masa lalu dan masa sekarang serta menempati tempat tertentu dalam sistem kelas di pedesaan dan perkotaan.”

Ito kanji mengatakan sebagai berikut, “dalam bahasa Jepang yang disebut dengan ie, memiliki arti berbagai macam. Salah satu artinya adalah kamar. Orang-orang yang tinggal disitu disebut dengan kazoku atau setai. Arti lainnya adalah


(6)

bukan kamar dan bukan orang-orang yang tinggal disitu. Tetapi adalah sistem pelanjutan keturunan yang melampaui beberapa generasi.”

Menurut Suzuki, “Ie dilihat dari isinya dapat dibagi tiga. Pertama artinya sebagai sebuah bangunan rumah, kedua artinya adalah orang-orang yang hidup dirumah tersebut contohnya shitsukeno utsukushi ie atau berarti keluarga yang terajar. Atau menunjuk pada cara hidup. Kemudian satu lagi adalah menunjukkan kesinambungan suatu lembaga kehidupan secara terus-menerus melampaui beberapa generasi.”

Berdasarkan pendapat para ahli diatas maka dapat diketahui bahwa ie memiliki arti lebih dari sebuah keluarga. Maksudnya arti ie itu bukanlah seperti sebuah keluarga yang anggota-anggotanya terdiri dari individu-individu yang masih hidup sekarang tapi didalamnya terkandung juga rumah (secara fisik), harta kekayaan, makam para leluhur dan sumber-sumber (orang-orang) yang akan meneruskan usaha keluarga. Semua hal ini merupakan suatu kesatuan yang mengikat antara masa lalu dan masa sekarang. Jadi di dalam ie terdapat ikatan atau kesinambungan antara para leluhur dengan individu-individu yang masih hidup saat ini. Menurut ito, ie adalah sebuah bentuk keluarga yang mempunyai sistem tersendiri yang berurat akar pada masyarakat Jepang. Oleh karena itu ie mempunyai hubungan yang dalam dengan sistem nilai dan struktur masyarakat Jepang. Dan juga merupakan sistem masyarakat dalam kesejarahan Jepang sendiri.

Ie juga disebut sebagai „religious society‟ karena dalam rangka mempertahankan keterikatan antara leluhur dengan keturunannya, maka tugas utama dari keturunannya (yang masih hidup) atau kepala keluarga adalah untuk


(7)

menghormati para leluhurnya dengan cara mengadakan upacara-upacara yang dipercaya dapat menjamin kesejahteraan para leluhurnya dalam kehidupan kemudian (setelah meninggal). Selain itu kepala keluarga juga harus dapat menjamin keturunannya yang lain agar mengikuti jejaknya. Sementara itu tugas anggota ie yang lainnya adalah untuk menghindari semua perilaku yang dapat mempermalukan seluruh ie. Oleh karena itu setiap anggota ie dilatih untuk memikirkan terlebih dahulu semua tindakannya, mempertahankan dan mengangkat nama martabat ie. Semua anggota ie dilatih untuk taat pada aturan-aturan tersebut sebagai penghormatan kepada para leluhur yang telah menciptakannya.

Dalam satu ie terdapat lebih dari satu generasi. Kesinambungan ie digambarkan dengan adanya garis kematian, kehidupan dan garis kelahiran. Pada garis kematian, ie terdiri dari individu-individu yang sudah meninggal atau para leluhur yang disebut dengan 先祖 (senzo) dan (hotoke). Kemudian diikuti oleh individu-individu yang masih hidup yang terdiri dari:

- 隠 居 (inkyo) : mantan kepala keluarga/kepala keluarga yang sudah pensiun.

- 戸 主 (koshu) : yang sekarang menduduki jabatan kepala keluarga dan merupakan kedudukan tertinggi.

- 者 (koukeisha) : yang akan menggantikan/pewaris.

Biasanya koukeisha mendapatkan perlakuan yang istimewa karena kedudukannya. Koukeisha ini biasanya adalah anak laki-laki tertua. Pada saat sudah memasuki usia menikah maka ia akan menerima istri dari ie lain yang


(8)

disebut dengan 嫁 (yome). Kemudian pasangan baru ini akan menyiapkan anak sebagai generasi selanjutnya untuk dijadikan penerus. Anak laki-laki lain biasanya akan membentuk ie baru yang disebut dengan keluarga cabang 分家 (bunke). Jika dalam keadaan tertentu tidak ada anak laki-laki yang dapat dijadikan sebagai penerus, maka orang tua dapat mengadopsi seorang laki-laki untuk dinikahkan dengan anak perempuannya. Hal ini dilakukan agar ada orang yang dapat dijadikan sebagai kepala keluarga. Menantu (kepala keluarga) yang merupakan hasil adopsi ini disebut 養 子 (youshi). Sementara itu anak perempuan (anak kedua) yang sudah menikah akan keluar dari ie asalnya dan masuk kedalam ie suaminya.

Ie yang merupakan sistem keluarga yang lahir pada zaman feodal ini memperlihatkan adanya hubungan ketidaksetaraan pada hak dan kewajiban di dalamnya. Ie adalah keluarga luas, di dalamnya ada satu atau lebih pasangan perkawinan. Sebagai kepala keluarga ie dilanjutkan dari generasi orang tua kepada generasi anak. Di dalam ie pelanjutan garis keluarga bersifat monolateral. Harta dan simbol-simbol ie tidak dibagi-bagikan kepada seluruh anaknya melainkan pengelolaannya diteruskan oleh generasi penerus. Ciri khas ie lainnya adalah kekuasaan kepala keluarga yang dilanjutkan oleh anak laki-laki.

Yang menjadi pengganti/pewaris dalam ie biasanya adalah anak laki-laki tertua. Ia akan mendapat perlakuan yang istimewa karena kedudukannya sebagai kepala keluarga. pada waktu melanjutkan ie, tidak ada pembagian warisan. Hal ini berbeda dengan sistem kazoku atau keluarga pada umumnya. Hal yang terpenting dalam sistem ie adalah kesinambungan keluarga. Objek dari kesinambungan


(9)

tersebut adalah hubungan darah, yaitu hubungan orang tua dengan anak, hubungan abang adik, hubungan tempat tinggal (rumah dan pekarangan), hubungan ekonomin (produksi, konsumsi, usaha dan harta). Dalam sistem ie, pembagian warisan kepada anak kedua dan ketiga sesuai dengan cinta orang tua terhadap anak-anaknya tidak dilakukan karena kelanjutan ie lebih penting daripada kasih sayang orang tua terhadap anak-anaknya. Semua penjelasan memperlihatkan pentingnya ie sebagai suatu kesatuan. Ie mendapat prioritas diatas semua anggota-anggotanya secara individu sehingga demi kebaikan bersama, maka seorang individu dapat dikorbankan.

Ie merupakan produk dari feodalisme yang berkembang di Jepang pada masa pemerintahan Tokugawa sampai akhir Perang Dunia II. Pada saat itu ie merupakan sistem yg sangat penting dan dijunjung tinggi, sebagai pilar utama harmonisasi Jepang. Konsep ie mengikuti cita-cita samurai dan bahkan mendapat pengakuan secara hukum dalam kode hukum sipil di masa Meiji. Pada awalnya sistem ie ini hanya berlaku dikalangan keluarga samurai saja, namun kemudian dalam perkembangannya menyebar ke seluruh lapisan masyarakat.

Sejalan dengan itu struktur masyarakat Jepang disusun dengan mendapat pengaruh dari ajaran Konfusius yang berasal dari China dan masuk ke Jepang pada masa pemerintahan Tokugawa. Dalam abad ke-5 dibuka hubungan resmi antara Jepang dengan dinasti-dinasti di Tiongkok Selatan (zaman 3 kerajaan dan 6 dinasti). Kebudayaan dari Cina Selatan masuk ke Jepang secara langsung. Kesusasteraan, ilmu falak, obat-obatan, barang-barang luks, menenun dan juga agama Buddha. Dari berbagai pengaruh itu agaknya filsafat Konfusianisme paling berpengaruh besar terhadap kehidupan masyarakat. Ajaran Konfusius ini


(10)

mengajarkan tentang tata cara hubungan antar manusia dengan memperhatikan tingkat sosial yang berbeda-beda, antara lain hubungan pria dengan wanita atau suami dengan istri.

Konfusianisme adalah filsafat atau ajaran dari seorang pujangga yang bernama Kung-Tse atau Konfusius yang mengajarkan kaidah-kaidah moral/etis dan seks hanya dipandang sebagai mekanisme untuk mempertahankan kelanjutan keluarga. Ajaran Konfusianisme memberi corak masyarakat patriakhal di Cina yang memandang peranan wanita lebih penting untuk melahirkan anak dan melanjutkan keturunan dari pada sebagai kawan hidup. Untuk menyembah para leluhur orang harus mempunyai anak lakilaki, dan menurut ajaran itu bila tidak mempunyai anak laki-laki maka hal itu ialah salah satu perbuatan "pu-hsiao" = tidak berbakti (Nio Joe Han 1952:46). Dengan demikian menurut ajaran Konfusius, bahwa wanita itu adalah lemah, tidak berdaya, dan hanya sekedar penerus keturunan.

Menurut ajaran Konfusius wanita dalam kehidupannya terikat kepada 3 kepatuhan, yaitu:

1. Wanita patuh kepada ayahnya pada waktu kecil. 2. Wanita patuh kepada suaminya ketika sudah menikah. 3. Wanita patuh kepada anak laki-lakinya ketika sudah tua.

Dari sini dapat kita lihat bahwa wanita sejak kecil telah diajarkan untuk patuh kepada laki-laki yaitu kepada ayah, suami kemudian anak laki-laki. Keadaan ini menggambarkan kedudukan pria yang lebih tinggi daripada wanita.


(11)

Kehidupan wanita harus tunduk pada sistem patrilineal dan ideologi patriarki yang didukung oleh pemerintah sebagai bagian dari usaha pengendalian sosial.

Sistem ie hanya dapat ditemukan di Jepang sehingga merupakan ciri khas dari masyarakat Jepang, namun demikian tidak dapat dipungkiri adanya pengaruh Konfusius yang masuk ke dalam sistem ie ini. Hal ini dapat dilihat dari struktur keluarga dalam sistem ie yang didasarkan pada garis keturunan ayah/patriarkat. Oleh karena itu pria dalam sistem ie memiliki kedudukan yang lebih tinggi daripada wanita (pria superior sedangkan wanita inferior). Memang hal inilah yang menjadi penekanan dalam sistem ie.

Pria menjadi unit dasar tidak hanya dalam keluarga tetapi juga dalam masyarakat. Yang dimasud pria menjadi dasar adalah:

1. Sebagai anak laki-laki tertua biasanya ia akan menjadi penerus nama keluarga dan menggantikan kedudukan kepala keluarga. Secara otomatis pula ia akan menjadi pemilik dari kekayaan keluarga dan menjadi penerus usaha keluarga.

