Sikap epistemologis dan etika
1 Sikap epistemologis dan etika
Filosofi matematika yang berbeda menghasilkan produk yang sangat berbeda dalam hal praktek pendidikannya. Namun hubungannya tidak langsung, dan penyelidikan atas filosofi yang mendukung pengajaran matematika dan kurikulum matematika membuat kita juga harus mempertimbangkan nilai-nilai, ideologi dan kelompok-kelompok sosial yang mentaatinya.
Ideologi
Bagian ini membedakan berbagai ideologi yang tergabung dalam kedua pandangan epistemologis dan etis. Karena konsep 'ideologi’ adalah penting, sangatlah tepat untuk menjelaskan artinya terlebih dulu. Williams (1977) menelusuri satu penggunaan pada Napoleon Bonaparte, di mana hal ini ditandai dengan pemikiran revolusioner, yang dianggap sebagai suatu set ide yang tidak diinginkan dan mengancam cara berpikir baik dan masuk akal '. Hal ini membawa pada penggunaan 'ideologi'yang merendahkan yaitu sebagai teori fanatik atau teori masyarakat tidak praktis. Walaupun Marx pertama kali menggunakan istilah ‘kesadaran palsu ', dimana pemikir 'membayangkan motif yang palsu atau nyata (Meighan, 1986 halaman 174), ia kemudian menggunakannya dalam arti yang dimaksudkan di sini. Dalam pengertian yang lebih sosiologis ini, ideologi adalah suatu filsafat yang bernilai kaya atau pandangan dunia yang menyeluruh, suatu sistem ide dan keyakinan yang saling mengunci satu dengan lainnya. Jadi ideologi yang dipahami di sini menjadi persaingan sistem kepercayaan, menggabungkan kedua sikap nilai epistemologis dan nilai moral, tanpa arti yang bermaksud merendahkan. Perngertian-pengertian tersebut tidak boleh dihadapkan dengan isi ilmu pengetahuan dan matematika, tetapi untuk mendukung dan menyerap
pengetahuan dibidang ini dan untuk mengilhami pemikiran kelompok yang terkait dengannya (Giddens, 1983). Ideologi oleh penganutnya sering dilihat sebagai “cara yang sebenar-benarnya dari semua hal” (Meighan, 1986), karena hal tersebut sering merupakan substratum yang tak terlihat untuk hubungan antara kekuasaan dan dominasi dalam masyarakat (Giddens, 1983; Althusser, 1971). Namun, perlakuan terhadap ideologi yang diberikan di sini menekankan pada aspek epistemologis, etika dan pendidikan, dan kepentingan social; kekuasaan dan dominasi akan dibahas kemudian. Tujuan bab ini adalah untuk menghubungkan filsafat umum dan pribadi dari matematika dan pendidikan. Sebagai tambahan atas filsafat yang secara eksplisit dinyatakan kita juga membahas sistem kepercayaan individu dan kelompok. Keyakinan seperti ini tidak begitu mudah terlepas dari konteksnya sebagai filsafat publik, dan menjadi bagian dari keseluruhan hubungan (nexus) ideologis. Kepercayaan ini terdiri dari komponen yang saling terjalin, termasuk epistemologi pribadi, rangkaian nlai-nilai dan teori-teori pribadi lainnya. Oleh karenanya, dibutuhkan lebihh dari epistemologi untuk menghubungkan fiilsafat publik dengan ideologi pribadi.
Sebagai dasar untuk membedakan ideologi kita mengadopsi teori Perry (1970, 1981). Teori ini adalah teori psikologi tentang perkembangan sikap epistemologis individu dan etis; dan juga merupakan teori struktural yang memberikan/menyiapkan suatu kerangka kerja yang sesuai dengan berbagai macam filosofi yang berbeda dan rangkaian nilai.
A. Teori Perry
Teori Perry menetapkan urutan tahap pengembangan, serta memungkinkan melakukan fiksasi dan pengunduran dari level-level nya. Untuk sederhananya, kami hanya mempertimbangkan tiga tahap yaitu, 'Dualisme, Multiplisitas dan Relativisme. Teori tidak berakhir pada Relativisme, tapi terus melalui beberapa tahap komitmen. Namun tahapan ini tidak mewakili re-strukturisasi radikal keyakinan, tidak seperti entrenchment dan integrasi Relativisme kedalam seluruh kepribadian. Hal yang mendasari Skema Perry adalah asumsi bahwa perkembangan intelektual dan etika mulai tertanam dalam serangkaian keyakinan yang Teori Perry menetapkan urutan tahap pengembangan, serta memungkinkan melakukan fiksasi dan pengunduran dari level-level nya. Untuk sederhananya, kami hanya mempertimbangkan tiga tahap yaitu, 'Dualisme, Multiplisitas dan Relativisme. Teori tidak berakhir pada Relativisme, tapi terus melalui beberapa tahap komitmen. Namun tahapan ini tidak mewakili re-strukturisasi radikal keyakinan, tidak seperti entrenchment dan integrasi Relativisme kedalam seluruh kepribadian. Hal yang mendasari Skema Perry adalah asumsi bahwa perkembangan intelektual dan etika mulai tertanam dalam serangkaian keyakinan yang
Dualisme
Dualisme sederhana adalah penataan bercabang dari dunia antara baik dan buruk, benar dan salah, kami dan lainnya. Pandangan dualistik dicirikan oleh dikotomi sederhana dan ketergantungan yang kuat pada keabsolutan dan otoritas sebagai sumber kebenaran, nilai, dan kontrol. Sehingga dalam hal keyakinan epistemologis, Dualisme menyiratkan
pandangan absolutis terhadap pengetahuan yang dibagi menjadi dua yaitu kebenaran dan kepalsuan, bergantung pada otoritas (penguasa) sebagai arbiter/wasit. Pengetahuan tidak dinilai secara rasional, tetapi dinilai dengan mengacu pada otoritas. Dalam hal keyakinan etika, Dualisme berarti bahwa semua tindakan hanya dinilai atas benar atau salah.
