Hirarki Kemampuan Matematis

3. Hirarki Kemampuan Matematis

A. Pandangan Hirarakis Kemampuan Matematis Intelegensi umum oleh para psikolog dianggap sebagai kekuatan mental tetap yang dibawa sejak lahir, seperti kutipan yang disampaikan oleh Schonell berikut. Intelgensi umum bisa diartikan sebagai kekuatan mental yang dibawa sejak lahir yang sedikit berubah dalam tingkatannya karena lingkungan meskipun perwujudan dan arahnya ditentukan oleh pengalaman.

(Tansley dan Gulliford, 1960, hal. 24) Meskipun tersebar luas, pandangan ini tidak disetujui oleh semua psikolog modern (Pigeon, 1977). Namun, karena kemampuan matematika telah diidentifikasi sebagai faktor utama dari intelegensi umum (Wrigley, 1958), mungkin hal ini juga berkontribusi pada persepsi bahwa kemampuan (Tansley dan Gulliford, 1960, hal. 24) Meskipun tersebar luas, pandangan ini tidak disetujui oleh semua psikolog modern (Pigeon, 1977). Namun, karena kemampuan matematika telah diidentifikasi sebagai faktor utama dari intelegensi umum (Wrigley, 1958), mungkin hal ini juga berkontribusi pada persepsi bahwa kemampuan

Pengaruhnya, siswa menjadi subjek yang membentuk stereotip dimana guru mengkarakterisasi mereka dalam istilah yang ringkas, dengan penilaian global akan kemampuan kognitif dan mempunyai harapan yang terlalu menggeneralkan siswanya. (Ruthven, 1987, hal. 252) Satu akibat dari adanya stereotyping kemampuan adalah, dalam kasus ekstrim, perbedaan dalam kinerja yang diamati dalam tugas tertentu dianggap sebagai indikasi “kemampuan matematika dari seorang pelajar”. Contoh yang terkenal dalam kasus ini adalah “perbedaan tujuh tahun” ( seven year difference) oleh Cockroft (1982). Hal ini akan dibahas setelah karakterisasi pencapaian numerik pada anak-anak rata-rata, “di bawah rata- rata” dan (secara implisit) “di atas rata-rata”

Ada “perbedaan tujuh tahun” dalam mencapai pemahaman nilai tempat yang cukup untuk menuliskan angka yang 1 lebih dari 6399. Dengan hal ini maksud kita meskipun anak rata-rata mengerjakan tugas ini pada usia 11 bukan usia 10 tahun, ada beberapa anak berusia 14 tahun yang tidak bisa melakukannya dan beberapa usia 7 tahun yang bisa. (Cockroft, 1982, hal 100) Kutipan ini menunjukkan bahwa kinerja anak secara individu dalam item tertentu dalam waktu tertentu yang berhubungan, dan bahkan dianggap sebagai indikator dari keseluruhan konstruksi “kemampuan matematis”. Perkiraan dari konstruksi kemampuan matematika global anak yang gigih, akan meningkatkan level pencapaian yang kekal, hal ini dibenarkan oleh kutipan berikut ini.

Bahkan jika level pencapaian bisa ditingkatkan, maka tingkat pencapaian kemungkinan akan tetap sebaik yang sekarang, atau mungkin akan semakin baik karena ukuran yang memungkinkan semua siswa untuk belajar matematika yang lebih berhasil akan memberikan keuntungan bagi pencapaian yang lebih tinggi, dan mungkin lebih dari mereka yang hanya bisa mencapai tingkat yang lebih rendah.

(Cockroft,1982, hal. 101)

Dalam hal anak yang pencapaian rendahnya dalam bidang matematika dikaitkan dengan kemampuan umum yang rendah, maka pelajaran matematika perlu secara khusus dirancang guna membentuk jaringan sederhana yang dikaitkan dengan ide dan aplikasi mereka.

