Pengaturan Prinsip Kehati-Hatian Dalam Undang-Undang Perbankan

Dalam pelaksanaan prinsip kehati-hatian sebagaimana yang telah direkomendasikan Basel Committee untuk melaksanaan KYCP dinilai berdampak pada kepercayaan nasabah dan keuntungan pihak bank bahkan perekonomian negara. Bank sebagai bisnis penuh risiko sewajarnya menerapkan prinsip kehati-hatian agar dapat meningkatkan kepercayaan nasabah kepada bank dan dapat mencegah kerugian bank. Walaupun ada kalangan yang terus memperdebatkannya baik pro dan kontra namun pengaturan KYCP dalam perbankan dimaksudkan sebenarnya untuk menjaga kepercayaan masyarakat kepada bank tersebut selain itu juga untuk meningkatkan keuntungan bank.

C. Pengaturan Prinsip Kehati-Hatian Dalam Undang-Undang Perbankan

Prinsip kehati-hatian mengharuskan pihak bank untuk selalu berhati-hati dalam menjalankan kegiatan usahanya, selalu konsisten dalam melaksanakan peraturan perundang-undangan di bidang perbankan berdasarkan profesionalisme dan itikad baik. Pengaturan prinsip kehati-hatian dalam perbankan menyangkut pelayanan jasa-jasa perbankan maupun dalam hal penghimpunan dan penyaluran dana dalam bentuk kredit kepada masyarakat. Prinsip kehati-hatian prudential principle dalam sistem perbankan digunakan sebagai perlindungan secara tidak langsung oleh pihak bank terhadap kepentingan-kepentingan nasabah penyimpan dan simpanannya di bank. Prinsip ini digunakan untuk mencegah timbulnya risiko-risiko kerugian dari suatu kebijakan dan kegiatan usaha yang dilakukan oleh bank. Penerapan prinsip Universitas Sumatera Utara kehati-hatian merupakan suatu upaya dan tindakan pencegahan yang bersifat internal oleh bank yang bersangkutan. 73 Prinsip ini diatur dan ditegaskan dalam Pasal 2 UU No.7 Tahun 1992 junto UU No.10 Tahun 1998 tentang Perbankan UU Perbankan yaitu: “Perbankan Indonesia dalam melakukan usahanya berasaskan demokrasi ekonomi dengan menggunakan prinsip kehati- hatian”. Prinsip kehati-hatian merupakan prinsip terpenting yang wajib diterapkan oleh bank-bank dalam menjalankan kegiatan usahanya sebab bisnis perbankan adalah bisnis yang berdasarkan kepercayaan. Pengaturan prinsip kehati-hatian ini juga menekankan pentingnya bank dalam menjaga kesehatan bank itu sendiri. Apabila dipahami lebih jauh, prinsip kehati- hatian sangat menguntungkan, baik bagi pihak bank maupun bagi nasabah itu sendiri. Semakin hati-hatinya bank dalam mengelola usahanya, dapat dipastikan bahwa kepercayaan nasabah terhadap bank semakin tinggi serta keuntungan bank itu akan semakin meningkat. Kehati- hatian berasal dari kata ”hati-hati” prudent yang erat kaitannya dengan fungsi pengawasan bank dan manajemen bank. Prudent dapat juga diterjemahkan dengan bijaksana, namun dalam dunia perbankan istilah itu digunakan dan diterjemahkan dengan hati-hati atau kehati-hatian prudential. 74 Jadi prinsip kehati-hatian perbankan prudent banking principle merupakan suatu asas atau prinsip yang menyatakan bahwa bank dalam menjalankan fungsi dan kegiatan 73 Chatamarrasjid Ais, Loc. cit. 74 Permadi Gandapradja, Dasar dan Prinsip Pengawasan Bank, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2004, hal.21. Universitas Sumatera Utara usahanya wajib bersikap hati-hati prudent dalam rangka melindungi dana masyarakat yang dipercayakan padanya. 75 Prinsip ini telah dinormatifkan dalam peraturan perbankan di Indonesia misalnya dalam Pasal 2 UU No.7 Tahun 1992 jo UU No.10 Tahun 1998 tentang Perbankan. Penormatifan prinsip kehati-hatian dalam UU No.7 Tahun 1992 jo UU No.10 Tahun 1998 tentang Perbankan berarti suatu penegasan yang secara implisit bahwa prinsip kehati-hatian ini sebagai salah satu asas terpenting yang wajib diterapkan dan dilaksanakan oleh bank dalam menjalankan kegiatan usahanya. 