Pendahuluan Teori-teori Kurikulum

1. Pendahuluan Teori-teori Kurikulum

Model yang dikembangkan dalam buku ini menyajikan satu pendekatan teoritis untuk kurikulum matematika dan identifikasi dari tujuannya. Ini multidisipliner, bertumpu pada pilsafat, sosiologi dan sejarah. Dalam literatur, ada tiga jenis pendekatan yang dapat dibedakan, bergantung pada mana disiplin-disiplin ini mendasarinya. Pertama, terdapat pendekatan pilosopis untuk kurikulum matematika, digunakan oleh Confrey ( 1981 ), Lerman ( 1986 ) dan Nickson (1981). Ini menggunakan filsafat matematika, dan secara khusus, pandangan berbeda sebagaimana absolutisme dan fallibilistme sebagai basis untuk mengidentifikasi filsafat yang mendasari kurikulum matematika. Seperti pendekatan yang disajikan, penulis mengakui makna dari perbedaan filsafat matematika untuk tujuan dan pedagogiknya. Bagaimanapun, mempertimbangkan perspektif filosofi tanpa melokasikan mereka secara social berarti bahwa ketertarikannya disajikan oleh tujuan yang tidak diidentifikasi. Kedua, terdapat pendekatan secara sosiologis, digunakan oleh Moon (1986) dan secara khusus Cooper(1985). Yang mendasari model sosiologis adalah kompetisi kelompok social, dengan membedakan misi dan ketertarikan, yang membentuk aliansi temporer, tidak secara berturut-turut berbeda ideologi, untuk mencapai tujuan-tujuannya. Pendekatan ini kuat dalam mendiskripsikan faktor perubahan sosial, dan tujuan dari kompetisi kelompok.

Pendekatan secara sosiologis yang lain adalah neo-marxists, yang mendasarkan teori pendidikannya pada hubungan yang komplek antara budaya, klas dan capital, berasal dari kerja Mark dan yang lainnya, seperti Gramsci (1971) dan Althusser ( 1971), Williem (1961) termasuk dalam kelompok ini, seperti yang dikerjakan theoris-theoris yang lainnya termasuk Apple ( 1979 , 1982) , Bowles dan Gintis( 1976), Gintis dan Bowles ( 1980 ) dan Giroux ( 1983). Teori-teorinya mulai utnuk diaplikasikan pada kurikulum matematika, dalam Mellin-Olsen ( 1987), Cooper(1989) dan Noss ( 1989, 1989a). Laporan yang mereka buat menawarkan model-model yang powerful dari hubungan antara sekolah, masyarakat dan power, retorika yang lebih dan penjelasan di awal. Bagaimanapun kelemahan umum adalah kurangnya diskusi dari sifat pengetahuan matematika, yang diperlukan untuk laporan kurikulum dan tujuan-tujuannya. Sebuah untaian pemikiran yang mungkin mengkompensasi kekurangan ini adalah Teori Kritis (Marcuse, 1964; Carr dan Kemmis, 1986), yang sedang diterapkan pada kurikulum matematika (Skovsmose, 1985). Ketiga, ada pendekatan historis untuk kurikulum matematika, yang digunakan oleh Howson (1982,1983) dan Howson et al. (1981). Ini jejak sejarah inovasi melalui orang yang berkompeten (Howson, 1982) atau proyek kurikulum (Howson et al., 1981; Howson, 1983). Pendekatannya sebelumnya adalah individualistik, dan risiko kehilangan arah dari ideologi kelompok dan filsafat, dan peran tujuan dalam melayani kepentingan kelompok. Pendekatan historis lebih relevan, karena menawarkan model untuk mengklasifikasi proyek kurikulum matematika menjadi lima jenis (Keitel, 1975): 1 Matematika baru, difokuskan secara luas dengan diperkenalkannya konten matematika modern ke dalam kurikulum, murni atau terapan

2 Behavioris, berdasarkan psikologi behavioris, analisis konten ke dalam tujuan behavioris, dan dalam beberapa kasus, penggunaan instruction yang terprogram.

