Politik Multikulturalisme (Studi Analisis Pada Struktur Pemerintahan Kota Pematangsiantar)

(1)

Pedoman Wawancara:

1. Bagaimana penilaian Anda terhadap perkembangan politik di Kota Pematangsiantar? 2. Bagaimana penilaian Anda terhadap kondisi politik di Kota Pematangsiantar ditengah

keberagaman etnis dan agama?

3. Seberapa penting politik multikultural dilakukan?

4. Bagaimana implementasi politik multikultural di lingkungan Pemko Pematangsiantar? 5. Mengapa jumlah etnis Batak Toba dan Batak Simalungun lebih banyak mengisi

pos-pos/jabatan di struktur Pemko Pematangsiantar?

6. Dan mengapa etnis lainnya seperti Mandailing, Nias dan lain-lain sedikit menduduki jabatan di struktur Pemko Pematangsiantar?

7. Apakah faktor etnis dan agama mayoritas menjadi pilihan utama?

8. Bagaimanakah sistem perekrutan pejabat di Pemko Pematangsiantar? Apakah berdasarkan profesionalitas kerja atau berdasarkan perwakilan mayoritas/minoritas? 9. Bagaimana kedudukan masyarakat minoritas di dalam susunan birokrasi

pemerintahan?

10.Bagaimana partisipasi politik masyarakat minoritas dalam kegiatan Pemko Pematangsiantar?

11.Apakah yang sudah dan akan dilakukan pemerintah dalam politik multikultural bagi kaum minoritas, adakah tindakan khusus yang dilakukan?


(2)

A. Kepada Kepala Daerah – Hulman Sitorus, S.E

1. Bagaimana penilaian anda terhadap perkembangan politik dikota pematangsiantar? Perkembangan politik dikota pematangsiantar sangat dinamis, dimana tingkat kepedulian dan partisipatif masyarakat sangat tinggi dan dinamikanya juga sangat tinggi. Sehingga Dinamika Politik di Siantar terkenal dengan “ yang tidak mungkin terjadi, bisa menjadi mungkin terjadi “

2. Bagaimana penilaian anda terhadap kondisi politik dikota pematangsiantar ditengah keberagaman etnis dan agama?

Tujuan politik adalah untuk mencapai kekuasaan, oleh karenanya hal yang wajar dalam strategi para elit politik memakai pendekatan etnis dan agama dalam pencapaian kemenangan merebut kekuasaan, namun dalam beberapa kali pelaksanaan Pemilu maupun Pemilihan Kepala Daerah tidak begitu efektif. Sebagai contoh dalam pemilihan anggota DPRD maupun Kepala Daerah, Jika memakai logika dalam pemilihan legislative maka perwakilan di DPRD tersebut dengan jumlah 30 anggota Dewan, untuk calon muslim yang terpilih idealnya minimal 13 kursi, namun relitanya lain, begitu juga dalam pemilihan KDH.

3. Seberapa penting politik multikultural dilakukan?

Sangat penting, karena politik multikultural lebih dapat diterima oleh masyarakat. 4. Bagaimana implementasi politik multikultural dikota pematangsiantar?

Politik multikultural selalu menjadi pemenang.

5. Bagaimana hubungan masyarakat mayoritas dan minoritas dikawasan kota pematangsiantar?

Sangat Harmonis dan sulit untuk dipecah belah.

6. Bagaimana peran masyarakat beda etnis dalam komposisi eksekutif?

Sangat kritis, secara prinsip masyarakat sangat berharap adanya cerminan keseimbangan etnis dan agama dalam komposisi eksekutif meskipun hal tersebut tidak selalu menjadi dominan, namun tetap menjadi harapan.


(3)

7. Bagaimana peran dan program pemerintah dalam politik multikultural khususnya dalam persamaan kesempatan dan peluang dalam partisipasi politik dikota pematangsiantar?

Pemerintah secara nasional dan diikuti secara khusus di daerah sangat begitu baik dan tersistem dimana tetap mengedepankan persamaan semua hak dan kewajiban yang sama bagi setiap warga masyarakat dan warga bangsa serta menjamin kebebasan hak konstitusi dari warga negara Indonesia sebagaimana diatur dalam perundangan-undangan negara.

8. Bagaimana sistem perekrutan pejabat dipemko pematangsiantar ? apakah berdasarkan profesionalitas kerja atau berdasarkan perwakilan mayoritas/minoritas?

Sepengetahuan saya ya, karena tetap melakukan perekrutan dengan mengedepankan fit and profer tes yang dilaksanakan oleh tim baperjakat yang ada di BKD termasuk menempatkan calon pejabat yang sudah mengetahui secara jelas Tupoksi yang akan dilakukan guna menyelaraskan program kinerja pemerintah daerah dalam mewujudkan pembangunan sesuai dengan visi misi daerah kota Pematangsiantar Siantar Mantap, Maju dan Jaya.

9. Bagaimana kondisi masyarakat minoritas didalam susunan birokrasi pemerintah? Kota siantar ini unik, bagi kalangan minoritas katakanlah salah satunya suku Tionghoa, mereka ini mayoritas jarang yang ada mau duduk dibirokrasi (PNS) mereka lebih cenderung ke dunia bisnis/perdanganan dan jika adapun satu dua orang mereka juga diperlakukan secara sama dengan yang lain sepanjang mempunyai kemampuan serta persyaratan yang lengkap sebagaimana mekanisme yang berlaku dan sesuai aturan yang ada tetap punya kesempatan.

10.Bagaimana kondisi masyarakat minoritas ditengah-tengah masyarakat mayoritas? Siantar adalah kota yang paling toleran secara nasional, oleh karenanya patut diapreasiasi bahwa keberagaman etnis, suku dan budaya sudah membaur dan terjalin dengan baik didiri warga kota siantar sehingga antara minoritas dab mayoritas sudah tidak nampak ada perbedaan yang signifikan dimana rasa toleranasi juga sudah sangat baik dimana hal ini dapat kita lihat dalam aktifitas masyarakat di kota siantar yang


(4)

11.Bagaimana partisipasi politik masyarakat minoritas dalam kegiatan pemko siantar? sangat baik, dimana mereka juga sangat memberikan andil pembangunan dan kemajuan kota ini termasuk pemahaman politik juga sudah sangat baik, hal ini dapat dilihat dari beberapa kali pemilu diwaktu lalu bahwa partisipasi masyarakat minoritas juga sangat mau peduli ikut serta dalam kegitan dimaksud dan malah ada yang langsung aktif ikut dalam kepanitian.

12.Apakah yang sudah dan akan dilakukan pemerintah dalam politik multikultural bagi kaum minoritas, adakah tindakan khusus yang dilakukan ?

saya rasa perlakuan politik multikultural disiantar ini tidak ada pembedaan antara minoritas dan mayoritas, semuanya mempunyai hak dan kewajiban yang sama terkhusus dalam hal politik sama-sama mempunyai kesempatan yang sama.


(5)

B. Kepada Wakil Kepala Daerah – Drs. Koni Ismael Siregar

1. Bagaimana penilaian Anda terhadap perkembangan politik di Kota Pematangsiantar?

Perkembangan politik pada saat ini masih bagus, karena kondusifitas politik yang ada di Kota Pematangsiantar masih terjaga dengan baik.

2. Bagaimana penilaian Anda terhadap kondisi politik di Kota Pematangsiantar ditengah keberagaman etnis dan agama?

Sangat baik, hal ini dapat dilihat dari sikap toleransi antar agama dan etnis yang ada di Kota Pematangsiantar. Sampai saat ini sara atau bentrok antar agama dan etnis tidak pernah terjadi, dan harus kita akui stabilitas politik di Pematangsiantar sangat baik, dan diharapkan ini menjadi contoh buat daerah lain di Sumatera Utara. 3. Seberapa penting politik multikultural dilakukan?

Sangat penting, karena multikutural merupakan salah satu persyaratan agar stabilitas dan kondusifitas di Kota Pematangsiantar tetap terjaga, multikultural ini juga tidak menjadikan perbedaan antara agama dan etnis yang ada, melainkan sebagai perekat. Multikultural ini saya lihat juga sebagai penguatan antar agama dan etnis.

4. Bagaimana implementasi politik multikultural di lingkungan Pemko Pematangsiantar?

Berkaitan dengan implementasi politik multikultural dari sudut struktural pemerintahan Kota Pematangsiantar, dimana seseorang yang memiliki prestasi kerja di struktur pemerintahan sangat diperhatikan. Jadi tidak ada diskriminasi antar agama dan etnis, kalau memang prestasi kerjanya baik, dia layak untuk diperhitungkan.

5. Mengapa jumlah etnis Batak Toba dan Batak Simalungun lebih banyak mengisi pos-pos/jabatan di struktur Pemko Pematangsiantar?

Memang tidak bisa dipungkiri bahwa sampai hari ini struktur jabatan di Pemko Pematangsiantar di dominasi oleh Batak Toba. Tapi pada awalnya etnis yang mendominasi adalah etnis Simalungun, tapi mungkin ada perpindahan pejabat dari daerah lain dan memiliki prestasi, maka di promosikan ke dalam lingkungan Pemko Pematangsiantar. Jumlah penduduk Batak Toba di Pematangsiantar yang merupakan etnis terbanyak menjadi salah satu alasan juga.


(6)

Mengenai sedikit atau banyaknya etnis lain diluar etnis mayoritas dalam hal menduduki jabatan, ini tergantung pemimpinnya, dalam hal ini walikota dan wakil walikota. Sampai saat ini struktur pemerintahan di Kota Pematangsiantar masih merangkul dan merekrut etnis-etnis lainnya.

7. Apakah faktor etnis dan agama mayoritas menjadi pilihan utama?

Sebaiknya tidak demikian, tapi timbul memang kalau pemimpin itu lebih memperhatikan dan merangkul sukunya. Karena dia merasa itu merupakan bagian dari kulturnya, tapi tetap saja tidak terlepas dari kinerja dan prestasi pegawai itu sendiri. Jangan asal milih tapi tidak memenuhi syarat untuk mengisi jabatan. Selain faktor etnis, faktor agama juga menjadi pertimbangan, kalau misalnya pemimpin tersebut seorang, tidak dapat dipungkiri dia akan lebih memilih yang seagama dengannya. Jadi terkadang yang tidak seetnis dengan pemimpin merasa di “anak tirikan” atau tidak diberdayakan.

8. Bagaimanakah sistem perekrutan pejabat di Pemko Pematangsiantar? Apakah berdasarkan profesionalitas kerja atau berdasarkan perwakilan mayoritas/minoritas?

Kalau terkait dengan sistem perekrutan pejabat atau promosi jabatan terdiri dari sistem karir dan prestasi kerja. Tetapi di Kota Pematangsiantar sistem ini bisa dibilang belum terlaksana dengan baik dan tidak berpedoman pada aturan dan peraturan. Artinya seseorang itu dilihat gak prestasinya atau kinerjanya, jangan kesannya jadi suka-suka. Nah ini juga berkaitan dengan etnis dan agama tadi, yang tidak pantas menduduki jabatan tersebut, malah mendudukinya hanya karena kesamaan etnis dan agama dengan pemimpinnya, ini bukan hal yang bagus. Jadi kedepannya pemimpin harus memperhatikan pejabat yang ingin dipromosi berdasarkan prestasi kerja, pendidikan, pengalaman, loyalitas dan lain sebagainya. 9. Bagaimana kedudukan masyarakat minoritas di dalam susunan birokrasi

pemerintahan?


(7)

10.Bagaimana partisipasi politik masyarakat minoritas dalam kegiatan Pemko Pematangsiantar?

Mereka ini tetap ikut berkiprah membangun Kota Pematangsiantar dan tiap-tiap etnis minoritas ini memiliki paguyuban, dan sampai saat ini mereka ikut berpartisipasi dalam membangun Kota Pematangsiantar.

11.Apakah yang sudah dan akan dilakukan pemerintah dalam politik multikultural bagi kaum minoritas, adakah tindakan khusus yang dilakukan?

Sebaiknya pemerintah Kota Pematangsiantar memperhatikan kaum minoritas, karena ini merupakan aset dan peduli dengan perkembangan Kota Pematangsiantar. Kalau dia mendiami Siantar, berarti dia aset yang harus diperhatikan oleh pemerintah Kota Siantar.


(8)

C. Kepada Anggota DPRD – Arapen Ginting (51 Tahun)

1. Bagaimana penilaian Anda terhadap perkembangan politik di Kota Pematangsiantar? Perkembangan politik sudah berjalan dengan baik. Dari Pemerintah Kota sudah berusaha meningkatkan perubahan-perubahan yang nyata. Selain itu sinergitas antara eksekutif dengan legislatif juga telah dibangun untuk memaksimalkan program kerja pemerintah Kota Pematangsiantar.

2. Bagaimana penilaian Anda terhadap kondisi politik di Kota Pematangsiantar ditengah keberagaman etnis dan agama?

Keberagaman etnis dan agama di Kota Pematangsiatar tentu sedikit banyak berpengaruh terhadap kondisi politik, namun keberagaman ini hendaknya tidak digunakan sebagai alat untuk mengkotak-kotakkan masyarakat di periode-periode pemilihan.

