3.1 Kondisi Politik Multikulturalisme Pada Struktur Pemerintahan
Eksekutif Kota Pematangsiantar
Kota Pematangsiantar merupakan kota yang memiliki keberagaman etnis dan agama. Secara umum mayoritas penduduk di kota Pematangsiantar
merupakan etnis Batak Toba dan merupakan pemeluk agama Kristen Protestan. Selain Batak Toba, Kota Pematangsiantar juga dihuni oleh etnis lain yaitu Jawa,
Batak Simalungun, Batak Mandailing, Tionghoa, Minang, Batak Karo, Melayu, Nias, Aceh, Pakpak dan lain-lain. Komposisi penduduk memang belum tentu
memberikan pengaruh terhadap politik multikulturalisme, akan tetapi dapat memberikan sebuah gambaran tentang keberagaman yang ada di daerah tertentu.
Memiliki penduduk yang mayoritas Batak Toba membuat Kota Pematangsiantar menjadi daerah yang masih memiliki budaya dan adat yang
sangat kental, sehingga dalam kegiatan sosial apapun keberadaan adat Batak Toba sering dikaitkan dengan norma-norma sosial lainnya, dengan arti lain bahwa
hukum adat tetap memegang pengaruh yang cukup kuat dalam mengatur kehidupan sosial masyarakat di Pematangsiantar.
Sistem kekerabatan masyarakat Batak Toba menempatkan posisi seseorang secara pasti sejak dilahirkan hingga meninggal dalam tiga posisi yang
disebut Dalihan Na Tolu. Bungaran Simanjuntak menjelaskan bahwa Dalihan Na Tolu dapat diartikan sebagai tumpuan tiga serangkai atau dalam defenisi lebih
jelas, Dalihan Na Tolu merupakan suatu sistem sosial di tanah Batak yang
48
Universitas Sumatera Utara
menempatkan posisi masing-masing orang Batak pada kedudukan tertentu dimana setiap kedudukan ini mempunyai fungsi dan tanggung jawab tersendiri.
27
Dalihan Na Tolu yang dimaksud adalah : a.
Hula-hula atau Tondong yaitu kelompok orang yang posisinya “diatas”. Dalam hal ini adalah keluarga marga pihak istri, sehingga disebut “somba
marhula-hula” yang berarti harus hormat kepada keluarga pihak istri agar memperoleh keselamatan dan kesejahteraan.
b. Dongan tubu atau Sanina, yaitu kelompok orang yang posisinya “sejajar”.
Dalam hal ini adalah teman atau saudara semarga, sehingga disebut “manat mardongan tubu” yang artinya menjaga persaudaraan agar
terhindar dari perseteruan. c.
Boru, yaitu kelompok orang yang posisinya “dibawah”. Dalam hal ini saudara perempuan kita dan pihak marga suaminya, sehingga disebut “elek
marboru” yang artinya selalu saling mengasihi agar mendapat berkat. Dalihan Na Tolu bukan kasta, karena setiap orang Batak memiliki ketiga
posisi tersebut. Ada saatnya menjadi hula-hula, ada saatnya menempati posisi dongan tubu dan ada saatnya menempati posisi boru. Dengan Dalihan Na Tolu,
adat Batak tidak memandang posisi seseorang berdasarkan pangkat, harta atau status seseorang.
27
Bungaran Simanjuntak. 2006. Struktur Sosial dan Sistem Politik Batak Toba. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. hal. 100.