3 Strukturalis, berdasarkan akuisisi perolehan secara psikologis tentang struktur dan proses matematika, ditandai oleh pendekatan Bruner dan Dienes.

4 Formatif, berdasarkan struktur psikologis pengembangan pribadi (misalnya teori Piaget).

5 Lingkungan terpadu, sebuah pendekatan menggunakan konteks multi- disiplin, dan menggunakan lingkungan baik sebagai sumber daya dan faktor motivasi. Skema ini adalah deskriptif, dan tidak didasarkan pada

satu, teori keseluruhan epistemologis. Malahan ini menggambarkan fitur yang paling khas atau teori yang mendasari masing-masing proyek. Dengan demikian, jenis proyek dicirikan oleh teori pengetahuan matematika sekolah (1); teori belajar, (3, 4); keduanya (2), atau campuran epistemologi, dan teori-teori belajar dan sumber daya (5). Kurangnya dasar sistematis, dalam proyek tidak diperhitungkan untuk dibandingkan, dan tidak ada landasan teoritis yang mendasari, di luar sejarah. (Hal ini dapat dilihat sebagai kekuatan, tetap dekat dengan fenomena sejarah, dan bantuan identifikasi pengaruh satu proyek pada yang lain.) Kelemahan selanjutnya adalah bahwa model tersebut adalah 'internalist', dalam laporan tidak membicarakan tujuan dan ketertarikan kelompok sosial yang terkait dengan proyek, atau lokasi mereka dalam struktur kekuatan masyarakat. Model ini dapat diterapkan pada skema, setidaknya tentang tujuan proyek. Dengan demikian perkembangan matematika baru menyajikan humanis lama atau tujuan pragmatis teknologis, sesuai dengan keseimbangan antara matematika murni dan terapan dalam kurikulum. Gaya kurikulum dari behavioris menggabungkan pelatih industri, teknologis pragmatis dan kemungkinan tujuan humanis lama, karena konten terstruktur matematika yang digabungkan dengan format pengiriman-pelatihan. Strukturalis, formatif dan jenis-lingkungan terpadu semua mewujudkan varian dari tujuan pendidik progresif karena mereka berpusat pada anak-anak dan penekanan pada proses pembelajaran dan penemuan, perkembangan anak, atau pengalaman anak dari lingkungan, berturut-turut. Bagaimanapun, jenis struktur kurikulum juga mencakup tujuan humanis lama, karena menekankan pada struktur matematika. Tidak ada jenis proyek yang mencerminkan tujuan pendidik publik, mungkin karena kurikulum tersebut belum diimplementasikan. Bishop (1988) mengusulkan gagasan tentang 'pendekatan kultural' sebagai jenis keenam dari proyek kurikulum, yang lebih dekat ke tampilan pendidik publik, tetapi tidak sepenuhnya merangkul tujuan perubahan sosial. Analisis ini , dangkal seperti itu, menunjukkan bahwa sebagian besar pola pengembangan kurikulum matematika diidentifikasi oleh Howson, Keitel dan Kilpatrick (1981) berasal dari pendidik progresif, yang kelompoknya penuh dengan kekuatan dalam komunitas pendidikan, meskipun tidak dalam masyarakat yang luas.

B. Pertimbangan Metodologis

Metodologi yang digunakan di bawah ini terdiri dari analisis pernyataan tujuan dokumen kurikulum, dipasangkan dengan rekonstruksi tujuan implisit dalam teks. Ini mirip aktivitas kritik sastra atau sosiolog mencari (atau lebih tepatnya membangun) untuk struktur makna yang lebih dalam dalam dokumen. Alat konseptual utama yang digunakan adalah model ideologi pendidikan. Dilihat melalui lensa ini, asumsi pedagogis dan model dalam dokumen memberikan bukti utama ideologi yang mendukungnya. Fokus pada tujuan berarti perhatian yang terbatas pada yang direncanakan, yang bertentangan dengan kurikulum matematika yang diajarkan dan dipelajari. Akibatnya, ruang lingkup lebih sempit daripada penelitian empiris, seperti Robitaille dan Garden (1989), yang mengeksplorasi ketiga dimensi ini, karena perbedaan mereka dalam praktek.