Semua masalah diselesaikan dengan Ketaatan (penyelarasan diri dengan Authority): kepatuhan dan kesesuaian terhadap hak dan apa yang Mereka inginkan. Keinginan/kemauan kekuasaan (Will Power) dan pekerjaan akan menghasilkan kongruensi aksi dan penghargaan. Keserbaragaman (multiplicity) tidak diperhitungkan. Diri didefinisikan terutama oleh keanggotaan dalam hak dan tradisional. (Perry, 1970, akhir-chart)
Keserbaragaman/Multiplisitas
Sebuah pluralitas 'jawaban', sudut pandang atau evaluasi, dengan mengacu pada topik atau masalah yang sama. Pluralitas ini dianggap sebagai kumpulan yang mempunyai ciri-ciri tersendiri (discrete) tanpa struktur internal maupun hubungan eksternal, dalam artian ‘orang memiliki hak untuk memiliki pendapatnya sendiri', dengan implikasi bahwa tidak ada penilaian dapat dibuat terhadap pendapat-pendapat tersebut. (Perry, 1970, akhir-chart)
Pandangan multiplistik mengakui adanya pluralitas jawaban, pendekatan atau perspektif, baik yang bersifat epistemologis ataupun etis, tetapi tidak memiliki dasar pilihan rasionalt antara alternatif--alternatif.
Relativisme
Sudut pandang pluralitas, interpretasi, kerangka acuan, sistem nilai dan kontingensi (ketidaktentuan) yang mana sifat-sifat struktural dari konteks dan bentuk memungkinkan adanya berbagai macam analisis, perbandingan dan evaluasi dalam Multiplisitas. (Peery 1970, end-chart) Secara epistemologis, Relativisme mengharuskan pengetahuan, jawaban dan pilihan dilihat sebagai suatu yang bergantung pada fitur dari konteks, dan dievaluasi atau dibenarkan dalam sistem atau prinsip-prinsip yang diatur. Dari sudut pandang etika, tindakan dianggap diinginkan atau tidak diinginkan berdasarkan kesesuaian dengan konteks dan sistem nilai-nilai dan prinsip-prinsip. Sejumlah peneliti pendidikan menemukan bahwa skema Perry adalah kerangka yang berguna untuk menggambarkan perkembangan intelektual dan etika dan juga keyakinan pribadi. Termasuk juga aplikasinya untuk tingkat pemikiran sistem teori siswa (Salner, 1986), mahasiswa dan siswa jurusan matematika (Buerk, 1982; dkk Stonewater 1988) dan guru matematika 'terkait keyakinan-sistem (Copes, 1982, 1988; Oprea dan Stonewater, 1987; Cooney dan Jones, 1988; Cooney, 1988 Ernest, 1989a). Jadi teori Perry secara luas digunakan untuk menjelaskan filosofi pribadi, khususnya dalam matematika.
B. Filosofi Matematika Pribadi
Kita bisa menghubungkan teori Perry terhadap posisi dalam filsafat matematika. Ini adalah filosofi umum matematika, secara eksplisit dinyatakan dan terbuka bagi debat publik. Di sini kita mempertimbangkan filsafat pribadi matematika, yang merupakan teori pribadi dan implisit kecuali dipikir secara mendalam, dinyatakan secara eksplisit dan dipublikasikan. Perbedaannya adalah bahwa antara pengetahuan objektif dan subjektif, yang dibuat antara lain oleh Polanyi (1958), yang berpendapat tentang pentingnya peran komitmen terhadap pengetahuan pribadi, menunjukkan dukungan terhadap bentuk teori Perry, bukan terhadap detilnya.
Menerapkan teori Perry terhadap filosofi pribadi matematika, pandangan. matematika dapat dibedakan pada masing-masing dari ketiga tingkat tersebut. Pandangan dualistik terhadap matematika menganggapnya berhubungan dengan fakta, aturan, prosedur yang benar dan kebenaran sederhana yang ditentukan oleh otoritas mutlak. Matematika dipandang sebagai tetap dan pasti, tetapi memiliki struktur yang unik. Mengerjakan matematika sama dengan mengikuti aturan.
Matematika dalam pandangan Multiplistik, jawaban dan rute ganda untuk sebuah jawaban adalah diakui, namun dianggap sebagai sama-sama sah, atau hanya sebagai masalah preferensi pribadi seorang. Tidak semua kebenaran matematika, jalur nya atau aplikasinya telah diketahui, sehingga memungkinkan untuk menjadi kreatif dalam matematika dan juga penerapannya. Namun, kriteria untuk memilih dari multiplisitas ini masih kurang.
Pandangan relativistik terhadap matematika mengakui adanya berbagai jawaban dan pendekatan terhadap permasalahan matematika, dan bahwa evaluasinya bergantung pada sistem matematika, atau konteksnya secara keseluruhan. Demikian juga bahwa pengetahuan matematika bergantung pada sistem atau kerangka yang diadopsi, dan terutama pada logika inner ( inner ) matematika. yang menyediakan prinsip-prinsip dan kriteria untuk evaluasi.