49
Universitas Sumatera Utara
Dalam masyarakat Batak Toba terdapat suatu susunan silsilah marga yang disebut “Tarombo”. Hubungan sosial kemasyarakatan Batak tidak dapat berjalan
tanpa marga dan tarombo. Marga dan tarombo memudahkan hubungan antar orang Batak dimanapun berada, karena orang Batak bersaudara dan satu nenek
moyang. Selain konsep Dalihan Na Tolu terdapat pula 9 nilai budaya Batak yang
mencakup segala aspek kehidupan orang Batak yaitu kekerabatan, religi haporseaon atau ketaatan kepada Tuhan, hagabeon, hukum, kemajuan, konflik,
hamoraon, hasangapon dan pangayoman. Tiga dari nilai tersebut dipandang sebagai misi budaya suku Batak, yaitu hagabeon anak, hamoraon kekayaan,
dan hasangapon kehormatan. Adat Batak Toba di Pematangsiantar masih cukup kuat, terlihat pada pola
hidup dan pesta-pesta seperti pesta pernikahan yang diselenggarakan sesempurna mungkin sesuai aturan Batak Toba, tanpa adanya penyederhanaan adat. Dalihan
Na Tolu terlihat sudah dipahami dengan baik oleh masyarakat mayoritas bahkan minoritas di Kota Pematangsiantar. Hal ini terlihat dalam beberapa peristiwa, baik
itu pertemuan jual-beli di pasar, saling tegur-sapa, bahkan ketika etnis lain menghadiri upacara adat etnis Batak, masyarakat di luar etnis Batak di Kota
Pematangsiantar seolah paham untuk memaknai tiga dasar norma tersebut. Mereka sudah menganggap tiga dasar norma itu juga merupakan salah satu bagian
dari kehidupan sehari-hari dan tidak bisa lepas dari mereka. Masyarakat etnis minoritas juga tidak sedikit yang sudah lancar melafalkan dan berbicara dalam
50
Universitas Sumatera Utara
Bahasa Batak. Bukti pembauran lainnya adalah, dalam setiap pesta adat Batak, masyarakat etnis minoritas juga memiliki tempat tersendiri. Pesta adat Batak yang
biasanya kental dengan keberadaan daging babi, memberikan tempat tersendiri dengan hidangan yang berbeda pula. Hidangan yang tersedia bagi mereka di luar
etnis Batak disebut dengan Parsubang yang artinya hidangan tersebut tidak menghidangkan daging babi atau hidangan nasional.
Kota Pematangsiantar adalah Kota yang tenang dan toleran. Di sepanjang sisi Kota ini dapat ditemukan berbagai tempat ibadah dari berbagai agama.
Terdapat pula beberapa rumah ibadah yang berdiri berdampingan, seperti Masjid Bakti dan Gereja Kristen Protestan Indonesia di Kelurahan Pondok Sayur,
Kecamatan Martoba. Juga terdapat Wihara Avalokitesvara yang di depannya berdiri kokoh patung Dewi Kwan Im setinggi 22,8 meter.
Setara Institute pada bulan Agustus hingga Oktober 2015 mengadakan penelitian terkait tingkat toleransi beragama di setiap kota di Indonesia dengan
berpedoman pada empat variabel yakni regulasi pemerintah, tindakan pemerintah, regulasi sosial atau peristiwa dan juga demografi agama. Dari penelitian yang
diadakan oleh Setara Institute tersebut dapat disimpulkan bahwa dua kota dari Sumatera Utara masuk dalam daftar peringkat tertinggi dimana Pematangsiantar
berada di peringkat pertama dan diikuti oleh Kota Sibolga di urutan keenam. Harmoni dalam kehidupan pasar juga berlangsung dengan baik. Pedagang
yang berbeda etnis dan agama berjualan secara berdampingan. Kemajemukan
51
Universitas Sumatera Utara
yang ada tersebut tidak menyebabkan adanya diskriminasi. Hal ini menunjukkan bahwa kehidupan sosial karena perbedaan etnis tidaklah memberikan dampak
yang negatif. Sebaliknya, adanya perbedaan tersebut meningkatkan toleransi serta memberikan keindahan dan warna tersendiri bagi Kota Pematangsiantar.
Hal ini sesuai dengan pernyataan salah satu masyarakat etnis minoritas dari etnis Minang Bapak Aprijal Koto yang mengatakan:
28
“Tidak ada perbedaan antara masyarakat mayoritas dan minoritas. Perbedaan suku dan agama merupakan hal yang dianggap wajar.
Saling menghormati dan tolong-menolong adalah hal yang harus dilakukan setiap saat untuk menjaga kerukunan bersama”.
Kota Pematangsiantar memiliki masyarakat yang majemuk. Kemajemukan yang ada terdiri dari keanekaragaman suku bangsa, budaya, agama, ras dan
bahasa. Keanekaragaman memang identik dengan perbedaan, namun perbedaan yang dimiliki itu bukanlah suatu hal yang dapat dijadikan alasan untuk saling
memisahkan diri sebaliknya sebagai perekat yang mempersatukan setiap masyarakat di Kota Pematangsiantar. Kondisi masyarakat yang hidup
berdampingan sangat erat dengan budaya yang dianut oleh masyarakat mayoritas yakni etnis Batak Toba dimana saling menghargai, bekerja sama dan saling
membantu merupakan prinsip dasar dalam kehidupan bermasyarakat. Kondisi yang demikian tidaklah berlangsung secara tiba-tiba. Setiap
masyarakat harus mempelajari budaya yang ada hingga kemudian memahami dan
28
Hasil wawancara dengan salah seorang etnis minoritas di Kota Pematangsiantar.