(Cockroft, 1982 hal 98) Secara keseluruhan, ada asumsi yang menyebar, yang terbukti secara jelas dalam Coskroft (1982), dimana ada hirarki linear pasti dari kemampuan matematika dari yang paling tidak bisa hingga yang paling bisa (atau secara matematis sangat bisa); setiap anak bisa ditempatkan dalam hirarki ini, dan beberapa anak menggantikan posisinya selama masa sekolah. Satu hasil penting dari adanya stereotip persepsi dan harapan akan siswa adalah adopsi sasaran yang terbatas untuk pendidikan matematis dari siswa yang mencapai lebih rendah. Ruthven memberikan bukti seperti ini, dan menyimpulkan bahwa: Penekanan aktivitas repetitive, dalam belajar instrumental, dan dalam perhitungan-menunjukkan persepsi stereotip dari kemampuan kognitif siswa yang kurang berhasil dan sasaran kurikulum yang tepat bagi mereka, baik sebagai pelajar maupun sebagai anggota masyarakat.

(Ruthven, 1987, hal 250)

B. Kritik terhadap Pandangan Hirarkis Kemampuan Matematis Ruthven (1987) memberikan krtik yang tajam atas stereotip kemampuan, dan berpendapat sebaliknya, dimana konsistensi pencapaian matematika siswa kurang dari yang diperkirakan, berbeda-beda dalam topik dan waktunya. Di sisi lain, harapan guru dan stereotip menjadi pemenuhan diri dan pembedaan kurikulum dalam matematika yang bisa membuat permintaan kognitif yang tinggi dan rendah dari pencapaian siswa yang tinggi dan rendah, yang memperburuk perbedaan yang ada. Kritik ini bisa didukung oleh dua pandangan teoritis: sosiologis dan psikologis.

Argumen sosiologis yang menolak pandangan hirarakis tentang kemampuan dalam matematika berasal dari teori labelling. Kaitan yang kuat antara latar belakang sosial dan kinerja pendidikan dari hampir semua jenis merupakan yang paling lama dibangun dan merupakan hasil yang paling didukung dalam penelitian sosial dan pendidikan (Departemen pendidikan dan Ilmu Pengetahuan, 1988b). Secara khusus, ada bukti yang luas di Inggris mengenai hubungan kesempatan hidup berpendidikan dan kelas sosial (Meighan, 1986). Mungkin penjelasan teori yang paling mendapat banyak dukungan dari efek ini didasarkan pada teori labeling, menurut Becker (1963), dan lain-lain. Segi utama dari pemberian label Argumen sosiologis yang menolak pandangan hirarakis tentang kemampuan dalam matematika berasal dari teori labelling. Kaitan yang kuat antara latar belakang sosial dan kinerja pendidikan dari hampir semua jenis merupakan yang paling lama dibangun dan merupakan hasil yang paling didukung dalam penelitian sosial dan pendidikan (Departemen pendidikan dan Ilmu Pengetahuan, 1988b). Secara khusus, ada bukti yang luas di Inggris mengenai hubungan kesempatan hidup berpendidikan dan kelas sosial (Meighan, 1986). Mungkin penjelasan teori yang paling mendapat banyak dukungan dari efek ini didasarkan pada teori labeling, menurut Becker (1963), dan lain-lain. Segi utama dari pemberian label