76 Penegasan prinsip kehati-hatian juga diatur dalam Pasal 29 ayat 2 UU No.7 Tahun 1992 jo UU No.10 Tahun 1998 tentang Perbankan yang menegaskan: ”Bank wajib memelihara tingkat kesehatan bank sesuai dengan ketentuan kecukupan modal, kualitas aset, kualitas manajemen, likuiditas, rentabilitas, solvabilitas, dan aspek lain yang berhubung-an dengan usaha bank, dan wajib melakukan kegiatan usaha sesuai dengan prinsip kehati- hatian”. Tidak ada alasan bagi bank-bank untuk tidak menerapkan prinsip kehati-hatian dalam menjalankan kegiatan usahanya dan wajib menjunjung tinggi serta berpegang teguh pada prinsip ini. Hal ini mengandung makna bahwa segala sesuatu perbuatan dan kebijaksanaan yang dibuat harus senantiasa berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku sehingga dapat dipertanggungjawabkan secara hukum. 75 Rachmadi Usman, Op. cit, hal. 18. 76 Hermansyah, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, Cetakan Keempat, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008, hal.134. Lihat juga: Chatamarrasjid Ais, Op. cit, hal. 147. Universitas Sumatera Utara Selanjutnya dalam ketentuan Pasal 29 ayat 3 UU No.7 Tahun 1992 jo UU No.10 Tahun 1998 tentang Perbankan, terkandung secara eksplisit prinsip kehati- hatian dalam hal penyaluran kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah kepada nasabah debitor. Ketentuan tersebut menegaskan: ”Dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah dan melakukan kegiatan usaha lainnya, bank wajib menempuh cara-cara yang tidak merugikan bank dan kepentingan nasabah yang mempercayakan dananya kepada bank”. Hal ini dilaksanakan selain bertujuan untuk mencegah timbulnya kerugian pada bank juga memberikan perlindungan kepada kepentingan-kepentingan nasabah penyimpan dan simpanannya. Prinsip kehati-hatian sebagai bagian dari pembinaan dan pengawasan. Dalam judul bab V UU No.7 Tahun 1992 jo UU No.10 Tahun 1998 tentang Perbankan mulai dari Pasal 29 sd Pasal 37-B, tampak penegasan prinsip ini termasuk dalam ruang lingkup pembinaan dan pengawasan. Prinsip kehati-hatian merupakan bagian dari pembinaan dan pengawasan bank. Menurut Anwar Nasution, ketentuan prinsip kehati-hatian dalam UU No.7 Tahun 1992 jo UU No.10 Tahun 1998 tentang Perbankan termasuk dalam ruang lingkup pembinaan bank dalam arti sempit. 77 Tanggung jawab bank terhadap nasabahnya tampak pula dalam penegasan Pasal 29 ayat 4 UU No.7 Tahun 1992 jo UU No.10 Tahun 1998 tentang Perbankan yang menegaskan: ”Untuk kepentingan nasabah, bank wajib menyediakan informasi 77 Anwar Nasution, “Pokok-Pokok Pikiran Tentang Pembinaan dan Pengawasan Perbankan D alam Rangka Pemantapan Kepercayaan Kepada Masyarakat Terhadap Industri Perbankan”, Makalah disampaikan pada Seminar tentang Pertanggungjawaban Bank Terhadap Nasabah, Departemen Kehakiman, BPHN, di Hotel Indonesia Jakarta, pada tanggal 24-25 Juni 1997, hal. 2. Universitas Sumatera Utara mengenai kemungkinan timbulnya risiko kerugian sehubungan dengan transaksi nasabah yang dilakukan melalui bank”. Dalam ketentuan secara eksplisit pula terkandung prinsip kehati-hatian yang mewajibkan bagi bank menyediakan informasi mengenai kemungkinan timbulnya resiko kerugian sehubungan dengan transaksi nasabah yang dilakukan melalui bank. Tampaknya ketentuan ini terkesan berlebihan, tetapi ketentuan ini sebenarnya menegaskan kepada bank untuk memiliki tanggung jawab terhadap para nasabahnya. Hal ini penting bagi bank dalam rangka menjaga hubungan baik dan berkelanjutan dengan nasabahnya. Penyediaan informasi itu dilakukan oleh bank dalam hubungan kepercayaan. Apabila nasabah dirugikan sekali saja, akibatnya nasabah selamanya tidak akan percaya kepada bank bersangkutan. Kedudukan bank dalam masyarakat sebagai lembaga yang jasa-jasanya berpengaruh besar terhadap kesejahteraan masyarakat, maka dengan itu, konsep hubungan antara bank dan nasabahnya bukan hanya sekedar hubungan debitur-kreditur semata, melainkan sebagai hubungan kepercayaan. 