Analisa Divestasi PT. Freeport Indonesia
ditawarkan melalui mekanisme pemilikan langsung atau melaui pasar modal dalam negri setelah 15 lima belas tahun sejak produksi secara komersial. Sedangkan pada Pasal 97
ayat 2 Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 2014 Tentang Perubahan ketiga Atas PeraturanPemerintah Nomor 23 Tahun 2010 Tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha
Pertambangan Mineral dan Batubara hanya menjelaskan divestasi ditawarkan kepada peserta Indonesia dan tidak dijelaskan mekanisme penawarannya. Berbeda dengan
muatan Pasal 97 ayat 2 PeraturanPemerintah Nomor 23 Tahun 2010 Tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara, pasal ini menjelaskan
penawaran divestasi hanya lewat penawaran langsung kepada peserta Indonesia. Mekanisme divestasi dinilai akan menentukan harga saham yang akan dilepaskan,
dan tentu ini akan memberatkan pihak pemegang saham. Perubahan mekanisme cara divestasi dari penawaran lewat pasar modal hingga penawaran secara langsung, menurut
penulis ini yang menjadi penyebab PT. Freeport Indonesia sampai sekarang belum melakukan divestasi saham sama sekali. Padahal sudah jelas Pasal 112 Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara dan Pasal 97 ayat 1 Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 2014 Tentang Perubahan ketiga Atas
PeraturanPemerintah Nomor 23 Tahun 2010 Tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara mewajibkan divestasi saham secara bertahap setelah
5 tahun berproduksi. Padahal mengenai besaran saham yang harus terdivestasi yang disesuaikan tahun produksi, metode, dan pemurnian hasil tambang sebenarnya sudah
sangat memberikan kemudahan kepada pihak pemegang IUP dan IUPK, yang disini khususnya pihak PT. Freeport Indonesia.
Jumlah saham yang harus didivestasi mengalami perubahan yang paling dominan sejak perubahan dari Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 hingga Peraturan
Pemerintah Nomor 77 Tahun 2014. Pasal 97 ayat 1 dan ayat 1a Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 Tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan
Batubara mengharuskan divestasi paling sedikit pada tahun kesepuluh adalah 51 lima puluh satu persen dengan rincian tahapan pada tahun keenam sebersar 20 dua puluh
persen, tahun ketujuh 30 tiga puluh persen, tahun kedelapan 37 tiga puluh tujuh persen, tahun kesembilan 44 empat puluh empat persen, dan tahun kesepuluh 51
lima puluh satu persen dari seluruh jumlah saham. Ketentuan dari peraturan pemerintah ini mengeneral kepada semua pihak asing pemegang IUP dan IUPK. Namun,
keberlakuan kepada semuanya tersebut berubah ketika terbit peraturan pemerintah yang baru khususnya Pasal 97 ayat 1a, ayat 1b, ayat 1c dan ayat 1d.
Rincian dan bentuk perubahan setelah adanya Pasal 97 ayat 1a, ayat 1b, dan ayat 1d Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 2014 Tentang Perubahan ketiga Atas
PeraturanPemerintah Nomor 23 Tahun 2010 Tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara, sebagai berikut :
a. Ayat 1a mewajibkan divestasi saham bagi pemegang IUP dan IUPK yang tidak melakukan sendiri kegiatan pengolahan danatau pemurnian, setelah akhir tahun
kelima sejak berproduksi paling sedikit pada tahun keenam 20 dua puluh persen, tahun ketujuh 30 tiga puluh persen, tahun kedelapan 37 tiga puluh tujuh
persen, tahun kesembilan 44 empat puluh empat persen, dan tahun kesepuluh 51 lima puluh satu persen dari jumlah seluruh saham.
b. Ayat 1b mewajibkan divestasi saham bagi pemegang IUP dan IUPK yang melakukan sendiri kegiatan pengolahan danatau pemurnian, setelah akhir tahun
kelima sejak berproduksi paling sedikit pada tahun keenam 20 dua puluh persen, tahun kesepuluh 30 tiga puluh persen, tahun kelimabelas 40 empat puluh
persen dari jumlah seluruh saham. c. Ayat 1c mewajibkan divestasi saham bagi pemegang IUP dan IUPK yang
melakukan kegiatan penambangan dengan menggunakan metode penambangan bawah tanah, setelah akhir tahun kelima sejak berproduksi paling sedikit pada tahun
keenam 20 dua puluh persen, tahun kesepuluh 25 dua puluh lima persen, dan tahun kelimabelas 30 tiga puluh persen dari jumlah seluruh saham.