3. Apa yang sudah dan akan dilakukan pemerintah legislatif terkait politik multikultural? Tentunya pemerintah legislatif tidak menutup kemungkinan kepada seluruh masyarakat dari lintas etnis dan agama karena memang sudah seharusnya kapasitas dan kompetensi yang diutamakan.

4. Bagaimana partisipasi masyarakat minoritas dalam mencalonkan diri menjadi anggota legislatif?

Masyarakat minoritas dalam mencalonkan pemilihan legislatif sangat minim karena kebanyakan dari mereka sekedar memikirkan hidup aman sudah lebih dari cukup dan juga banyak terlibat di tim pemenangan salah satu calon tertentu. Selain itu cost politic yang cukup besar menjadi perhatian khusus.


(9)

5. Apabila ada yang mencalonkan dari masyarakat minoritas, apa yang menjadi motivasi masyarakat untuk mengikuti pencalonan?

Dari calon yang ada sepertinya mereka lebih mengarah kepada peningkatan taraf hidup mereka yang minoritas. Atau bisa dibilang mereka yang mencalonkan ingin menaikkan taraf etnis mereka.

6. Bagaimana penilaian anggota legislatif terhadap kinerja pemerintah kota Pematangsiantar terkait partisipasi politik masyarakat minoritas dalam politik miltikultural?

Sejauh ini memang tidak ada program khusus dari pemerintah. Akan tetapi selaku pelaksana pemerintahan mereka harus memberikan perhatian kepada etnis minoritas di Kota Pematangsiantar. Akan tetapi yang saya lihat, tetap berjalan dengan baik, karena belum pernah ada tindakan diskriminasi terhadap etnis minoritas.


(10)

D. Tokoh Masyarakat – Russel Sipayung (60 Tahun)

1. Bagaimana penilaian Anda terhadap perkembangan politik di Kota Pematangsiantar? Politik di Kota Pematangsiantar bisa dikatakan sudah berjalan dengan cukup baik, dengan terus berkembangnya terobosan-terobosan yang sudah dilakukan baik dari aparatur pemerintah kota dan juga perkembangan yang terjadi di masyarakat.

2. Bagaimana penilaian Anda terhadap kondisi politik di Kota Pematangsiantar ditengah keberagaman etnis dan agama?

Kita tahu bahwa komposisi penduduk di Kota Pematangsiantar terdiri dari beberapa etnis dan agama, dan hal ini tentu saja memberikan dampak pada kondisi politik di Kota Pematangsiantar. Akan tetapi yang saya lihat keberagaman ini perpolitikan di Kota Pematangsiantar lebih berwarna.

3. Apakah politik multikultural sudah dilaksanakan dengan baik oleh pemerintah Kota Pematangsiantar?

Saya rasa sudah dilaksanakan dengan baik, hal ini dibuktikan dengan adanya suku lain diluar suku mayoritas yang menduduki jabatan baik di pemerintahan eksekutif maupun legislatif, dan tentunya menurut saya sesuai dengan kemampuan dan profesionalitas kerja yang dia miliki.

4. Apakah politik multikultural memberikan peluang bagi masyarakat minoritas untuk memperoleh jabatan di pemerintahan eksekutif?

Seperti yang saya katakan tadi bahwa baik mayoritas maupun minoritas memiliki peluang yang sama dalam memperoleh jabatan di pemerintahan eksekutif, asalkan memenuhi kriteria untuk menduduki jabatan tersebut.

5. Apa yang menyebabkan masyarakat minoritas minim peran dalam pemerintahan baik eksekutif maupun legislatif?

Keinginan dari masyarakat minoritas sendiri yang kurang tertarik dalam pencalonan pemilihan, selain itu kemampuan finansial untuk mencalonkan juga menjadi


(11)

E. Masyarakat Minoritas –

1. Bagaimana penilaian Anda terhadap kondisi politik di Kota Pematangsiantar?

Sampai sejauh ini kondisi politik di Kota Pematangsiantar aman dan saya rasa mengalami peningkatan, terlebih disaat periode-periode pemilihan, terlihat dari antusias masyarakat yang semakin tinggi dan tidak dapat dipungkiri dapat menjadi tambahan pendapatan bagi masyarakat kecil.

2. Bagaimana penilaian Anda akan kenyamanan bertempat tinggal di Kota Pematangsiantar selama ini?

Walaupun saya berasal dari kalangan minoritas, tetapi tingkat kenyamanan di daerah tempat saya tinggal sangat aman dan juga saling menghargai satu dengan yang lain. 3. Bagaimana penilaian Anda akan partisipasi politik masyarakat minoritas di Kota

Pematangsiantar?

Kalau berbicara mengenai partisipasi politik, saya rasa sudah mengalami peningkatan dibanding masa sebelumnya. Akan tetapi masyarakat minoritas pada umumnya masih lebih tertarik menjadi tim sukses kandidat daripada terjun menjadi kandidat.

4. Apa yang menyebabkan tingkat partisipasi politik masyarakat minoritas di Kota Pematangsiantar tergolong rendah?

Hal ini dikarenakan keinginan masyarakat sendiri yang kurang tertarik untuk terjun dalam pencalonan, selain itu kemampuan finansial jadi pertimbangan yang sangat penting.


(12)

Keterangan wawancara:

1 Wawancara dengan mantan Walikota Pematangsiantar Bapak Hulman Sitorus, dilakukan pada tanggal 25 Januari 2016 pukul 15.00 WIB di kediaman pribadi beliau, Kota Pematangsiantar.

2 Wawancara dengan mantan Wakil Walikota Pematangsiantar Bapak Koni Ismael Siregar, dilakukan pada tanggal 11 April 2016 pukul 15.00 WIB di salah satu rumah makan di Kota Medan.

3 Wawancara dengan anggota DPRD Kota Pematangsiantar periode 2014-2019 Bapak Arapen Ginting, dilakukan pada tanggal 26 Januari 2016 pukul 10.00 WIB di kediaman pribadi beliau, Kota Pematangsiantar.

4 Wawancara dengan Tokoh Masyarakat Etnis Simalungun Bapak Russel Sipayung, dilakukan pada tanggal 26 Januari 2016 pukul 16.00 WIB di kediaman pribadi beliau, Kota Pematangsiantar.

5 Wawancara dengan Tokoh Agama Bapak Pendeta Robert, dilakukan pada tanggal 24 Januari 2016 pukul 16.00 di kediaman pribadi beliau, Kota Pematangsiantar. 6 Wawancara dengan masyarakat sipil etnis mayoritas (Simalungun) Bapak Carlos

Purba, dilakukan pada tanggal 27 Januari 2016 pukul 14.00 WIB, di kediaman pribadi beliau, Kota Pematangsiantar.

7 Wawancara dengan masyarakat sipil etnis minoritas (Minang) Bapak Aprijal Koto, dilakukan pada tanggal 27 Januari 2016 pukul 10.00 WIB, di kediaman pribadi beliau, Kota Pematangsiantar.


(13)

DAFTAR PUSTAKA Buku:

Agger, Ben. 2005. Teori Sosial Kritis: Kritik, Penerapan dan Implikasinya. Yogyakarta: Kreasi Wacana.

Azyumardi, Azra. 2007. Identitas dan Krisis Budaya, Membangun Multikulturalisme di Indonesia. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Bakker SJ. J.W.M. 1984. Filsafat Kebudayaan Sebuah Pengantar. Yogyakarta:

Kanisius.

Budiarjo, Miriam. 2008. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT Gramedia PustakaUtama.

Danin, Sudarwan. 2002. Menjadi Peneliti Kualitatif ; Ancangan Metodologi, Presentasi dan publikasi hasil penelitian untuk mahasiswa dan peneliti pemula bidang ilmu-ilmu sosial, pendidiakan dan humaniora. Bandung: Pustaka Setia.

Gaus, Gerald F dan Kukathas Chandran. 2012. Handbook Teori Politik. Jakarta: Nusa Media.

Machfud, Choirul. 2005. Pendidikan Multikultural. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Moleong, Lexy J. 1994. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja

Rosdakarya.

Nawawi, Hadari. 1987. Metodologi Penelitian Bidang Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Gajahmada University Press.

Purwasito, Andrik. 2002. Komunikasi Multikultural. Solo: Muhammadiyah University Press.

Putra, I Nyoman Darma. 2008. Bali Dalam Kuasa Politik. Denpasar: Arti Foundation.

Satori, Akhmat. 2012. Merajut Masyarakat Multikultural dalam Bingkai Otonomi Daerah.

Simanjuntak, Bungaran. 2006. Struktur Sosial dan Sistem Politik Batak Toba. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.


(14)

Tilaar, H.A.R. 2004. Multikulturalisme: Tantangan-Tantangan Global Masa Depan Dalam Transformasi Pendidikan Nasional. Jakarta: Grasindo. Prof. Drs. S. Pamudji, MPA. 1993. Kepemimpinan Pemerintahan di Indonesia.

Jakarta. Bumi Aksara Jakarta. Jurnal :

Lubis, Nur A. Fadhil. 2006. “Multikulturalisme Dalam Budaya”, Jurnal Antropologi Sosial Budaya, ETNIVISI. Vol II. No. 1 April 2006.

Sudharto. 2012. ”Multikulturalisme Dalam Perspektif Empat Pilar Kebangsaan”, Jurnal ilmiah CIVIS, Volume II, No 1, Januari 2012.

A Hogg, Michael. 2004. The Social Identity Prespective: Intergroup Relation. Self-Conception, and Small Group Research, Vol 35 No. 3 June 2004. (Sage Publication, 2004).

Hatta, Prof. Dr. Meutia F. 2006. Jurnal Antropologi Sosial Budaya ETNOVISI Vol II No. 1.

Dwiatmadja, Christantius, dkk. 2011. Menyama Braya (Studi Perubahan Masyarakat Bali) Multikulturalisme Dalam Perspektif Teori. Fakultas Teologi UKSW.

Hanum, Farida dan Setya Raharja. 2011. Jurnal Penelitian Ilmu Pendidikan: Pengembangan Model Pembelajaran Pendidikan Multikultural Menggunakan Modul Sebagai Suplemen Pelajaran IPS di Sekolah Dasar, Volume 04 No. 2.

Wattimena, Reza A.A. 2011. Menuju Indonesia Yang Bermakna: Analisis Tekstual-Empiris Terhadap Pemikiran Charles Taylor Tentang Politik Pengakuan dan Multikulturalisme, Serta Kemungkinan Penerapannya di Indonesia. Studia Philosophica et Theologica, Vol 11 No 1.

Kamal, Muhiddinur. 2013. Pendidikan Multikultural Bagi Masyarakat Indonesia Yang Majemuk: Jurnal Al-ta’lim, Jilid 1 No 6.

Undang-undang:

Undang-Undang Dasar 1945 pasal 32 tentang Keberagaman di Indonesia. Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.


(15)

Situs Internet:

http://www.academia.edu/8586020/Istilah_dalam_Politik_Multikulturalisme, Dhena, diakses tanggal 8 Juli 2015, pukul 17.40 WIB.


(16)

BAB III

ANALISIS POLITIK MULTIKULTURALISME DI KOTA PEMATANGSIANTAR

Multikulturalisme adalah sikap dan paham yang menerima adanya berbagai kelompok manusia yang memiliki kultur dan struktur yang berbeda. Perbedaan ini bukanlah ancaman atas keberadaannya baik secara individu amupun kelompok, meskipun bukan berarti dia mau mengadopsi dan menganggap kultur pihak lain itu sama baiknya dengan kultur entisnya sendiri.24

Sementara itu menurut Parekh dalam Farida Hanum dan Setya Raharja, pengertian multikulturalisme meliputi tiga hal yaitu: 1) multikulturalisme berkenaan dengan budaya; 2) merujuk pada keragaman yang ada; 3) berkenaan dengan tindakan spesifik pada respon terhadap keragaman tersebut. Akhiran “isme” menunjukkan suatu doktrin normatif yang diharapkan bekerja pada setiap orang dengan konteks masyarakat dengan beragam budaya.25

Multikulturalisme di Indonesia tercermin dalam simbol yang telah disepakati bersama, yakni Bhineka Tunggal Ika. Bhineka Tunggal Ika merupakan suatu pengakuan terhadap heterogenitas etnik, budaya, agama, ras, dan gender, namun menuntut adanya persatuan dalam komitmen politik membangun Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Bhineka Tunggal Ika sebagai simbol yang

24

Nur A. Fadhil Lubis. 2006. Jurnal Antropologi Sosial Budaya ETNOVISI Vol II No.1, Multikulturalisme Dalam Politik. hal. 22.

25

Farida Hanum dan Setya Raharja. 2011. Jurnal Penelitian Ilmu Pendidikan: Pengembangan Model Pembelajaran Pendidikan Multikultural Menggunakan Modul Sebagai Suplemen Pelajaran IPS di Sekolah Dasar, Volume 04 No. 2. hal. 115.