52
Universitas Sumatera Utara
menerima perbedaan tersebut sebagai kekayaan negara. Di antara unsur budaya yang paling signifikan yang harus dipelajari seseorang adalah nilai values,
norma norms, dan peranan roles. 1.
Nilai-nilai sebuah kultur dianggap mengidentifikasi dianggap ideal, tujuan paling tinggi dan standar paling umum untuk memastikan baik dan buruk
atau yang disukai dan yang dibenci. 2.
Norma merupakan kaidah yang mengatur perilaku rules governing behavior. Norma menetapkan perilaku yang diperlukan, yang dapat
diterima, atau yang dilarang dalam keadaan tertentu. Norma mengidentifikasi bahwa seseorang seharusnya bertindak dengan cara
tertentu. Nilai dengan norma saling terkait dan nilai membenarkan norma. 3.
Sedangkan peranan role adalah kumpulan norma yang terkait dengan kedudukan tertentu dalam suatu masyarakat. Ini berarti norma-norma
menjelaskan bagaimana kita mengharapkan seseorang dalam kedudukan tertentu berbuat atau tidak berbuat. Struktur sosial ditata oleh peranan,
dimana dalam setiap situasi sosial, kita memiliki peranan yang relatif jelas untuk dijalankan.
29
Perkembangan politik di Kota Pematangsiantar sudah berlangsung dengan cukup baik. Hal ini dapat dilihat dari pastisipasi masyarakat yang sangat tinggi
dan kondusifitasnya yang masih terjaga. Selain itu, kondisi Kota Pematangsiantar
29
Nur A Fadhil Lubis. 2006. Multikulturalisme Dalam Budaya. Jurnal Antropologi Sosial Budaya ETNIVISI. Vol II. No. 1 April 2006. hal.
53
Universitas Sumatera Utara
yang terdiri dari berbagai etnis dan agama juga tidak menimbulkan diskriminasi dalam partisipasi politik.
Mantan Walikota Bapak Hulman Sitorus mengatakan bahwa :
30
“Perkembangan politik dikota Pematangsiantar sangat dinamis, dimana tingkat kepedulian dan partisipatif masyarakat sangat
tinggi dan dinamikanya juga sangat tinggi. Sehingga Dinamika Politik di Siantar terkenal dengan “ yang tidak mungkin terjadi,
bisa menjadi mungkin terjadi “. Dan jika dilihat dari keberagaman etnis dan agama yang ada di Kota Pematangsiantar,
tidak ada pengaruh yang bermakna dalam perkembangan politik. Tujuan politik adalah untuk mencapai kekuasaan, oleh karenanya
hal yang wajar dalam strategi para elit politik memakai pendekatan etnis dan agama dalam pencapaian kemenangan
merebut kekuasaan, namun dalam beberapa kali pelaksanaan Pemilu maupun Pemilihan Kepala Daerah tidak begitu efektif.
Sebagai contoh dalam pemilihan anggota DPRD maupun Kepala Daerah, Jika memakai logika dalam pemilihan legislative maka
perwakilan di DPRD tersebut dengan jumlah 30 anggota Dewan, untuk calon muslim yang terpilih idealnya minimal 13 kursi,
namun relitanya lain, begitu juga dalam pemilihan KDH”.
Hal yang serupa juga dikatakan oleh mantan Wakil Walikota Bapak Koni Ismael Siregar bahwa :
31
“Kondisi politik di Kota Pematangsiantar sangat baik jika dilihat dari segi agama dan etnis yang beragam. Hal ini dapat dilihat dari
sikap toleransi antar agama dan etnis yang ada di Kota Pematangsiantar. Sampai saat ini sara atau bentrok antar agama
dan etnis tidak pernah terjadi, dan harus kita akui stabilitas politik di Pematangsiantar sangat baik, dan diharapkan ini menjadi
contoh buat daerah lain di Sumatera Utara.”
30
Hasil wawancara dengan mantan walikota Kota Pematangsiantar.
31
Hasil wawancara dengan mantan wakil walikota Kota Pematangsiantar.