78 UU No.7 Tahun 1992 jo UU No.10 Tahun 1998 tentang Perbankan tidak memberikan pengertian dan penjelasan secara pasti mengenai pengertian prinsip kehati-hatian. Dalam Pasal 2 dan Pasal 29 UU No.7 Tahun 1992 jo UU No.10 Tahun 1998 tentang Perbankan hanya disebutkan istilah prinsip kehati-hatian saja dan tidak 78 Sutan Remy Sjahdeini, ”Bank Indonesia Sebagai Penggerak Utama Reformasi Peraturan Perundangundangan”, Majalah Bank dan Manajemen, Edisi NovemberDesember 1996, hal. 17. Tulisan ini juga pernah disampaikan dalam Pidato Ilmiahnya dalam rangka Penerimaan Jabatan Guru Besar Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum UNAIR Surabaya pada tanggal 16 Desember 1996. Universitas Sumatera Utara dijelaskan maksudnya. Akan tetapi dapat dilihat pengertian prinsip kehati-hatian dalam penjelasan Pasal 3 ayat 2 huruf b PBI Nomor: 74PBI2005 tentang Prinsip Kehati- Hatian Dalam Aktivitas Sekuritisasi Aset Bagi Bank Umum, yaitu: ”Yang dimaksud dengan prinsip kehati-hatian adalah sesuai dengan ketentuan yang berlaku antara lain tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum, Batas Maksimum Pemberian Kredit Bank Umum, prinsip-prinsip pemberian kredit yang sehat dan prinsip- prinsip penerapan manajemen risiko”. Pada prinsipnya prinsip kehati-hatian itu tidak dapat didefenisikan secara menyeluruh karena ruang lingkupnya sangat luas. Namun, dapat dipahami bahwa sebenarnya prinsip ini menegaskan bagi bank agar bank wajib waspada untuk tetap senantiasa memelihara tingkat kesehatan bank, kecukupan modal, kualitas aset, kualitas manajemen, likuiditas, rentabilitas, dan aspek lain yang berhubungan dengan usaha bank. Luasnya ruang lingkup prinsip kehati-hatian ini, pengaturannya tersebar dalam berbagai peraturan perundang-undangan tentang perbankan, ada yang ditegaskan secara implisit dan ada pula yang penegasannya secara eksplisit tersirat. UU No.7 Tahun 1992 jo UU No.10 Tahun 1998 tentang Perbankan sudah seringkali dilakukan revisi namun tetap menormatifkan prinsip kehati-hatian ini sebagai prinsip yang paling penting dalam perbankan. Selain UU No.7 Tahun 1992 jo UU No.10 Tahun 1998 tentang Perbankan, UU No.23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia junto UU No.3 Tahun 2004 tentang Perubahatan Pertama atas UU No.23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia Bank Indonesia junto UU No.6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Universitas Sumatera Utara Pengganti UU No.2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas UU No.23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia Menjadi Undang-Undang selanjutnya disingkat UUBI, pada Pasal 25 UU No.23 Tahun 1999 menegaskan: 1. Dalam rangka melaksanakan tugas mengatur bank, Bank Indonesia berwenang menetapkan ketentuan-ketentuan perbankan yang memuat prinsip kehati-hatian. 2. Pelaksanaan kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 ditetapkan dengan Peraturan Bank Indonesia. Ketentuan BI yang memuat prinsip kehati-hatian bertujuan untuk memberikan rambu-rambu bagi penyelenggaraan kegiatan usaha perbankan guna mewujudkan sistem perbankan yang sehat 79 yang kemudian diatur dalam PBI Nomor: 74Pbi2005 tentang Prinsip Kehati-Hatian Dalam Aktivitas Sekuritisasi Aset Bagi Bank Umum sebagai pelaksanaan kewenangan Gubernur Bank Indonesia. Dalam wewenang ini termasuk membatasi penggunaan alat pembayaran tertentu dalam rangka prinsip kehati-hatian yang disesuaikan pula dengan standar yang berlaku secara internasional. 