(17)

seharusnya dapat difungsikan sebagai roh penggerak perilaku masyarakat Indonesia, di dalam kenyataan belum secara sungguh-sungguh dijadikan kekuatan untuk membangun bangsa dan negara. Bahkan pada beberapa tempat, kemajemukan masih dianggap sebagai sumber permasalahan bahkan konflik, yang membuktikan bahwa realitas heterogenitas belum dipahami dan diakui oleh seluruh lapisan masyarakat.26

Teori Multikulturalisme sistematis pertama dikembangkan oleh Will Kymlicka. Inti teori multikulturalisme Kymlica adalah sebentuk nasionalisme. Kymlica berpendapat bahwa tradisi liberal memiliki sejarah yang mengakui hak-hak yang dibedakan berdasarkan golongan. Sehingga dapat dikatakan bahwa Politik Multikulturalisme merupakan sebuah teori yang menekankan akan upaya pencapaian sebuah kekuasaan di tengah-tengah keberagaman yang ada. Dapat dikatakan pula sebagai suatu proses mewakilkan secara keseluruhan keanekaragaman yang ada, dalam upaya pencapaian sebuah kekuasaan.

Menurut Kymlicka, politik multikulturalisme adalah politik tentang hak-hak minoritas. Politik multikulturalisme berdiri dalam tegangan antara hak-hak untuk diperlakukan sama di hadapan hukum. Politik multikulturalisme mendorong suatu Negara untuk memperluas respek terhadap otonomi kultural terhadap minoritas bangsa dalam bentuk pengakuan hak-hak kelompok minoritas.

26

Prof. Dr. Meutia F. Hatta. 2006. Jurnal Antropologi Sosial Budaya ETNOVISI Vol II No. 1. hal. 1.


(18)

3.1Kondisi Politik Multikulturalisme Pada Struktur Pemerintahan Eksekutif Kota Pematangsiantar

Kota Pematangsiantar merupakan kota yang memiliki keberagaman etnis dan agama. Secara umum mayoritas penduduk di kota Pematangsiantar merupakan etnis Batak Toba dan merupakan pemeluk agama Kristen Protestan. Selain Batak Toba, Kota Pematangsiantar juga dihuni oleh etnis lain yaitu Jawa, Batak Simalungun, Batak Mandailing, Tionghoa, Minang, Batak Karo, Melayu, Nias, Aceh, Pakpak dan lain-lain. Komposisi penduduk memang belum tentu memberikan pengaruh terhadap politik multikulturalisme, akan tetapi dapat memberikan sebuah gambaran tentang keberagaman yang ada di daerah tertentu.

Memiliki penduduk yang mayoritas Batak Toba membuat Kota Pematangsiantar menjadi daerah yang masih memiliki budaya dan adat yang sangat kental, sehingga dalam kegiatan sosial apapun keberadaan adat Batak Toba sering dikaitkan dengan norma-norma sosial lainnya, dengan arti lain bahwa hukum adat tetap memegang pengaruh yang cukup kuat dalam mengatur kehidupan sosial masyarakat di Pematangsiantar.

Sistem kekerabatan masyarakat Batak Toba menempatkan posisi seseorang secara pasti sejak dilahirkan hingga meninggal dalam tiga posisi yang disebut Dalihan Na Tolu. Bungaran Simanjuntak menjelaskan bahwa Dalihan Na Tolu dapat diartikan sebagai tumpuan tiga serangkai atau dalam defenisi lebih jelas, Dalihan Na Tolu merupakan suatu sistem sosial di tanah Batak yang


(19)

menempatkan posisi masing-masing orang Batak pada kedudukan tertentu dimana setiap kedudukan ini mempunyai fungsi dan tanggung jawab tersendiri.27

Dalihan Na Tolu yang dimaksud adalah :

a. Hula-hula atau Tondong yaitu kelompok orang yang posisinya “diatas”. Dalam hal ini adalah keluarga marga pihak istri, sehingga disebut “somba marhula-hula” yang berarti harus hormat kepada keluarga pihak istri agar memperoleh keselamatan dan kesejahteraan.

b. Dongan tubu atau Sanina, yaitu kelompok orang yang posisinya “sejajar”. Dalam hal ini adalah teman atau saudara semarga, sehingga disebut “manat mardongan tubu” yang artinya menjaga persaudaraan agar terhindar dari perseteruan.

c. Boru, yaitu kelompok orang yang posisinya “dibawah”. Dalam hal ini saudara perempuan kita dan pihak marga suaminya, sehingga disebut “elek marboru” yang artinya selalu saling mengasihi agar mendapat berkat. Dalihan Na Tolu bukan kasta, karena setiap orang Batak memiliki ketiga posisi tersebut. Ada saatnya menjadi hula-hula, ada saatnya menempati posisi dongan tubu dan ada saatnya menempati posisi boru. Dengan Dalihan Na Tolu, adat Batak tidak memandang posisi seseorang berdasarkan pangkat, harta atau status seseorang.

27

Bungaran Simanjuntak. 2006. Struktur Sosial dan Sistem Politik Batak Toba. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. hal. 100.


(20)

Dalam masyarakat Batak Toba terdapat suatu susunan silsilah marga yang disebut “Tarombo”. Hubungan sosial kemasyarakatan Batak tidak dapat berjalan tanpa marga dan tarombo. Marga dan tarombo memudahkan hubungan antar orang Batak dimanapun berada, karena orang Batak bersaudara dan satu nenek moyang.

Selain konsep Dalihan Na Tolu terdapat pula 9 nilai budaya Batak yang mencakup segala aspek kehidupan orang Batak yaitu kekerabatan, religi (haporseaon atau ketaatan kepada Tuhan), hagabeon, hukum, kemajuan, konflik, hamoraon, hasangapon dan pangayoman. Tiga dari nilai tersebut dipandang sebagai misi budaya suku Batak, yaitu hagabeon (anak), hamoraon (kekayaan), dan hasangapon (kehormatan).

Adat Batak Toba di Pematangsiantar masih cukup kuat, terlihat pada pola hidup dan pesta-pesta seperti pesta pernikahan yang diselenggarakan sesempurna mungkin sesuai aturan Batak Toba, tanpa adanya penyederhanaan adat. Dalihan Na Tolu terlihat sudah dipahami dengan baik oleh masyarakat mayoritas bahkan minoritas di Kota Pematangsiantar. Hal ini terlihat dalam beberapa peristiwa, baik itu pertemuan jual-beli di pasar, saling tegur-sapa, bahkan ketika etnis lain menghadiri upacara adat etnis Batak, masyarakat di luar etnis Batak di Kota Pematangsiantar seolah paham untuk memaknai tiga dasar norma tersebut. Mereka sudah menganggap tiga dasar norma itu juga merupakan salah satu bagian dari kehidupan sehari-hari dan tidak bisa lepas dari mereka. Masyarakat etnis minoritas juga tidak sedikit yang sudah lancar melafalkan dan berbicara dalam


(21)

Bahasa Batak. Bukti pembauran lainnya adalah, dalam setiap pesta adat Batak, masyarakat etnis minoritas juga memiliki tempat tersendiri. Pesta adat Batak yang biasanya kental dengan keberadaan daging babi, memberikan tempat tersendiri dengan hidangan yang berbeda pula. Hidangan yang tersedia bagi mereka di luar etnis Batak disebut dengan Parsubang yang artinya hidangan tersebut tidak menghidangkan daging babi atau hidangan nasional.

Kota Pematangsiantar adalah Kota yang tenang dan toleran. Di sepanjang sisi Kota ini dapat ditemukan berbagai tempat ibadah dari berbagai agama. Terdapat pula beberapa rumah ibadah yang berdiri berdampingan, seperti Masjid Bakti dan Gereja Kristen Protestan Indonesia di Kelurahan Pondok Sayur, Kecamatan Martoba. Juga terdapat Wihara Avalokitesvara yang di depannya berdiri kokoh patung Dewi Kwan Im setinggi 22,8 meter.

Setara Institute pada bulan Agustus hingga Oktober 2015 mengadakan penelitian terkait tingkat toleransi beragama di setiap kota di Indonesia dengan berpedoman pada empat variabel yakni regulasi pemerintah, tindakan pemerintah, regulasi sosial atau peristiwa dan juga demografi agama. Dari penelitian yang diadakan oleh Setara Institute tersebut dapat disimpulkan bahwa dua kota dari Sumatera Utara masuk dalam daftar peringkat tertinggi dimana Pematangsiantar berada di peringkat pertama dan diikuti oleh Kota Sibolga di urutan keenam.

Harmoni dalam kehidupan pasar juga berlangsung dengan baik. Pedagang yang berbeda etnis dan agama berjualan secara berdampingan. Kemajemukan


(22)

yang ada tersebut tidak menyebabkan adanya diskriminasi. Hal ini menunjukkan bahwa kehidupan sosial karena perbedaan etnis tidaklah memberikan dampak yang negatif. Sebaliknya, adanya perbedaan tersebut meningkatkan toleransi serta memberikan keindahan dan warna tersendiri bagi Kota Pematangsiantar.

Hal ini sesuai dengan pernyataan salah satu masyarakat etnis minoritas dari etnis Minang Bapak Aprijal Koto yang mengatakan:28

“Tidak ada perbedaan antara masyarakat mayoritas dan minoritas. Perbedaan suku dan agama merupakan hal yang dianggap wajar. Saling menghormati dan tolong-menolong adalah hal yang harus dilakukan setiap saat untuk menjaga kerukunan bersama”.

Kota Pematangsiantar memiliki masyarakat yang majemuk. Kemajemukan yang ada terdiri dari keanekaragaman suku bangsa, budaya, agama, ras dan bahasa. Keanekaragaman memang identik dengan perbedaan, namun perbedaan yang dimiliki itu bukanlah suatu hal yang dapat dijadikan alasan untuk saling memisahkan diri sebaliknya sebagai perekat yang mempersatukan setiap masyarakat di Kota Pematangsiantar. Kondisi masyarakat yang hidup berdampingan sangat erat dengan budaya yang dianut oleh masyarakat mayoritas yakni etnis Batak Toba dimana saling menghargai, bekerja sama dan saling membantu merupakan prinsip dasar dalam kehidupan bermasyarakat.

Kondisi yang demikian tidaklah berlangsung secara tiba-tiba. Setiap masyarakat harus mempelajari budaya yang ada hingga kemudian memahami dan

28

Hasil wawancara dengan salah seorang etnis minoritas di Kota Pematangsiantar.


(23)

menerima perbedaan tersebut sebagai kekayaan negara. Di antara unsur budaya yang paling signifikan yang harus dipelajari seseorang adalah nilai (values), norma (norms), dan peranan (roles).

1. Nilai-nilai sebuah kultur dianggap mengidentifikasi dianggap ideal, tujuan paling tinggi dan standar paling umum untuk memastikan baik dan buruk atau yang disukai dan yang dibenci.

2. Norma merupakan kaidah yang mengatur perilaku ( rules governing behavior). Norma menetapkan perilaku yang diperlukan, yang dapat diterima, atau yang dilarang dalam keadaan tertentu. Norma mengidentifikasi bahwa seseorang seharusnya bertindak dengan cara tertentu. Nilai dengan norma saling terkait dan nilai membenarkan norma. 3. Sedangkan peranan (role) adalah kumpulan norma yang terkait dengan

kedudukan tertentu dalam suatu masyarakat. Ini berarti norma-norma menjelaskan bagaimana kita mengharapkan seseorang dalam kedudukan tertentu berbuat atau tidak berbuat. Struktur sosial ditata oleh peranan, dimana dalam setiap situasi sosial, kita memiliki peranan yang relatif jelas untuk dijalankan.29

Perkembangan politik di Kota Pematangsiantar sudah berlangsung dengan cukup baik. Hal ini dapat dilihat dari pastisipasi masyarakat yang sangat tinggi dan kondusifitasnya yang masih terjaga. Selain itu, kondisi Kota Pematangsiantar

29

Nur A Fadhil Lubis. 2006. Multikulturalisme Dalam Budaya. Jurnal Antropologi Sosial Budaya ETNIVISI. Vol II. No. 1 April 2006. hal.


(24)

yang terdiri dari berbagai etnis dan agama juga tidak menimbulkan diskriminasi dalam partisipasi politik.

Mantan Walikota Bapak Hulman Sitorus mengatakan bahwa :30

“Perkembangan politik dikota Pematangsiantar sangat dinamis, dimana tingkat kepedulian dan partisipatif masyarakat sangat tinggi dan dinamikanya juga sangat tinggi. Sehingga Dinamika Politik di Siantar terkenal dengan “ yang tidak mungkin terjadi,

bisa menjadi mungkin terjadi “. Dan jika dilihat dari

keberagaman etnis dan agama yang ada di Kota Pematangsiantar, tidak ada pengaruh yang bermakna dalam perkembangan politik. Tujuan politik adalah untuk mencapai kekuasaan, oleh karenanya hal yang wajar dalam strategi para elit politik memakai pendekatan etnis dan agama dalam pencapaian kemenangan merebut kekuasaan, namun dalam beberapa kali pelaksanaan Pemilu maupun Pemilihan Kepala Daerah tidak begitu efektif. Sebagai contoh dalam pemilihan anggota DPRD maupun Kepala Daerah, Jika memakai logika dalam pemilihan legislative maka perwakilan di DPRD tersebut dengan jumlah 30 anggota Dewan, untuk calon muslim yang terpilih idealnya minimal 13 kursi, namun relitanya lain, begitu juga dalam pemilihan KDH”.