54
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan hasil wawancara diatas, tidak diragukan lagi bahwa Kota Pematangsiantar adalah kota yang memiliki toleransi yang tinggi ditengah-tengah
keberagaman etnis bahkan agama. Bapak Hulman Sitorus memang tidak memungkiri adanya strategi para elit politik yang menggunakan pendekatan etnis
dan agama untuk mencapai kekuasaan. Namun hal ini tidak memberikan pengaruh yang bermakna dalam Pemilihan Kepala Daerah maupun anggota DPRD. Sebagai
contoh dalam pemilihan anggota legislatif dengan kandidat terpilih sebanyak 30 anggota dewan yang jika dilihat dari segi agama tidak berimbang antara Kristen
dan Islam. Multikulturalisme di Indonesia bersumber pada UUD 1945 yang
menyatakan bahwa bangsa dan masyarakat Indonesia terdiri dari beragam kelompok etnis yang memiliki komitmen untuk membangun Indonesia sebagai
suatu bangsa. Multikulturalisme di Kota Pematangsiantar dapat dinilai dari segi
keanekaragaman yang terdapat dalam pemerintahan, baik legislatif maupun eksekutif. Sudharto mengatakan bahwa multikulturalisme mensyaratkan adanya
keterlibatan atau peran serta antar pihak dalam sebuah komunitas besar bernama bangsa. Multikulturalisme mensyaratkan persemaian dalam ruang publik dimana
masing-masing saling memberdayakan, tidak sekedar toleransi, tetapi mempersyaratkan usaha untuk saling memahami antara satu dengan yang lain.
Dalam masyarakat multikultural haruslah terjadi komitmen antara masyarakat
55
Universitas Sumatera Utara
budaya yang satu terhadap masyarakat budaya lain dengan segala karakteristiknya.
32
Dalam wawancara dengan mantan walikota Bapak Hulman Sitorus dikatakan bahwa :
33
“Politik multikultural sudah berjalan dengan baik di Kota Pematangsiantar. Masyarakat dapat menerima adanya perbedaaan
etnis yang ada dalam struktur Pemerintahan Kota Pematangsiantar.”
Mantan wakil walikota Bapak Koni Ismael Siregar juga mengatakan hal yang sama:
34
“Politik multikultural sangat penting untuk dilakukan karena multikutural merupakan salah satu persyaratan agar stabilitas dan
kondusifitas di Kota Pematangsiantar tetap terjaga, multikultural ini juga tidak menjadikan perbedaan antara agama dan etnis yang
ada, melainkan sebagai perekat. Multikultural ini saya lihat juga sebagai penguatan antar agama dan etnis.”
Kondisi diatas menunjukkan bahwa Kota Pematangsiantar adalah tempat yang aman bagi setiap etnis dan agama yang ada di Indonesia karena toleransi
yang dimiliki oleh masyarakatnya sangat tinggi. Keberagaman yang ada tidak menyebabkan perpecahan, sebaliknya menjadi kekuatan untuk pengembangan
Kota Pematangsiantar. Hal ini dapat dilihat dari sejarah Kota Pematangsiantar bahwa tidak ada bentrok yang pernah terjadi karena keanekaragaman etnis dan
32
Sudharto. 2012. Multikulturalisme dalam Perspektif Empat Pilar Kebangsaan, Jurnal ilmiah CIVIS, Volume II, No 1. hal. 121.
33
Hasil wawancara dengan mantan walikota Kota Pematangsiantar.
34
Hasil wawancara dengan mantan wakil walikota Kota Pematangsiantar.
56
Universitas Sumatera Utara
agama. Masyarakat di Kota Pematangsiantar sebagai masyarakat multikultural sudah mampu menerima adanya perbedaan etnis yang tentunya akan
mempengaruhi pola hidup masyarakat di Kota Pematangsiantar. Politik multikulturalisme, bukan hanya sekedar melihat keanekaragaman
yang ada dalam komposisi penduduk, tetapi lebih menyeluruh terhadap keanekaragaman yang terdapat dalam pemerintahan kota. Berjalannya politik
multikulturalisme di Kota Pematangsiantar dibuktikan dengan pembagian pejabat pada masa kepemimpinan Hulman Sitorus pada tahun 2010-2015 yang terdiri dari
berbagai etnis mulai dari pejabat Eselon IV sampai Eselon II yakni: 36 orang suku Batak Toba, 11 orang suku Batak Simalungun, 2 orang suku Batak Karo, 4 orang
suku Batak Mandailing, 7 orang suku Jawa dan 1 suku Nias. Dan keberagaman tersebut sudah disadari dan disambut baik oleh masyarakat, bahwa adanya politik
multikulturalisme diharapkan dapat meningkatkan persatuan dan kesatuan bangsa khususnya di Kota Pematangsiantar.
Salah satu anggota legislatif periode 2014-2019 Bapak Arapen Ginting mengatakan bahwa :
35
“Kondisi politik multikultural di kota Pematangsiantar sudah berjalan dengan baik. Dari Pemerintah Kota sudah berusaha
meningkatkan perubahan-perubahan yang nyata. Selain itu sinergitas antara eksekutif dengan legislatif juga telah dibangun
untuk memaksimalkan program kerja pemerintah Kota Pematangsiantar. Beliau juga berpendapat bahwa dalam sistem
perekrutan di lingkungan Pemerintah Kota Pematangsiantar dalam menduduki jabatan tertentu yaitu berdasarkan kemampuan
35
Hasil wawancara dengan salah seorang anggota legislatif Kota Pematangsiantar.