Berikutnya Kita hubungkan kelas-kelas pandangan matematika ini terhadap berbagai filsafat matematika yang berbeda, baik publik maupun pribadi. Perbedaan utama dalam filsafat matematika adalah antara absolutisme dan fallibilisme. Aliran pola pikir absolutism menyatakan bahwa pengetahuan matematika adalah pasti, tetapi tetap ada alasan rasional untuk menerima (atau menolak) nya. Pengetahuan matematika terbentuk dalam filsafat ini dengan cara menerapkan logika pada teori matematika. Filosofi ini juga mengakui pendekatan beragam dan solusi yang mungkin bagi permasalahan matematika, bahkan jika ada kebenaran abadi yang dapat ditemukan dengan cara tersebut. Filosofi umum dan system keyakinan publik seperti ini disebut relativistik , karena pengetahuan dievaluasi dengan mengacu pada sistem atau kerangka kerja. Beberapa berlaku juga untuk filosofi fallibilist .
Namun, diluar aliran pemikiran ‘publik’ ini, dan bagian kontranya yaitu pemikiran 'pribadi', adalah filosofi matematika pribadi yang lebih sempit. Kedua-duanya yang akan dibedakan adalah absolutist . Yang pertama adalah pandangan dualistis dari matematika sebagai kumpulan fakta yang benar, dan metode yang benar, yang mana kebenarannya ditetapkan dengan mengacu pada otoritas. Perspektif ini menekankan kebenaran mutlak versus kepalsuan ( falsity ), kebenaran versus ketidakbenaran, dan bahwa ada satu set unik pengetahuan matematika yang disetujui oleh otoritas . Pandangan
ini disebut dengan pandangan 'instrumental' terhadap matematika (Ernest, 1989b, c, d) 3 .
Hal telah dikenali dalam penelitian empiris terhadap keyakinan guru (Cooney dan jones, 1988 Ernest, 1989a; Oprea dan Stonewater, 1987; dan
Thompson, 1984). Pandangan tersebut akan disebut dengan pandangan 'absolut dualistik' dari matematika. Filsafat pribadi kedua dari matematika yang dapat diidentifikasi adalah Multiplistik. Pandangan ini juga memandang matematika sebagai set fakta yang tidak dipertanyakan, aturan dan metode, tetapi tidak memandang bahwa pilihan dan penggunaannya diantara set-set tersebut ditentukan secara mutlak oleh otoritas atau sumber lainnya. Jadi ada pluralitas ‘jawaban’, sudut pandang atau evaluasi berkenaan dengan situasi atau pilihan permasalahan matematis yang serupa, dan pilihan dapat dibuat sesuai dengan preferensi si pemegang-keyakinan. Pandangan seperti ini dapat ditujukan untuk Benny, dalam studi kasus Erlwanger (1973), yang memandang matematika sebagai suatu massa aturan (tidak konsisten), yang dipilih berdasarkan preferensi atau kegunaan. Skovsmose (1988) menunjukkan bahwa penggunaan unreflective matematika dalam pemodelan matematika adalah bersifat pragmatis, dan dapat berwujud seperti filsafat. Ormell (1975) melaporkan pandangan banyak ilmuwan dan teknologist yang menyatakan bahwa matematika merupakan kumpulan alat yang digunakan saat dan bila diperlukan, masing-masing dianggap sebagai kotak hitam (black box) 'yang kerjanya tidak diselidiki. Pandangan tersebut merupakan pandangan Multiplistik, karena mereka mengakui aneka ragam jawaban dan metode dalam menerapkan matematika, tetapi tidak ada alasan prinsipil atas pilihan rasional. Pemilihan antara alternatif dibuat sesuai dengan preferensi pribadi, atau atas dasar pragmatis dan kegunaan. Pandangan ini disebut sebagai ' absolutisme multiplistic '. Sejumlah peneliti telah melaporkan bahwa sistem kepercayaan terkait- matematika guru-guru dapat digambarkan sebagai Multiplistik (Cooney, 1988; Oprea dan Stonewater, 1987). Tingkat Relativisme mencakup versi subjektif dari filosofi absolutisme publik, sebagaimana telah kita lihat. Dalam terminologi Bab 2, tingkatan tersebut terdiri dari absolutis formal (misalnya logicisme dan formalisme) dan absolutis progresif (misalnya intuisionisme) filsafat matematika. Filsafat matematika Fallibilist, seperti 'kuasi-empirisme dan sosial konstruktivisme'-nya Lakatos juga relativistik, karena kebenaran mereka (corrigibility (yang dapat diperbaiki) meskipun) dinilai dalam kerangka Thompson, 1984). Pandangan tersebut akan disebut dengan pandangan 'absolut dualistik' dari matematika. Filsafat pribadi kedua dari matematika yang dapat diidentifikasi adalah Multiplistik. Pandangan ini juga memandang matematika sebagai set fakta yang tidak dipertanyakan, aturan dan metode, tetapi tidak memandang bahwa pilihan dan penggunaannya diantara set-set tersebut ditentukan secara mutlak oleh otoritas atau sumber lainnya. Jadi ada pluralitas ‘jawaban’, sudut pandang atau evaluasi berkenaan dengan situasi atau pilihan permasalahan matematis yang serupa, dan pilihan dapat dibuat sesuai dengan preferensi si pemegang-keyakinan. Pandangan seperti ini dapat ditujukan untuk Benny, dalam studi kasus Erlwanger (1973), yang memandang matematika sebagai suatu massa aturan (tidak konsisten), yang dipilih berdasarkan preferensi atau kegunaan. Skovsmose (1988) menunjukkan bahwa penggunaan unreflective matematika dalam pemodelan matematika adalah bersifat pragmatis, dan dapat berwujud seperti filsafat. Ormell (1975) melaporkan pandangan banyak ilmuwan dan teknologist yang menyatakan bahwa matematika merupakan kumpulan alat yang digunakan saat dan bila diperlukan, masing-masing dianggap sebagai kotak hitam (black box) 'yang kerjanya tidak diselidiki. Pandangan tersebut merupakan pandangan Multiplistik, karena mereka mengakui aneka ragam jawaban dan metode dalam menerapkan matematika, tetapi tidak ada alasan prinsipil atas pilihan rasional. Pemilihan antara alternatif dibuat sesuai dengan preferensi pribadi, atau atas dasar pragmatis dan kegunaan. Pandangan ini disebut sebagai ' absolutisme multiplistic '. Sejumlah peneliti telah melaporkan bahwa sistem kepercayaan terkait- matematika guru-guru dapat digambarkan sebagai Multiplistik (Cooney, 1988; Oprea dan Stonewater, 1987). Tingkat Relativisme mencakup versi subjektif dari filosofi absolutisme publik, sebagaimana telah kita lihat. Dalam terminologi Bab 2, tingkatan tersebut terdiri dari absolutis formal (misalnya logicisme dan formalisme) dan absolutis progresif (misalnya intuisionisme) filsafat matematika. Filsafat matematika Fallibilist, seperti 'kuasi-empirisme dan sosial konstruktivisme'-nya Lakatos juga relativistik, karena kebenaran mereka (corrigibility (yang dapat diperbaiki) meskipun) dinilai dalam kerangka
C. Pandangan Etika
Pandangan etis individu juga dijelaskan oleh teori Perry.