Hal yang serupa juga dikatakan oleh mantan Wakil Walikota Bapak Koni Ismael Siregar bahwa :31

“Kondisi politik di Kota Pematangsiantar sangat baik jika dilihat dari segi agama dan etnis yang beragam. Hal ini dapat dilihat dari sikap toleransi antar agama dan etnis yang ada di Kota Pematangsiantar. Sampai saat ini sara atau bentrok antar agama dan etnis tidak pernah terjadi, dan harus kita akui stabilitas politik di Pematangsiantar sangat baik, dan diharapkan ini menjadi contoh buat daerah lain di Sumatera Utara.”

30

Hasil wawancara dengan mantan walikota Kota Pematangsiantar.

31

Hasil wawancara dengan mantan wakil walikota Kota Pematangsiantar.


(25)

Berdasarkan hasil wawancara diatas, tidak diragukan lagi bahwa Kota Pematangsiantar adalah kota yang memiliki toleransi yang tinggi ditengah-tengah keberagaman etnis bahkan agama. Bapak Hulman Sitorus memang tidak memungkiri adanya strategi para elit politik yang menggunakan pendekatan etnis dan agama untuk mencapai kekuasaan. Namun hal ini tidak memberikan pengaruh yang bermakna dalam Pemilihan Kepala Daerah maupun anggota DPRD. Sebagai contoh dalam pemilihan anggota legislatif dengan kandidat terpilih sebanyak 30 anggota dewan yang jika dilihat dari segi agama tidak berimbang antara Kristen dan Islam.

Multikulturalisme di Indonesia bersumber pada UUD 1945 yang menyatakan bahwa bangsa dan masyarakat Indonesia terdiri dari beragam kelompok etnis yang memiliki komitmen untuk membangun Indonesia sebagai suatu bangsa.

Multikulturalisme di Kota Pematangsiantar dapat dinilai dari segi keanekaragaman yang terdapat dalam pemerintahan, baik legislatif maupun eksekutif. Sudharto mengatakan bahwa multikulturalisme mensyaratkan adanya keterlibatan atau peran serta antar pihak dalam sebuah komunitas besar bernama bangsa. Multikulturalisme mensyaratkan persemaian dalam ruang publik dimana masing-masing saling memberdayakan, tidak sekedar toleransi, tetapi mempersyaratkan usaha untuk saling memahami antara satu dengan yang lain. Dalam masyarakat multikultural haruslah terjadi komitmen antara masyarakat


(26)

budaya yang satu terhadap masyarakat budaya lain dengan segala karakteristiknya.32

Dalam wawancara dengan mantan walikota Bapak Hulman Sitorus dikatakan bahwa :33

“Politik multikultural sudah berjalan dengan baik di Kota Pematangsiantar. Masyarakat dapat menerima adanya perbedaaan etnis yang ada dalam struktur Pemerintahan Kota Pematangsiantar.”

Mantan wakil walikota Bapak Koni Ismael Siregar juga mengatakan hal yang sama:34

“Politik multikultural sangat penting untuk dilakukan karena multikutural merupakan salah satu persyaratan agar stabilitas dan kondusifitas di Kota Pematangsiantar tetap terjaga, multikultural ini juga tidak menjadikan perbedaan antara agama dan etnis yang ada, melainkan sebagai perekat. Multikultural ini saya lihat juga sebagai penguatan antar agama dan etnis.”

Kondisi diatas menunjukkan bahwa Kota Pematangsiantar adalah tempat yang aman bagi setiap etnis dan agama yang ada di Indonesia karena toleransi yang dimiliki oleh masyarakatnya sangat tinggi. Keberagaman yang ada tidak menyebabkan perpecahan, sebaliknya menjadi kekuatan untuk pengembangan Kota Pematangsiantar. Hal ini dapat dilihat dari sejarah Kota Pematangsiantar bahwa tidak ada bentrok yang pernah terjadi karena keanekaragaman etnis dan

32

Sudharto. 2012. Multikulturalisme dalam Perspektif Empat Pilar Kebangsaan, Jurnal ilmiah CIVIS, Volume II, No 1. hal. 121.

33

Hasil wawancara dengan mantan walikota Kota Pematangsiantar.

34

Hasil wawancara dengan mantan wakil walikota Kota Pematangsiantar.


(27)

agama. Masyarakat di Kota Pematangsiantar sebagai masyarakat multikultural sudah mampu menerima adanya perbedaan etnis yang tentunya akan mempengaruhi pola hidup masyarakat di Kota Pematangsiantar.

Politik multikulturalisme, bukan hanya sekedar melihat keanekaragaman yang ada dalam komposisi penduduk, tetapi lebih menyeluruh terhadap keanekaragaman yang terdapat dalam pemerintahan kota. Berjalannya politik multikulturalisme di Kota Pematangsiantar dibuktikan dengan pembagian pejabat pada masa kepemimpinan Hulman Sitorus pada tahun 2010-2015 yang terdiri dari berbagai etnis mulai dari pejabat Eselon IV sampai Eselon II yakni: 36 orang suku Batak Toba, 11 orang suku Batak Simalungun, 2 orang suku Batak Karo, 4 orang suku Batak Mandailing, 7 orang suku Jawa dan 1 suku Nias. Dan keberagaman tersebut sudah disadari dan disambut baik oleh masyarakat, bahwa adanya politik multikulturalisme diharapkan dapat meningkatkan persatuan dan kesatuan bangsa khususnya di Kota Pematangsiantar.

Salah satu anggota legislatif periode 2014-2019 Bapak Arapen Ginting mengatakan bahwa :35

“Kondisi politik multikultural di kota Pematangsiantar sudah berjalan dengan baik. Dari Pemerintah Kota sudah berusaha meningkatkan perubahan-perubahan yang nyata. Selain itu sinergitas antara eksekutif dengan legislatif juga telah dibangun untuk memaksimalkan program kerja pemerintah Kota Pematangsiantar. Beliau juga berpendapat bahwa dalam sistem perekrutan di lingkungan Pemerintah Kota Pematangsiantar dalam menduduki jabatan tertentu yaitu berdasarkan kemampuan

35

Hasil wawancara dengan salah seorang anggota legislatif Kota Pematangsiantar.


(28)

dan kapasitas yang dimiliki oleh tiap individu. Sehingga tidak ada diskriminasi antara etnis mayoritas dan minoritas dalam hal menduduki jabatan di lingkungan Pemerintah Kota Pematangsiantar.

Pernyataan yang serupa juga dikatakan oleh salah seorang tokoh masyarakat Bapak Russel Sipayung :36

“Perkembangan politik di kota Pematangsiantar sudah berjalan dengan baik. Dilihat dari keberagaman etnis dan agama di kota Pematangsiantar, beliau berpendapat bahwa hal ini berpengaruh terhadap kondisi politik akan tetapi dapat diterima sebagai warna tersendiri dalam pemerintahan. Terkait dengan politik multikultural, beliau mengatakan bahwa pemerintah kota sudah melaksanakan dengan baik. Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya etnis yang berbeda dari etnis mayoritas yang menduduki jabatan baik di pemerintahan eksekutif. Beliau berpendapat bahwa kemampuan dan profesionalitas kerja yang dimiliki merupakan kriteria utama yang menjadi prioritas untuk memperoleh kedudukan dalam pemerintahan di Kota Pematangsiantar”.

Selain itu, seorang tokoh agama yakni Bapak Pendeta Robert mengatakan bahwa :37

“Perkembangan politik di Kota Pematangsiantar bertumbuh dengan baik. Hal ini dapat dilihat dari elemen masyarakat yang cukup berperan sesuai dengan porsi yang ada. Beliau juga mengatakan bahwa sampai saat ini belum ada ketegangan yang terjadi di tengah masyarakat, misalnya adanya perselisihan dikarenakan perbedaan pendapat. Terkait politik multikultural yang berjalan di pemerintahan Kota Pematangsiantar, beliau berpendapat bahwa sudah terlaksana dengan baik, terarah dan teratur. Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya masyarakat diluar etnis mayoritas yang menduduki posisi jabatan di pemerintahan

36

Hasil wawancara dengan salah seorang tokoh masyarakat di Kota Pematangsiantar.

37

Hasil wawancara dengan salah seorang tokoh agama di Kota Pematangsiantar.


(29)

eksekutif. Akan tetapi beliau tidak menyangkal bahwa etnis mayoritas masih tetap mendominasi di tingkat pemerintahan eksekutif.

Hasil wawancara dengan beberapa narasumber diatas dapat disimpulkan bahwa kondisi politik multikulturalisme dalam pemerintahan eksekutif sudah berjalan dengan baik di Kota Pematangsiantar. Hal ini dapat dilihat dari komposisi pemerintahan eksekutif yang diwarnai oleh berbagai suku dan agama yang berbeda. Mereka mengatakan bahwa perbedaaan etnis dan agama tidak memberikan pertimbangan khusus bagi sebagian besar masyarakat untuk memilih kandidatnya. Akan tetapi kemampuan dan profesionalitas kerja yang dimiliki merupakan kriteria utama yang menjadi prioritas untuk memperoleh kedudukan dalam pemerintahan di Kota Pematangsiantar.

Kondisi diatas sesuai dengan pendapat Taylor yang mengatakan bahwa inti dari konsep parlemen multikultural adalah, setiap kelompok yang ada di Indonesia memiliki perwakilannya langsung di parlemen atau lembaga legislatif. Tugas mereka adalah menyalurkan suara masing-masing kelompok untuk menciptakan keputusan yang didasarkan atas kepentingan bersama. Namun kelompok-kelompok tersebut tidak hanya terbatas pada teritori, suku ataupun agama semata melainkan kelompok-kelompok yang memiliki pandangan hidup yang unik serta partikular.38

38

Reza A.A Wattimena. 2011. Menuju Indonesia Yang Bermakna: Analisis Tekstual-Empiris Terhadap Pemikiran Charles Taylor Tentang Politik Pengakuan dan Multikulturalisme, Serta Kemungkinan Penerapannya di Indonesia. Studia Philosophica et Theologica, Vol 11 No 1. hal. 20.


(30)

3.2Implementasi Politik Multikulturalisme Dalam Komposisi Pemerintahan Eksekutif di Kota Pematangsiantar

Kota Pematangsiantar merupakan kota terbesar kedua di Provinsi Sumatera Utara setelah Medan. Keberagaman etnis di Kota Pematangsiantar memberikan warna tersendiri. Mayoritas penduduk yang merupakan etnis Batak Toba mampu memberikan dampak yang positif bagi Kota Pematangsiantar dengan falsafah yang dianut yaitu Dalihan Na Tolu. Dalihan Na Tolu mengajak masyarakat untuk hidup rukun dan bekerja sama dalam mencapai sebuah tujuan.

Kota Pematangsiantar adalah Kota yang tenang dan toleran. Di sepanjang sisi Kota ini dapat ditemukan berbagai tempat ibadah dari berbagai agama. Terdapat pula beberapa rumah ibadah yang berdiri berdampingan, seperti Masjid Bakti dan Gereja Kristen Protestan Indonesia di Kelurahan Pondok Sayur, Kecamatan Martoba. Juga terdapat Wihara Avalokitesvara yang di depannya berdiri kokoh patung Dewi Kwan Im setinggi 22,8 meter.

Setara Institute pada bulan Agustus hingga Oktober 2015 mengadakan penelitian terkait tingkat toleransi beragama di setiap kota di Indonesia dengan berpedoman pada empat variabel yakni regulasi pemerintah, tindakan pemerintah, regulasi sosial atau peristiwa dan juga demografi agama. Dari penelitian yang diadakan oleh Setara Institute tersebut dapat disimpulkan bahwa dua kota dari Sumatera Utara masuk dalam daftar peringkat tertinggi dimana Pematangsiantar berada di peringkat pertama dan diikuti oleh Kota Sibolga di urutan keenam.


(31)

Harmoni dalam kehidupan pasar juga berlangsung dengan baik. Pedagang yang berbeda etnis dan agama berjualan secara berdampingan. Kemajemukan yang ada tersebut tidak menyebabkan adanya diskriminasi. Hal ini menunjukkan bahwa kehidupan sosial karena perbedaan etnis tidaklah memberikan dampak yang negatif. Sebaliknya, adanya perbedaan tersebut meningkatkan toleransi serta memberikan keindahan dan warna tersendiri bagi Kota Pematangsiantar.