d. Ayat 1d mewajibkan divestasi saham bagi pemegang IUP dan IUPK yang melakukan kegiatan penambangan dengan menggunakan metode penambangan
bawah tanah dan penambangan terbuka, setelah akhir tahun kelima sejak berproduksi paling sedikit pada tahun keenam 20 dua puluh persen, tahun kedelapan 25 dua
puluh lima persen, dan tahun kesepuluh 30 tiga puluh persen dari jumlah seluruh saham.
Peraturan Pemerintah yang baru ini sangat memudahkan PT. Freeport Indonesia dibandingkan jika harus mematuhi Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 Tentang
Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara. Besaran saham yang harus dilepas lewat transaksi divestasi PT. Freeport Indonesia akan jauh lebih sedikit. PT.
Freeport sebagai perusahaan tambang yang dalam teknik penambangannya menggunakan metode penambangan bawah tanah dan penambangan terbuka. Maka sudah dipastikan
PT. Freeport Indonesia tidak akan terkena kewajiban divestasi saham paling sedikit 51
lima puluh satu persen sebagaimana Pasal 97 ayat 1a Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 2014 Tentang Perubahan ketiga Atas PeraturanPemerintah Nomor 23 Tahun 2010
Tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara. Akan tetapi hanya dikenakan kewajiban sebagaimana diatur Pada Pasal 97 ayat 1d Peraturan
Pemerintah Nomor 77 Tahun 2014 Tentang Perubahan ketiga Atas PeraturanPemerintah Nomor 23 Tahun 2010 Tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan
Batubara. Setelah kontrak karya generasi V ditandatangani tahun 1991 komposisi modal PT.
Freeport Indonesia saat ini masih dikuasai saham mayoritasnya oleh pihak Freeport- McMoran Copper Gold Inc sebesar 81,28 delapan puluh satu koma dua puluh
delapan persen serta anak perusahaanya yaitu Indocopper Investama menguasai sebesar 9,36 sembilan koma tiga puluh enam persen dan sisanya 9,36 Sembilan koma tiga
puluh enam persen dipegang pihak pemerintah Indonesia. Padahal seharusnya, sejak tahun keenam produksi minimal divestasi sudah terlaksana 20 dua puluh persen,
tahun kedelapan 25 dua puluh lima persen, dan ditahun kesepuluh seharusnya sudah mencapai 30 tiga puluh persen saham dimiliki peserta Indonesia. Dan pada faktanya
aturan kewajiban divestasi sejak Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1994 tentang Persyaratan Pemilikan Saham Dalam Perusahaan Penanaman Modal Asing, hingga
diundangkan undang-undang baru mengenai pertambangan mineral dan batubara Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara
dengan peraturan pelaksana Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2012, dan yang paling baru Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 2014 PT. Freeport Indonesia belum
sama sekali melaksanakan kewajiban divestasi.
Rendahnya komitmen dari PT. Freeport Indonesia melakukan divestasi saham kepada peserta Indonesia menjadikan kewajiban divestasi saham sulit terealisasi . Aspek
ekonomis yang menjadi alasan logis bagi perusahaan yang berusaha menghindari kewajiban divesatasi. Kepemilikan saham yang berkurang akan berdampak pada
menurunnya keuntungan yang didapat. Selain itu, kelemahan kontrak karya yang dibuat semakin menyulitkan pemerintah untuk memaksa PT. Freeport menyepakati amandemen
klausul kontrak perihal divestasi. Menurut Ida Bagus Rahmadi Supancana yang dikutip Salim HS, penyebab kelemahan dari kontrak karya, karena :
2
a. Bahwa kontrak karya tidak menjelaskan bagaimana mekanisme divestasi, apakah melalui pasar modal atau melalui private placement dengan mengundang strategic
partner Partner strategis.
b. Ketentuan kontrak karya tidak menjelaskan peran pemerintah dalam proses divestasi. c. Tidak ada ketentuan tentang bagaimana kriteria dalam penentuan harga saham.