2. Apabila ia telah menikah maka ia memiliki kedudukan sebagai ayah dan kepala keluarga. Sebaga kepala keluarga ia memiliki kekuasaan besar. Pertama, ia mempunyai kekuasaan untuk memberikan keputusan tentang semua hal yang berkaitan dengan milik keluarga (seperti masalah kekayaan keluarga, usaha dan pengelolaannya). Bahkan dalam masalah perkawinan pun kepala keluarga turut campur tangan. Persetujuan perkawinan dari kepala keluarga menjadi hal yang paling penting. Kedua, ia merupakan pribadi terpenting dalam hal upacara keagamaan dan adat


(12)

keluarga yang harus dilaksanakan untuk menghormati leluhurnya. Dan yang terakhir ia sebagai kepala keluarga mengawasi semua usaha anggotanya dan membagi tugas kepada tiap anggotanya. Dengan kata lain, kepala keluarga bertugas mengurusi segala keperluan ie dan bertanggung jawab kepada semua anggota yang berada di bawahnya.

3. Sementara sebagai anak laki-laki yang lebih muda (adik laki-laki) kedudukannya lebih mudah. Karena setelah menikah ia akan membentuk keluarga baru 分 家 / bunke yang terlepas dari keluarga utama 本 家 / honke. Dengan terlepas dari keluarga utama maka ia mungkin akan mendapat bagian dari kekayaan keluarga tetapi dalam jumlah yang lebih kecil.

Sementara itu peran wanita saat masih kecil adalah patuh kepada orang tua nya terutama ayah. Dan ketika sudah mencapai usia perkawinan, ia akan dinikahkan dengan cara perjodohan (見合い結婚 / miai kekkon) yang telah diatur oleh ayahnya. Dalam miai kekkon ini wanita tidak memiliki hak untuk menolak pilihan orang tuanya meskipun ia merasa tidak cocok. Pernikahan diatur sesuai kebutuhan keluarga, bukan berdasarkan ketertarikan pria dan wanita. Para orang tua menganggap cinta akan tumbuh dengan sendirinya kemudian saat mereka (suami dan istri) menjalani kehidupan pernikahan. Miai kekkon seperti ini kebanyakan dilalukan oleh golongan samurai dan kaum bangsawan (daimyo) untuk memperkuat kekuasaannya. Di luar kelas Samurai, seperti para petani di desa-desa yang pada zaman sebelumnya terdapat suatu cara yang sudah menjadi perantara bagi kelompok-kelompok pria dan wanita untuk saling bertemu. Jika pasangan tersebut dianggap cocok oleh teman-temannya, maka para pemimpin


(13)

dari kaum pria akan mendatangi orang tua wanita dan pria yang bersangkutan akan meminta persetujuan. Jika orang tua wanita tidak memberi persetujuan maka mereka (pihak keluarga pria) dapat berbuat segala macam tindakan, sepeti tidak mau membantu mereka pada musim panen atau memperbaiki rumahnya sampai orang tua wanita mengalah.

Wanita bila telah menikah maka secara otomatis dia akan masuk melebur ke dalam ie suaminya dan kehilangan ie asalnya. Pernikahan ini pada umumnya tidak akan didaftarkan sampai sang menantu (istri) memberikan keturunan. Karena dalam sistem ie anak dibutuhkan untuk menjaga kelangsungan nama keluarga. Oleh karena itu tugas wanita untuk sedikitnya memberikan satu orang anak lelaki.

Sebagai menantu, wanita diharuskan untuk menghormati dan melayani mertuanya lebih dari orang tuanya sendiri. Bahkan mertuanya mempunyai hak untuk menceraikan menantunya tanpa izin dari suaminya hanya karena dianggap tidak dapat beradaptasi dengan ie barunya.

Sebagai seorang istri, wanita pun diharuskan mengikuti ajaran Konfusius. Peran wanita sebagai seorang istri sangat dibatasi, dalam arti wanita tidak boleh bekerja di luar rumah dan bersosialisasi dengan lingkungan sekitarnya. Perannya hanya berkisar pada melayani suami dan mengurus anaknya. Wanita bertujuan untuk mendukung peranan suami sebagai pencari nafkah dan bukan untuk menunjukkan eksistensi wanita.

Selain itu wanita dapat diceraikan oleh suaminya karena 7 alasan, yaitu:

1. Karena tidak patuh pada orang tua suami (mertua). 2. Karena tidak dapat memberikan keturunan.


(14)

3. Karena berselingkuh. 4. Karena terlalu cemburu.

5. Karena mengidap penyakit yang tidak dapat disembuhkan. 6. Karena terlalu cerewet.

7. Karena mencuri.

Dalam kehidupan sosial pun, wanita harus mengikuti pola pikir yang melekat pada masyarakat Jepang di era ini. Misalnya, terdapat beberapa aturan tidak tertulis yang harus diikuti oleh wanita sesuai bertambahnya usia, seperti dalam hal bersikap, pakaian, tata rambut dan gaya berbicara. Wanita ketika masih muda dan belum menikah dapat mengenakan pakaian dengan warna-warna yang cerah, rambut yang dibiarkan panjang dan terurai dan bertingkah laku dengan lebih spontan. Tetapi sesuai dengan bertambahnya usia, wanita diharapkan menjadi lebih sopan baik dalam hal cara berpakaian, tingkah laku dan gaya berbicara.

Pendidikan wanita sebelum Restorasi Meiji (tepatnya di zaman Edo) digalakkan oleh pemerintah dengan berpedoman pada ajaran Konfusius. Pemerintah menganggap keikutsertaan wanita dalam programnya untuk memajukan negara sangat penting. Karena wanita bertanggung jawab dalam hal mendidik anak-anak di keluarganya. Untuk itu wanita harus memiliki pengetahuan yang baik agar dapat membantu kepala keluarga di dalam ie. Berdasarkan hal ini maka pemerintah menjadikan ajaran Konfusius sebagai dasar dan tujuan utama dari sistem pendidikan wanita yaitu membentuk wanita sebagai Ryousaikenbo (良 妻 賢 母). Ryousaikenbo adalah sebuah istilah untuk wanita


(15)

Jepang yang diharapkan menjadi istri yang baik dan ibu yang bijaksana. Dengan kata lain, Ryousaikenbo merupakan sebutan bagi wanita Jepang yang mampu mengurus, menjaga dan merawat keluarga, anak serta suami mereka dengan baik.

Menurut Sachiyo Haruhara dalam bukunya Kyoiku no Genri to Seido: “ Seandainya antara menantu wanita dengan mertua hubungannya tidak baik ini dikatakan karena persiapan untuk menjadi istri kurang. Jika wanita itu meminta cerai dengan alasan suami sakit ataupun jatuh miskin maka ini dikatakan wanita/istri tersebut tidak bermoral. Kodrat wanita adalah untuk membantu suami, kemudian membesarkan/mendidik anak (terutama anak wanita) agar kelak dapat menjadi istri yang baik”.

Untuk menunjang program tersebut maka pendidikan yang diberikan bagi wanita pada tingkat Sekolah Dasar adalah kemampuan dan pengetahuan yang berhubungan dengan urusan rumah tangga. Mata pelajaran yang diberikan untuk wanita adalah membaca, menulis, memasak dan menjahit. Sementara itu pada tingkat Sekolah Menengah Atas mata pelajaran penting yang diberikan hanya yang berhubungan dengan perawatan anak dan rumah tangga atau lebih kepada pelatihan wanita untuk menjadi Ryousaikenbo.

Dari sistem pendidikan yang demikian maka dapat diketahui bahwa inti dari ajaran Konfusius adalah untuk menekankan bahwa sudah menjadi tugas dan jalan hidup wanita untuk menikah. Dan setelah menikah wanita diharapkan untuk dapat menjadi ibu yang bertanggung jawab dalam rumah tangga, melayani suami, melahirkan dan mengurus anak. Sebagai seorang ibu, wanita bertugas mendidik anak-anaknya dengan penuh cinta kasih, misalnya tentang adat istiadat, tata susila,


(16)

kerohanian, gerak badan dan lain-lain. Ibu selalu berusaha meresapkan ke dalam hati sanubari anak-anaknya tentang bushido. Bushido adalah jiwa/semangat cinta tanah air dan bangsa yang penuh dengan pengorbanan, kejujuran, keberanian, kesopanan, kesungguhan, kehormatan kesetiaan (Sayidiman Suryohadiprojo 1982: 49). Itulah sebabnya keluhuran budi dan keyakinan serta ketulusan ibu menjadi syarat yang sangat penting untuk menyelenggarakan pendidikan dalam keluarga sehingga anak-anak menjadi orang yang memiliki semangat dan jiwa bushido yang tangguh (Chie Nakane 1981:35).

Wanita tidak diajarkan untuk mandiri. Sebaliknya, ia harus bergantung pada laki-laki (suaminya). Kegiatan sosialisasi (di luar rumah) dibatasi karena telah menjadi tugas dari pria sebagai suami dan kepala rumah tangga untuk bekerja di luar rumah. Semua kegiatan atau pekerjaan yang dilakukan oleh wanita bertujuan untuk mendukung peranan suami sebagai pencari nafkah dan bukan untuk menunjukkan eksistensi wanita.

3.2 Peran Wanita Jepang Setelah Restorasi Meiji

Seorang antropolog wanita Jepang, Kazuko Tsurumi dalam bukunya “Women In Japan: A Paradox Of Modernization”, mengemukakan bahwa ahli folklore Jepang yang paling terkemuka, Yanagita Kunio (1875-1962), pernah mengatakan bahwa justru pada saat Jepang memasuki zaman modernnya yaitu permulaan zaman Meiji, ketika para samurai dihapuskan sebagai suatu kelas feodal, beberapa kebiasaan dan norma samurai diterapkan kepada semua kelas sosial lainnya, termasuk para petani, pedagang dan pengrajin. Dari segi ini bisa dikatakan bahwa modernisasi berarti samuraisasi dari semua orang Jepang.


(17)

Akibatnya terhadap kaum wanita adalah bahwa bagi mereka diberlalukan pula kebiasaan para samurai mengenai pernikahan yang diatur oleh keluarga dan sistem keluarga berdasarkan konsep ie.

Pada kenyataannya sistem ie yang telah ada di masa pemerintahan Tokugawa ini makin berkembang di zaman Meiji. Eksistensi ie mengalami penguatan. Sebelum zaman Meiji, pemikiran sistem ie terbatas pada kelompok kehidupan sehari-hari, pada zaman Edo juga pemikiran sistem ie cakupannya yang paling luas adalah wilayah Han (wilayah Tuan). Tetapi pada zaman Meiji sistem ie dibuat menjadi ideologi negara. Maksudnya adalah bahwa negara adalah satu keluarga. Atau dapat diartikan juga bahwa negara adalah suatu keluarga. Dalam hal ini yang bertindak sebagai kepala keluarga adalah Kaisar.

Menurut Marioka, “Kazokukokkakan (pandangan negara keluarga) adalah negara sebagai kelompok keluarga besar, hubungan di dalamnya (Kaisar dan rakyat sama dengan orangtua dan anak), rumah Kaisar sama dengan rumah seluruh rakyat, sebagai etika dasar adalah Chu dan Ko adalah satu (pengabdian kepada orang tua dan pengabdian kepada pemimpin adalah satu)”. Semenjak zaman Meiji ie ditafsirkan secara luas sebagai sistem masyarakat. Hubungan antara Tenno dan rakyat adalah seperti hubungan Honke dan Bunke, atau Tenno sebagai kepala ie besar (daikacho) dan rakyat sebagai anak (akashi).