Bangsa Indonesia sebagai negara Bhineka Tunggal Ika terdiri dari berbagai kelompok etnis, budaya, agama, strata sosial, dan lain-lainnya, tentu sangat mendambakan keserasian dalam perbedaan-perbedaan baik dalam hal agama, politik, keamanan, strata sosial maupun pendidikan dalam upaya menciptakan negara dan bangsa yang berkeadilan sosial sebagai cerminan dari negara Pancasila. Multikulturalisme di Indonesia bersumber pada UUD 1945 yang menyatakan bahwa bangsa dan masyarakat Indonesia terdiri dari beragam kelompok etnis yang memiliki komitmen untuk membangun Indonesia sebagai suatu bangsa.39

Kota Pematangsiantar memiliki masyarakat yang majemuk. Kemajemukan yang ada terdiri dari keanekaragaman suku bangsa, budaya, agama, ras dan bahasa. Keanekaragaman memang identik dengan perbedaan, namun perbedaan yang dimiliki itu bukanlah suatu hal yang dapat dijadikan alasan untuk saling memisahkan diri sebaliknya sebagai perekat yang mempersatukan setiap

39

Sudharto. 2012. Multikulturalisme dalam Perspektif Empat Pilar Kebangsaan Jurnal ilmiah CIVIS, Volume II, No 1. hal. 130.


(32)

masyarakat di Kota Pematangsiantar. Kondisi masyarakat yang hidup berdampingan sangat erat dengan budaya yang dianut oleh masyarakat mayoritas yakni etnis Batak Toba dimana saling menghargai, bekerja sama dan saling membantu merupakan prinsip dasar dalam kehidupan bermasyarakat.

Di Kota Pematangsiantar sendiri politik multikulturalisme seperti tertulis dalam pembahasan sebelumnya sudah berjalan dengan baik. Hal ini dpaat dilihat pada posisi Pemerintahan eksekutif maupun legislatif yang diduduki oleh berbagai macam etnis dan agama yang berbeda-beda. Bahkan terdapat etnis minoritas di dalamnya seperti suku Nias.

Mantan Wakil Walikota Kota Pematangsiantar Bapak Koni Ismael Siregar mengatakan :40

“Berkaitan dengan implementasi politik multikultural dari sudut struktural pemerintahan Kota Pematangsiantar, dimana seseorang yang memiliki prestasi kerja di struktur pemerintahan sangat diperhatikan. Jadi tidak ada diskriminasi antar agama dan etnis, kalau memang prestasi kerjanya baik, dia layak untuk diperhitungkan.”

Berdasarkan pernyataan diatas, perbedaan etnis bukanlah menjadi penghalang bagi mereka yang berprestasi untuk diperhitungkan menempati posisi sebagai pejabat eksekutif di Kota Pematangsiantar.

Berdasarkan posisi yang ada di dalam struktur pemerintahan eksekutif di Kota Pematangsiantar, memang masih didominasi oleh etnis mayoritas. Akan tetapi kehadiran etnis lainnya tetap diharapkan mampu bersaing dalam

40

Hasil wawancara dengan mantan wakil walikota Kota Pematangsiantar.


(33)

memperoleh kedudukan di struktur Pemko Pematangsiantar. Hal ini diakui oleh mantan walikota Bapak Hulman Sitorus yang mengatakan bahwa :41

“Masyarakat beda etnis dalam komposisi eksekutif masih sangat minim. prinsip masyarakat sangat berharap adanya cerminan keseimbangan etnis dan agama dalam komposisi eksekutif meskipun hal tersebut tidak selalu menjadi dominan, namun tetap menjadi harapan.”

Mantan wakil walikota Bapak Koni Ismael Siregar juga mengatakan hal serupa bahwa :42

“Memang tidak bisa dipungkiri bahwa sampai hari ini struktur jabatan di Pemko Pematangsiantar di dominasi oleh Batak Toba. Tapi pada awalnya etnis yang mendominasi adalah etnis Simalungun, tapi mungkin ada perpindahan pejabat dari daerah lain dan memiliki prestasi, maka di promosikan ke dalam lingkungan Pemko Pematangsiantar. Jumlah penduduk Batak Toba di Pematangsiantar yang merupakan etnis terbanyak menjadi salah satu alasan juga.”

Partisipasi masyarakat minoritas dalam kegiatan politik sudah berlangsung dengan baik, meskipun dalam struktur Pemko Pematangsiantar kehadiran mereka masih minim. Kondisi ini tergantung pada Kepala dan Wakil Kepala Daerah dalam hal ini Walikota dan Wakil Walikota dalam menyeleksi atau merekrut etnis-etnis lainnya. Dalam hal ini tidaklah mengedepankan etnis atau agama tertentu, akan tetapi berdasarkan profesionalitas kerja para kandidat. Seperti yang dikatakan oleh mantan walikota Bapak Hulman Sitorus :43

41

Hasil wawancara dengan mantan walikota Kota Pematangsiantar.

42

Hasil wawancara dengan mantan wakil walikota Kota Pematangsiantar.

43

Hasil wawancara dengan mantan walikota Kota Pematangsiantar.


(34)

“Pemerintah secara nasional dan diikuti secara khusus di daerah sangat begitu baik dan tersistem dimana tetap mengedepankan persamaan semua hak dan kewajiban yang sama bagi setiap warga masyarakat dan warga bangsa serta menjamin kebebasan hak konstitusi dari warga negara Indonesia sebagaimana diatur dalam perundangan-undangan negara.”

Beliau mengatakan bahwa peran pemerintah dalam politik multikultural khususnya dalam persamaan kesempatan dan peluang dalam partisipasi politik di Kota Pematangsiantar sudah berjalan dengan baik. Pemerintah tetap mengedepankan persamaan semua hak dan kewajiban yang sama bagi setiap warna masyarakat serta menjamin kebebasan hak konstitusi dari warga negara Indonesia sebagaimana diatur dalam perundangan-undangan negara.

Hal berbeda dikatakan oleh mantan wakil walikota Bapak Koni Ismael Siregar yakni :44

“Sebaiknya tidak demikian, tapi timbul memang kalau pemimpin itu lebih memperhatikan dan merangkul sukunya. Karena dia merasa itu merupakan bagian dari kulturnya, tapi tetap saja tidak terlepas dari kinerja dan prestasi pegawai itu sendiri. Jangan asal milih tapi tidak memenuhi syarat untuk mengisi jabatan. Selain faktor etnis, faktor agama juga menjadi pertimbangan, kalau misalnya pemimpin tersebut tidak dapat dipungkiri dia akan lebih memilih yang seagama dengannya. Jadi terkadang yang tidak seetnis dengan pemimpin merasa di “anak tirikan” atau tidak diberdayakan.”

Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Koni Ismael Siregar diatas tidak dipungkiri oleh beliau bahwa di Kota Pematangsiantar seharusnya etnis dan agama masyarakat itu tidaklah menjadi patokan yang berarti untuk memilih anggota eksekutif. Beliau mengakui bahwa seorang pemimpin dalam hal ini Kepala Daerah memilih calon anggota yang memiliki etnis dan agama yang sama

44

Hasil wawancara dengan mantan wakil walikota Kota Pematangsiantar.


(35)

dengannya. Meskipun demikian tetap memperhatikan kinerja dan prestasi pegawai itu sendiri. Hal tersebut lebih lanjut diakui oleh beliau bahwa terkait perekrutan pejabat di Pemerintah Kota Pematangsiantar memang terdiri dari sistem karir dan prestasi kerja. Akan tetapi sistem tersebut belum berjalan dengan baik serta tidak berpedoman pada aturan dan peraturan.

“Kalau terkait dengan sistem perekrutan pejabat atau promosi jabatan terdiri dari sistem karir dan prestasi kerja. Tetapi di Kota Pematangsiantar sistem ini bisa dibilang belum terlaksana dengan baik dan tidak berpedoman pada aturan dan peraturan. Artinya seseorang itu dilihat gak prestasinya atau kinerjanya, jangan kesannya jadi suka-suka. Nah ini juga berkaitan dengan etnis dan agama tadi, yang tidak pantas menduduki jabatan tersebut, malah mendudukinya hanya karena kesamaan etnis dan agama dengan pemimpinnya, ini bukan hal yang bagus. Jadi kedepannya pemimpin harus memperhatikan pejabat yang ingin dipromosi berdasarkan prestasi kerja, pendidikan, pengalaman, loyalitas dan lain sebagainya.”45

Dengan jujur beliau mengakui bahwa kesamaan etnis bahkan agama cukup berpengaruh dalam pemilihan pejabat eksekutif di Kota Pematangsiantar. Ketidaksesuaian dengan kriteria yang seharusnya digunakan itu memberikan dampak yang negatif bagi masyarakat minoritas dimana dalam pernyataan sebelumnya seperti “dianaktirikan”. Sehingga beliau berharap agar untuk kepemimpinan selanjutnya harus tetap memperhatikan pejabat yang ingin dipromosikan harus berdasarkan prestasi kerja, pendidikan, pengalaman, loyalitas dan lain sebagainya.

45

Hasil wawancara dengan mantan wakil walikota Kota Pematangsiantar.


(36)

Sedangkan menurut mantan walikota Bapak Hulman Sitorus, sistem perekrutan pejabat di Pemko Pematangsiantar tetap mengedepankan profesionalitas kerja seperti dikatakan berikut ini :46

“Sepengetahuan saya ya, karena tetap melakukan perekrutan dengan mengedepankan fit and profer tes yang dilaksanakan oleh tim baperjakat yang ada di BKD termasuk menempatkan calon pejabat yang sudah mengetahui secara jelas Tupoksi yang akan dilakukan guna menyelaraskan program kinerja pemerintah daerah dalam mewujudkan pembangunan sesuai dengan visi misi daerah kota Pematangsiantar Siantar Mantap, Maju dan Jaya.”

Pendapat yang berbeda dari Kepala dan Wakil Kepala Daerah tersebut memang menimbulkan pertanyaan tersendiri bagi penulis tentang keharmonisan hubungan pemimpin dalam menjalankan tugasnya pada sistem pemerintahan Pemko Pematangsiantar. Akan tetapi juga menjadi sebuah gambaran realita yang tersirat dalam sebuah kepemimpinan dan kaitannya dengan strategi politik. Meskipun demikian hasil wawancara dengan kaum minoritas seperti tertulis pada pembahasan sebelumnya dikatakan bahwa beliau tidak merasakan adanya perbedaan dalam persamaan hak sebagai masyarakat. Mereka mengakui bahwa masyarakat mayoritas memang masih dominan dalam jabatan eksekutif akan tetapi bukanlah menjadi hal yang penting karena mereka dianggap memiliki kemampuan dan profesionalitas kerja yang baik.

Kondisi diatas tidaklah terlepas dari perjuangan masyarakat minoritas untuk menunjukkan eksistensi diri dalam pemerintahan di Kota Pematangsiantar.

46

Hasil wawancara dengan mantan walikota Kota Pematangsiantar.


(37)

Hal ini sesuai dengan defenisi politik multikulturalisme menurut Charles Taylor yaitu perjuangan untuk mendapatkan pengakuan, yakni pengakuan akan keberadaan berbagai kelompok dengan pandangan hidup yang berbeda-beda, dan kebijakan politik yang mampu memungkinkan kelompok-kelompok tersebut tumbuh dan berkembang, lepas dari keterbatasan serta keunikan identitas yang dimiliki masing-masing kelompok.47

Konsep ini didukung oleh teori multikulturalisme Kymlica yang menyatakan bahwa multikulturalisme adalah sebentuk nasionalisme dimana tradisi liberal memiliki sejarah yang mengakui hak-hak yang dibedakan berdasarkan golongan.

Menurut Kymlica, hak-hak minoritas tidak dapat digolongkan sebagai hak asasi manusia karena standar-standar hak asasi manusia tidak mampu menyelesaikan persoalan yang paling penting dan kontroversial terkait golongan minoritas budaya. Karena itu Kymlica berambisi mengembangkan sebuah teori liberal untuk hak-hak minoritas yang menjelaskan bagaimana hak minoritas hidup berdampingan dengan hak asasi manusia, bagaimana hak minoritas akan dibatasi dengan prinsip kemerdekaan individu, demokrasi, dan keadilan sosial.48

Kondisi yang demikian sudah berlangsung di Kota Pematangsiantar, dimana masyarakat mayoritas dan minoritas memiliki kesempatan dan hak yang sama dalam kegiatan-kegiatan politik.

47

Reza A.A Wattimena. 2011. Menuju Indonesia Yang Bermakna: Analisis Tekstual-Empiris Terhadap Pemikiran Charles Taylor Tentang Politik Pengakuan dan Multikulturalisme, Serta Kemungkinan Penerapannya di Indonesia. Studia Philosophica et Theologica, Vol 11 No 1. hal. 18.

48

Gerald F. Gaus dan Kukathas Chandran. 2012. Handbook Teori Politik. Jakarta: Nusa Media. Hal.


(38)

Pada teorinya, Kymlica juga membedakan hak minoritas ke dalam tiga pembagian yaitu:

1. Hak menyelenggarakan pemerintahan sendiri

Mengharuskan adanya pendelegasian kekuasaan kepada golongan minoritas bangsa.