Dualisme Etika
Dualisme merupakan pandangan etika ekstrim, karena menghubungkan isu-isu moral dengan otoritas mutlak tanpa alasan rasional, dan menyangkal legitimasi nilai-nilai alternatif atau perspektif. Sementara variasi kecil dalam posisi dualistik etis mungkin terjadi, hal ini juga menjabarkan
pandangan
otoriter
lingkup terbatas.
Multiplisitas Etika
Pandangan Multiplistik etika mengakui bahwa adanya perspektif moral berbeda pada setiap masalah yang ada, tetapi tidak memiliki landasan rasional atau prinsip untuk pilihan atau pembenaran. Sementara pandangan seperti ini memungkinkan bahwa preferensi individu mungkin sama-sama valid, pandangan ini mempertahankan himpunan nilai-nilai dan kepentingannya sendiri. Tidak adanya pembenaran absolut atau yang berprinsip terhadap pilihan moral dan tindakan, menunjukkan bahwa pilihan yang dibuat atas dasar olahan, atau utilitas dan kelayakan hasilnya, berdasarkan alasan pragmatis, Akibatnya, himpunan nilai-nilai yang paling kompatibel dengan posisi ini terdiri dari utilitas, pilihan pragmatis dan kemanfaatan.
Posisi Relativistik etika
Sama seperti sejumlah besar dari filosofi pribadi adalah sesuai/kompatibel dengan Relativisme, terdapat juga berbagai pandangan etis yang sesuai dengan Relativisme. Posisi ini membutuhkan set nilai yang konsisten dan berprinsip, ditambah dengan pengakuan legitimasi alternatif. Jadi untuk
mengembangkan teori tujuan pendidikan matematika, maka perlu mempertimbangkan beberapa set nilai, yang berdasar prinsip. Untuk melengkapi teori Perry sangatlah tepat untuk mencari teori psikologi etis. Yang paling terkenal adalah Kohlberg (1969, 1981) yaitu teori tahapan moral. Namun ia telah dikritik karena bersifat selektif atau bias dalam pilihan tentang nilai-nilai moral tertinggi. Kritik utama datang dari Gilligan (1982) yang membedakan adanya dua set nilai-nilai moral, nilai-nilai dipisahkan dan dihubungkan, melengkapi apa yang ditawarkan oleh Kohlberg. Belenky et al. (1985, 1986) menerapkan set nilai-nilai-nilai tersebut kepada teori Perry, serta suatu sintesis, yang menghasilkan set ketiga. agar bersifat inklusif saya akan mengadopsi semua tiga set nilai, karena masing-masing konsisten dengan Relativisme. Gilligan (1982) membedakan kerangka moral secara singkat sebagai berikut. Perspektif terpisah berfokus pada aturan dan prinsip, dan mengobjektifkan bidang yang menjadi perhatian dan objek pengetahuan. Penalaran moral biasanya didasarkan pada ‘keadilan buta’, penerapan keadilan tanpa memperhatikan masalah-masalah kemanusiaan. Perspektif seperti ini dianggap sebagai bagian dari definisi budaya maskulinitas. Sebaliknya, perspektif moral terhubung berhubungan dengan koneksi manusia dengan relasi, empati dan kepedulian; dengan dimensi manusia dalam situasi. Pandangan ini berkaitan dengan stereotip peran feminin, untuk menghubungkan, memelihara, dan juga untuk membuat nyaman dan melindungi (peran yang mungkin terbentuk secara sosial). Perspektif moral ini akan digabungkan dengan Relativisme, yang bersamanya mereka konsisten. Namun mereka tidak akan begitu dianggap sebagai set nilai. Seperti dalam proposal et al Belenky. (1986), perspektif ini dianggap terkait dengan intelektual seperti halnya terkait dengan perkembangan etika. Pembenaran atas hal ini adalah bahwa teori Perry memperlakukan baik posisi epistemologisdan etika sebagai pembentuk keseluruhan yang utuh. Belenky et al (1986) lebih jauh mengusulkan sebuah posisi epistemologi dan etika, yang merupakan sintesis dari nilai-nilai yang terpisah dan terhubung, beserta pendekatan epistemologis. Mereka menyebutnya dengan istilah ‘pengetahuan yang dikonstruksi” (constructed knowing)', yang mengintegrasikan ‘suara’ terhubung dan terpisah. Meskipun posisi epistemologis dan etis terintegrasi, kita dapat mengisolasi nilai-nilai etika mengembangkan teori tujuan pendidikan matematika, maka perlu mempertimbangkan beberapa set nilai, yang berdasar prinsip. Untuk melengkapi teori Perry sangatlah tepat untuk mencari teori psikologi etis. Yang paling terkenal adalah Kohlberg (1969, 1981) yaitu teori tahapan moral. Namun ia telah dikritik karena bersifat selektif atau bias dalam pilihan tentang nilai-nilai moral tertinggi. Kritik utama datang dari Gilligan (1982) yang membedakan adanya dua set nilai-nilai moral, nilai-nilai dipisahkan dan dihubungkan, melengkapi apa yang ditawarkan oleh Kohlberg. Belenky et al. (1985, 1986) menerapkan set nilai-nilai-nilai tersebut kepada teori Perry, serta suatu sintesis, yang menghasilkan set ketiga. agar bersifat inklusif saya akan mengadopsi semua tiga set nilai, karena masing-masing konsisten dengan Relativisme. Gilligan (1982) membedakan kerangka moral secara singkat sebagai berikut. Perspektif terpisah berfokus pada aturan dan prinsip, dan mengobjektifkan bidang yang menjadi perhatian dan objek pengetahuan. Penalaran moral biasanya didasarkan pada ‘keadilan buta’, penerapan keadilan tanpa memperhatikan