Restorasi Meiji berhasil mengubah masyarakat Jepang yang agraris menjadi masyarakat industri. Sejak itu perkembangan ekonomi maju dengan pesatnya, hingga menjadikan Jepang sebagai suatu negara industri yang berteknologi tinggi. Semua itu berkat impor ilmu dan teknologi dari negara-negara maju di dunia.


(18)

Sejarawan Ann Wasuro mengidentifikasi, tanda yang pertama dari tiga periode penting dalam modernisasi di sejarah baru Jepang adalah tahun 1880 dan awal 1900, periode setelah Restorasi Meiji di tahun 1868, ketika Jepang membuka hubungan perdagangan dengan Barat setelah dua abad mengisolasi diri dari dunia luar. Dengan ini maka perlahan-lahan berakhirlah feodalisme digantikan oleh sistem kapitalis dan arus modernisasi. Masa tahun 1867 sampai Perang Dunia II merupakan masa yang proses modernisasi dan westernisasinya berlangsung pada kecepatan yang begitu tinggi.

Dalam kaitan inilah perubahan-perubahan sosial dan ekonomi telah menimbulkan pengaruh yang lebih besar terhadap kehidupan keluarga. Tingkat kehidupan telah meningkat dan kondisi ekonomi jauh lebih baik daripada sebelumnya. Jumlah waktu senggang pun banyak dinikmati oleh kebanyakan wanita/istri Jepang. Kondisi-kondisi ini telah mempengaruhi posisi dan fungsi wanita di masyarakat. Pandangan yang menganggap kedudukan wanita lebih rendah memang masih berlaku, terutama di kalangan mereka yang masih kolot. Namun diumumkannya Konstitusi Meiji pada tahun 1889 dan hukum perdata pada tahun 1898 membuat kepatuhan wanita kepada kepala rumah tangga, dan lelaki secara umum, diberi justifikasi secara legal. Wanita mulai dihargai dalam kelas sosial dimana ia berada.

Undang-Undang Meiji 1889 (大日本帝国憲法 / dainipponteikokukenpou) dibuat oleh Ito Hirobumi pada tahun 1889 dan mulai berlaku pada tanggal 16 Juli 1889. Undang-Undang pertama Jepang ini merupakan hadiah yang diberikan oleh Kaisar bagi setiap warga negara. Undang-Undang ini dibuat dengan meniru


(19)

Undang-Undang Prussia 1850. Meskipun di dalamnya terdapat hal-hal yang berhubungan dengan liberal dan demokrasi namun hal ini tidak diakui oleh pemerintah Jepang. Sebaliknya mereka lebih menekankan pada hubungan yang harmonis antara pihak penguasa dengan rakyatnya di bawah kekuasaan Kaisar yang dianggap sebagai penguasa tertinggi yang suci dan tidak dapat dilangar perintahnya.

Memang bila melihat dari isi Undang-Undang Meiji ini hak-hak individu kurang mendapatkan perhatian. Meskipun terdapat beberapa pasal yang memuat tentang jaminan terhadap hak-hak individu tetapi hak-hak ini lebih dianggap sebagai hadiah yang diberikan oleh Kaisar dan buka merupakan hak yang dimiliki manusia sejak ia dilahirkan. Di dalam Undang-Undang Meiji 1889 ditekankan tentang pemikiran 男尊女卑(dansonjohi) yang berarti pria memiliki kedudukan yang lebih tinggi daripada wanita sehingga akibatnya kedudukan wanita menjadi terpojok, dalam arti wanita tidak memiliki hak apapun. Berdasarkan pada pemikiran ini maka dalam Undang-Undang Perdata yang ditetapkan pada tahun 1898, kehidupan masyarakat pada masa itu diatur dengan berdasarkan pada sistem keluarga yang disebut dengan sistem Ie yang menjadikan kepala keluarga sebagai pemegang kekuasaan tertinggi dalam keluarga. Isi Undang-Undang tersebut dianggap sebagai ketentuan yang tidak menguntungkan bagi wanita karena merupakan sistem yang didasarkan pada anak laki-laki tertua sebagai ahli waris dan sistem hak kepala keluarga sehingga istri dianggap tidak memiliki kemampuan dan hak apapun dalam keluarga.


(20)

Sampai tahun 1948 seorang wanita menurut Undang-Undang tunduk kepada ayahnya, kemudian kepada suaminya, dan pada masa tuanya kepada putranya. Seorang istri tidak dapat bertindak tanpa persetujuan suaminya. Menurut Undang-Undang tiap pernikahan memperoleh legalitas dengan pencatatan pada petugas yang ditentukan. Namun pada kenyataannya di masa ini masih tetap diberlakukan pernikahan hanya dengan upacara agama atau menurut adat yang secara sosial dianggap sah, maka sering terjadi jangka waktu yang cukup lama antara pernikahan dengan upacara dan pencatatan resmi. Selama jangka waktu ini sang istri tidak ada perlindungan hukum, dan sering terjadi selama masa ini sang istri disingkirkan oleh suaminya atau keluarga suaminya.

Hukum Sipil tentang „Keluarga dan Warisan‟ di Jepang pun berubah mengikuti hukum Barat. Tujuan hukum ini adalah untuk memberikan landasan penghormatan hak perorangan serta persamaan hak diantara suami dan istri. Namun sejak berakhirnya periode feodal hingga selesai Perang Dunia II, menjadi hal yang dianggap wajar dan bernilai tinggi apabila seorang wanita mengabdi dengan setia kepada kepala rumah tangganya seumur hidupnya. Masyarakat Jepang pada waktu itu masih beranggapan bahwa seorang wanita harus tunduk kepada ayahnya, kemudian suaminya, dan pada hari tuanya kepada anak laki-lakinya yang menduduki posisi kepala keluarga meskipun pada tahun 1948 hukum telah memberikan kaum wanita jaminan persamaan hak dengan kaum pria di lingkungan kehidupan keluarga.

Perceraian atas dasar persetujuan bersama telah mendapat pengakuan sejak tahun 1898 dan lebih dari 90% perceraian di masa ini termasuk dalam jenis perceraian atas persetujuan bersama. Proses perceraian sangat mudah hanya


(21)

seseorang harus mengajukam formulir resmi yang sesuai kepada pejabat sensus. Akan tetapi, meskipun prosedur ini disebut “perceraian dengan persetujuan bersama”, dalam kenyataannya seorang suami atau keluarganya sering menempuhnya untuk menyingkirkan seorang istri. Ketetapan-ketetapan sistem ini pun kurang memberikan perlindungan bagi kepentingan seorang istri. Dalam sebuah masyarakat dimana kedudukan pria dan wanita amatlah berbeda, kebebasan untuk bercerai menjadi tak lebih daripada kebebasan bagi seorang istri yang tak berdaya untuk disingkirkan.

Pada kenyataannya meskipun sistem feodalisme di era Tokugawa telah digantikan oleh sistem kapitalis dan arus modernisasi di zaman Meiji. Ajaran-ajaran yang telah melekat dalam pikiran masyarakat Jepang sulit untuk ditinggalkan. Hukum tentang pernikahan, perceraian dan peran wanita dalam rumah tangga telah diberi justifikasi secara legal, namun dalam prakteknya wanita tetap harus mengikuti konsep Ie dan menjadi Ryousaikenbo.

Bagi seorang wanita Jepang yang masih tradisional, kebahagiaan bagi mereka adalah berada di antara keluarga dan rumah. Pada era Meiji konsep Ryousaikenbo semakin berkembang, wanita Jepang diharapkan menjadi seorang istri yang baik dan ibu yang bijaksana. Ryousaikenbo merupakan sebutan bagi wanita Jepang yang mampu mengurus dan menjaga serta merawat keluarga, anak serta suami mereka dengan baik. Mereka akan bekerja hingga mereka menikah, namun pada kenyataannya mereka didorong untuk segera menikah dan memberikan keturunan yang merupakan penambahan sumber daya manusia bagi Jepang. Sejak perang pasifik terdapat slogan “Beri kelahiran, menaikkan populasi,


(22)

lima anak dalam satu keluarga,” namun ketika buruh dengan penghasilan rendah dibutuhkan, maka wanita yang sudah menikah ini kembali ke pekerjaan mereka.

Sebelum Perang Dunia II pekerjaan sampingan biasanya dilakukan oleh golongan miskin. Banyak kaum wanita di Jepang, baik golongan setengah umur maupun lanjut usia, dan yang tidak terampil serta memiliki tanggung jawab kekeluargaan, yang ternyata masih mempunyai waktu dan sekedar kemampuan fisik wajar sebagian besar kaum wanita ini telah mengambil pekerjaan sampingan. Mereka melakukan hal itu dengan keinginan yang kuat untuk meningkatkan kehidupannya, yakni dengan mengusahakan tambahan terhadap upah rendah yang dibawa pulang oleh suaminya. Para wanita ini biasanya melakukan pekerjaan sampingan diluar rumah seperti di pabrik sutra, tekstil, tenun dan juga dalam proses perakitan barang-barang plastik dan komponen-komponen listrik yang kecil di industri televisi atau alat-alat elektronik lainnya.

Pada tahun 1872, atas keputusan Kaisar Jepang dimulailah suatu sistem pendidikan modern di Jepang. Undang-Undang 1889 secara resmi menyebutkan bahwa pendidikan di Jepang terbuka untuk wanita dan pria. Pada saat itu suatu sistim pendidikan nasional yang modern diintrodusir, ketika pemerintah mendirikan sekolah-sekolah Dasar dan Menengah di seluruh Jepang. Pada tahun 1886 setiap anak diharuskan memasuki SD selama 3 atau 4 tahun. Pada tahun 1900 diadakan kewajiban belajar cuma-cuma selama 6 tahun.

Konsep pokok pendidikan Jepang pada saat itu adalah menghasilkan warga negara yang percaya pada diri sendiri dari negara yang damai dan demokratis serta masyarakat yang menghormati hak-hak manusia dan mencintai kebenaran


(23)

dan perdamaian. Prinsip pokok lainnya yang tercantum dalam Undang-Undang Pokok ialah persamaan dalam kesempatan pendidikan untuk semua orang. Undang-undang itu melarang diskriminasi, karena suku, kepercayaan, jenis kelarnin, kedudukan sosial, kedudukan ekonomi dan latar-belakang keluarga. (Kementerian Luar Negeri Jepang 1972:93).

Pada pasal lain ditetapkan tentang ko-edukasi bagi pria dan wanita, yang berbunyi sebagai berikut: "Pria dan wanita haras saling menghargai dan bekerja sama satu sama lain." (Masu Okamura 1983:55). Bagi pria dan wanita akan dilaksanakan ko-edukasi. Menurut ketetapan ini pendidikan wajib bagi anak-anak selama 6 tahun untuk sekolah dasar serta 3 tahun untuk sekolah menengah.

Universitas-universitas tidak lagi menutup pintu bagi wanita seperti pada zaman sebelumnya. Namun demikian dalam kenyataannya masih menunjukkan bahwa banyak wanita yang hanya bersekolah sampai tingkat sekolah lanjutan lalu berguguran. Pendidikan tinggi dinilai kurang bermanfaat bagi wanita Jepang yang diharapkan pada akhirnya menjadi ibu rumah tangga. Hanya kira-kira 2% dari seluruh wanita Jepang waktu itu memperoleh pendidikan (E.O.Reishauer 1957:276). Agaknya kasus diskriminasi pra-modern yang berkelanjutan sebagai kebiasaan masyarakat dan yang memiliki kedudukan kuat sebagai hukum tak tertulis.