2. Hak polietnis

Menjamin dukungan financial dan perlindungan hukum bagi praktik-praktik yang menjadi ciri khas beberapa golongan etnis atau agama. 3. Hak perwakilan khusus

Menjamin tempat bagi wakil-wakil golongan minoritas di badan atau lembaga negara.

Bila dianalisa terhadap keadaan masyarakat minoritas di Kota Pematangsiantar, yang paling mungkin terpenuhi adalah hak polietnis dan hak perwakilan khusus. Hak polietnis di Kota Pematangsiantar sudah berlangsung dengan baik, hal ini dapat dilihat dari kedudukan masyarakat mayoritas dan minoritas yang sama di depan hukum. Masyarakat minoritas hidup dengan aman dan nyaman. Tidak ada diskriminasi dari pemerintah maupun dari masyarakat setempat. Selain itu, terjaminnya kebebasan berkumpul bagi masyarakat minoritas, merupakan sebuah pembuktian bahwa masyarakat minoritas di Kota Pematangsiantar mendapatkan adanya hak Polietnis. Sementara dengan adanya calon anggota legislatif yang berasal dari luar etnis Batak dan adanya beberapa jabatan yang diduduki oleh masyarakat minoritas, membuktikan bahwa


(39)

masyarakat minoritas di Kota Pematangsiantar memperoleh adanya hak perwakilan khusus, dimana mereka tetap memiliki kesempatan yang sama dengan masyarakat minoritas untuk menduduki jabatan-jabatan tertentu pada pemerintahan eksekutif.

Sedangkan untuk hak menyelenggarakan pemerintahan sendiri di Kota Pematangsiantar sejauh ini belum terlaksana. Hal ini dapat dilihat dari tidak adanya perlakuan ataupun program khusus pemerintah bagi masyarakat minoritas disana, sehingga belum terdapat gambaran apapun akan sebuah pendelegasian kekuasaan kepada masyarakat minoritas.

Kesempatan yang sama bagi masyarakat mayoritas maupun minoritas dalam struktur pemerintahan eksekutif memang menjadi poin penting. Demikian juga dalam susunan birokrasi Pemko Pematangsiantar. Bapak Hulman Sitorus mengatakan :49

“Kota siantar ini unik, bagi kalangan minoritas katakanlah salah satunya suku Tionghoa, mereka ini mayoritas jarang yang ada mau duduk di birokrasi (PNS) mereka lebih cenderung ke dunia bisnis/perdanganan dan jika adapun satu dua orang mereka juga diperlakukan secara sama dengan yang lain sepanjang mempunyai kemampuan serta persyaratan yang lengkap sebagaimana mekanisme yang berlaku dan sesuai aturan yang ada tetap punya kesempatan.”

Meskipun masyarakat minoritas masih minim dalam susunan birokrasi Pemko Pematangsiantar, namun partisipasi mereka sangat baik dalam kegiatan-kegiatan di Kota Pematangsiantar. Mereka juga sangat memberikan andil

49

Hasil wawancara dengan mantan walikota Kota Pematangsiantar.


(40)

pembangunan dan kemajuan kota ini termasuk pemahaman politik juga sudah sangat baik. Hal ini dapat dilihat dari beberapa kali Pemilu pada periode yang lalu bahwa masyarakat minoritas juga sangat peduli bahkan ikut serta dalam berbagai kegiatan termasuk kegiatan politik.

Seperti yang dikatakan oleh Bapak Koni Ismael yakni:50

“Masyarakat minoritas tetap ikut berkiprah membangun Kota Pematangsiantar dan tiap-tiap etnis minoritas ini memiliki paguyuban, dan sampai saat ini mereka ikut berpartisipasi dalam membangun Kota Pematangsiantar.”

Dari wawancara tersebut beliau menegaskan bahwa meskipun masyarakat minoritas minim dalam struktur pemerintahan kota pematangsaintar, akan tetapi mereka tetap memiliki peran yang berarti dengan mendirikan paguyuban yang tujuannya adalah ikut serta dalam membangun Kota Pematangsiantar.

Toleransi yang tercipta di lingkungan Kota Pematangsiantar memang sudah tidak diragukan lagi. Oleh karena itu patut diapreasiasi bahwa keberagaman etnis, suku dan budaya sudah membaur dan terjalin dengan baik di dalam diri warga kota Pematangsiantar sehingga antara minoritas dan mayoritas sudah tidak nampak ada perbedaan yang signifikan dimana rasa toleranasi juga sudah sangat baik dimana hal ini dapat kita lihat dalam aktifitas masyarakat di kota Pematangsiantar yang sudah sangat paham arti pentingnya kebersamaan hidup ditengah keberagaman.

50

Hasil wawancara dengan mantan wakil walikota Kota Pematangsiantar.


(41)

Dalam hal ini dapat dilihat bagaimana peran politik multikultural itu menjadi pemersatu antara beda etnis bahkan agama ditengah keberagaman yang ada di Kota Pematangsiantar. Seperti yang dikatakan oleh Kymlicka bahwa arah atau tujuan politik multikulturalisme adalah : ”Pengakuan keberagaman budaya yang menumbuhkan kepedulian agar berbagai kelompok yang termarjinalisasi dapat terintegrasi, dan masyarakat mengakomodasi perbedaan budaya agar kekhasan identitas mereka diakui”.

Keanekaragaman yang terdapat di Kota Pematangsiantar diterima oleh masyarakat dengan baik yang dibuktikan dengan adanya kerukunan dan toleransi diantara masyarakat beda agama dan etnis. Keberhasilan multikultural dalam memerankan fungsinya sebagai perekat sosial (social integrative factor), dipengaruhi oleh suasana sosial yang berjalan. Suasana sosial ini dipengaruhi oleh kemampuan pemerintah dan kepemimpinan nasional dalam mengendalikan berbagai aktifitas kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Apabila sistem pemerintah, sitem politik, sistem ekonomi, dan sistem pertahanan keamanan berjalan sedemikian rupa sehingga masyarakat aman, tertib dan sejahtera maka fungsi multikulturalisme sebagai perekat akan mudah membawa keberhasilan. Sebaliknya jika sistem dan faktor tersebut tidak berjalan semestinya fungsi perekat tersebut akan kurang berhasil, sehingga integritas NKRI akan terancam.51

51

Sudharto. 2012. Multikulturalisme dalam Perspektif Empat Pilar Kebangsaan, Jurnal ilmiah CIVIS, Volume II, No 1. hal. 130.


(42)

Kondisi keberagaman yang ada di Kota Pematangsiantar sepertinya lebih sesuai bila disandingkan dengan teori multikultural Parekh. Dengan teori multikultural Parekh, kondisi keberagaman di Kota Pematangsiantar dijelaskan kedalam beberapa bagian:52

- Multikulturalisme Isolasionis

Masyarakat minoritas di Kota Pematangsiantar menjalankan kehidupannya secara otonom. Mereka dapat mengatur kehidupan mereka sendiri tanpa perlu ada campur tangan dari masyarakat mayoritas maupun pemerintah, sekalipun komunikasi mereka terlibat dalam interaksi yang luas terhadap masyarakat mayoritas dan pemerintah.

- Multikulturalisme Akomodatif

Masyarakat etnis Batak yang merupakan masyarakat mayoritas di Kota Pematangsiantar memberikan penyesuaian bagi masyarakat minoritas. Mereka memperlakukan masyarakat minoritas sebagai anggota keluarga yang harus dihormati dan dihargai kedudukannya dalam masyarakat. Masyarakat minoritas dianggap merupakan sebuah bagian dari masyarakat Kota Pematangsiantar yang tidak dapat terpisahkan oleh karena beda etnis dan agama.

- Multikulturalisme Otonomis

Masyarakat mayoritas di Kota Pematangsiantar tetap memberikan peluang terhadap masyarakat minoritas. Terlihat dalam kesetaraan sosial,

52

Muhiddinur Kamal. 2013. Pendidikan Multikultural Bagi Masyarakat Indonesia Yang Majemuk: Jurnal Al-ta’lim, Jilid 1 No 6. hal. 454.


(43)

pengakuan hak-hak administasi dari pemerintah, pencalonan anggota legislatif, dan adanya jabatan eksekutif yang dipangku oleh masyarakat minoritas. Masyarakat minoritas tetap dapat berkumpul dalam perkumpulan mereka, dan bebas berinteraksi kepada etnis manapun di Kota Pematangsiantar.

- Multikulturalisme Kritikal

Masyarakat mayoritas maupun masyarakat minoritas di Kota Pematangsiantar, sama-sama tidak mengedepankan etnis masing-masing. Sesama etnis berusaha untuk melebur antara satu sama lain untuk menciptakan kondisi lingkungan hidup yang rukun dan kondusif di tengah keanekaragaman yang ada. Terlihat dari aktifnya masing-masing etnis untuk mengikuti aktifitas sosial dan politik.

- Multikulturalisme Kosmopolitan

Masyarakat minoritas dan masyarakat mayoritas di Kota Pematangsiantar sama-sama menghapuskan perbedaan yang ada sebagai imbas dari keaenekaragaman yang ada. Masing-masing etnis berusaha menerima pola dan kebudayaan antara satu dengan yang lain.

Melihat pembagian multikultural menurut Parekh, bila dibandingkan dengan keadaan yang ada dalam masyarakat Pematangsiantar, terdapat sebuah gambaran bahwa tidak ada diskriminasi etnis maupun sentiment etnis antara etnis


(44)

mayoritas dan minoritas. Masing-masing etnis berusaha untuk memberikan kondisi hidup yang nyaman di antara pembauran kebudayaan yang ada.

Kondisi masyarakat yang beragam di Kota Pematangsiantar secara tidak langsung menciptakan identitas yang berbeda pada masing-masing etnis. Identitas sebagai ciri khas masing-masing etnis menciptakan pola interaksi yang berbeda pula. Sehingga dengan pola interaksi yang berbeda melahirkan peran yang berbeda, dimana peran mengacu pada bagaimana seseorang melakukan perannya ketika menduduki posisi tertentu dalam konteks sosial tertentu.

Pembagian pribadi dalam identitas sosial di Kota Pematangsiantar, bila dibandingkan dengan teori indentitas sosial menurut Hecht adalah:

- Pribadi Lapisan

Masyarakat minoritas maupun masyarakat mayoritas sama-sama ambil bagian dalam proses kehidupan sosial dan politik. Masyarakat minoritas yang minim peran dalam proses pencalonan anggota legislatif, juga mengambil peran yang lain, dengan tidak menjadi calon, tetap aktif menjadi tim pemenangan dan ikut menggunakan hak pilihnya. Masyarakat minoritas juga ikut ambil bagian dalam pemangku jabatan eksekutif. Adanya masyarakat minoritas yang menduduki jabatan eksekutif menjadi pembuktian bahwa tidak ada diskriminasi penggolongan jabatan dari pemerintah terhadap masyarakat minoritas di Kota Pematangsiantar.


(45)

- Berlaku

Masyarakat minoritas mampu menyesuaikan diri dengan kondisi lingkungan yang didominasi oleh masyarakat etnis Batak baik dalam kehidupan sosial maupun politik. Dalam kehidupan sosial mereka dapat berbaur dengan kebiasaan hidup masyarakat Batak, terlebih dalam proses adat. Dalam hak-hak politik, sekalipun ada kecenderungan untuk sekedar mengikuti pemerintahan yang ada, masyarakat minoritas tetap berusaha memberikan peran dengan menduduki jabatan di eksekutif.

- Relasional Layer

Antara masyarakat mayoritas dan masyarakat minoritas sama-sama hidup berbaur dengan tujuan yang sama, mencapai hidup rukun dan toleran. Terdapat persamaan peluang dalam kehidupan politik, baik dalam pengakuan Hak Asasi Manusia, perolehan hukum yang setara, pengakuan hak-hak politik dan hak-hak administrasi yang sama. Mereka tidak merasa bahwa pemerintah mendiskriminasikan mereka.

- Komunal

Masyarakat mayoritas maupun minoritas memiliki corak tersendiri yang menggambarkan karakteristik umum dan ingatan kolektif. Kemajemukan yang ada di Kota Pematangsiantar tidak menyamarkan ikatan yang ada dalam suatu kelompok masyarakat dengan etnis tertentu. Misalnya, masyarakat minoritas dalam hal politik memberikan hak pilihnya pada beberapa calon yang sama sebagai bukti bahwa mereka memiliki indikator penilaian tertentu


(46)

yang sama para calon yang mengharapkan hak suara mereka dalam pemilihan anggota legislatif.

Identitas sosial tidak terbentuk dengan sendirinya. Hogg memberikan penjelasan bahwa dalam proses pembentukan identitas individu memiliki 2 motivasi yaitu :53

- Self Enchancemen (peningkatan diri)

Self Enchancemen oleh individu dimanfaatkan untuk memajukan atau menjaga status kelompok mereka terhadap kelompok lain yang berada di luar dirinya. Selain itu juga berfungsi untuk mengavaluasi identitas kolektif. Bila dibandingkan dengan masyarakat di Kota Pematangsiantar, hal ini menjadi jelas bahwa masyarakat minoritas dianggap mampu bersaing untuk menunjukkan kemampuannya dalam bidang politik. Hal ini dapat dilihat dari beberapa pejabat eksekutif yang berasal dari masyarakat etnis minoritas. Kondisi tersebut tidak menjadi penghalang untuk ikut serta dalam kegiatan-kegiatan politik karena tidak adanya perbedaan hak dan kesempatan baik di dalam pemerintahan maupun di masyarakat. Bahkan hasil wawancara dengan seorang narasumber mengatakan bahwa masyarakat minoritas yang duduk dalam struktur pemerintahan di Kota Pematangsiantar dapat meningkatkan rasa bangga dan diharapkan dapat mewakili hak-hak masyarakat minoritas dengan baik.