80 Pengaturan menyangkut prinsip kehati-hatian termaktub juga dalam berbagai Surat Edaran SE, Surat Keputusan SK Direksi Bank Indonesia, dan Peraturan Bank Indonesia PBI, seperti: SK BI 3011KEPDIR1997 tentang Tata Cara Penilaian Tingkat Kesehatan Bank, SK BI 3012KEPDIR1997, tentang Tata Cara Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Perkreditan Rakyat, SK BI 3046KEPDIR1997 79 Lihat Paragraf 6 Penjelasan Umum UU No.7 Tahun 1992 jo UU No.10 Tahun 1998 tentang Perbankan, UU No.23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia junto UU No.3 Tahun 2004 tentang Perubahatan Pertama atas UU No.23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia Bank Indonesia junto UU No.6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU No.2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas UU No.23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia Menjadi Undang-Undang UUBI. 80 Bandingkan dengan Penjelasan Pasal 15 ayat 1 huruf c dan Pasal 25 ayat 1 UUBI. Universitas Sumatera Utara tentang Pembatasan Pemberian Kredit Oleh Bank Umum Untuk Pembiayaan Pengadaan Dan Atau Pengolahan Tanah, SE BI 3116UPPB1998 tentang Batas Maksimum Pemberian Kredit Bank Umum, SK BI 31177KEPDIR tentang Batas Maksimum Pemberian Kredit Bank Umum, SE BI 3117UPPB1998 tentang Posisi Devisa Neto Bank Umum, SE BI 3118UPPB1998 tentang Pemantauan Likuiditas Bank Umum, SK BI 31148KepDIR1998 tentang Pembentukan Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif, SK BI 31147KEPDIR1998 tentang Kualitas Aktiva Produktif, Peraturan BI 216PBI2000 tentang Perubahan SK Direksi BI 31177KEPDIR1998 tentang Batas Maksimum Pemberian Kredit, Peraturan BI 321PBI2001 tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank, Peraturan BI 322PBI2001 tentang Transparansi Kondisi Keuangan Bank, Peraturan BI 625PBI2004 tentang Rencana Bisnis Bank Umum, Peraturan BI 74PBI2005 tentang Prinsip Kehati-Hatian Dalam Aktivitas Sekuritisasi Asset Bagi Bank Umum. Dalam rangka untuk mendukung atau menjamin terlaksananya proses pengambilan keputusan dalam pengelolaan bank yang sesuai dengan prinsip kehati- hatian, bank wajib memiliki dan menerapkan sistem pengawasan internal bank. Sistem pengawasan seperti disebut juga dengan self regulations. Sejak tahun 1994 sebenarnya dalam perbankan sudah mulai diharuskan untuk membuat pengaturan internal sendiri sebagai bagian dari kehati-hatian bank dalam menjalankan kegiatan usahanya serta memantapkan langkah-langkah pembinaan dan pengawasan perbankan guna mengembangkan sistem perbankan yang sehat dan tangguh. Universitas Sumatera Utara Dalam kebijakan Pemerintah disektor perbankan tahun 1994 disebutkan bahwa perbankan tetap diarahkan untuk mempercepat proses penyelesaian kredit bermasalah dan bank bermasalah, mempercepat proses konsolidasi dan mendorong perbankan untuk melaksanakan prinsip kehati-hatian. Selain yang ditentukan secara implisit dalam Pasal 2 dan Pasal 29 tersebut di atas, prinsip kehati-hatian juga ditegaskan secara eksplisit pada beberapa ketentuan dalam UU No.7 Tahun 1992 jo UU No.10 Tahun 1998 tentang Perbankan. Misalnya dalam Pasal 8 ayat 1, menegaskan: Dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah, bank umum wajib mempunyai keyakinan berdasarkan analisis yang mendalam atas iktikad dan kemampuan serta kesanggupan nasabah debitur untuk melunasi utangnya atau mengembalikan pembiayaan dimaksud sesuai dengan yang diperjanjikan. Ketentuan Pasal 8 berlaku untuk pemberian kredit 81 , dimana bank umum wajib mempunyai keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan debitur untuk melunasi utangnya sesuai dengan yang diperjanjikan. Hal ini mengisayaratkan bagi bank untuk tidak sembrono dalam memberikan kredit kepada pemohon nasabah melainkan harus dilakukan analisis mendalam terhadap nasabah debitor tersebut untuk menghindari