Dalam konsep Ryousaikenbo diterangkan bahwa ibu berperan besar dalam pendidikan anak-anak. Sebaliknya ayah mempunyai peranan sebagai pencari nafkah yang banyak menghabiskan waktunya di luar rumah. Hanya pada hari Sabtu dan Minggu atau hari-hari libur anak-anak dapat berakrab dengan ayahnya.


(24)

Pada saat ayah pulang kerja pada larut malam anak-anak sudah tidur lelap. Tatkala anak-anak bangun dan pergi ke sekolah, ayah masih lelap. Keadaan seperti itu anak-anak lebih akrab dengan ibu, bahkan anak laki-laki bermanja-manja dengannya. Di zaman Meiji, wanita bertanggungjawab untuk memastikan bahwa anak-anak mereka memiliki pendidikan yang baik agar mencetak sumber daya manusia yang berkualitas bagi Jepang dan juga dinilai memiliki kontribusi besar terhadap pertumbuhan industrialisasi Jepang yang luar biasa.

3.3Peran Wanita Jepang Setelah Perang Dunia II

Pada tanggal 6 Agustus 1945 dijatuhkan bom pertama di Hiroshima dan tiga hari kemudian (9 Agustus 1945) dijatuhkan bom di Nagasaki. Pembomam yang menimpa Hiroshima dan Nagasaki ini menyebabkan Jepang lumpuh total dan memaksa Jepang untuk mengakui kekalahannya dari Amerika pada Perang Dunia II. Dari sini dimulailah masa pendudukan Amerika di Jepang.

Sejak kalah dalam Perang Dunia II, perubahan yang terjadi pada masyarakat Jepang berlangsung dengan cepat dan disebabkan karena pengaruh sosial dan politik yang terjadi di sebagian belahan dunia. Selain itu kekalahan Jepang juga menimbulkan rasa penasaran dan membuat Jepang belajar lebih giat lagi dari Amerika Serikat. Kekalahan Jepang ini merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi perubahan cara berpikir orang Jepang, meskipun masih ada yang tetap bertahan sesuai dengan latar belakangnya (terutama bagi mereka yang dibesarkan oleh nilai-nilai sebelum perang atau mengikuti konsep ie). Perubahan pandangan ini disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya:


(25)

2. Rasa kekaguman Jepang pada Amerika Serikat.

3. Timbulnya kesadaran dalam diri orang Jepang untuk menerima hal-hal (pengetahuan) yang baru dari luar.

Faktor-faktor tersebut diatas telah mempengaruhi perubahan cara hidup orang Jepang dan membawa Jepang kepada perubahan yang cukup menentukan bagi perkembangan kehidupan wanita Jepang di masa yang akan datang. Di bawah pendudukan Amerika mulai dimasukkan pemikiran demokrasi kedalam kehidupan masyarakat Jepang, antara lain dalam bidang hukum dan sistem pendidikan.

Pada masa pendudukan Amerika di Jepang terjadi perubahan besar dalam bidang hukum (Undang-Undang) yang kemudian berpengaruh besar pula pada sistem ie dan perkawinan. Selain itu Amerika juga memegang peranan penting di dalam memajukan pendidikan bagi wanita. Untuk itu, Jendral MacArthur memutuskan untuk membuat Undang-Undang baru dengan melalui prosedur Undang-Undang Meiji. Dalam arti tidak terlalu menyimpang atau jauh berbeda dari Undang-Undang yang lama. Tetapi tetap saja pada akhirnya Undang-Undang baru ini merupakan hasil pengarahan dari pihak Amerika tanpa ada diskusi dengan pihak Jepang. Undang-Undang ini akhirnya diumumkan kepada masyarakat Jepang sebagai perintah dari Kaisar dengan persetujuan penuh dari Jendral MacArthur pada tanggal 6 Maret 1946 yang mulai berlaku pada tanggal 3 mei 1947. Undang-Undang baru ini merupakan alat untuk mengukur perbuahan karena di dalamnya dimasukkan paham demokrasi sehingga hak-hak manusia sebagai warga negara lebih diperhatikan dan dijamin begitu juga persamaan kedudukan anatara pria dan wanita dalam semua tingkat kehidupan.


(26)

Undang-Undang Baru 1946 (日本 国憲 法 / nihonkokukenpou) merupakan hasil pekerjaan pemerintahan pendudukan Sekutu periode pendudukan militer, suatu hal yang diketahui dipaksakan terhadap Jepang karena bertentangan dengan adat istiadat negara. Hal ini dilakukan untuk menyesuaikan dengan perubahan-perubahan dalam posisi internasional Jepang. Perubahan-perubahan-perubahan yang ada di lingkungan budaya dan kehidupan keluarga setelah Perang Dunia II pada dasarnya karena pengaruh kemajuan ilmu dan teknologi Barat serta taraf kehidupan masyarakat.

Amerika melakukan perubahan terhadap Undang-Undang Meiji 1889 yang kurang memperhatikan hak-hak manusia sebagai individu. Untuk itu Amerika memandang perlu untuk melakukan sejumlah perbaikan antara lain menyangkut hak dan kewajiban wanita dalam hal pendidikan, kesempatan kerja dan pernikahan. Undang-Undang baru ini dibuat berdasarkan pada pengenalan paham demokrasi dan penghormatan kepada manusia. Hal-hal utama yang diubah dan terdapat dalam Undang-Undang baru adalah:

1. Kebebasan setiap anggota keluarga dari kekuasaan kepala keluarga. 2. Persamaan hak antara suami dan istri.

3. Persamaan dalam hak dan kewajiban terhadap generasi.

Kehadiran Undang-Undang baru ini disambut dengan sangat antusias oleh wanita Jepang karena diharapkan dapat membawa perubahan bagi kehidupan wanita di masa depan. Dalam pasal 14 Undang-Undang Baru 1946 ini disebutkan mengenai persamaan antara pria dan wanita dibawah hukum : ” ...1) semua orang adalah sama dibawah Undang-Undang dan tidak akan ada diskriminasi dalam hal


(27)

politik, ekonomi atau hubungan sosial yang disebabkan karena perbedaan ras, kepercayaan, jenis kelamin, status sosial serta keturunan....”

Dari pasal diatas dapat diketahui bahwa Undang-Undang secara tegas melarang adanya diskriminasi kedudukan antara pria dan wanita dalam lingkungan politik, ekonomi dan hubungan sosial. Dengan berlakunya hukum ini maka sistem ie pun dihapuskan dan sistem keluarga pun berubah menjadi sistem keluarga demokrasi.

Setelah Perang dunia II, Tenno mengadakan Ninggensenggen (mendeklarasikan dirinya sebagai manusia). Pada saat itu juga negara sistem ie berakhir dengan formal. Tetapi walaupun secara hukum sistem ie telah diakhiri, cara berpikir sistem ie tidak segera hilang dari kehidupan masyarakat Jepang. Hancurnya keluarga ie di masa ini adalah karena penyatuan dua buah ie menjadi satu. Jumlah anak yang dimiliki orang Jepang sekarang ini menjadi semakin menurun, oleh karena itu muncul masalah ketika terjadi perkawinan antara anak tunggal laki-laki dan anak tunggal perempuan. Maka terjadi penyatuan dua buah keluarga ie yang diurus oleh satu keluarga yang kemudian akan menjadi satu keluarga ie. Dalam hal ini akan terjadi penyatuan harta dan juga saidan (objek penyembahan) dan simbol-simbol keluarga.

Dalam pasal 24 Undang-Undang Baru 1946 disebutkan mengenai persamaan kedudukan diantara pria dan wanita dan menghormati individu yang terdapat di dalam kehidupan keluarga, “... 1) Perkawinan didasarkan hanya pada kerjasama diantara kedua pasangan dan harus dipertahankan melalui kerjasama dengan berdasarkan persamaan hak diantara suami dan istri. 2) Dengan


(28)

menghormati dalam memilih pasangan, harta benda, warisan, tempat tinggal, perceraian dan hal-hal lain yang berkenaan dengan perkawinan dan keluarga, penetapan hukum harus dilihat dari sudut pandang kehormatan individu dan persamaan mendasar dari jenis kelamin”.

Dengan adanya pasal diatas maka terjadi perubah dalam sistem pernikahan masyarakat Jepang. Wanita Jepang bebas memilih pasangan hidupnya berdasarkan keinginannya sendiri karena setelah tahun 1946 pernikahan berlandaskan atas persetujuan bersama antara pria dan wanita. Mengenai dasar-dasar bagi perceraian, hukum di masa ini memberikan dasar-dasar persamaan yang sempurna baik bagi pria maupun wanita. Namun permasalahan pokok dari hukum perceraian adalah perlindungan kaum wanita dan jaminan akan kesejahteraan anak. Setelah runtuhnya sistem ie, wanita memiliki hak atas kompensasi perceraian dan pembagian harta keluarga. Hak warisan bagi seorang anak perempuan yang telah menikah juga mendapat pengakuan.

Salah satu akibat langsung dari peralihan ke Undang-Undang Baru 1946 adalah kecenderungan ke arah keluarga inti, sehingga tugas wanita dalam mengasuh anak bertambah ringan, makin meluasnya praktek keluarga berencana, yang mengakibatkan setiap pasangan rata-rata hanya mempunyai 2 anak (Masu Okamura 1983:19). Masyarakat Jepang cenderung membentuk unit keluarga yang lebih kecil yang terdiri dari orang tua dan anak-anak.

Setelah Perang Dunia II semuanya berubah. Sebagai contoh misalnya: makin pendek masa dalam kehidupan seorang wanita di mana ia tinggal bersama ibu mertua. Sekarang makin meningkat jumlah kaum istri yang tak pernah


(29)

mengalami hidup di bawah bimbingan ibu suami mereka, karena sebagian pasangan penganten baru, langsung menempati tempat tinggalnya yang baru. Istri mempunyai suara lebih besar dalam menentukan kehidupan keluarga. (Masu Okamura 1983:19). Wanita bertambah ringan dalam mengasuh anaknya.

Contoh lain adalah kalau dulu seorang istri harus berjalan selangkah di be-lakang suaminya di jalan raya dan mungkin masih dibebani bayi atau bawaan lain, sedangkan sang suami berlenggang sebagai tuan, hal itu telah jarang dijumpai. Suami istri berjalan dan duduk berdampingan, bayi dan barang bawaan sering di tangan sang suami. (Martinah PW 1987:5). Dulu suami pantang melakukan pekerjaan rumah tangga, sekarang mau membantu pekerjaan rumah tangga, misalnya cuci piring di malam hari. Juga istri tak lagi membolehkan sang suami menghabiskan waktunya di bar bersama geisha. Dan banyak istri yang secara tegas menyatakan, bahwa ia tidak mau membiarkan suaminya singgah di bar. Wanitapun tidak kurang kekuatan serta keberaniannya dibandingkan dengan laki-laki. (E.O. Reischauer 1957:275). Seperti anggapan yang diterima pada zaman modern bahwa wanita lebih memiliki daya kemauan dan kekuatan psikologis ketimbang pria.