masalah-masalah kemanusiaan. Perspektif seperti ini dianggap sebagai bagian dari definisi budaya maskulinitas. Sebaliknya, perspektif moral terhubung berhubungan dengan koneksi manusia dengan relasi, empati dan kepedulian; dengan dimensi manusia dalam situasi. Pandangan ini berkaitan dengan stereotip peran feminin, untuk menghubungkan, memelihara, dan juga untuk membuat nyaman dan melindungi (peran yang mungkin terbentuk secara sosial). Perspektif moral ini akan digabungkan dengan Relativisme, yang bersamanya mereka konsisten. Namun mereka tidak akan begitu dianggap sebagai set nilai. Seperti dalam proposal et al Belenky. (1986), perspektif ini dianggap terkait dengan intelektual seperti halnya terkait dengan perkembangan etika. Pembenaran atas hal ini adalah bahwa teori Perry memperlakukan baik posisi epistemologisdan etika sebagai pembentuk keseluruhan yang utuh. Belenky et al (1986) lebih jauh mengusulkan sebuah posisi epistemologi dan etika, yang merupakan sintesis dari nilai-nilai yang terpisah dan terhubung, beserta pendekatan epistemologis. Mereka menyebutnya dengan istilah ‘pengetahuan yang dikonstruksi” (constructed knowing)', yang mengintegrasikan ‘suara’ terhubung dan terpisah. Meskipun posisi epistemologis dan etis terintegrasi, kita dapat mengisolasi nilai-nilai etika
Masing-masing dari tiga set nilai tersebut menyediakan prinsip dasar untuk penalaran moral. Jadi masing-masing konsisten dengan Relativisme, dan dapat dikombinasikan dengan filosofi matematika yang tepat dan terhadap epistemologi agar dapat memberikan perspektif ideologi secara keseluruhan.
D. Menggabungkan Perbedaan
Berbagai perbedaan: kerangka epistemologis dari teori Perry, filosofi matematika pribadi, dan nilai-nilai moral dibagian ini akan dikombinasikan untuk memberikan model dari ideology-ideologi yang berbeda. Ada lima ideologi dan sebelum menggambarkan-posisi individu, jumlah ini perlu pembenaran terlebih dahulu. Pada tingkat dualistik, hanya pandangan absolutis matematika yang mungkin, seperti halnya nilai-nilai moral dualistik. Pada tingkat Multiplistik, pandangan matematika absolutis akan sangat sesuai, seperti halnya nilai-nilai moral utilitas dan kemanfaatan. Pada tingkat relativistic, baik pandangan matematika absolutis dan fallibilist dapat diadopsi dengan konsisten. Baik posisi moral terpisah maupun yang terhubung akan menjadi konsisten dengan pandangan absolutis relativistik, jadi dua ideologi tersebut dapat dengan segera dibedakan, sesuai dengan set nilai diadopsi. Selain itu, falibilitas dapat dikombinasikan dengan Relativisme. Fallibilist matematika memandang matematika sebagai ciptaan manusia, yang mana mengandung kepetingan konteks kemanusiaan dan social, yang mana paling lengkap diartikulasikan dalam konstruktivisme social. Nilai- nilai yang paling konsisten adalah keadilan sosial, yang sangat sesuai dengan construstivism sosial karena dimensi sosial dan hubungan antara Berbagai perbedaan: kerangka epistemologis dari teori Perry, filosofi matematika pribadi, dan nilai-nilai moral dibagian ini akan dikombinasikan untuk memberikan model dari ideology-ideologi yang berbeda. Ada lima ideologi dan sebelum menggambarkan-posisi individu, jumlah ini perlu pembenaran terlebih dahulu. Pada tingkat dualistik, hanya pandangan absolutis matematika yang mungkin, seperti halnya nilai-nilai moral dualistik. Pada tingkat Multiplistik, pandangan matematika absolutis akan sangat sesuai, seperti halnya nilai-nilai moral utilitas dan kemanfaatan. Pada tingkat relativistic, baik pandangan matematika absolutis dan fallibilist dapat diadopsi dengan konsisten. Baik posisi moral terpisah maupun yang terhubung akan menjadi konsisten dengan pandangan absolutis relativistik, jadi dua ideologi tersebut dapat dengan segera dibedakan, sesuai dengan set nilai diadopsi. Selain itu, falibilitas dapat dikombinasikan dengan Relativisme. Fallibilist matematika memandang matematika sebagai ciptaan manusia, yang mana mengandung kepetingan konteks kemanusiaan dan social, yang mana paling lengkap diartikulasikan dalam konstruktivisme social. Nilai- nilai yang paling konsisten adalah keadilan sosial, yang sangat sesuai dengan construstivism sosial karena dimensi sosial dan hubungan antara
Absolutisme dualistic
Menggabungkan Dualisme dengan absolutisme, pandangan ini melihat matematika sebagai sesuatu yang pasti, terdiri dari kebenaran mutlak dan sangat tergantung pada otoritas. Perspektif keseluruhannya ditandai oleh dua ciri: (1) penataan dunia kedalam dikotomi sederhana, seperti kami dan mereka, baik dan buruk, benar dan salah, dan dikotomi sederhana lainnya; (2) tingkat kepentingan yang diberikan, dan identifikasi terhadap otoritas. Dengan demikian nilai-nilai ini menekankan perbedaan yang kaku, aturan mutlak, dan otoritas paternalistik. Nilai tersebut konsisten dengan versi ekstrim dari moralitas konvensional, yang diidentifikasi oleh Kolhberg (1969) dan Gilligan (1982).
