Asas Kebebasan Berkontrak Asas-Asas Hukum Divestasi

penerobosan hukum kontrak oleh pemerintah, terjadi pergeseran hukum kontrak kebidang hukum publik. Melalui campur tangan pemerintah ini terjadi pemasyarakatan vermastchappelijking hukum kontrak. Negara membuat undang- undang dimaksudkan untuk melindungi ekonomi lemah. Campur tangan negara dalam bidang privat atau kontrak, yang dalam kepustakaan hukum, disebut proses sosialisering. Proses sosialisering menurut Sudikno Mertokusumo, “Proses campur tangan yang makin mendalam dari pemerintah maupun masyarakat. Terutama hal ini tampak dari pembatasan atau penggerogotan kebebasan berkontrak dan adanya ancaman hukuman. Ada gejala bergesernya hukum perdata kearah hukum publik. Tujuannya tidak lain untuk lebih melindungi kepentingan umum, sedangkan dari pihak perorangan dirasakan sebagai penggrogotan kebebasan berkontrak. Menurut sejarah, dulu kedudukan yuridis seseorang itu ditentukan oleh status so sialnya.” 18 Dalam divestasi saham yang telah diatur Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara, kebebasan berkontrak pemegang kontrak karya tidak dapat dilakukan secara mutlak. PT Freeport Indonesia tidak dapat lagi menawarkan saham yang dimiliknya kepada pihak lainnya secara bebas, kecuali kepada peserta Indonesia. Prioritas utama dalam hal membeli saham PT Freeport Indonesia yaitu Pemerintah Indonesia sendiri. Peluang pihak lain agar bisa membeli saham PT Freeport Indonesia harus dengan syarat jika Pemerintah Indonesia menyatakan ketidaksanggupan membeli saham yang ditawarkan.

3. Asas Konsensualisme

Asas konsensualisme menjadi salah satu prinsip dasar dalam divestasi saham. Asas konsensualisme memiliki hubungan erat dengan asas kebebasan berkontrak dan asas kekuatan mengikat yang terdapat di dalam Pasal 1320 jo 1338 Kitab Undang- 18 Salim HS, Erlies Septiana Nurbani, Hukum Divestasi Di Indonesia ; Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomer 2 SLKN-X2012, edisi revisi cetakan pertama, Jakarta : RajaGrafindo Persada, 2013, h. 20-21. Undang Hukum Perdata. Rujukan utama pada asas ini adalah saat terjadinya kesepakatan antara kedua belah pihak dan bentuk perjanjiannya, apakah dibuat dalam bentuk lisan atau tertulis. J.M van Dune dan Gr. Van der Burght menjelaskan hubungan antara perjanjian dengan asas konsensualisme “Perjanjian pada umumnya tidak diadakan secara formal. Ini berarti bahwa perjanjian itu lahir hanya karena adanya kesepakatankesamaan kehendak konsensus dari para pihak. Asas konsensualisme berkaitan dengan lahir perjanjiannya.” 19 Pendapat yang sama kemukakan oleh Salim HS, “Bahwa perjanjian yang dibuat oleh para pihak pada umumnya tidak diadakan secara formal, tetapi cukup dengan a danya kesepakatan kedua belah pihak.” 20 Asas konsensualisme dalam divestasi saham bidang pertambangan tidak terlepas kaitannya dengan kesepakatan antara para pihak, yaitu mengenai harga saham yang dilepaskan oleh badan hukum asing kepada pemerintah atau peserta Indonesia. Apabila dikaji lebih lanjut, kesepakatan para pihak tidak cukup dilakukan secara lisan, tetapi harus dengan kesepakatan tertulis yang tertuang dalam bentuk klausul perjanjian. Dalam perjanjian itu pula harus memenuhi pasal 1320. Asas konsesualisme yang terdapat dalam pasal 1320 angka 1 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tentang kesepakatan atau toestemming bahwa perjanjian itu telah lahir cukup dengan adanya kata sepakat, hendaknya tidak juga diinterpretasi semata- mata secara gramatikal dan terpaku sekedar mendasarkan pada kata sepakat saja tetapi syarat lain dalam pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. 21 19 J.M van Dune dan Gr. Van der Burght, Hukum Perjanjian. Diterjemahkan oleh Lely Niwan, Yogyakarta : Dewan Kerja Sama Ilmu Hukum Belanda dengan Indonesia Proyek Hukum Perdata, 1987, h. 7. 20 Salim HS, Hukum Kontrak Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, cetakan keempat, Jakarta :Sinar Grafika, 2006, h. 10. 21 Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian ; Asas Proporsionalitas Dalam Kontrak Komersial, cetakan kedua, Jakarta : Kencana, 2011, h. 122-123. Pelanggaran terhadap ketentuan ini akan mengakibatkan perjanjian itu tidak sah dan tidak mengikat sebagai undang-undang.

4. Asas Pacta Sunt Servanda

Asas pacta sunt servanda dapat juga disebut asas kepastian hukum. Pactum sunt servanda merupakan aturan umum dalam hukum internasional yang menyatakan bahwa perjanjian bersifat mengikat dan harus dilaksanakan. Dalam perkembangannya asas pacta sunt servanda diberi arti pactum yang berarti sepakat tidak perlu dikuatkan dengan sumpah dan tindakan formalitas lainnya, sedangkan nudus pactum sudah cukup dengan kata sepakat saja. 22 Asas ini menjadi prinsip hukum yang dijadikan dasar untuk mengukuhkan perjanjian yang mengikat negara penandatangan. Aturan seperti itu perlu diberikan agar masing-masing anggota masyarakat internasional dapat memikul tanggung jawab untuk memelihara perjanjian. 23 Dengan begitu kontrak yang telah disepakati para pihak secara otomatis memiliki kepastian hukum yang jelas, dan harus dilaksanakan layaknya undang-undang. Kekuatan mengikat dari sebuah kontrak menjadi faktor penting untuk menganalisis divestasi saham. Penerapan divestasi saham pada bidang pertambangan mungkin dinilai sebahagian ahli akan terhalang dengan adanya asas pacta sunt servanda. Namun dalam melaksanakan divestasi saham, asas pacta sunt servanda masih tetap menjadi pedoman dan dihormati dengan cara renegosiasi kontrak. Walau pada dasarnya terdapat asas pacta sunt servanda dalam kontrak, namun renegosiasi merupakan hal 22 Salim HS, Hukum Kontrak Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, cetakan keempat, Jakarta :Sinar Grafika, 2006, h. 10. 23 B.N. Marbun, Kamus Hukum Indonesia, edisi revisi cetakan pertama, Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 2009, h. 213.