Meskipun menurut penulis aturan mengenai penyesuaian kontrak karya khususnya dalam kewajiban divestasi tidak jelas dan sebagai aturan yang ambigu.
Namun, dikarenakan legalitas divestasi saham sudah memiliki kekuatan hukum berdasarkan undang-undang dan peraturan pemerintah maka pihak pemerintah Indonesia
dan PT. Freeport Indonesia harus patuh terhadap kewajiban tersebut.
C. Konsekuensi Hukum Apabila PT. Freeport Indonesia Tidak Melaksanakan Ketentuan Kewajiban Divestasi
Pelaksanaan kewajiban divestasi tidak hanya membutuhkan pondasi atau dasar hukum yang jelas, akan tetapi peran dari pihak perusahaan dan pemerintah harus
2
Salim HS, Hukum Pertambangan Mineral dan Batubara, edisi pertama cetakan kedua, Jakarta : Sinar Grafika, 2014, h. 238.
komitmen serta konsekuen atas peraturan perundang-undangan yang ada. Namun sebagaimana analisa penulis terhadap kontrak karya, kewajiban divestasi, serta peraturan
perundang-undangan yang mengaturnya masih terdapat ketidakjelasan. Sehingga jika terjadi ketidakpatuhan terhdap aturan yang sudah diwajibkan pada undang-undang
tersebut tentu akan memunculkan kesulitan dalam menjatuhkan sanksinya. Dalam kasus ini, Pemerintah Indonesia tidak hanya selaku pemberi izin usaha
pertambangan namun juga menjadi bagian dari salah satu pihak dalam kontrak karya dan pemegang saham di PT. Freeport Indonesia. Perlu diketahui kontrak karya merupakan
perjanjian tertulis yang berbentuk perjanjian baku, yang dimana dalam perumusannya ditentukan pemerintah meskipun masih dimungkinkan dapat dirundingkan oleh para
pihak dalam menentukan ketentuan-ketentuan dalam klausul kontrak karya. Diperhatikan atas dasar-dasar tersebut, apabila kewajiban divestasi sebagaimana
diatur dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara dan Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 2014 Tentang Perubahan ketiga
Atas PeraturanPemerintah Nomor 23 Tahun 2010 Tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara tidak dipatuhi serta dilaksanakan maka penulis
berpendapat pihak yang dapat dikenakan sanksi tidak hanya PT. Freeport Indonesia melainkan pemerintah Indonesia juga sebagai pihak yang melanggar hukum Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Pemberian sanksi terhadap ketidakpatuhan dalam melaksanakan kewajiban
divestasi tidak jelas disebutkan oleh undang-undang. Menurut Pasal 119 huruf a Undang- Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara menyatakan
izin usaha pertambanga IUP dan izin usaha pertambangan khusus IUPK dapat dicabut
oleh menteri, gubernur, bupatiwalikota apabila pemegang izin tersebut tidak memenuhi kewajiban yang ditetapkan dalam IUP dan IUPK serta peraturan perundang-undangan
yang berlaku. Konsekuensi hukum yang digunakan dalam Pasal 119 huruf a Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara adalah sanksi administratif. Esensi sanksi administratif dalam hukum pertambangan yaitu sanksi yang
dijatuhkan oleh pemberi izin terhadap pemegang IPR, IUP, dan IUPK yang disebabkan karena melakukan pelanggaran terhadap subtansi izin dan ketentuan perundang-undangan
yang berlaku.
3
Bentuk dari sanksi administratif dapat berupa : a. Peringatan tertulis
b. Penghentian kegiatan kegiatan eksplorasi atau operasi produksi c. Pencabutan izin
Kewajiban divestasi berdasarkan Pasal 112 ayat 1 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara belum dilaksanakan oleh PT.
Freeport Indonesia dan pemerintah Indonesia. Yang dilanggar dalam pasal ini adalah karena setelah 5 lima tahun berproduksi, pemegang izin usaha pertambangan yang
dimiliki asing tidak melakukan divestasi saham kepada pemerintah, pemerintah daerah, badan usaha milik nasional, badan usaha milik daerah, atau badan usaha swasta nasional.