Absolutism multiplistic
Pandangan ini menggabungkan Multiplisitas dengan absolutisme, yang mana memandang matematika sebagai sesuatu yang pasti, badan kebenaran yang tidak meragukan, dan dapat diterapkan atau digunakan dalam aneka ragam cara. Perspektif ini secara keseluruhan ditandai dengan liberality, banyak pendekatan dan kemungkinan yang dianggap valid, namun tidak memiliki dasar dalam memilih antara alternatif kecuali dengan atas dasar utilitas, kemanfaatan dan pilihan yang bersifat pragmatis.Hal ini membangun nilai-nilai yang berhubungan dengan posisi ini, yang berkaitan dengan aplikasi dan teknik, karena bertentangan dengan prinsip-prinsip atau teori. Jadi matematika diterapkan secara bebas, tetapi tidak dipertanyakan atau diselidiki.
Absolutism relativistik
Berbagai perspektif sesuai dengan kategori ini, memiliki fitur-fitur berikut yang sama. Matematika dipandang sebagai tubuh pengetahuan benar, tetapi kebenaran ini tergantung pada struktur dalam dari matematika
(yaitu logika dan bukti) bukan otoritas. Perspektif intelektual dan moral secara keseluruhan mengakui adanya sudut pandang, interpretasi, perspektif, kerangka referensi dan sistem nilai yang berbeda. Dua sudut pandang dibedakan, menurut apakah perspektif terpisah atau terhubung yang diadopsi. Absolutisme relativistic terpisah. Nilai-nilai moral terpisah yang dikombinasikan dengan absolutisme relativistik menyebabkan penekanan pada objektivitas dan aturan. Ideologi ini berfokus pada struktur, sistem formal dan relasi, perbedaan, kritik, analisis dan argumen. Dengan mengacu pada matematika, hal ini menyebabkan penekanan pada hubungan logika inner dan bukti, dengan struktur formal teori matematis. Karena penekanan keseluruhan posisi ini pada struktur, aturan dan bentuk, absolutisme formal merupakan filosofi matematika subjektif yang sesuai. Absolutisme relativistik terhubung. Ideologi ini menggabungkan pandangan matematika absolutis dan Relativisme kontekstual dengan nilai-nilai terhubung. Atas dasar nilai-nilai ini, sudut pandang ini menekankan pada pengetahuan subyek, perasaan, peduli, empati, hubungan dan dimensi manusia dan konteks. Pengetahuan matematika dipandang sebagai hal yang mutlak, namun menekankan pada peran individu dalam mengetahui, dan kepercayaan dirinya dalam memahami, menguasai dan bagaimana memahami subjek. Karena dari penekanan ini, absolutisme progresif merupakan filosofi matematika subyektif dalam posisi ini.
Fallibilisme relativistik
Posisi ini menggabungkan pandangan fallibilist atas pengetahuan matematika (construtivism sosial) dan nilai-nilai terkait dengan keadilan sosial, dalam kerangka relativistik, dengan menerima adanya kebergandaan perspektif intelektual dan moral. Dua tema sentral dari ideologi ini adalah masyarakat dan pembangunan. Pengetahuan dan nilai- nilai keduanya berkaitan dengan masyarakat: pengetahuan dipahami sebagai konstruksi sosial dan nilai-nilai berpusat pada keadilan sosial. Pengetahuan dan nilai-nilai keduanya berkaitan dengan pengembangan: pengetahuan berkembang dan tumbuh, dan keadilan sosial adalah tentang pengembangan masyarakat yang lebih adil dan egaliter. Hal ini merupakan posisi yang sangat konsisten dan terpadu, karena prinsip- Posisi ini menggabungkan pandangan fallibilist atas pengetahuan matematika (construtivism sosial) dan nilai-nilai terkait dengan keadilan sosial, dalam kerangka relativistik, dengan menerima adanya kebergandaan perspektif intelektual dan moral. Dua tema sentral dari ideologi ini adalah masyarakat dan pembangunan. Pengetahuan dan nilai- nilai keduanya berkaitan dengan masyarakat: pengetahuan dipahami sebagai konstruksi sosial dan nilai-nilai berpusat pada keadilan sosial. Pengetahuan dan nilai-nilai keduanya berkaitan dengan pengembangan: pengetahuan berkembang dan tumbuh, dan keadilan sosial adalah tentang pengembangan masyarakat yang lebih adil dan egaliter. Hal ini merupakan posisi yang sangat konsisten dan terpadu, karena prinsip-
E. Penilaian Teori Perry dan Alternatif-nya
Asumsi dari teori Perry membutuhkan justifikasi dan penilaian kritis. Survei terhadap alternatif berikut ini berfungsi untuk menempatkan teori Perry dalam konteks yang lebih luas. Dengan menggunakan dasar karya Piaget pada penilaian moral anak, Kohlberg (1969) mengembangkan hirarki perkembangan moral. Hirarki ini memiliki tiga tingkatan: pra-konvensional (moralitas egosentris), konvensional (penilaian moral tergantung pada norma-norma konvensional), dan pasca-konvensional dan berprinsip (keputusan moral didasarkan pada prinsip-prinsip universal). Dua tingkat terakhir memberikan beberapa keparalelan dengan Dualisme dan relativisme, dan ada tingkat transisi analog yang pararel dengan Multiplisitas. Tidak diragukan lagi Perry