53

Michael A. Hogg. 2004. The Social Identity Prespective: Intergroup Relation. Self-Conception, and Small Group Research, Vol 35 No.3 June 2004. Sage Publication. hal. 254.


(47)

- Uncertainty Reduction (reduksi yang tidak menentu)

Untertainty Reduction dilakukan untuk mengetahui posisi kondisi sosial dimana ia berada. Tanpa motivasi ini individu tidak tau dirinya sendiri, apa yang harus dilakukan, dan bagaimana mereka harus melakukannya.

Berdasarkan hasil analisa wawancara dengan narasumber masyarakat minoritas di Kota Pematangsiantar memang sudah ada yang ikut serta sebagai kandidat dalam pemilihan anggota eksekutif maupun legislatif. Bahkan sudah ada masyarakat minoritas yang duduk di bangku eksekutif maupun legislatif. Meskipun demikian, jumlahnya masih sangat sedikit. Hal ini disebabkan karena kurangnya minat masyarakat untuk mencalonkan diri disamping kondisi finansial yang belum memadai. Berdasarkan konsep motivasi ini, masyarakat minoritas sudah memiliki kesadaran akan posisi sosial nya sebagai masyarakat sehingga tidak sedikit yang berperan aktif dalam kegiatan-kegiatan politik di Kota Pematangsiantar.

Melihat kondisi yang ada di Kota Pematangsiantar dimana masyarakat minoritas masih minim dalam struktur pemerintahan eksekutif di Kota Pematangsiantar timbul pertanyaan apakah ada kebijakan tertentu yang dikeluarkan oleh pemerintah untuk masyarakat minoritas. Pertanyaan tersebut dijawab oleh Bapak Hulman Sitorus demikian :54

“Saya rasa perlakuan politik multikultural di Pematangsiantar ini tidak ada pembedaan antara minoritas dan mayoritas, semuanya mempunyai hak dan kewajiban yang sama terkhusus dalam hal politik sama-sama mempunyai kesempatan yang sama.”

54

Hasil wawancara dengan mantan walikota Kota Pematangsiantar.


(48)

Hal serupa juga dikatakan oleh Bapak Koni Ismael Siregar yaitu :55

“Tidak ada kebijakan khusus terhadap masyarakat minoritas. Akan tetapi sebaiknya pemerintah Kota Pematangsiantar memperhatikan kaum minoritas, karena ini merupakan aset dan peduli dengan perkembangan Kota Pematangsiantar. Kalau dia mendiami Siantar, berarti dia aset yang harus diperhatikan oleh pemerintah Kota Siantar.”

Berdasarkan ekonomi masyarakat minoritas, memang tidak sedikit dari masyarakat etnis minoritas, tergolong dalam keadaan ekonomi masyarakat prasejahtera. Namun, dengan keadaan ekonomi yang demikian, bukan berarti menutup kemungkinan bagi mereka untuk ikut berpartisipasi dalam kegiatan politik. Pemerintah eksekutif sebagai roda pemerintahan daerah, haruslah memberi perhatian khusus bagi masyarakat etnis minoritas yang ada. Masyarakat minoritas yang tergolong dalam golongan prasejahtera, harus diberikan bimbingan khusus dalam pola-pola perbaikan ekonomi. Tidak dapat dipungkiri, bahwa kondisi ekonomi pasti mempengaruhi tingkat entisitas politik sebuah masyarakat, maka pemerintah harus memberikan program khusus bagi masyarakat etnis minoritas yang ada di Kota Pematangsiantar. Program pemerintah eksekutif terhadapat masyarakat minoritas, bukan semata hanya pada bidang ekonomi. Pemerintah eksekutif juga dapat memberikan pendidikan politik bagi masyarakat etnis minoritas melalui pertemuan-pertemuan maupun seminar politik dengan masyarakat desa, dengan menghadirkan mereka sebagai objek bimbingan pemerintah dalam politik.

55

Hasil wawancara dengan mantan wakil walikota Kota Pematangsiantar.


(49)

Dalam susunan pemerintahan birokrasi, pemerintah juga tidak boleh lupa untuk memberikan tempat khusus bagi masyarakat minoritas yang memiliki potensi kinerja yang baik, demi menjaga keterwakilan masyarakat minoritas dalam pemerintahan eksekutif. Peran pemerintah eksekutif dan legislatif dalam membimbing masyarakat etnis minoritas untuk meningkatkan minat dalam kegiatan politik, tidak terlepas dari peran komponen pemerintahan demokrasi.

Komponen pemerintahan demokrasi terdiri oleh:56 1. Para Pemilih

Terdiri dari rakyat yang secara sah memenuhi syarat untuk memberikan suaranya pada lembaga-lembaga yang akan memiliki kekuasaan memerintah.

2. Partai-partai atau kelompok kekuatan sosial politik

Muncul dari tengah-tengah rakyat dan dalam demokrasi, mereka mengadakan asosiasi secara bebas.

3. Badan legislatif

Suatu lembaga perwakilan yang otoritatif yang memikirkan dan membentuk kemauan pemerintah, membuat statute, menetapkan kebijakan dan menentukan anggaran.

4. Badan Eksekutif

Badan/lembaga inilah yang sebagian tugasnya membuat peraturan, sebagian melaksanakan

peraturan-56

Prof. Drs. S. Pamudji, MPA. 1993. Kepemimpinan Pemerintahan di Indonesia. Jakarta. Bumi Aksara Jakarta. hal. 52.


(50)

peraturan dan yang sebagian lagi bertanggung jawab untuk menetapkan politik luar negeri dan melaksanakan kepemimpinan umum dalam pemerintahan.

5. Pejabat-pejabat karier

Membantu pejabat-pejabat eksekutif dan secara tidak langsung juga badan eksekutif.

Pembagian komponen-komponen pemerintahan demokrasi di atas, memberikan penjelasan bahwa masing-masing komponen memiliki fungsi masing-masing dalam masyarakat politik. Pemerintah eksekutif dan legislatif harus memiliki kombinasi yang baik dengan masyarakat, terlebih pada pemerintah legislatif yang langsung mewakili rakyat di parlemen.


(51)

BAB IV PENUTUP

4.1 Kesimpulan

1. Politik multikulturasme adalah politik tentang hak-hak minoritas. Politik multikulturalisme mendorong suatu negara untuk memperluas respek terhadap otonomi kultural terhadap minoritas bangsa dalam bentuk pengakuan hak-hak minoritas. Seperti halnya di Kota Pematangsiantar, dimana dalam pemrintahan eksekutif yang dipimpin oleh etnis Batak Toba lebih dominan dalam hal penentuan pejabat di struktur pemerintahan eksekutif Kota Pematangsiantar tanpa mengesampingkan etnis-etnis yang ada dalam pemrintahan Kota Pematangsiantar.

2. Identitas merupakan produk interaksi simbolik yang menjelaskan hubungan antara masyarakat dan individu atas dasar peran. Peran inin mengacu kepada fungsi atau bagaimana seorang melakukan perannya ketika menduduki posisi tertentu dalam konteks sosial tertentu. Hal ini terjadi pada pemerintahan Kota Pematangsaintar dimana pemrintahan dijalankan oleh walikota sesuai dengan adat istiadat dan asal-usul daai wallikota tersebut. Hal ini terlihat dari bagaimana pejabat-pejabat di struktur pemerintahan eksekutif Kota Pematangsiantar hampir didominasi orang-orang yang satu etnis dengan walikota.

3. Dampak positif dari politik multikulturalisme di Kota Pematangsiantar adalah sistem pemerintahan di Kota Pematangsiantar berjalan dengan baik. Hal ini


(52)

ditunjukkan dengan bagaimana etnis mayoritas dapat menaungi kepentingan dari etnis minoritas.

4. Dampak negatif dari politik multikulturalisme di Kota Pematangsiantar adalah belum sejajarnya keberagaman etnis dalam komposisi pemerintahan eksekutif di Kota Pematansiantar dan sangat kuatnya peran dari walikota untuk menentukan pejabat-pejabat dalam struktur pemerintahan eksekutif Kota Pematangsiantar.

4.2 Saran

1. Perlunya kesejajaran dalam pembagian pejabat di struktur pemerintahan Kota Pematangsiantar.

2. Dalam mengisi struktur pemerintahan diharapkan dilihat dari kualitas pendidikan dari tiap-tiap orang yang ada dalam struktur pemerintahan eksekutif.


(53)

BAB II

PROFIL KOTA PEMATANGSIANTAR, SUMATERA UTARA

2.1Kondisi Geografis Kota Pematangsiantar

Kota Pematangsiantar merupakan wilayah yang berada di tengah-tengah Kabupaten Simalungun, yakni pada ketinggian 400-500 meter dpl (diatas permukaan laut), yang secara geografis terletak pada garis 2o 53’ 20”-3o 01’ 00” Lintang Utara dan 99o 1’ 00”-99o 6’ 35” Bujur Timur. Kota Pematangsiantar tergolong ke dalam daerah tropis dan daerah datar, beriklim sedang dengan suhu maksimum 30,4oC dan suhu minimum 21,10C. Selama tahun 2013, kelembapan udara rata-rata 85%. Rata-rata tertinggi pada bulan Januari dan Oktober, masing-masing mencapai 88%, sedangkan curah hujan rata-rata 314mm dimana curah hujan tertinggi terjadi pada bulan Desember yang mencapai 560mm23.

Luas daratan Kota Pematangsiantar adalah 79.971 Km2, yang secara Administratif terdiri dari 8 Kecamatan, yaitu :

1. Kecamatan Siantar Marihat 2. Kecamatan Siantar Marimbun 3. Kecamatan Siantar Selatan 4. Kecamatan Siantar Barat 5. Kecamatan Siantar Utara 6. Kecamatan Siantar Timur 7. Kecamatan Siantar Martoba

23

Badan Pusat Statistik, 2014. Pematangsiantar dalam angka 2014.


(54)

8. Kecamatan Siantar Sitalasari

Adapun luas daerah berdasarkan Kecamatan adalah sebagai berikut: Tabel 2.1:

Luas Daerah Berdasarkan Kecamatan

No Kecamatan Jumlah Kelurahan Luas Wilayah (Km2)

Luas (%)

1 Siantar Marihat 7 7,825 9,78

2 Siantar Marimbun 6 18,006 22,52

3 Siantar Selatan 6 2,020 2,53

4 Siantar Barat 8 3,205 4,01

5 Siantar Utara 7 3,650 4,56

6 Siantar Timur 7 4,520 5,65

7 Siantar Martoba 7 18,022 22,54

8 Siantar Sitalasari 5 22,723 28,41

Jumlah 53 79,971 100,00

Sumber Data: Pematangsiantar Dalam Angka 2014.

Melihat hasil dari Tabel 2.1, bahwa Kecamatan Siantar Sitalasari merupakan kecamatan dengan ukuran wilayah yang paling luas dengan luas 22,723 Km2 atau dengan 28,41% luas wilayah Kota Pematangsiantar. Sedangkan kecamatan dengan ukuran wilayah yang paling kecil adalah Kecamatan Siantar Selatan dengan luas 2,020 Km2 atau sekitar 2,53% dari luas wilayah Kota Pematangsiantar.

2.2Sejarah Kota Pematangsiantar

Pematangsiantar merupakan Daerah Kerajaan sebelum Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia. Pematangsiantar yang berkedudukan di Pulau Holing dan raja terakhir dari dinasti ini adalah keturunan marga Damanik yaitu


(55)

Tuan Sang Nawaluh Damanik yang memegang kekuasaan sebagai raja tahun 1906.

Di sekitar Pulau Holing kemudian berkembang menjadi perkampungan tempat tinggal penduduk diantaranya Kampung Suhi Haluan, Siantar Bayu, Suhi Kahean, Pantoan, Suhi Bah Bosar, dan Tomuan. Daerah-daerah tersebut kemudian menjadi daerah hukum Kota Pematangsiantar yaitu :

1. Pulau Holing menjadi Kampung Pematang 2. Siantar Bayu menjadi Kampung Pusat Kota

3. Suhi Kahean menjadi Kampung Sipinggol-pinggol, Kampung Melayu, Martoba, Sukadame, dan Bane

4. Suhi Bah Bosar menjadi Kampung Kristen, Karo, Tomuan, Pantoan, Toba dan Martimbang.

Setelah Belanda memasuki Daerah Sumatera Utara, Daerah Simalungun menjadi daerah kekuasaan Belanda sehingga pada tahun 1907 berakhirlah kekuasaan raja-raja. Kontroleur Belanda yang semula berkedudukan di Perdagangan, pada tahun 1907 dipindahkan ke Pematangsiantar. Sejak itu Pematangsiantar berkembang menjadi daerah yang banyak dikunjungi pendatang baru, Bangsa Cina mendiami kawasan Timbang Galung dan Kampung Melayu.