Dasar teoritis kedua untuk menolak pandangan kemampuan hirarkis adalah psikologis. Ada tradisi dalam psikologi Soviet yang menolak gagasan kemampuan tetap, dan menghubungkan perkembangan psikologis dengan pengalaman sosial. Perkembangan ini dipercepat secara politis pada tahun 1936 ketika Soviet melarang penggunaan uji mental, yang menghentikan penelitian pada perbedaan individu dalam hal kemampuan (Kilpatrick dan Wirszup, 1976). Kontributor yang berkembang dalam tradisi ini adalah Vygotsky (1962), yang menyatakan bahwa bahasa dan pemikiran berkembang bersama-sama, dan bahwa kemampuan pelajar bisa diperluas, melalui interaksi sosial, melampaui “zone of proximal development”. Interaksi perkembangan personal dan konteks sosial serta sasaran melalui aktivitas menjadi dasar dari Activity Theory (teori aktivitas) oleh Leont’ev (1978) dan lainnya. Dalam keseluruhan tradisi ini, psikolog Krutetskii (1976) telah mengembangkan konsep kemampuan matematis yang sifatnya lebih tidak tetap dan tidak begitu hirarkis dibandingkan dengan yang dibahas sebelumnya. Pertama dia menawarkan kritik tentang pandangan yang relatif tetap pada kemampuan matematika yang berakar dari tradisi psikometrik dalam psikologi. Lalu dia menawarkan teori kemampuan matematikanya sendiri yang didasarkan pada proses mental yang dikembangkan oleh individu yang digunakan dalam memecahkan masalah matematika. Dia mengakui perbedaan individu dalam pencapaian matematika, namun memberikan bobot yang besar pada pengalaman yang berkembang dan formatif dari pelajar dalam menyadari potensi matematikanya.

Tentu saja, potensi ini sifatnya tidak konstan dan bisa diubah. Guru seharusnya tidak memasukkan gagasan dalam dirinya bahwa kinerja anak berbeda-beda-dalam matematika katakanlah- ini merupakan refleksi level kemampuan. Kemampuan bukanlah takdir namun ini dibentuk dan dikembangkan melalui instruksi, praktek dan penguasaan aktivitas. Sehingga kita membicarakan keharusan untuk membentuk, mengembangkan, mengolah dan meningkatkan kemampuan anak, dan kita tidak bisa memprediksi secara pasti seberapa jauh perkembangan ini bisa terjadi.

(Krutetskii, 1976, hal 4) Tradisi psikologis Soviet memiliki dampak yang meingkat dalam pendidikan matematika (Christiansen dan Walther, 1986; Crawford, 1989; Mellin-Olsen, 1987). Diakui bahwa level kognitif respon siswa dalam matematika ditentukan tidak hanya oleh kemampuan siswa, namun juga keterampilan dimana guru mampu melibatkan siswanya dalam aktivitas matematika. Hal ini memerlukan perkembangan pendekatan ilmu pendidikan dalam matematika yang sifatnya sensitif dan berkaitan dengan sasaran serta budaya siswa. Siswa yang diberi label “kurang mampu dalam matematika” bisa secara cepat meningkatkan level kinerjanya ketika mereka terlibat secara sosial dan budaya dalam aktivitas terkait matematika (Mellin-Olsen, 1987)

Konfirmasi empirik lain dalam ketidak-stabilan kemampuan bisa ditemukan dalam fenomena idiot savant. Disini, orang yang diberi label “tidak berpendidikan” bisa menunjukkan level tinggi yang sangat mengagumkan dalam domian dimana mereka menjadi terlibat (Howe, 1987)

Secara keseluruhan, ada dasar teori yang kuat (dan empirik) tentang penolakan terhadap pandangan hirarkis tentang kemampuan matematis, dan menghubungkan hal ini lebih pada perkembangan sosial, yang muncul dari tradisi Soviet. Dipasangkan dengan argumen sosiologis, hal ini meliputi kasus yang bertentangan dengan pandangan hirarkis tentang kemampuan dalam matematika.

C. Pandangan Hirarkis dari Kemampuan dalam Kurikulum Nasional Pandangan hirakis mengenai kemampuan matematika merupakan bukti dalam publikasi yang berkaitan dengan kurikulum nasional. The Task Group on Assessment and Testing dibentuk untuk mengembangkan tes bagi “semua usia dan kemampuan” (Departemen pendidikan dan Ilmu pengetahuan, 1987a, hal 26) dan istilah referensi yang termasuk adalah pemberian nasehat dalam penilaian untuk meningkatkan belajar melampaui kemampuan’ (Departemen pendidikan dan Ilmu Pengetahuan, 1988b). Sekretaris negara untuk pendidikan (K Baker) menulis pada ketua (P Black) mengenai kemampuan dan pembedaan sebagai berikut.

