Paradigma Kajian KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA

2.1 Paradigma Kajian

Manusia memiliki paradigma tersendiri dalam memaknai sebuah realitas. Pengertian paradigma adalah suatu cara pandang untuk memahami kompleksitas dunia nyata. Paradigma tertanam kuat dalam sosialisasi para penganut dan praktisinya. Paradigma menunjukkan sesuatu yang penting, absah, dan masuk akal. Paradigma juga bersifat normatif, menunjukkan kepada praktisinya apa yang harus dilakukan tanpa perlu melakukan pertimbangan eksistensial atau epistimologis yang panjang Mulyana, 2003: 9. Dalam penelitian ini peneliti menggunakan fenomenologi sebagai paradigma kajian. Kata fenomenologi berasal dari bahasa Yunani, phenomenon, yang berarti sesuatu yang tampak yang terlihat karena bercakupan. Dalam bahasa Indonesia biasa dipakai istilah gejala. Jadi, fenomenologi adalah suatu aliran yang membicarakan fenomena atau segala sesuatu yang menampakkan diri Praja, 2010: 179. Pada dasarnya Fenomenologi adalah suatu tradisi pengkajian yang digunakan untuk mengeksplorasi pengalaman manusia. Seperti yang dikemukakan oleh Littlejohn 2008:37 bahwa fenomenologi adalah suatu tradisi untuk mengeksplorasi pengalaman manusia. Dalam konteks ini ada asumsi bahwa manusia aktif memahami dunia disekelilingnya sebagai sebuah pengalaman hidupnya dan aktif menginterpretasikan pengalaman tersebut. Penelitian dalam pandangan fenomenologi berusaha memahami arti peristiwa dan kaitan–kaitannya terhadap orang–orang yang berada dalam situasi– situasi tertentu. Inkuiri fenomenologi memulai dengan diam yang merupakan tindakan untuk menangkap pengertian sesuatu yang sedang diteliti. Inilah yang disebut sebagai fase Ephoce, yang merupakan penundaan perkiraan dan asumsi, penilaian dan interpretasi. Setelah itu mulai berusaha masuk ke dalam dunia Universitas Sumatera Utara konseptual para subjek yang diteliti secara sedemikian rupa sehingga peneliti mengerti apa dan bagaimana suatu pengertian yang dikembangkan oleh mereka di sekitar peristiwa dalam kehidupannya sehari – hari. Ini merupakan fase reduksi fenomenologi dan fase variasi imajinatif Moleong, 2006:16. Teori atau preposisi yang dihasilkan dari studi fenomenologi adalah key learning atau pelajaranhikmah penting apa yang muncul dari fenomena yang diteliti. Fenomenologi berbeda dengan etnometodologi atau cultural studies yang secara lebih serius menyorot peristiwa-peristiwa, sikap dan perilaku hingga makna simbol-simbol budaya yang berkembang di masyarakat. Fenomenologi umumnya berkaitan dengan fenomena perilaku manusia.Asumsi pokok fenomenologi adalah manusia secara aktif menginterpretasikan pengalamannya dengan memberikan makna atas sesuatu yang dialaminya. Oleh karena itu interpretasi merupakan proses aktif untuk memberikan makna atas sesuatu yang dialami manusia. Dengan kata lain pemahaman adalah suatu tindakan kreatif, yakni tindakan menuju pemaknaan Littlejohn, 2008:38. Metode fenomenologi memberikan peluang bagi peneliti untuk menggali pengalaman manusia. Dibanding metode lain, fenomenologi lebih memberikan fleksibilitas dan kemudahan untuk membangun konstruksi sosial realitas dan memberikan informasi yang kaya atas realita yang diteliti Ninik Sri Rejeki, 2011:158. Fenomenologi pada prinsipnya mendeskripsikan pengalaman, bukan menjelaskan atau menganalisa dari pengalaman tersebut. Akan tetapi dalam pendeskripsian fenomenologi harus berdekatan dengan sifat kealamiahan tekstur, kualitas, dan sifat-sifat penunjang dari suatu gejala, sehingga deskripsi tersebut akan mampu mempertahankan fenemona seperti apa adanya. Dalam penelitian kualitatif yang menggunakan metode fenomenologi, peneliti