Pada tahun 1910 didirikan Badan Persiapan Kota Pematangsiantar. Kemudian pada tanggal 1 Juli 1917 berdasarkan Stad Blad No. 285 Pematangsiantar berubah menjadi Gemente yang mempunyai otonomi sendiri.


(56)

Sejak Januari 1939 berdasarkan Stad Blad No. 717 berubah menjadi Gemente yang mempunyai Dewan.

Pada zaman Jepang berubah menjai Siantar State dan Dewan dihapus. Setelah Proklamasi kemerdekaan Pematangsiantar kembali menjadi Daerah Otonomi. Berdasarkan Undang-undang No. 22/ 1948 Status Gemente menjadi Kota Kabupaten Simalungun dan Walikota dirangkap oleh Bupati Simalungun sampai tahun 1957.

Berdasarkan Undang-undang No. 1/ 1957 berubah menjadi Kota Praja Penuuh dan dengan keluarnya Undang-undang No. 18/ 1965 berubah menjadi Kota, dan dengan keluarnya Undang-undang No. 5/ 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah berubah menjadi Kota Daerah Tingkat II Pematangsiantar sampai sekarang. Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 35 Tahun 1981 Kota Daerah Tingkat II Pematangsiantar terbagi atas empat wilayah kecamatan yang terdiri atas 29 Desa/ Kelurahan dengan luas wilayah 12,48 Km2 yang peresmiannya dilaksanakan oleh Gubernur Sumatera Utara pada tanggal 17 Maret 1982. Kecamatan-kecamatan tersebut adalah :

1. Kecamatan Siantar Barat 2. Kecamatan Siantar Timur 3. Kecamatan Siantar Utara 4. Kecamatan Siantar Selatan


(57)

Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 15 Tahun 1986 tanggal 10 Maret 1986 Kota Daerah Tingkat II Pematangsiantar diperluas menjadi 6 wilayah kecamatan, dimana 9 desa/ kelurahan dari wilayah Kabupaten Simalungun masuk menjadi wilayah Kota Pematangsiantar, sehingga Kota Pematangsiantar terdiri dari 38 desa/ kelurahan dengan luas wilayah menjadi 70,230 Km2. Kecamatan-kecamatan tersebut yaitu :

1. Kecamatan Siantar Barat 2. Kecamatan Siantar Timur 3. Kecamatan Siantar Utara 4. Kecamatan Siantar Selatan 5. Kecamatan Siantar Marihat, dan 6. Kecamatan Siantar Martoba

Selanjutnya, pada tanggal 23 Mei 1994 dikeluarkan kesepakatan bersama Penyesuaian Batas Wilayah Administrasi antara Kota Pematangsiantar dan Kabupaten Simalungun. Adapun hasil kesepakatan tersebut adalah wilayah Kota Pematangsiantar menjadi seluas 79,9706 Km2. Pada tahun 1997 Wilayah Administrasi di Kota Pematangsiantar mengalami perubahan status sesuai dengan SK yang meliputi :

1. SK Gubsu No. 140. 050. K/ 97 tertanggal 13 Februari 1997 dan direalisasikan oleh SK Walikota KDH Tk II Kota Pematangsiantar No.


(58)

140/1961/Pem/97 tertanggal 15 April 1997 tentang: Pembentukan Lima Kelurahan Persiapan di Kec. Siantar Martoba

2. SK Gubsu No. 140/2610. K/95 tertanggal 4 Oktober 1995 serta direalisasikan oleh SK Walikota KDH TK II Kota Pematangsiantar No. 140/1961/Pem/97 tertanggal 2 Juli 1997 tentang Perubahan Status 9 (Sembilan) Desa menjadi Kelurahan.

Sehingga pada tahun 1997 wilayah administrasi Kota Pematangsiantar menjadi 43 Kelurahan. Pada tahun 2007, diterbitkan 5 Peraturan Daerah tentang pemekaran wilayah administrasi Kota Pematangsiantar yaitu :

1. Peraturan Daerah No. 3 Tahun 2007 tentang Pembentukan Kecamatan Siantar Sitalasari

2. Peraturan Daerah No. 6 Tahun 2007 tentang Pembentukan Kecamatan Siantar Marimbun

3. Peraturan Daerah No. 7 Tahun 2007 tentang Pembentukan Kelurahan Bah Sorma

4. Peraturan Daerah No. 8 Tahun 2007 tentang Pembentukan Kelurahan Tanjung Tongah, Naga Pitu dan Tanjung Pinggir

5. Peraturan Daerah No. 9 Tahun 2007 tentang Pembentukan Kelurahan Parhorasan Nauli, Sukamakmur, Marihat Jaya, Tong Marimbun, Mekar Nauli, dan Nagahuta Timur.


(59)

Dengan demikian jumlah Kecamatan di Kota Pematangsiantar ada sebanyak 8 (delapan) kecamatan dengan jumlah kelurahan sebanyak 53 (lima puluh tiga) Kelurahan.

Pada tabel berikut ini dicantumkan para pejabat Walikota KDH yang penuh memegang tampuk pimpinan di Kota Pematangsiantar sampai sekarang.

Tabel 2.2:

Nama Pejabat Walikota KDH TK. II Pematangsiantar Sejak Tahun 1956 Sampai Sekarang

NO Nama Masa Jabatan

1. O.K.H Salamuddin 1956-1957 2. Jamaluddin Tambunan 1957-1959 3. Rakoetta Sembiring 1960-1964

4. Abner Situmorang Juni 1964 - Agustus 1964

5. Pandak Tarigan 10 Agustus 1964 – 31 Agustus 1965 6. Zainuddun Hasan 31 Agustus 1965 – 17 Desember 1966 7. Tarif Siregar 1 Oktober 1965 – 7 Desember 1966 8. Drs. M. Pardede 28 Desember 1966 – 24 April 1967 9. Letkol Leurimba Saragih 25 April 1967 – 28 Juni 1974 10. Kol. Sanggup Ketaren 29 Juni 1974 – 29 Juni 1979 11. Kol. Drs. MJT. Sihotang 29 Juni 1979 – 29 Juni 1984 12. Drs. Jabanten Damanik 29 Juni9 1984 – 29 Juni 1989 13. Drs. Zulkufli Harahap 29 Juni 1989 – 29 Juni 1994 14. Drs. Abu Hanifah 29 Juni 1994 – 25 Mei 2000 15. Drs. Marim Purba 25 Mei 2000 – Januari 2005 16. Ir. R.E Siahaan Agustus 2005 – Oktober 2010 17. Hulman Sitorus, S.E Oktober 2010 – Sekarang Sumber: www.pematangsiantarkota.go.id

2.3Komposisi Penduduk Kota Pematangsiantar

Kota Pematangsiantar dihuni oleh masyarakat asli setempat dan pendatang, dengan total jumlah penduduk sebanyak 237.434 jiwa dengan kepadatan penduduk 2969 jiwa per km2. Penduduk perempuan di Kota Pematangsiantar lebih banyak dari penduduk laki-laki. Pada tahun 2013,


(1)

karenanya peneliti ingin berterimakasih kepada Bapak Prof. Dr. Badaruddin, M. Si, selaku Dekan FISIP USU. Kepada Ibu Dra. T. Irmayani, M.Si sebagai Ketua Jurusan Departemen Ilmu Politik, Bapak Drs. P. Anthonius Sitepu, M.Si, Sekretaris Departemen Ilmu Politik FISIP USU yang sudah mendukung mahasiswa seperti peneliti untuk meneliti mengenai persoalan ini.

Peneliti juga berterimakasih kepada Bapak DR. Warjio, MA sebagai Dosen Pembimbing yang senantiasa memberikan waktu dan banyak bimbingan berupa masukan dan kritik yang sangat membangun dalam penyelesaian skripsi ini. Selanjutnya, peneliti ingin berterimakasih kepada seluruh staf pengajar Departemen Ilmu Politik yang telah membimbing, menambah wawasan dan pengetahuan peneliti selama perkuliahan. Terimakasih kepada pegawai Departemen Ilmu Politik dan FISIP USU yang membantu penulis dalam urusan administratif kampus, peneliti berterimakasih untuk semuanya.

Dalam penulisan skripsi ini, secara khusus peneliti menyampaikan rasa terima kasih kepada orangtua tercinta, Ayahanda Julian Arnold Silitonga dan Ibunda Nursia br. Siahaan yang telah membesarkan, mendidik, menyayangi, mendukung dan mendoakan peneliti sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini. Kepada abang, kakak dan adik tersayang dan juga kepada seluruh keluarga besar peneliti yang tidak dapat di sebutkan satu persatu. Kepada teman-teman Bozzour Fams saya ucapkan terimakasih telah memberi pembelajaran, dukungan, semangat, nasehat, doa dan kehadiran sebagai keluarga kecil selama menjalankan study di Departemen Ilmu Politik dan teman-teman Ilmu Politik stambuk 2010. Peneliti juga mengucapkan terima kasih kepada kawan-kawan IMKA PASID. Dan juga kepada sahabat penulis Riska Liani Hutagalung yang selalu mendukung


(2)

dan juga menanyakan kapan wisuda, dan juga kepada semua sahabat-sahabat penulis yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.

Peneliti menyadari bahwa penulisan skripsi ini tidak terlepas dari kesalahan dan kekurangan. Oleh sebab itu, peneliti sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua pihak untuk kesempurnaan skripsi ini. Akhirnya peneliti mengharapkan semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi perkembangan studi Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

Medan, 30 Maret 2016


(3)

DAFTAR ISI

Halaman HALAMAN JUDUL

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN PERSETUJUAN ... iv

LEMBAR PERSEMBAHAN ... v

KATA PENGANTAR ... vi

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR TABEL DAN GAMBAR ... xii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 14

1.3 Pembatasan Masalah ... 14

1.4 Tujuan Penelitian ... 15

1.5 Manfaat Penelitian... 15

1.6 Kerangka Teori... 16

1.6.1 Teori Politik Multikultural... 16

1.6.2 Teori Identitas Sosial ... 22

1.7 Metodologi Penelitian ... 25

1.7.1 Metode Penelitian ... 25

1.7.2 Jenis Penelitian ... 25


(4)

1.7.3 Teknik Pengumpulan Data ... 26

1.7.4 Teknik Analisa Data ... 27

1.8 Sistematika Penulisan ... 28

BAB II PROFIL KOTA PEMATANGSIANTAR, SUMATERA UTARA ... 30

2.1 Kondisi Geografis Kota Pematangsiantar ... 30

2.2 Sejarah Kota Pematangsiantar ... 31

2.3 Komposisi Penduduk Kota Pematangsiantar ... 36

2.4 Komposisi Pemerintahan Kota Pematangsiantar ... 41

BAB III ANALISIS POLITIK MULTIKULTURALISME DI KOTA PEMATANGSIANTAR ... 46

3.1 Kondisi Politik Multikulturalisme Pada Struktur Pemerintahan Eksekutif Kota Pematangsiantar ... 48

3.2 Implementasi Politik Multikulturalisme Dalam Komposisi Pemerintahan Eksekutif di Kota Pematangsiantar ... 60

BAB IV PENUTUP 4.1 Kesimpulan ... 81

4.2 Saran ... 82


(5)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Pedoman Wawancara

Lampiran 2. Transkrip Wawancara dengan Hulman Sitorus Lampiran 3. Transkrip Wawancara dengan Koni Ismael Siregar Lampiran 4. Transkrip Wawancara dengan Arapen Ginting Lampiran 5. Transkrip Wawancara dengan Russel Sipayung Lampiran 6. Transkrip Wawancara dengan Pendeta Robert Lampiran 7. Transkrip Wawancara dengan Aprijal Koto Lampiran 8. Transkrip Wawancara dengan Carlos Purba


(6)

DAFTAR TABEL DAN GAMBAR

Tabel 1.1 Struktur Organisasi Pemerintahan Kota Pematangsiantar

Periode 2010-2015 ... 38

Tabel 2.1 Luas Daerah Berdasarkan Kecamatan ... 31

Tabel 2.2 Nama Pejabat Walikota KDH TK. II Pematangsiantar Sejak Tahun 1956 Sampai Sekarang ... 36

Tabel 2.3 Jumlah Penduduk Per Kecamatan Menurut Jenis Kelamin ... 37

Tabel 2.4 Jumlah Penduduk Berdasarkan Agama ... 38

Tabel 2.5 Tingkat Pendidikan Terakhir Penduduk Per Kecamatan ... 40

Tabel 2.6 Struktur Organisasi Pemerintahan Kota Pematangsiantar Periode 2010-2015 ... 41

Tabel 2.7 Jumlah Anggota DPRD Menurut Partai dan Jenis Kelamin Periode 2009-2014 ... 44