dipengaruhi oleh teori Kohlberg (seperti yang dia akui). Namun, teori perkembangan moral, seperti namanya, tidak mengindahkan perkembangan epistemologis. Selanjutnya, hal ini juga dikritik oleh Gilligan (1982) atas penekanannya pada aspek-aspek etika terpisah (aturan dan keadilan) dengan mengorbankan nilai-nilai terhubung. Teori ini kemudian tidak memberikan alternatif yang untuk teori Perry karena dua alasan. Pertama, teori tersebut tidak mengindahkan intelektual serta perkembangan moral. Kedua, teori tersebut mengangkat satu set nilai di atas nilai lainnya, daripada membiarkannya sebagai variasi nilai. Loevinger (1976) mengusulkan teori ‘perkembangan ego’ dengan enam tahapan yang menunjukkan beberapa keparalelan dengan teori Kohlberg (masing-masing dari tiga tingkatnya terdiri dari dua tahap, seperti dalam teori Kohlberg). Teori Loevinger telah diaplikasikan terhadap perspektif epistemologis dan etika guru, misalnya, oleh Cummings dan Murray (1989). Para peneliti ini mengartikan pandangan guru tentang sifat pengetahuan (serta tujuan pendidikan, dll) dalam tiga tahap terakhir (konformis, teliti, otonom). Pendekatan mereka menawarkan beberapa keparalelan dengan teori Perry, tetapi dengan kekuatan diskriminatif yang lebih besar, dalam hal kisaran keyakinan pribadi. Jadi teori Loevinger ternyata memiliki potensi sebagai alat untuk menggolongkan
perkembangan intelektual dan etika. Namun, kesesuaiannya dengan epistemologi kurang diartikulasikan dengan baik dibandingkan teori Perry. Pengetahuan dianggap dalam berbagai istilah seperti bagian-bagiannya, kegunaannya dan sumbernya, dan bukan dipandang dari basis, struktur dan statusnya. Oleh karenanya teori ini kurang mampu mencakup filsafat matematika, dan dengan demikian kurang cocok untuk studi ini. Tidak mengherankan, dalam hal tujuan teori tersebut, pandangan ini menawarkan lebih ke tipologi perkembangan ego, dari pada analisis struktural dari teori atau sistem kepercayaan. Kitchener dan King (1981) memiliki teori perkembangan penilaian reflektif. Hal ini mencakup baik tingkat perkembangan intelektual dan etika, maupun kriteria untuk mengevaluasi penggunaannya dalam tindakan. Rincian ini membuatnya menjadi instrumen yang berharga dalam penelitian empiris. Namun selain kelebihan tersebut, teori ini menawarkan tidak lebih dari yang ditawarkan model Perry, relatif terhadap tujuan saat ini. Teori ini juga tampaknya lebih tepat diterapkan untuk anak muda daripada terhadap perkembangan seumur hidup, untuk tingkat tertinggi mencakup kemampuan untuk membuat penilaian obyektif berdasarkan bukti. Tingkat perkembangan yang lebih tinggi pada Teori Perry memungkinkan perkembangan substansial yang lebih daripada yang ditawarkan oleh skema Kitchener dan King. Sehingga tidak ada alasan untuk mengadopsi skema ini sebagai ganti teori Perry. Belenky et al. (1986) menawarkan teori perkembangan sebagai alternatif teori Perry. Tahapan teori ini adalah: Kediaman, Penerimaan Pengetahuan, Pengetahuan subjektif, Pengetahuan prosedural (termasuk alternatif dari mengetahui terpisah dan terhubung, connected knowing and separated knowing), dan Pengetahuan yang dikonstruksi. Tahap- tahap ini mencerminkan perkembangan individu sebagai pembuat pengetahuan, dan bukan fitur struktural dari sistem epistemologis dan etis. Dari berbagai kelebihannya, teori tersebut memiliki dua cacat. Pertama- tama, teori tersebut bersifat etnosentris seperti halnya teori Perry. Teori tersebut hanya berbasis pada sampel perempuan, seperti sampel pada teori Perry yang hampir secara eksklusif semuanya laki-laki. Hal ini diakui merupakan tujuan penelitian. untuk menyeimbangkan keterpusatan laki- laki pada teori Perry. Namun demikian, itu berarti bahwa teori ini hanya
bisa melengkapi dan bukan menggantikan teori Perry, karena lingkup nya hanya setengah dari keseluruhan bagian kemanusiaan. Kritik kedua adalah bahwa teori tersebut tidak begitu luas, atau tidak diartikulasikan dengan pasti seperti yang dilakukan oleh Perry. Sebagai contoh. Belenky et al fokus pada aspek-aspek subjektif dalam pengetahuan, dengan mengorbankan etika. Jadi teori mereka tidak menghubungkan epistemologi dan filsafat moral terhadap keyakinan pribadi sebaik Perry. Secara khusus, disatu sisi, teori Belenky tidak menyediakan koneksi yang kuat yang dibuat di atas antara filsafat matematika publik dan pribadi, dan disisi lainnya tahapan perkembangan intelektual dan etika pribadi. Untuk alasan ini, teori Belenky et al. tidak akan berfungsi sebagai pengganti teori Perry. Belenky et al. menawarkan teorinya sebagai alternatif dan kritik terhadap teori Perry, dengan alasan bahwa teori Perry bersifat gender-sentris, yang berbasis pada pengamatan dari sampel utamanya mahasiswa laki-laki (di