57
Universitas Sumatera Utara
dan kapasitas yang dimiliki oleh tiap individu. Sehingga tidak ada diskriminasi antara etnis mayoritas dan minoritas dalam hal
menduduki jabatan di lingkungan Pemerintah Kota Pematangsiantar.
Pernyataan yang serupa juga dikatakan oleh salah seorang tokoh masyarakat Bapak Russel Sipayung :
36
“Perkembangan politik di kota Pematangsiantar sudah berjalan dengan baik. Dilihat dari keberagaman etnis dan agama di kota
Pematangsiantar, beliau berpendapat bahwa hal ini berpengaruh terhadap kondisi politik akan tetapi dapat diterima sebagai warna
tersendiri dalam pemerintahan. Terkait dengan politik multikultural, beliau mengatakan bahwa pemerintah kota sudah
melaksanakan dengan baik. Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya etnis yang berbeda dari etnis mayoritas yang menduduki
jabatan baik di pemerintahan eksekutif. Beliau berpendapat bahwa kemampuan dan profesionalitas kerja yang dimiliki
merupakan kriteria utama yang menjadi prioritas untuk memperoleh kedudukan dalam pemerintahan di Kota
Pematangsiantar”.
Selain itu, seorang tokoh agama yakni Bapak Pendeta Robert mengatakan bahwa :
37
“Perkembangan politik di Kota Pematangsiantar bertumbuh dengan baik. Hal ini dapat dilihat dari elemen masyarakat yang
cukup berperan sesuai dengan porsi yang ada. Beliau juga mengatakan bahwa sampai saat ini belum ada ketegangan yang
terjadi di tengah masyarakat, misalnya adanya perselisihan dikarenakan perbedaan pendapat. Terkait politik multikultural
yang berjalan di pemerintahan Kota Pematangsiantar, beliau berpendapat bahwa sudah terlaksana dengan baik, terarah dan
teratur. Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya masyarakat diluar etnis mayoritas yang menduduki posisi jabatan di pemerintahan
36
Hasil wawancara dengan salah seorang tokoh masyarakat di Kota Pematangsiantar.
37
Hasil wawancara dengan salah seorang tokoh agama di Kota Pematangsiantar.
58
Universitas Sumatera Utara
eksekutif. Akan tetapi beliau tidak menyangkal bahwa etnis mayoritas masih tetap mendominasi di tingkat pemerintahan
eksekutif.
Hasil wawancara dengan beberapa narasumber diatas dapat disimpulkan bahwa kondisi politik multikulturalisme dalam pemerintahan eksekutif sudah
berjalan dengan baik di Kota Pematangsiantar. Hal ini dapat dilihat dari komposisi pemerintahan eksekutif yang diwarnai oleh berbagai suku dan agama yang
berbeda. Mereka mengatakan bahwa perbedaaan etnis dan agama tidak memberikan pertimbangan khusus bagi sebagian besar masyarakat untuk memilih
kandidatnya. Akan tetapi kemampuan dan profesionalitas kerja yang dimiliki merupakan kriteria utama yang menjadi prioritas untuk memperoleh kedudukan
dalam pemerintahan di Kota Pematangsiantar. Kondisi diatas sesuai dengan pendapat Taylor yang mengatakan bahwa inti
dari konsep parlemen multikultural adalah, setiap kelompok yang ada di Indonesia memiliki perwakilannya langsung di parlemen atau lembaga legislatif. Tugas
mereka adalah menyalurkan suara masing-masing kelompok untuk menciptakan keputusan yang didasarkan atas kepentingan bersama. Namun kelompok-
kelompok tersebut tidak hanya terbatas pada teritori, suku ataupun agama semata melainkan kelompok-kelompok yang memiliki pandangan hidup yang unik serta
partikular.
38
38
Reza A.A Wattimena. 2011. Menuju Indonesia Yang Bermakna: Analisis Tekstual-Empiris Terhadap Pemikiran Charles Taylor Tentang Politik Pengakuan dan Multikulturalisme, Serta Kemungkinan
Penerapannya di Indonesia. Studia Philosophica et Theologica, Vol 11 No 1. hal. 20.
59
Universitas Sumatera Utara
3.2 Implementasi Politik Multikulturalisme Dalam Komposisi Pemerintahan