harus bisa memasuki sudut pandang orang lain dan berupaya memahami mengapa gejala atau hal pada diri orang lain tersebut terjadi. Natanson menggunakan istilah fenomenologi merujuk kepada semua pandangan sosial yang menempatkan kesadaran manusia dan makna subjektifnya Universitas Sumatera Utara sebagai fokus untuk memahami tindakan sosial Kuswarno, 2009. Fenomenologi menjelaskan fenomena perilaku manusia yang dialami dalam kesadaran. Fenomenolog mencari pemahaman seseorang dalam membangun makna dan konsep yang bersifat intersubyektif. Oleh karena itu, penelitian fenomenologi harus berupaya untuk menjelaskan makna dan pengalaman hidup sejumlah orang tentang suatu konsep atau gejala. Sebagai metode penelitian, fenomenologi sering dikenal sebagai metode deskriptif kualitatif dengan paradigma konstruktivisme Mix Methodology, 2011:138. Sesuai dengan asumsi ontologis yang ada dalam paradigma konstruktivisme, peneliti yang menggunakan metode ini akan memperlakukan realitas sebagai konstruksi sosial kebenaran. Realitas juga dipandang sebagai sesuatu yang sifatnya relatif, yaitu sesuai dengan konteks spesifik yang dinilai relevan oleh para aktor sosial. Secara epistemologi, ada interaksi antara peneliti dan subjek yang diteliti. Sementara itu dari sisi aksiologis, peneliti akan memperlakukan nilai, etika, dan pilihan moral sebagai bagian integral dari penelitian. Peneliti merupakan fasilitator yang menjembatani keragaman subyektivitas pelaku sosial dalam rangka merekonstruksi realitas sosial. Fenomenologi sebagai metode penelitian adalah cara membangun pemahaman tentang realitas. Pemahaman tersebut di bangun dari sudut pandang para aktor sosial yang mengalami peristiwa dalam kehidupannya. Pemahaman yang dicapai dalam tataran personal merupakan konstruksi personal realitas atau konstruksi subyektivitas. Asumsi pokok fenomenologi adalah manusia secara aktif menginterpretasikan pengalamannya dengan memberikan makna atas sesuatu yang dialaminya. Oleh karena itu interpretasi merupakan proses aktif yang memberikan makna atas sesuatu yang dialami manusia. Dengan kata lain pemahaman adalah sesuatu tindakan kreatif yakni tindakan menuju pemaknaan Littlejohn, 2008:38. Universitas Sumatera Utara Fenomenologi menurut Husserl harus mampu menemukan makna dan hakikat dari pengalaman. Secara metodologis, fenomenologi bertugas untuk menjelaskan things in themselves, dengan mengetahui apa yang masuk sebelum kesadaran, dan memahami makna dari esensinya, dalam intuisi dan refleksi diri. Proses ini menggabungkan apa yang tampak, dan apa yang ada dalam gambaran orang yang mengalaminya. Bisa dikatakan ini merupakan penggabungan antara yang nyata dan yang ideal. Husserl juga mengemukakan beberapa tahapan- tahapan penelitian fenomenologi, antara lain Kuswarno, 2009 : 1. Epoche Berasal dari bahasa Yunani, yang artinya “menjauh dari” dan “tidak memberikan suara”. Husserl menggunakan epoche untuk term bebas dari prasangka. Dengan epoche kita mengesampingkan penilaian, bias dan pertimbangan awal yang kita miliki terhadap suatu objek. Epoche merupakan pemutusan hubungan dengan pengalaman dan pengetahuan, yang kita miliki sebelumnya. Epoche memberikan cara pandang baru terhadap objek. hal ini membuat kita dapat menggunakan epoche untuk menciptakan ide, perasaan, kesadaran dan pemahaman yang baru. Epoche memasukkan kita ke dalam dunia internal yang murni, sehingga memudahkan untuk memahami diri dan orang lain. Tantangan besar dalam melakukan epoche ini adalah terbuka atau jujur dengan diri sendiri. Terutama ketika membiarkan objek yang ada di depan kesadaran memasuki area kesadaran kita, dan membuka dirinya sehingga kita