Prinsip-prinsip Hukum Umum dalam Hukum Kepailitan dari

dan melanggar asas transparansi karena putusan pailit bersifat serta merta. 3. Ketepatan waktu bersidang di Penadilan Niaga yang tidak disipliner akan sangat mempengaruhi disiplin dala persidangan di semua lingkungan peradilan serta mempengaruhi kepastian hukum dan pelaksanaannya. 4. Sebaiknya semua pihak yang terkait mulai mempersiapkan diri untuk mempelajari pengaturan pelaksanaan kepailitan karena pengaturan ini hampir pasti dibutuhkan baik oleh dunia usaha maupun karyawan pada umumnya, mengingat dampak krisis keuangan global yang sudah mulai dirasakan.

c. Prinsip-prinsip Hukum Umum dalam Hukum Kepailitan dari

Berbagai Sistem Hukum Yang Diadopsi dalam UU Kepailitan Indonesia. Penggunaan prinsip hukum sebagai dasar bagi Hakim untuk memutus perkara dalam Kepailitan memperoleh legalitas dalam UU Kepailitan secara Expressis Verbis menyatakan bahwa sumber hukum dalam kepailitan dapat dijadikan dasar bagi Hakim untuk memutus. Dalam Pasal 8 Ayat 5 UU Kepailitan menyatakan bahwa putusan pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Ayat 5 wajib memuat pula Pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan yang bersangkutan dan atau sumber hukum tak tertuilis yang dijadikan dasar untuk mengaidili dan pertimbangan hukum dan pendapat yang berbeda dari hakim anggota atau Ketua Majelis. 1. Prinsip Paritas Creditorium; Prinsip ini merupakan prinsip kesetaraan kedudukan para kreditur yang menentukan bahwa kreditur mempunyai hak yang sama terhadap semua harta benda debitur. Apabila debitur tidak dapat membayar utangnya, maka harta kekayaan debitur menjadi sasaran kreditur. Prinsip ini mengandung makna bahwa semua kekayaan debitur baik yang berupa barang bergerak atau barang tidak bergerak dan semua harta yang telah dimilki oleh debitur, terikat pada penyelesaian kewajiban debitur. Filosofi dari prinsip Paritas Creditorium adalah bahwa merupakan suatu ketidakadilan jika debitur memiliki harta benda sedangkan utang debitur terhadap krediturnya tidak terbayarkan. Hukum memberikan jaminan umum bahwa harta kekayaan debitur demi hukum menjadi jaminan terhadap utang-utangnya meskipun harta debitur tersebut tidak memiliki kaitan langsung terhadap utang. Pelaksanaan prinsip ini harus digandengkan dengan prinsip Pari Passu Prorata Parte guna mencegah ketidakadilan atas penyetaraan kedudukan kreditor sehingga dapat melanggar hak-hak kreditur istimewa terhadap kreditur konkuren. 2. Prinsip Pari Passu Prorata Parte; Bahwa harta kekayaan tersebut merupakan jaminan bersama untuk para kreditur dan hasilnya harus dibagikan secara proporsional antara mereka, kecuali jika antara para kreditor yang menurut undang-undang ada yang harus didahulukan dalam menerima pembayaran tagihan. 3. Prinsip Structured Creditors; Prinsip ini mengklasifikasikan berbagai macam kreditur sesuai dengan kelasnya masing-masing seperti kreditur separatis, preferen dan konkuren. 4. Prinsip Utang; Dalam proses acara kepailitan, konsep utang sangat menentukan karena tanpa adanya utang tidak mungkin perkara kepailitan dapat diperiksa oleh Pengadilan Niaga. Tanpa adanya utang maka essensi darikepailitan menjadi tidak ada karena kepailitan merupakan pranata hukum untuk melakukan likuidasi terhadap asset debitur untuk membeyara utang-utang debitur kepada kreditur. 