Selama pendudukan, Amerika Serikat menuntun bangsa Jepang untuk bangkit kembali membangun negara. Pembangunan itu terus berlanjut setelah masa pendudukan berakhir dan ternyata dapat mengembalikan Jepang sebagai negara industri yang berteknologi seperti sebelum Perang Dunia II, membawa masyarakat Jepang ke tingkat kehidupan yang lebih baik. Masyarakat Jepang mulai menggunakan barang konsumsi tahan lama, mudah mendapatkan pakaian jadi dan makanan kalengan hingga semuanya memperingan pekerjaan ibu rumah


(30)

tangga. Pada tahun 1960 ibu rumah tangga menghabiskan waktu 7 jam lebih dalam setiap hari untuk mengurus rumah tangga. Makin ringannya pekerjaan rumah tangga, kaum ibu cenderung memperluas peranannya sebagai ibu pendidik.

Berbagai kegiatan yang berhubungan langsung dengan kesejahteraan anak-anak meliputi: tuntutan-tuntutan bagi penghapusan ruangan sekolah yang sempit, penghapusan pungutan biaya bagi pendidikan wajib, program makan siang ditanggung oleh negara, pendidikan khusus bagi anak-anak cacat, anak-anak terbelakang, dan lain-lain. Di samping itu kaum ibu rumah tangga juga melakukan kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan kesejahteraan umum misalnya: menuntut fasilitas perumahan yang memadai, berusaha menstabilkan harga pangan, biaya pemeliharaan kesehatan, peningkatan taraf hidup minimal, perlindungan bagi keluarga yang tidak berayah.

Kaum ibu berhasil mengadakan suatu konperensi yang memperjuangkan pembangunan yang lebih banyak misalnya tempat penitipan anak-anak dan gedung-gedung sekolah. Kaum ibu berhasil membentuk suatu organisasi yang merupakan wadah berbagai kegiatan untuk meningkatkan kesejahteraan hidupnya. Hanyalah lewat berbagai gerakan dan aksi sosial semacam itu, kaum wanita Jepang akan mampu meningkatkan posisi sosialnya, dan ternyata perkembangannya meningkat lebih baik.

Undang-Undang tahun 1946 juga memberikan suatu gambaran yang jelas tentang posisi dan peranan wanita di lingkungan pendidikan yang antara lain seperti dalam kutipan ini: dalam Pasal 2 disebutkan: "Rakyat harus diberi kesempatan yang sama untuk menerima pendidikan sesuai dengan


(31)

kecakapannya." Tidak boleh diadakan perbedaan karena perbedaan jenis bangsa, agama, kedudukan ekonomi atau keturunan. Rakyat mempunyai kewajiban untuk mengusahakan supaya anak laki-laki dan perempuan menerima pendidikan umum selama 9 tahun.

Pasal 5, “Laki-laki dan perempuan harus saling hormat-menghormati dan kerja sama”. Melihat isi ketetapan dalam Undang-Undang tersebut, jelas bahwa posisi wanita di bidang pendidikan meningkat lebih baik. Tetapi bukan merupakan suatu hal yang aneh, jika suatu Undang-Undang baru belum dapat terealisasi dalam waktu singkat. Kenyataannya masyarakat Jepang waktu itu masih menunjukkan adanya diskriminasi dalam fasilitas pendidikan wajib, yaitu dalam kurikulum mengenai mata pelajaran ekonomi kerumahtanggaan yang hanya dikhususkan bagi wanita, kaum wanita harus keluar bila mereka telah menikah, pensiun pada usia muda dan lain-lain. Dan juga ada kenyataan lain bahwa pemerintah kurang membantu bagi sekolah-sekolah tingkat sarjana pada berbagai universitas wanita, ini merupakan suatu bukti bahwa masih tetap ada praktek diskriminasi dan perbedaan perlakuan yang menyolok (Masu Okomura 1983:55). Dalam perkembangan selanjutnya diskriminasi antara wanita pria di bidang pendidikan makin tipis dan akhirnya terhapus.

Bentuk keluarga yang hanya memiliki satu atau dua orang anak, dengan didukung pula oleh perkembangan ekonomi dan kemajuan teknologi seperti alat-alat rumah tangga yang semakin modern telah memberikan kemudahan bagi wanita karena mereka menjadi memiliki lebih banyak waktu luang. Untuk mengisi waktu luangnya ini, banyak wanita yang mencoba untuk bekerja atau kembali bekerja. Banyaknya jumlah pekerja saat ini merupakan bagian penting


(32)

dari perekonomian Jepang. Berdasarkan data statistik pada tahun 1970, jumlah wanita menikah yang bekerja paruh waktu meningkat menjadi 51% dari 38% di tahun 1960. Pada umumnya wanita yang bekerja paruh waktu ini adalah wanita yang berusia dibawah 35 tahun yang memiliki anak usia sekolah atau lebih tua dan berasal dari golongan rendah, karena mereka dapat dibayar murah. Umumnya jenis pekerjaan paruh waktu yang mereka cari adalah yang berhubungan dengan jasa (service) seperti:

1. Bekerja di Bank.

2. Bekerja dalam perusahaan asuransi. 3. Sebagai tenaga penjual (sales) pertokoan.

4. Bekerja dalam bidang jurnalisme, periklanan dan televisi.

Tujuan mereka bekerja pada dasarnya adalah untuk membantu keuangan rumah tangga. Berikut adalah beberapa alasan lain wanita Jepang yang telah menikah bekerja diluar rumah:

1. Alasan ekonomi, maksudnya dengan penghasilan sendiri dapat digunakan untuk membiayai pendidikan anak dan melakukan hobi.

2. Agar dapat menabung untuk hari tua.

3. Untuk mengisi waktu luang dan mensosialisasikan diri mereka diluar rumah.

4. Sebagai sarana untuk mendapatkan teman dan memperluas lingkup sosial.

Saat ini bagi mayoritas wanita Jepang, bekerja dianggap sebagai sebuah pilihan. Artinya wanita selain berkedudukan sebagai ibu rumah tangga juga dapat


(33)

bekerja diluar rumah. Dengan bekerja mereka diharapkan dapat menikmati kebebasannya dari kegiatan rutinitas sebagai ibu rumah tangga.

Dengan perkembangan wanita dalam dunia kerja, pada tahun 1986, dideklarasikan hukum kesetaraan ketenagakerjaan antara pria dan wanita, dimana tidak ada diskriminasi lagi terhadap ketenagakerjaan wanita dalam hal gaji, kesempatan training dan promosi jabatan.

Selain dari wanita yang bekerja paruh waktu, ada juga wanita yang bekerja penuh waktu. Ini biasanya dilakukan oleh wanita yang telah lulus sekolah atau kuliah dan masih tinggal dengan orangtua nya. Bidang-bidang yang ditekuni oleh wanita seperti keguruan, hukum, kedokteran, farmatologi (obat-obatan) dan pelayanan masyarakat. Para wanita ini mendapatkan gaji, status dan penghormatan yang sama seperti pria. Tetapi dalam hal mengambil keputusan, pria masih tetap mendominasi bidang tersebut. Hal ini disebabkan karena ada kecenderungan dari rekan kerja pria yang tidak menginginkan para wanita untuk mengembangkan karirnya.

Tetapi hal ini juga menimbulkan beberapa masalah, yaitu meningkatnya stress dikalangan wanita yang bekerja sebagai akibat dari tanggung jawab yang cukup berat yang dibebankan pada mereka. Wanita diharapkan dapat bekerja dengan hasil yang baik tanpa melupakan kewajibannya sebagai seorang ibu. Padahal hal ini merupakan sesuatu yang mustahil bila tidak ada kerjasama dari suami.

Westernisasi telah memberikan pengaruh besar pada wanita Jepang. Pikiran mereka menjadi terbuka terutama dalam hal pandangan terhadap masalah


(34)

pernikahan, rumah tangga, pekerjaan dan pendidikan. Sarah Chaplin dalam buku Shoma Munshi: Images of the „Modern Woman‟ in Asia, mengatakan bahwa hal baru yang muncul dimasa westernisasi ini adalah wanita „modern‟, atau ダン

(modan gaaru), sebuah kata baru yang muncul di tahun 1920 dan disingkat (moga) yaitu kegiatan meniru dari Barat yang menjadi tetap. Moga melambangkan cara hidup kosmopolitan/internasional, dan menurut kamus Akira Miura di „English‟ in Japanese,‟ berarti „gadis muda di tahun 1920-an yang menggunakan rambut pendek, high heels, dan rok panjang‟ (Miura dalam Munshi 2001:56). Gambaran dangkal ini mengingkari pengaruh yang sangat dalam pada wanita Jepang dalam kehidupan sosial, dan melemahkan pengaruh kuat pada gambaran diri Jepang sendiri. Menurut Darrel William Davis : „Moga adalah sebuah simbol kebebasan modern dari pemberontakan melawan sistem patriarki ... Dia adalah gambaran perdebatan hebat di jalanan Tokyo, sebagai perwujudan jujur dari seksualitas feminin,‟ dan Darrel menentang itu „dalam konteks Jepang, dia/moga ditandai sebagai „kemajuan‟ akibat westernisasi dari Jepang lama. (Davis dalam Munshi 2001:56).


(35)

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan

- Restorasi Meiji merupakan peristiwa yang menandai runtuhnya sistem feodal pemerintahan Tokugawa dan menempatkan kembali Tenno (Kaisar) sebagai penguasa tertinggi pemerintahan. Jepang yang sebelumnya menerapkan politik Pintu Tertutup yang disebut dengan Sakoku, mulai memberlakukan politik Pintu Terbuka yang disebut dengan Kaikoku. Dengan demikian dimulailah modernisasi Jepang secara besar-besaran. Salah satu pengaruh Restorasi Meiji adalah sikap pemujaan terhadap Barat yang berlebihan, yang disebut dengan westernisasi. Jepang menyadari bahwa untuk mempertahankan diri dan untuk mengimbangi negara-negara Barat hanya ada satu jalan yaitu dengan menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi mereka. Westernisasi terjadi di segala bidang yaitu pemerintahan, militer, ekonomi, teknologi, hukum dan pendidikan. Westernisasi telah banyak merubah pola pikir orang Jepang termasuk merubah pola pikir wanita Jepang, untuk memiliki kehidupan yang sederajat dengan kaum pria.

- Sebelum Restorasi Meiji tahun 1867 wanita Jepang dirumah dididik berdasarkan sistem ie yang menetapkan bahwa wanita harus tunduk dan patuh kepada pria. Sejak kecil wanita diajarkan untuk patuh kepada ayah, saat sudah menikah patuh kepada suami dan saat sudah tua patuh kepada anak laki-lakinya. Ketika sudah mencapai usia pernikahan, wanita akan


(36)

dinikahkan dengan cara dijodohkan karena pernikahan diatur sesuai kebutuhan keluarga dengan anggapan bahwa cinta akan tumbuh dengan sendirinya saat suami istri menjalani kehidupan pernikahan. Disamping itu pendidikan formal yang diterima oleh wanita juga menekankan pada ajaran Konfusius yang bertujuan untuk menjadikan wanita sebagai Ryousaikenbo (istri yang baik dan ibu yang bijaksana). Peran wanita sebagai seorang istri sangat dibatasi, dalam arti wanita tidak boleh bekerja di luar rumah dan bersosialisasi dengan lingkungan sekitarnya. Perannya hanya berkisar pada melayani suami dan mengurus anak.

