Pengaruh Jam Kerja terhadap Fertilitas Pengaruh Usia Kawin Pertama terhadap Fertilitas

59 berpendapat bahwa “banyak anak banyak rezeki”. Kenyataan di lapangan menunjukkan hal yang betolak belakang dengan teori yang ada tentang pengaruh tingkat pendidikan terhadap fertilitas. Seperti yang dikatakan oleh Todaro 1994, semakin tinggi tingkat pendidikan istri atau wanita cenderung untuk merencanakan jumlah anak yang semakin sedikit, karena wanita yang telah mendapatkan pendidikan cenderung memperbaiki kualitas anak dengan cara memperkecil jumlah anak. Sehingga teori diatas terbantahkan oleh kenyataan yang ada bahwa tingkat pendidikan tidak memiliki pengaruh yang berlawanan terhadap tingkat fertilitas di Kota Lhokseumawe. Karena yang terlihat banyak responden yang tamatan SMA sederajat ke atas memiliki anak yang banyak.

4.3.3 Pengaruh Jam Kerja terhadap Fertilitas

Jam kerja memiliki koefisien regresi b 3 sebesar -0,157 yang menunjukkan pengaruh jam kerja bernilai negatif -. Dengan kata lain, koefisien regresi yang bernilai negatif menunjukkan bahwa bertambahnya jam kerja akan menurunkan tingkat fertilitas sebesar 0,157 jiwa di Kota Lhokseumawe dengan asumsi variabel yang lain dianggap konstan tetap. Jam kerja memiliki pengaruh negatif dan signifikan terhadap fertilitas dimana setiap jam kerja bertambah 1 jam per hari, maka fertilitas akan menurun, begitupun sebaliknya. Hal ini sesuai dengan hipotesis awal yang menyatakan bahwa jam kerja berpengaruh negatif terhadap tingkat fertilitas di mana setiap jam kerja bertambah maka fertilitas akan turun, begitupun sebaliknya. Hatmadji 1971 mengungkapkan bahwa terjadi hubungan negatif antara pekerja wanita dengan fertilitas. Wanita yang bekerja di luar rumah cenderung Universitas Sumatera Utara 60 memiliki anak lebih sedikit, sedangkan wanita yang mengurus rumah tangga mempunyai anak yang lebih banyak. Untuk kasus di Kota Lhokseumawe, jam kerja maksimum responden adalah bekisar antara 8 sampai 11 jam per hari dengan persentase 63. Hal ini menggambarkan bahwa hampir seharian responden menghabiskan waktunya di luar rumah untuk bekerja dan frekuensi untuk bertemu dengan suami pun berkurang, karena kesibukan kerja menyebabkan para ibu lelah dan waktu untuk beristirahat serta berkumpul bersama keluarga berkurang, karena itu tingkat fertilitas pun akan berkurang.

4.3.4 Pengaruh Usia Kawin Pertama terhadap Fertilitas

Usia kawin pertama memiliki koefisien regresi b 4 sebesar -0,070 yang menunjukkan pengaruh usia kawin pertama bernilai negatif -. Dengan kata lain, koefisien regresi yang bernilai negatif menunjukkan bahwa jika usia kawin pertama bertambah, maka akan menyebabkan turunnya tingkat fertilitas sebesar 0,070 jiwa di Kota Lhokseumawe dengan asumsi variabel yang lain dianggap konstan tetap. Usia kawin pertama memiliki pengaruh negatif dan signifikan terhadap fertilitas dimana setiap usia kawin pertama bertambah 1 tahun maka fertilitas akan menurun, begitupun sebaliknya. Hal ini sesuai dengan hipotesis awal yang menyatakan bahwa usia kawin pertama berpengaruh negatif terhadap tingkat fertilitas di mana setiap usia kawin pertama yang bertambah maka fertilitas akan turun begitupun sebaliknya. Universitas Sumatera Utara 61 Usia kawin pertama sangat berkaitan dengan tingkat fertilitas, karena usia kawin pertama menandakan dimulainya masa reproduksi wanita. Oleh karena itu semakin muda wanita mulai aktif secara seksual, maka semakin panjang masa reproduksinya dan semakin besar pula kemungkinan untuk memilki anak yang banyak. Umur kumpul pertama dikelompokkan menjadi ; ≤15 tahun, 16-17 tahun, 18-19 tahun, 20-29 tahun, dan 30+ tahun Israwati, 2009. Dan menurut hasil penelitian di lapangan, responden di Kota Lhokseumawe memiliki usia kawin pertama rata-rata adalah 23 tahun. Usia tersebut tergolong normal untuk wanita yang memulai rumah tangga baru.

4.3.5 Pengaruh Pemakaian Alat Kontrasepsi terhadap Fetilitas