26 kelompok siswa tertentu, atau sekolah tertentu, yang dimaksudkan untuk
membentuk keunggulan.
2.2.5 Link and Match dalam Wawasan Profesionalisme
Sikap profeionalisme adalah sesuatu yang tertanam di dalam diri seseorang yang mempengaruhi perilaku : peduli kepada mutu tidak asal jadi; bekerja cepat,
tepat dan efisien, diawasi ataupun tidak diawasi orang lain; menghargai waktu; dan menjaga reputas. Sikap semacam ini adalah karakter tenaga kerja yang disukai dan
diperlukan dunia industri Indonesia. Pembentukan sikap profesional bukanlah sesuatu yang mudah, tidak bisa diajarkan dengan metode ceramah memberikan pengertian
dan pemahaman saja. Sikap profesional hanya dapat dibentuk melalui proses pembiasaan yang memerlukan waktu lama sampai kebiasaan itu terinternalisasi
dengan nilai-nilai yang dianggap baik dan menguntungkan bagi dirinya. Wawasan profesionalisme sesuai dengan kebijakan link and match mengharapkan SMK mampu
menghasilkan tamatan yang memiliki sikap profesional. Untuk itu, waktu belajar siswa SMK selama tiga tahun, harus dapat digunakan membentuk kebiasaan yang
berwawasan profesional. Setting sekolah, iklim belajar mengajar, dan sistem nilai, harus mimpi dengan yang ada di industri. SMK harus diprogram sehingga mampu
berfungsi sebagai pusat pengembangan budaya industri, antara lain dengan : a.
Guru yang ada di sekolah, harus mampu menampilkan dirinya sebagai contoh orang yang bersikap profesional.
Universitas Sumatera Utara
27 b.
Manajemen sekolah harus mampu menciptakan iklim organisasi sekolah, performa belajar mengajar, dan suasana kehidupan di sekolah mirip dengan yang
ada di industri.
2.2.6 Link and Match dalam Wawasan Nilai Tambah
Wawasan nilai tambah sesuai dengan kebijakan link and match, menuntun SMK berproses dan sekaligus menghasilkan tamatan yang berwawasan nilai tambah.
Untuk ini SMK perlu memperhatikan hal-hal sebagai berikut : a.
Kualitas seorang tamatan SMK dibandingkan kualitas yang bersangkutan pada saat masuk ke SMK tiga tahun sebelumnya, harus memberikan nilai tambah
yang berarti significant. Seandainya siswa tersebut tidak masuk ke SMK dan menganggur tidak bekerja, dibandingkan bila masuk SMK ternyata setelah
tamat juga hanya menganggur, maka proses pendidikan selama tiga tahun di SMK tidak memberinya nilai tambah.
b. Kualitas barang atau jasa produk tamatan SMK, harus menunjukkan kualitas yang
lebih tinggi dibandingkan dengan kualitas barang atau jasa yang dihasilkan oleh seseorang yang tidak mengenyam pendidikan atau pelatihan di SMK.
c. Dengan kemampuan yang dimiliki oleh seorang tamatan SMK, yang
bersangkutan harus mampu membuat pilihan, dan kemampuan untuk memilih serta mengerjakan pekerjaan yang memberi nilai tambah lebih tinggi.
Wawasan nilai tambah ini masih sesuatu yang baru dan belum banyak dipahami oleh kalangan pendidikan kejuruan di Indonesia. Sehingga masih sering
Universitas Sumatera Utara
28 terjadi, untit produksi SMK teknologi STM mengerjakan pekerjaan pagar besi
dengan nilai tambah yang rendah, padahal sekolah tersebut mempunyai mesin bubut, mesin frais, dan mesin CNC yang sebenarnya dapat memberi nilai tambah yang jauh
lebih tinggi. Selain itu, benda hasil kerajinan produk SMK belum menunjukkan kualitas lebih baik dibandingkan dengan hasil kerajinan masyarakat yang tidak
mengikuti pendidikan, dan kenyataan seperti ini belum dipahami oleh SMK sebagai suatu masalah.
2.2.7 Link and Match dalam Wawasan Efisiensi