- Diumumkannya Undang-Undang Meiji pada tahun 1889 dan Hukum Perdata pada tahun 1898 membuat kepatuhan wanita kepada kepala rumah tangga, dan lelaki secara umum, diberi justifikasi secara legal. Ditekankan tentang pemikiran Dansonjohi yang berarti pria memiliki kedudukan yang lebih tinggi daripada wanita sehingga akibatnya manjadi hal yang dianggap wajar dan bernilai tinggi apabila wanita mengabdi dengan setia kepada kepala rumah tangganya seumur hidup. Sistem keluarga ie semakin berkembang kuat di masa ini begitu juga dengan pendidikan wanita sebagai Ryousaikenbo. Di zaman Meiji sistem ie dibuat menjadi ideologi negara. Negara adalah satu keluarga dengan Kaisar yang bertindak sebagai kepala keluarga. Wanita bertanggungjawab untuk memastikan bahwa anak-anak mereka memiliki pendidikan yang baik agar mencetak sumber daya manusia yang berkualitas bagi Jepang dan juga dinilai memiliki kontribusi besar terhadap pertumbuhan industrialisasi Jepang yang luar biasa.


(37)

- Dengan masuknya Amerika Serikat ke Jepang sebagai akibat dari kekalahan Jepang pada Perang Dunia II telah menimbulkan perubahan pada kedudukan dan peran wanita Jepang. Sistem keluarga ie pun berakhir secara formal dan Kaisar mendeklarasikan dirinya sebagai manusia. Hal tersebut berasal dari munculnya Undang-Undang Baru di tahun 1946 (日

本国憲法 / nihonkokukenpou) yang disusun berdasarkan pengarahan dari pihak penguasa Amerika untuk menggantikan Undang-Undang Meiji 1889 (大 日 本 帝 国 憲 法 / dainipponteikokukenpou) yang dinilai kurang memperhatikan hak-hak individu. Undang-Undang baru ini dibuat berdasarkan pada paham demokrasi dan penghormatan kepada manusia sehingga diskriminasi antara pria dan wanita dihapuskan. Wanita sudah dapat menerima pendidikan umum di sekolah dan universitas-universitas. Meningkatnya pendidikan bagi wanita membuat kaum wanita Jepang sudah dapat bekerja diluar rumah di berbagai bidang pekerjaan dan perusahaan. Wanita yang telah menikah juga dapat bekerja paruh waktu untuk membantu keuangan keluarga atau sekedar untuk dapat menikmati kebebasannya dari rutinitas sebagai ibu rumah tangga. Perkembangan ekonomi dan kemajuan teknologi juga telah memudahkan pekerjaan rumah tangga. Jumlah kaum istri yang tidak pernah mengalami hidup di bawah bimbingan ibu suami mereka karena banyak pengantin baru yang langsung menempati rumah baru.pun semakin meningkat. Masyarakat Jepang cenderung membentuk keluarga yang lebih kecil yang terdiri dari orang tua dan satu atau dua orang anak saja.


(38)

4.2 Saran

1. Sebaiknya mahasiswa bahasa/sastra Jepang lebih dapat mempelajari dan memahami sejarah Jepang.

2. Dengan adanya tulisan ini, mahasiswa Indonesia dapat lebih berhati-hati dalam menyikapi pengaruh westernisasi.

3. Mahasiswa dapat mempelajari bagaimana pengaruh westernisasi dalam kehidupan masyarakat Jepang dan mengambil hal positif untuk dicontoh demi kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.

4. Westernisasi telah mampu merubah dan memodernisasi peran wanita Jepang. Hendaknya kita juga dapat mengambil hikmah dari westernisasi yang juga terjadi di negara Indonesia.


(39)

BAB II

TINJAUAN UMUM TERHADAP WESTERNISASI DI JEPANG

2.1 Westernisasi Di Zaman Meiji

Selama kurang-lebih 250 tahun di bawah pemerintahan Keshogunan Tokugawa kepulauan Jepang diisolasi dari hubungan dengan bangsa-bangsa lain. Politik luar negeri ini dikenal dengan nama politik Sakoku (tutup negara untuk hubungan internasional). Hanya kepulauan Okinawa yang masih diperbolehkan untuk berhubungan ke luar dalam hal perdagangan. Tokugawa memberikan izin kepada Belanda untuk berdagang melalui pulau Deshima yang terletak di depan Nagasaki. Tetapi lambat-laun politik isolasi ini tidak dapat dipertahankan. Saat Amerika Serikat meningkatkan hubungan perdagannya dengan Cina, Amerika semakin merasakan perlunya pelabuhan-pelabuhan yang terletak di antara AS dan China. Dan Jepang adalah batu loncatan ke China yang baik

Faktor lainnya adalah perkembangan teknologi di Barat yang menghasilkan kapal-kapal bertenaga uap yang memungkinkan meluasnya daerah operasi, sehingga Jepang yang tadinya terletak di luar alur lalu-lintas internasional, sekarang menjadi daerah lalu-lintas kapal-kapal. Keadaan ini diperkuat oleh mendesaknya kekuasaan Rusia dari Barat ke Timur yang mulai membangun kota-kota menjadi tempat perdangangan dan kegiatan ekonomi lainnya di pantai sebelah timur yang menghadap Samudera Pasifik. Di samping itu, juga karena semakin meluasnya kekuasaannya di India dan hendak meluaskannya terus ke Timur.


(40)

Pada tahun 1853, Komondor Perry, seorang pelaut Amerika dengan kapal uapnya mendekati wilayah pelabuhan Jepang dan menghendaki agar diizinkan untuk berdagang. Tokugawa pada mulanya tidak mau melayani kehendak Perry, tetapi daya tembak yang diperlihatkan kapal-kapal AS memaksa Jepang untuk akhirnya melayani permintaan AS. Setahun kemudian (1854), ditandatangani persetujuan yang pertama antara AS dan Jepang. Dari isi perjanjian Shimoda, 30 Maret 1854 tersebut telah meyakinkan Jepang bahwa negara-negara barat itu superior dalam hal persenjataan modern. Khususnya dalam perkapalan dan senjata api. Sehingga mau tidak mau Jepang harus memenuhi permintaan negara-negara barat tersebut. Hal ini menyebabkan suatu krisis dalam pemerintahan dimana tokoh-tokoh yang anti Tokugawa seperti Satsuma dan Choshu menganjurkan untuk mengembalikan pemerintahan ketangan Tenno Heika.

Pada tahun 1867 terjadi pertemuan antara empat pemuda Satsuma yaitu Saigo Takamori, Okubo Toshimitsu, Komatsu Tatewaki dan Oyama Kakunosuke dengan empat pemuda Choshu yaitu Ito Hirobumi, Shinagawa Yaziro, Hirazawa Maomi dan Kido Koin, di Yamaguchi. Yang mempertemukan dan mempersatukan mereka adalah Sakamoto Ryoma dari Tosa di Shikoku. Dalam pertemuan ini dicapai kesepakatan untuk bersama-sama meruntuhkan kekuasaan shogun Tokugawa dan menempatkan Tenno Heika sebagai kekuasaan pemerintah, jadi tidak hanya sebagai pemimpin tertinggi agama. Dan pada tanggal 14 Desember 1867 terjadilah Restorasi Meiji yang berarti dikembalikan kekuasaan pada Tenno Heika pada waktu itu.

Restorasi Meiji merupakan peristiwa yang menandai runtuhnya sistem feodal pemerintahan Tokugawa dan menempatkan kembali Tenno (Kaisar)


(41)

sebagai penguasa tertinggi pemerintahan. Jepang yang sebelumnya menerapkan politik Pintu Tertutup yang disebut dengan Sakoku, mulai memberlakukan politik Pintu Terbuka yang disebut dengan Kaikoku. Dengan demikian dimulailah modernisasi Jepang secara besar-besaran.

Salah satu pengaruh Restorasi Meiji adalah sikap pemujaan terhadap Barat yang berlebihan, yang disebut dengan westernisasi. Sikap ini mulai tumbuh semenjak zaman Meiji dan semakin berkembang pada zaman Taisho. Westernisasi banyak memberi pengaruh dan memodernisasi Jepang dalam berbagai bidang kehidupan. Modernisasi menurut pakar Wilbert E Moore, adalah suatu transformasi total kehidupan bersama yang tradisional atau pramodern dalam arti teknologi serta organisasi sosial kearah pola-pola ekonomis dan politis yang menjadi ciri negara Barat yang stabil.

Modernisasi bermula dengan proses diferensiasi struktural, yang mencakup evolusi dari struktur-struktur berfungsi ganda menjadi struktur-struktur berperanan khusus. Dalam arti formal, diferensiasi struktur dapat didefenisikan sebagai “suatu proses pembedaan suatu peranan atau organisasi sosial menjadi dua atau lebih peranan atau organisasi . . . yang secara struktural berbeda satu sama lain, tetapi secara bersama-sama fungsinya serupa dengan unit asli” (Goldscheider 1985:136). Proses modernisasi ini menyebabkan munculnya berbagai perubahan keadaan sosial budaya masyarakat Jepang.

Modernisasi dimulai segera setelah negara Jepang terpaksa membuka diri bagi pergaulan internasional, akibat ancaman dan tekanan dari luar, terutama dari Amerika Serikat, Rusia, Inggris, Perancis dan lain-lain.


(42)

Perkembangan-perkembangan yang terjadi selama masa Sakoku ternyata tidak dapat mengimbangi perkembangan-perkembangan yang telah dicapai negara-negara Barat. Mereka menyadari bahwa pemerintahan yang dijalankan Shogun Tokugawa sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman.

Jepang sadar, untuk mempertahankan diri dan untuk mengimbangi negara-negara Barat hanya ada satu jalan yaitu dengan menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi mereka. Jepang menganggap bahwa Eropa dan Amerika Serikat dapat menguasai Asia karena mereka lebih unggul dalam ilmu pengetahuan dan teknologi. Oleh karena itu Jepang berusaha mengejar ketertinggalan mereka dari negara Eropa.

Di bawah slogan Wakon Yosai (kepribadian Jepang, teknologi Barat) serta slogan Shokusan Kogyo (meningkatkan produktivitas dengan menggalakkan industrialisasi) yang dikaitkan dengan slogan Fukoku Kyohei (negara kaya, militer kuat), Jepang memacu modernisasi dengan kecepatan yang luar biasa. Secara besar-besaran mengimpor dan melaksanakan modernisasi di berbagai bidang kehidupan, seperti ekonomi, kebudayaan, politik, pendidikan, telekomunikasi dan kemiliteran.