Saya meminta siswa untuk bekerja berkelompok (termasuk matematika) untuk merekomendasikan target pengetahuan, keterampilan dan pemahaman dimana siswa dari tingkat kemampuan yang berbeda harus secara normal diperkirakan mencapai poin usia empat; namun sejauh mungkin menghindari pembentukan target yang secara kualitatif berbeda- Saya meminta siswa untuk bekerja berkelompok (termasuk matematika) untuk merekomendasikan target pengetahuan, keterampilan dan pemahaman dimana siswa dari tingkat kemampuan yang berbeda harus secara normal diperkirakan mencapai poin usia empat; namun sejauh mungkin menghindari pembentukan target yang secara kualitatif berbeda-

(Departemen pendidikan dan Ilmu pengetahuan, 1988b, Appendix B) Laporan akhir dari kelompok kerja matematika (Departemen pendidikan dan ilmu pengetahuan, 1988) juga mengunakan bahasa stereotip kemampuan. Surat pengantar untuk sekretaris negara berisi bahwa proposal yang tertera adalah “sesuai untuk anak-anak dalam segala usia dan kemampuan, termasuk anak dengan kebutuhan pendidikan khusus (hal vi). Contoh selanjutnya diambil secara acak dari laporan yang meliputi: guru dari murid yang sangat pandai…akan perlu …merujuk pada program B guna memperluas kerja dari siswanya yang paling mampu’ (hal 63). Akan ada waktu dimana anak yang paling pandaipun memerlukan usaha’ (hal 68)’beberapa anak yang paling tidak mampu 10 persennya mengalami kesulitan, misalnya level 1 pada usia 7 dan level 2 pada usia 11’ (hal 83)

Kutipan ini dengan tegas menyatakan bahwa pandangan pejabat (pemerintah) dan yang muncul dalam publikasi kelompok kerja matematika adalah hirarki kemampuan matematika, dimana individu bisa diberi posisi yang tetap atau relatif stabil.

Selanjutnya, kurikulum nasional dalam matematika menghasilkan batasan pengalaman kurikulum bagi siswa dengan pencapaian rendah dalam matematika. Seperti yang ditunjukkan oleh kerangka kurikulum dan penilaian untuk kurikulum nasional (Gambar 11.1). hasil yang diterima adalah kurikulum tunggal dalam matematika untuk semua siswa, mereka dengan “kemampuan rendah” hingga yang lebih rendah, memiliki level yang lebih sederhana.

Figure 1 1. 1: The Curriculum and Assessmen Framework of the National Curriculum (Adapted from Department ofEducation and Science, 1988b)

Hasil dari asumsi ini dalam kurikulum nasional dalam bidang matematika kemungkinan akan memperburuk dan melebihi-lebihkan perbedaan individu dalam kinerja. Seperti yang sudah kita lihat, hal ini hampir pasti menjadi pemenuhan diri, penolakan sukses dalam matematika untuk sejumlah besar siswa sekolah. Tentu saja stereotip kemampuan dalam matematika tidak hanya didasarkan pada perbedaan pencapaian yang diamati. Ada bukti yang tidak bisa disangkal bahwa faktor kelas (baik itu etnik dan gender) memainkan peran yang sangat besar dalam pemberian label ini (Meighan, 1986). Stereotip kemampuan yang dibangun dalam kurikulum nasional bidang matematika mengasumsikan bahwa setiap anak bisa ditempatkan dalam posisi “hirarki kemampuan matematika, dan beberapa akan menggantikan posisi selama tahun sekolah. Akibatnya, kelas pekerja, anak perempuan dan anak berkulit gelap kemungkinan besar akan ditempatkan dalam kelas yang lebih rendah dalam hiraki, sesuai dengan harapan stereotip. Ini adalah segi anti- egalitarian lain dari kurikulum nasional, yang akan menentukan “tingkatan sosial” yang pasti dan hirarkis dari pencapaian siswa.