5. Prinsip Debt Collection; Prinsip ini mempunyai makna sebagai konsep pembalasan dari kreditor terhadap debitor pailit dengan menagih klaimnya. Pada zaman dahulu, prinsip ini dimanifestasikan dalam bentuk pemotongan bagian tubuh debitor mutilation dan bahkan pencincangan tubuh debitor dismemberment, sedangkan dalam hukum kepailitan modern dalam bentuk likuidasi aset. 6. Prinsip Debt Polling; Merupakan prinsip yang mengatur bagaimana harta kekayaan debitor pailit harus dibagi diantara para kreditornya. Dalam melakukan pendistribusian aset tersebut, kurator harus berpegang pada prinsip Paritas Creditorium dan prinsip Pari Passu Prorata Parte. 7. Prinsip Debt Forgiveness; Mengandung arti bahwa kepailitan tidak identik hanya sebagai pranata penistaan terhadap debitor saja atau hanya sebagai sarana tekanan, akan tetapi bisa bermakna sebaliknya yakni merupakan pranata hukum yang dapat digunakan sebagai alat untuk emperingan beban yang harus ditanggung oleh debitor sebagai akibat dari kesulitan keuangan sehingga tidak mampu melakukan pembayaran terhadap utang-utangnya sehingga utang-utangnya menjadi hapus. Implementasi dari prinsip ini dalam UU Kepailitan adalah diberikannya moratorium terhadap debitor yang dikenal dengan penundaan Kewajiban Pembayaran Utang untuk jangka waktu yang ditentukan dan diberikannya status fresh-starting bagi debitor sehingga memungkinkan debitor untuk mulai melakukan usaha baru tanpa dibebani utang-utang lama serta rehabilitasi terhadap debitor jika ia telah benar-benar menyelesaikan skim kepailitan dan perlindungan hukum lain yang wajar terhadap debitor pailit. 8. Prinsip Universal dan Teritorial; Mengadung makna bahwa putusan pailit dari suatu pengadilan di suatu Negara maka putusan pailit tersebut berlaku terhadap semua harta debitor baik yang berada di dalam negeri di tempat putusan pailit dijatuhkan maupun terhadap harta debitor yang ada di luar negeri. Prinsip ini menekankan aspek internasional dari kepailitan atau yang dikenal sebagai Cross Border Insolvency. Secara umum dapat dikatakan bahwa kebanyakan system hukum yang dianut oleh banyak Negara tidak memperkenankan pengadilannya untuk mengeksekusi putusan pengadilan asing. Kecenderungan ini tidak hanya terjadi di Negara-negara yang menganut sistem Civil Law tetapi berlaku juga di Negara-negara yang menganut sistem Common Law. Penolakan eksekusi terhadap putusan Pengadilan asing terkait erat dengan konsep kedaulatan Negara. Sebuah Negara yang memilki kedaulatan tidak akan mengakui institusi atau lembaga yang lebih tinggi di Negara lain kecuali Negara terseut menundukkan diri secara sukarela. Mengingat pengadilan merupakan alat kelengkapan yang ada dalam suatu Negara maka merupakan hal yang wajar jika pengadilan tidak melakukan eksekusi terhadap putusan-putusan pengadilan asing. 9. Prinsip Commerecial Exit From Financial Distress dalam kepailitan Perseroan Terbatas PT. Secara umum, hakikat tujuan adanya kepailitan adalah proses yang berhubungan dengan pembagian harta kekayaan dari debitor terhadap para kreditornya. Kepailitan ini merupakan jalan keluar untuk proses pendistribusian harta kekayaan debitor yang nantinya merupakan boedel pailit secara pasti dan adil. Prinsip Commerecial Exit From Financial Distress sekaligus memberikan makna bahwa kepailitan merupakan solusi dari penyelesaian masalah utang debitor yang sedang mengalami kebangkrutan dan bukan sebaliknya bahwa kepailitan justru digunakan sebagai pranata hukum untuk membangkrutkan suatu usaha.

3. Perlindungan Hukum Nasabah Asuransi Sebagai Kreditor