Yang menjadi Tenno Heika waktu itu adalah Mutsuhito yang baru berusia 15 tahun. Mutsuhito meneruskan kekuasaan ayahnya, Kaisar Komei dan menjadi Meiji Tenno. Zaman baru Meiji, yang berarti „aturan pencerahan‟ mengakhiri 265 tahun berdirinya Keshogunan Tokugawa yang feodalistis. Reformasi pertama adalah pengumuman Lima Pasal Dekrit yang merupakan rencana politik pemerintahan baru pada tahun 1868 (tahun 4 zaman Keio), sebuah pernyataan


(43)

umum mengenai visi dan misi pemerintahan Meiji untuk meningkatkan moralitas dan memperoleh dukungan finansial demi terbentuknya pemerintahan baru dalam bentuk sumpah kepada dewa. Isinya terdiri dari:

1. Pembentukan dewan-dewan legislatif;

2. Pelibatan semua golongan masyarakat dalam mengadakan hubungan antarnegara;

3. Penarikan kembali aturan perpajakan dan pembatasan kelas dalam pekerjaan;

4. Penggantian „tradisi setan‟ dengan „hukum alam‟; dan

5. Pengiriman utusan ke Eropa dan Amerika untuk mempelajari ilmu Barat dan memperkuat fondasi hukum pemerintahan Meiji.

Di dalam lima pernyataan resmi tersebut, kaisar mengadakan tukar-menukar pendapat untuk mengembangkan pembangunan politik dan ekonomi. Dengan demikian Jepang akan meunjukkan kepada seluruh dunia bahwa mereka akan membangun negaranya dengan menuntut ilmu pengetahuan. Namun di pihak lain, dengan adanya perlawanan rakyat terhadap kebijaksanaan politik yang melarang pemberontakan dan agama Kristen, maka keadaan dianggap akan sama dengan keadaan di zaman Edo. Perlawanan yang paling sengit datang dari Toba dan Fushimi (戊 辰 戦 争/ boshin sensou), masih terdapat mantan samurai di zaman bakufu yang melawan pemerintahan baru, sehingga pemberontakan tetap berlanjut selama setengah tahun di Ueno (Tokyo), Aizu (Fukushima-ken), Boryokaku (Hakodate). Namun pergolakan tersebut akhirnya dapat diredam oleh tentara


(44)

pemerintahan baru yang berpusat di Satcho, sehingga penyatuan Jepang pada zaman pemerintahan beru Meiji ini dapat diselesaikan.

Pemerintah Meiji memulai bermacam-macam reformasi untuk membuat struktur lembaga politik baru yang berpusat pada kaisar. Reformasi pada masa ini disebut Restorasi Meiji. Pemerintahan yang baru pada tahun 1869 (Meiji II) memerintahkan kepada para daimyo agar tanah wilayah han dan rakyat yang tinggal di wilayah tersebut dikembalikan dari daimyo ke kaisar. Kebijakan selanjutnya keluar pada tahun 1871 (Meiji IV) yang memutuskan untuk menghapus sistem han, membagi seluruh negeri menjadi sistem ken, serta dikirimkan pegawai pemerintahan langsung dari pusat, yang disebut pula haihanchiken. Dengan begitu, pajak seluruhnya dikumpulkan oleh pemerintah, dan pegawai pemerintah tinggal menerima gaji dari pemerintah.

Di samping itu, pemerintah menyatakan Shiminhyodo (persamaan empat strata sosial), yaitu: bangsawan feodal menjadi kazokui, kaum samurai menjadi shizoku, petani, tukang, dan pedagang menjadi heinin. Berdasarkan hal tersebut, masyarakat biasa pun berhak memilik nama keluarga, pekerjaan, ataupun tempat tinggal dengan bebas.

2.2 Pembangunan Jepang Modern 2.2.1 Bidang Politik

Pemerintah baru Meiji terus berupaya memajukan diplomasi. Awalnya pemerintah memikirkan cara untuk mengubah perjanjian-perjanjian antara negara Barat dan Bakufu yang dirasa kurang adil bagi rakyat Jepang. Selain itu, observasi digencarkan untuk mengirim wakil-wakil pemerintahan ke negara Barat. Namun


(45)

negoisasi untuk memperbarui isi perjanjian-perjanjian tersebut sama sekali tidak ditanggapi oleh negara-negara Barat. Karena itu, pemerintah berpendapat bahwa akan lebih baik untuk membangun negara, mengembangkan industri, dan memperkuat militer demi kepentingan negara daripada harus merevisi isi perjanjian.

Pada masa itu, yang mula-mula menjadi menteri adalah para pemimpin yang berasal dari Satsuma dan Choshu. Mereka pulalah yang memegang pemerintahan. Menurut konstitusi yang dikeluarkan pada tahun 1889, Kaisar memang memegang konstitusi, namun kaisar Meiji tidak diharapkan menjalankan pemerintahan, melainkan hanya memberikan pengesahan atas keputusan-keputusan yang diambil para menteri.

Tidak sedikit orang yang merasa tidak puas, terutama mareka para mantan samurai. Ini terutama karena kaum samurai yang kehilangan pekerjaan terpaksa harus berdagang dengan mereka sendiri (士 族 商 法/ shizoku no shouhou). Mereka akhirnya memberontak di berbagai daerah. Saiko Takamori dan lainnya menuntut pemerintahan baru agar kekuasaan para mantan samurai diarahkan ke luar, memberlakukan kembali politik isolasi, dan membuka Korea dengan paksa. Namun atas anjuran Okubo Toshimichi, Kido Takayoshi, dan tokoh lainnya, perkembangan negara secara langsung lebih maju dan pemerintahan dalam negeri dilaksanakan lebih dahulu.

Pada tahun 1987 (Meiji X), terjadi pertempuran skala besar yang kemudian dikenal dengan Perang Barat Daya (西 南 戦 争/ seinansensou). Namun, dengan adanya tentara baru yang terbentuk dari sistem wajib militer, maka pemberontakan dapat dihentikan waktu enam bulan.


(46)

Walaupun keadaan dalam negeri mengalami guncangan, pemerintah Meiji tetap melakukan negosiasi dengan negara-negara tetangga untuk dapat menetapkan batas daerah kekuasaan Jepang. Pada tahun 1875, diadakan negosiasi dengan Rusia mengenai pertukaran pulau di mana mereka menyetujui bahwa pulau Karafuto (Sakhalin) termasuk wilayah Rusia, sedangkan pulau Chishima termasuk wilayah Jepang. Pada tahun 1879, provinsi Okinawa dimasukkan ke dalam pulau Ryukyu.

2.2.2 Bidang Sosial Dan Budaya

Salah satu tindakan pertama pemerintah adalah dengan menetapkan peringkat baru bagi bangsawan. Lima ratus orang tua dari pengadilan bangsawan, mantan daimyo, hingga samurai yang telah memberikan layanan kepada Kaisar berharga diselenggarakan di lima peringkat: pangeran ( 王 族 / 皇 族 , oozoku/kouzoku), marquis (/ koushaku), count (/ hakushaku), viscount (子 / shishaku), dan baron (/ danshaku). Pada saat inilah bahwa gerakan Ee ja nai ka, sebuah penjangkitan spontan karena kegembiraan luar biasa, berlangsung.

Tahun 1885, cendekiawan Yukichi Fukuzawa menulis esei yang sangat berpengaruh berjudul “Membiarkan Asia” (Leaving Asia), yang berpendapat bahwa Jepang seharusnya menyesuaikan diri dengan 'negara-negara Barat yang beradab', meninggalkan negara-negara Asia tetangganya yang 'mundur dan tak bisa diharapkan lagi', yaitu Korea dan Cina. Esei ini mungkin memiliki peranan dalam kebangkitan ekonomi dan teknologi Jepang pada Zaman Meiji tetapi juga


(47)

dapat menjadi sebuah landasan untuk penjajahan Jepang di wilayah ini di kemudian hari.

Modernisasi di bidang kebudayaan terus dilakukan. Pada tahun 1872 (Meiji V), pemerintah menetapkan sistem pendidikan di mana masyarakat yang memiliki pekerjaan dan status macam apapun dapan mengikuti pendidikan. Selain itu, pemerintah Meiji pun mengirimkan banyak mahasiswa ke negara-negara Eropa dan Amerika dan mengundang banyak ahli teknik dari negara-negara Barat. Kebudayan Barat yang maju pun diadopsi oleh pemerintah.

Di bidang kehidupan sehari-hari, diberlakukan kalender solar Gregorian. Agama Kristen akhirnya diakui karena adanya kritik-kritik dari luar negeri. Teknik cetak berkembang sehingga koran yang menyebarluaskan politik dan humaniora banyak diterbitkan. Kebudayaan di kota-kota besar yang merupakan salah satu kebudayaan yang paling inovatif di dunia, menghasilkan kombinasi seni cetak balok kayu, teater Kabuki, novel, puisi Haiku, mode pakaian, dan perpustakaan. Di Ginza, Tokyo, dibangun bangunan-bangunan bergaya Barat yang menggunakan batu bata merah dan di jalan-jalan raya dinyalakan lampu-lampu gas yang menerangi jalan.

Kucir rambut yang tadinya sebagai simbol keluarga bushi dan lambang kekuasaan pada masa bakufu berubah di masa Meiji. Memotong rambut kuncir menjadi pendek dan memakai pakaian ala Barat telah menjadi gaya hidup baru. Di samping itu, daging sapi yang biasanya tidak dimakan akhirnya mereka makan dan mulai pada waktu itu banyak dijumpai restoran sukiyaki. Gaya hidup baru yang mencakup bidang ilmu pengetahuan, pendidikan, sandang, pangan, papan, dan lainnya adalah kebudayaan Barat yang baru yang semakin lama semakin


(48)

diterima masyarakat dan disebut dengan istilah Bunmei Kaika (masa peradaban dan pencerahan).

Di bidang ideologi, diterapkan pemikiran Barat, seperti bahwa manusia semuanya bebas dan sederajat, dan memiliki hak yang sama untuk menuntut pemikiran untuk mendapatkan keadilan dalam mencapai kebahagiaan dan kebebasannya sehingga pemikiran ini akhirnya meluas di masyarakat. Dalam buku Fukuzawa Yukichi, terdapat kata-kata pendahuluan yang berbunyi: “Langit yang ada di atas manusia bukan buatan manusia, jadi manusia tidak membuat di bawah manusia.”

Di bidang pendidikan, awalnya banyak petani yang tidak suka memasukkan anak-anaknya ke sekolah karena harus membayar uang sekolah. Namun kenyataannya semakin lama pendidikan sekolah dasar pun semakin meluas. Di bidang pendidikan tinggi, didirikan perguruan tinggi Tokyo Igaku pada tahun 1877 (diganti namanya menjadi Universitas Teikoku pada tahun 1896, dan berganti lagi pada 1945 menjadi Universitas Tokyo); Fukuzawa Yukichi mendirikan sekolah swasta Keio; pemimpin agama Kristen bernama Niijimajo mendirikan Universitas Doshisha; sedangkan Okuma Shigenobu mendirikan sekolah kejuruan Tokyo, Universitas Waseda. Perguruan-perguruan tinggi tersebut banyak menghasilkan tenaga ahli yang tidak kalah dari luar negeri. Pemerintah Meiji terus menyempurnakan bidang pendidikan semaksimal mungkin dengan penetrasi sambil memasukkan prinsip Barat (kebijakan Eropanisasi). Pada tahun 1890, wajib belajar yang merupakan dasar dari pendidikan akhirnya dicanangkan.