dapat melihat kemurnian yang ada padanya. Hal ini harus dilakukan tanpa pengaruh dari segala hal yang ada di dalam diri kita dan orang lain di sekitar kita. Segala sesuatu yang berhubungan dengan orang lain, seperti persepsi, pilihan, penilaian dan perasaan orang lain harus dikesampingkan juga dalam epoche ini. Hanya persepsi dan tindakan sadar kitalah yang menjadi titik untuk menemukan makna,pengetahuan Universitas Sumatera Utara dan kebenaran. Sehingga pada praktiknya, epoche memrlukan kehadiran, perhatian dan konsentrasi, demi mencapai cara pandang yang radikal. 2. Reduksi Fenomenologi Berbeda dengan epoche yang merupakan langkah awal untuk “memurnikan” objek dari pengalaman dan prasangka awal, maka tugas dari reduksi fenomenologi adalah membahasakan bagaimana objek tersebut terlihat. Tidak hanya dalam term objek secara eksternal, namun juga kesadaran dalam tindakan internal, pengalaman, ritme, dan hubungan antara fenomena dengan “aku”, sebagai subjek yang mengamati. Fokusnya terletak pada kualitas dari pengalaman, sedangkan tantangannya ada pada pemenuhan sifat-sifat alamiah dan makna dari pengalaman. Proses ini terjadi lebih dari satu kali. Reduksi akan membawa kita kembali pada bagaimana kita mengalami sesuatu. Memunculkan kembali penilaianasuMGi awal, dan mengembalikan sifat-sifat alamiahnya. Reduksi fenomenologi tidak hanya sebagai cara untuk melihat, namun juga cara untuk mendengar suatu fenomena dengan kesadaran dan hati-hati. Reduksi adalah cara untuk melihat dan mendengar fenomena dalam tekstur dan makna aslinya. 3. Variasi Imajinasi Tahap ketiga dalam penelitian fenomenologi ini bertugas untuk mencari makna-makna yang mungkin dengan memanfaatkan imajinasi, kerangka rujukan, pemisahan dan pembalikan, dan pendekatan terhadap fenomena dari perspektif, posisi, peranan, dan fungsi yang berbeda. Tujuannya tiada lain untuk mencapai deskripsi struktural dari sebuah pengalaman bagaimana fenomena berbicara pada dirinya. Dengan kata lain menjelaskan struktur esensi dari fenomena. Universitas Sumatera Utara Target dari varisai ini adalah makna, dan bergantung dari intuisi sebagai jalan untuk mengintegrasikan struktur ke dalam esensi fenomena. Dalam berpikir imajinatif, kita dapat menemukan makna- makna potensial yang dapat membuat sesuatu yang asalnya tidak terlihat menjadi terlihat jelas. Membongkar hakekat fenomena dengan memfokuskannya pada kemungkinan-kemungkinan yang murni, adalah inti dari kegiatan variasi imajinasi. Pada tahap ini struktur dari pengalaman diungkapkan, dimana kondisi yang hakiki dimunculkan. Pada tahap ini, dunia dihilangkan, segala sesuatu menjadi mungkin. Segala pendukung dijauhkan dari fakta dan entitas yang dapat diukur dan diletakkan pada makna dan hakikatnya. Dalam kondisi seperti ini, intuisi tidak lagi empiris namun murni imajinatif. 4. Sintesis Makna dan Esensi Merupakan tahap terakhir dalam penelitian fenomenologi. Tahap ini adalah penyatuan intiutif dasar-dasar deskripsi tekstural dan struktural ke dalam suatu pernyataan yang menggambarkan hakikat fenomena secara keseluruhan. Dengan demikian, tahap ini adalah tahap penegakan pengetahuan mengenai hakikat. Husserl mendefinisikan esensi sebagai sesuatu yang umum dan berlaku universal, kondisi atau kualitas yang menjadikan sesutau. Esensi itu sendiri tidak pernah terungkap secara sempurna. Sintesis struktur tekstural yang fundamental akan mewakili esensi ini dalam waktu dan tempat tertentu, dari sudut pandang imajinatif dan studi reflektif seseorang terhadap fenomena. Menurut Husserl, setiap sifat fisik akan menarik kita ke dalam pengalaman yang tidak terbatas. Universitas Sumatera Utara

2.2 Kajian Pustaka