Maka PT. Freeport Indonesia dapat dikenakan sanksi administratif karena ketidakpatuhannya terhadap kewajiban undang-undang. Selain itu, pemerintah yang
notabene sebagai pihak dalam kontrak karya, dan subjek dari hukum divestasi saham
3
Salim HS, Hukum Pertambangan Mineral dan Batubara, edisi pertama cetakan kedua, Jakarta : Sinar Grafika, 2014, h. 268.
tidak dapat melaksanakan fungsinya serta menjalankan kewajiban divestasi tepat waktu sesuai undang-undang.
Meskipun sebagaimana argumentasi dan analisa penulis menganggap Pemerintah sebagai salah satu pihak yang melanggar dan tidak mematuhi amanat undang-undang,
namun dalam hal ini tidak jelas sanksi apa yang dapat dikenakan kepada pemerintah sebagaimana yang dapat dikenakan kepada pihak PT. Freeport Indonesia. Karena pada
prinsipnya, dalam tindakan hukum sanksi administratif dimana perusahaan lalai dan tidak menunaikan kewajiban undang-undang maka administrasi negara dapat mengenakan
sanksi hukum administrasi negara terhadapnya secara langsung tanpa perantaraan pengadilan negri. Sebaliknya jika pihak pemerintah yang tidak menunaikan amanat
undang-undang dalam hal kewajiban divestasi, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara tidak mengaturnya.
Kewajiban divestasi saham bisa saja tidak terlaksana karena faktor pihak peserta Indonesia yang khususnya pemerintah Indonesia tidak berminat membeli saham yang
didivestasi. Seperti yang tertuang dalam Pasal 97 Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 2014 Tentang Perubahan ketiga Atas PeraturanPemerintah Nomor 23 Tahun 2010
Tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara : a. Ayat 7b menjelaskan jika Pemerintah tidak berminat terhadap penawaran divestasi
saham atau tidak ada jawaban dari Pemerintah dalam jangka waktu 60 enam puluh hari kalender maka akan ditawarkan kepada pemerintah provinsi dan pemerintah
kabupatenkota.
b. Ayat 8 menjelaskan jika pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupatenkota tidak berminat untuk membeli divestasi saham, maka saham ditawarkan kepada BUMN
dan BUMD dengan cara lelang. c. Ayat 8b Dalam hal BUMN dan BUMD tidak berminat untuk membeli divestasi
saham, maka saham ditawarkan kepada badan usaha swasta nasional dengan cara lelang.
d. Pada ayat 11 Apabila divestasi saham tidak tercapai, penawaran saham dilakukan pada tahun berikutnya.
Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 2014 Tentang Perubahan ketiga Atas PeraturanPemerintah Nomor 23 Tahun 2010 Tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha
Pertambangan Mineral dan Batubara memungkinkan divestasi saham tidak terlaksana sesuai Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan
Batubara. Padahal Pasal 112 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara menjelaskan jika divestasi wajib dilakukan. Dalam
hal ini, antara Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 2014 Tentang Perubahan ketiga Atas PeraturanPemerintah Nomor 23 Tahun 2010 Tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha
Pertambangan Mineral dan Batubara dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara terdapat hukum yang tidak sinkron. Secara
hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia sesuai Pasal 7 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan
menjelaskan jika undang-undang memiliki kekuatan hukum lebih utama daripada peraturan pemerintah. Meskipun belum ada pengujian yang dilakukan Mahkamah agung
terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 2014 Tentang Perubahan ketiga Atas
PeraturanPemerintah Nomor 23 Tahun 2010 Tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara yang bertentangan dengan Undang-Undang Nomor
4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, namun analisa penulis sebagai akademisi beragumentasi bahwa antara peraturan perundang-undangan tersebut
bertentangan. Analisa-analisa yang telah dikemukakan penulis dengan argumentasi yang
berdasarkan legalitas hukum, maka pada kasus tidak dilaksanakannya divestasi saham PT.Freeport Indonesia banyak faktor yang menyebabkannya. Pihak yang tidak mematuhi
dan melaksanakan amanat Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara tidak hanya PT. Freeport saja melainkan pihak pemerintah
Indonesia juga berandil besar. Pemerintah tidak tegas dan kurang berkomitmen dalam melaksanakan amanat undang-undanga pertambangan mineral dan batubara.