(49)

2.2.3 Bidang Kesusastraan

Setelah adanya Restorasi Meiji, Jepang pun turut memodernisasi bidang kesusastraan, dimulai dari tulisan Shobochi Shoyo berjudul Shosetsu Shinzui pada tahun 1885. Dalam Shoyo diungkapkan bahwa karya sastra bukanlah alat politik maupun moral, tapi merupakan seni yang memiliki makna sendiri, yang mengutamakan keindahan hidup dan realisme. Salah satu penulis novel yang terkenal pada masa itu adalah Futabatei Shimei yang menjadi pelopor dalam novel modern. Salah satu novel modernnya adalah Ukigumo, yang ditulis dengan bahasa kolokial (percakapan). Sampai saat ini, karya klasik seperti Goshunotoi karya Kodarohan dan Konjikiyasha karya Ozaki Koyo masih banyak dibaca kalangan luas.

Pada masa itu, berturut-turut bermunculan karya sastra yang dipublikasikan oleh Higuchi Ichiyo seperti Takekurabe, Nigorie, Jusanya, dan lainnya. Karya-karya yang ditulis dengan gaya bahasa yang sangat indah itu menceritakan tentang seorang wanita yang harus menghadapi kesulitan di tengah masyarakat yang terikat oleh adat istiadat dan moral yang kuno, namun meskipun demikian karya sastra itu secara realistis masih bernapaskan puisi.

Selain itu, karya-karya baru di bidang puisi seperti waka dan haiku pun lahir. Puisi, disebut pula shintaishi, dan karya-karya di bidang puisi bernafaskan romantis. Di bidang haiku dan waka, Masao Kashiki mengeluarkan majalah bernama Hototokisu yang melukisakan karya-karya haiku dan tanka. Yosano Aiko, dalam majalah Myojo, menerbitkan tanka yang bernapaskan romantisisme dan kaya dengan imajinasi sastra.


(50)

Setelah karya Ukigumo, banyak karya-karya beraliran naturalis yang mendapat pengaruh dari sastra asing bermunculan. Yang perlu diperhatikan adalah karya Shimazaki Toson yang berjudul Haikai. Haikai merupakan puncak dari karya sastra Jepang yang menggambarkan pergolakan batin seorang manusia, khususnya dunia remaja dan penderitaan yang dialaminya. Toson terus aktif menulis hingga zaman Showa ketika dia menulis kisah tentang kehidupan orang tuanya semasa sulit di zaman restorasi Meiji dalam novel berjudul Yoakemae. Sastra naturalisme merupakan gerakan modernisasi di bidang kesusastraan. Karya sastra Tayama Katai yang berjudul Futon memiliki pengaruh besar terhadap gerakan tersebut.

Dalam perkembangan kesusastraan naturalisme tersebut, khususnya sejak pertengahan zaman Meiji hingga awal zaman Taisho, orang-orang yang berperan adalah Mori Ogai, Natsume Soseki, Ishikawa Takubaku.

2.2.4 Bidang Ekonomi Dan Industri

Setelah tahun 1890, Jepang berusaha memajukan mekanisme di bidang industri pemintalan sutra, dan industri lainnya, ditandai dengan diimpornya benang katun dan benang sutera ke Amerika, Korea, dan Cina. Perang Cina-Jepang dan Rusia-Cina-Jepang mengakibatkan Cina-Jepang memperoleh sumber-sumber kekayaan alam yang berlimpah. Pada tahun 1901, Jepang selesai membangun pabrik besi baja pertama yang dikelola pemerintah. Dengan demikian, terbentuklah dasar dari perkembangan industri berat, seperti industri baja dan industri pembuatan kapal, serta mesin-mesin industri.


(51)

Revolusi tersebut mengakibatkan meningkatnya kapitalisme dan timbulnya persoalan dalam masyarakat feodal. Di perdesaan, karena dipaksa membayar pajak yang tinggi, semakin banyak para petani yang menjual tanah pribadinya sehingga jumlah petani miskin pun terus meningkat. Para petani kecil yang tidak bisa hidup di perdesaan lagi lebih memilih pergi ke perkotaan dan menjadi buruh pabrik.

Namun, kondisi pabrik tempat para petani itu bekerja sangat buruk. Di lain pihak, para tuan tanah lintah darat yang menimbun dan mengumpulkan tanah yang luas tidak bisa menanam sendiri, sehingga mereka yang mebiayai hidup dengan cukai semakin bertambah. Selain itu, para tuan tanah yang menjadi anggota perlemen (yang membayar dengan jumlah banyak) pun meningkat. Saat itu, tuan tanah besar dan keluarga kapitalis yang mengelola perusahaan, memiliki pengaruh yang cukup besar terhadap politik Jepang.

Bersamaan dengan perkembangan industri modern, maka modal diakumulasikan pada industri-industri besar dan keluarga kapitalis yang berpengaruh (zaibatsu). Di bidang keuangan, perdagangan luar negeri, transportasi, pertambangan, dan bidang lain, diadakan pengelolaan multidimensi sehingga bank akhirnya menguasai modal industri.

Dalam keadaan seperti itu, paham pemikiran masyarakat juga meluas di Jepang. Pergerakan para petani kecil dan para buruh dalam upaya memperbaiki kehidupannya sering terjadi. Namun pemerintah membuat undang-undang yang pengawasannya dilakukan secara ketat.


(52)

2.2.5 Bidang Telekomunikasi

Untuk menyamakan kedudukannya dengan dunia Barat, pemerintah Meiji telah mengadakan pembaharuan dalam segala bidang dengan mencontoh Barat. Demikian juga halnya dengan bidang telekomunikasi. Alat-alat telekomunikasi yang mempunyai kedudukan penting dalam kehidupan sehari-hari, seperti telegraf, film, dan pers lambat laun mulai dibangun. Pada tahun 1871, pemerintah mengumumkan untuk membangun fasilitas-fasilitas pengumpulan surat dan penjualan benda pos sepanjang jalan raya Tokaido. Kemudian didirikan kantor pos yang meniru model Eropa dan Amerika di Tokyo dan Osaka. Telegraf dimulai ketika datangnya Commodore Perry yang mengirim seperangkat alat-alat sebagai hadiah kepada Shogun.

Empat tahun kemudian Shimazu Nariakira, daimyo dari Satsuma memasang kabel-kabel telegraf di purinya untuk keperluan sendiri yang mulai dipakai pada tahun 1869 ketika diadakan hubungan antara istananya dengan kantor penerangan di Yokohama yang berjarak tidak lebih dari setengah mil. Ini kemudian segera diikuti oleh pemasangan kabel telegraf antara Tokyo dan Yokohama yang kemudian pengelolaannya diambil alih oleh pemerinyah. Dengan dimulainya pemasangan kabel telegraf yang menghubungkan Nagasaki dengan Shanghai dan Vladivostok pada tahun 1871, maka komunikasi telegraf internasional pun dibuka. Alat-alat telekomunikasi tersebut terbukti sangat besar manfaatnya dalam usaha untuk memacu pembangunan yang dicita-citakan bangsa Jepang. Karena itu pemerintah terus mengembangkan dinas-dinas telekomunikasi tersebut.


(1)

Pengesahan

Diterima Oleh :

Panitia Ujian Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Medan untuk melengkapi salah satu syarat Ujian Sarjana dalam bidang Ilmu Sastra Jepang pada Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.

Pada :

Tanggal :

Hari :

Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Dekan,

Drs, Syahron Lubis, M.A NIP: 19511013 197603 1 001 Panitia Ujian

No. Nama Tanda Tangan

1. Drs. Eman Kusdiyana, M.Hum ( )

2. Drs. H. Yuddi Adrian Muliadi, M.A ( )


(2)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadiran Allah SAW atas rahmat dan hidayahnya sampai saat ini penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Skripsi ini adalah langkah awal bagi penulis untuk melanjutkan perjalanan hidup menuju cita-cita yang sudah dirangkai demi masa depan yang baik. Dan tentunya juga dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu pranata masyarakat ke depannya.

Skripsi yang berjudul “WESTERNISASI DAN PENGARUHNYA

DALAM MEMODERNISASI PERAN WANITA JEPANG” ini penulis susun

sebagai salah satu syarat untuk meraih gelar Sarjana pada jurusan Sastra Jepang Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak Drs.Syahron Lubis, M.A, selaku Dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Drs.Eman Kusdiyana, M.Hum, selaku Ketua Program Departemen Sastra Jepang Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Drs.Amin Sihombing, selaku Dosen Pembimbing I yang telah banyak memberi masukan, arahan dan waktu untuk penulisan skripsi ini.


(3)

penulis untuk memperoleh bahan-bahan skripsi juga memberikan saran-saran yang sangat bermanfaat bagi perbaikan skripsi ini.

5. Seluruh Dosen Departemen Sastra Jepang USU yang telah banyak mengajarkan ilmu dan pengetahuan selama perkuliahan.

6. Kedua orang tua saya, Bapak Mega Suryanto dan Ibu Rusmayani yang telah membesarkan dan mendukung seluruh perjalanan hidup saya sampai saat ini. Membimbing dan mendoakan saya dengan penuh sabar serta membiayai kuliah saya. Skripsi ini dipersembahkan untuk kedua orang tua saya sebagai langkah awal untuk mengejar impian demimasa depan yang lebih baik dan agar dapat membahagiakan seluruh keluarga.

7. Sahabat saya Afta, Rivi dan Lili yang sudah seperti saudara saya sendiri. Memberikan semangat dan saling mendukung dalam belajar demi mengejar impian masa depan. Dan juga untuk Jaejoong yang telah banyak memotivasi saya.

8. Teman-teman di Departemen Sastra Jepang terutama stambuk 2010 kelas B. Untuk Mimi, Agis, Ayu, Chitra dan Liska yang selalu menemani dan membantu saya selama kuliah.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kata sempurna, untuk itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun pada skripsi ini agar bermanfaat untuk perkembangan ilmu pranata masyarakat kedepannya.


(4)

Akhir kata, penulis berharap kiranya skripsi ini bermanfaat bagi penulis sendiri, pembaca dan pengembangan ilmu dalam bidang Sastra Jepang.

Medan, 16 Oktober 2014

Penulis,


(5)

DAFTAR ISI

Hal

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI ... vii

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 8

1.3 Ruang Lingkup Pembahasan... 8

1.4 Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teori ... 10

1.5 Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 14

1.6 Metode Penelitian ... 15

BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP WESTERNISASI DI JEPANG 2.1 Westernisasi Di Zaman Meiji ... 17

2.2 Pembangunan Jepang Modern ... 22

2.2.1 Bidang Politik ... 22

2.2.2 Bidang Sosial Dan Budaya ... 24

2.2.3 Bidang Kesusastraan ... 27

2.2.4 Bidang Ekonomi Dan Industri ... 28

2.2.5 Bidang Telekomunikasi ... 30

2.2.6 Bidang Militer ... 31

2.2.7 Bidang Hubungan Internasional ... 34


(6)

BAB III PENGARUH WESTERNISASI TERHADAP WANITA JEPANG

3.1 Peran Wanita Jepang Sebelum Restorasi Meiji ... 43 3.2 Peran Wanita Jepang Setelah Restorasi Meiji ... 54 3.3 Peran Wanita Jepang Setelah Perang Dunia II ... 62

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan ... 73 4.2 Saran ... 76

DAFTAR PUSTAKA ABSTRAK