Harvard). Karena bias ini, teori tersebut itu menyatakan bahwa tampangan moral maskulin (terpisah) mendominasi teori Perry, dan bahwa prospek moral feminin (terhubung) dihilangkan. Saya. tidak menerima kritik ini sebagai pembatal teori Perry. Tidak seperti tahap paling puncak dalam teori Kohlberg (1969) tentang perkembangan moral, Relativisme Perry dan posisi Komitmen tidak menawarkan seperangkat nilai-nilai moral yang unik sebagai hasil dari perkembangan pribadi. Untuk bergantung pada pilihan seperti ini, sama halnya dengan memberikan tebusan bagi sandera, karena nilai-nilai berbeda akan menempati posisi tertinggi pada budaya yang berbeda pula. Kohlberg menawarkan keadilan sebagai nilai tertinggi. Gilligan berpendapat bahwa keterhubungan manusia harus ditempatkan lebih rendah. Seseorang juga dapat berpendapat bahwa kehormatan adalah nilai tertinggi, seperti pada beberapa suku asli Amerika. Pastilah nilai tertinggi lainnya juga ada. Teori Perry, dengan berfokus pada bentuk dan struktur sistem kepercayaan etis, dan jenis pertimbangan etis yang dipakai oleh individu, memberikan kesempatan set nilai-nilai khusus yang diadopsi. Jadi baik nilai terhubung dan terpisah yang dibedakan oleh Gilligan konsisten dengan posisi Relativisme. Salah satu inovasi Belenky et al. adalah mengaitkan perspektif moral Gilligan (1983) dengan tingkat perkembangan epistemologis. Hal ini
merupakan jalur yang telah diikuti di sini, yaitu dalam posisi Relativisme. Namun, hal ini juga melampaui teori Perry, yang lebih menekankan pada bentuk daripada isi kerangka ideologis, sebagaimana yang telah kita lihat. Proposal yang diberikan di atas juga memperkenalkan set nilai-nilai yang khusus: nilai terpisah dan terhubung dan sintesis-sintesisnya, dan nilai- nilai keadilan sosial. Pengenalan nilai-nilai ini melengkapi teori Perry, dan mengisi Relativisme ke dalam ideologi tertentu. Pararel antara ideologi dan tahapan kedua teratas dari model Belenky dkk juga dapat ditemui. Meskipun terdapat beberapa alternatif bagi skema Perry, alternative dalam konteks ini tersebut tidak menawarkan alternatif yang lebih baik. Terdapat teori lebih lanjut tentang perkembangan intelektual atau etika, seperti Selman (1976), tetapi teori tersebut tidak menawarkan suatu kategorisasi perspektif yang berguna seperti yang diberikan di atas. Meskipun teori Perry lebih disukai dari teori perkembangan intelektual atau etika lainnya, ada dua peringatan diperlukan. Pertama-tama, adopsi dari teori Perry adalah merupakan asumsi kerja. Teori ini diadopsi dalam semangat pandangan pengetahuan hipotetiko-deduktif. Teori ini menyediakan sarana yang sederhana namun bermanfaat dalam hubungan antara filsafat matematika dengan sistem kepercayaan subyektif. Kedua, karena kesederhanaan, teori itu sangat mungkin dipalsukan. Teori ini berpendapat bahwa secara keseluruhan perkembangan intelektual dan etis masing-masing individu dapat diletakkan pada skala linier sederhana. Masalah dengan hal ini adalah bahwa himpunan bagian yang berbeda dari keyakinan mungkin dapat diletakkan pada tingkat yang berbeda pada skala. Jadi, misalnya, dua guru pelajar secara keseluruhan mungkin berada pada tahap yang sama dalam perkembangan intelektual dan etika. Namun, jika satu diantara meraka adalah seorang spesialis matematika dan yang lainnya bukan, filosofi matematika pribadi mereka mungkin dapat diidentifikasi dengan tingkatan Perry yang lainnya. (Kasus hipotetis ini konsisten dengan data di Ernest, 1939a). Teori Piaget tentang perkembangan kognitif dalam beberapa aspek bersifat analog terhadap teori Perry. Teori tersebut menawarkan skala perkembangan linier tunggal terdiri dari sejumlah posisi tetap. Sebuah kritik kuat terhadap teori Piaget adalah bahwa aspek-aspek yang berbeda dari perkembangan individu dapat digambarkan dengan posisi yang berbeda dalam urutan perkembangan (Brown dan Desforges, 1979).
Piaget mengakui adanya fenomena ini, menyebutnya dengan 'decalage', dan mencoba untuk mengasimilasikannya ke dalam teorinya. Namun hal itu merupakan menjadi melemahnya teori Piaget, karena hal itu berarti bahwa keseluruhan tingkat kognitif individu tidak bisa lagi digambarkan secara unik. Keadaan analog suatu masalah dapat digambarkan dengan teori Perry, karena karakterisasi sederhana dari posisi atau tingkat perkembangan intelektual dan etis individu. Komponen yang berbeda dari perspektif individu juga mungkin ditempatkan pada tingkat yang berbeda. Terutama ketika epistemologi dari disiplin tunggal, seperti matematika, terisolasi dari posisi intelektual dan etika secara keseluruhan. Jadi meskipun teori Perry diadopsi sebagai alat yang kuat dan berguna, tetap diakui bahwa tujuan teori tersebut dapat dipalsukan, dalam hal ini sama seperti teori Piaget.