kemungkinan kerugian bagi bank itu sendiri. Sebelum memberikan kredit, bank harus melakukan penilaian yang seksama, mengingat sumber dana kredit yang disalurkan adalah bukan dana dari bank itu 81 Pasal 1 angka 11 UU No.7 Tahun 1992 jo UU No.10 Tahun 1998 tentang Perbankan mendefinisikan kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersama-kan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga. Universitas Sumatera Utara sendiri, tetapi dana yang berasal dari masyarakat sehingga perlu penerapan prinsip kehati-hatian melalui analisa yang akurat dan mendalam, penyaluran yang tepat, pengawasan dan pemantauan yang baik, perjanjian yang sah dan memenuhi syarat yuridis, pengikatan jaminan yang kuat dan dokumentasi perkreditan yang teratur dan lengkap. Semuanya itu bertujuan agar kredit yang disalurkan tersebut dapat kembali tepat pada waktunya sesuai perjanjian yang meliputi pinjaman pokok dan bunga. Apabila kredit yang telah disalurkan bank kepada masyarakat dalam jumlah besar, tidak dibayar kembali kepada bank tepat pada waktunya sesuai dengan perjanjian kredit, maka kualitas kredit dapat digolongkan menjadi Non Performing Lean NPL atau kredit bermasalah sehingga akibatnya dapat mengganggu kesehatan bank yang bersangkutan. 82 Kredit bermasalah atau problem loan sebagaimana disebutkan oleh Ismail, bahwa kredit bermasalah merupakan kredit yang telah disalurkan oleh bank kepada nasabah, dimana nasabahnya tidak dapat melakukan pembayaran atau melakukan angsuran sesuai dengan perjanjian yang telah ditandatangani oleh bank dengan nasabah. 83 Oleh sebabnya, dalam hal pemberian kredit harus dibatasi sebagaimana yang telah ditentukan dalam Pasal 11 ayat 1 bahwa: Bank Indonesia menetapkan ketentuan mengenai batas maksimum pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah, pemberian jaminan, penempatan investasi surat berharga, atau hal lain yang serupa, yang dapat dilakukan oleh bank kepada peminjam atau sekelompok peminjam yang 82 Sutan Remy Sjahde ini, “Menanggulangi Kredit Bermasalah”, Makalah Disampaikan Pada Kuliah Program Magister Hukum, Program Pascasarjana Universitas Surabaya UBAYA, Surabaya, 1995, hal. 1. 83 Ismail, Op. cit, hal. 123. Universitas Sumatera Utara terkait, termasuk kepada perusahaan-perusahaan dalam kelompok yang sama dengan bank yang bersangkutan. Pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah oleh bank dibatasi misalnya tidak boleh melebihi 30 persen dari modal bank bagi peminjam dan 10 persen bagi pihak-pihak atau perusahaan-perusahaan yang memiliki kepentingan di dalam bank. Pembatasan seperti ini dilakukan karena bank mengandung risiko kegagalan atau kemacetan dalam pelunasannya, sehingga dapat berpengaruh terhadap kesehatan bank. Mengingat bahwa kredit atau pembiayaan dimaksud bersumber dari dana masyarakat yang disimpan pada bank, risiko yang dihadapi bank dapat berpengaruh pula kepada keamanan dana masyarakat tersebut. 84 Oleh karena itu, untuk memelihara kesehatan dan meningkatkan daya tahannya, bank diwajibkan menyebar risiko dengan mengatur penyaluran kredit atau pemberian pembiayaan berdasarkan prinsip syariah, pemberian jaminan ataupun fasilitas lain sedemikian rupa sehingga tidak terpusat pada nasabah debitur atau kelompok nasabah debitur tertentu. Ruang lingkup aturan prinsip kehati-hatian untuk pembinaan dalam arti sempit meliputi persyaratan modal awal maupun rasio modal terhadap kemungkinan resiko yang dihadapinya, batas maksimum pemberian kredit, rasio pinjaman terhadap deposito maupun posisi luar negeri, rasio cadangan minimum, cadangan penghapusan 84 Sesuaikan dengan Pasal 11 ayat 2, 3, dan 4 UU No.7 Tahun 1992 jo UU No.10 Tahun 1998 tentang Perbankan. Universitas Sumatera Utara aktiva produktif kredit macet, transparansi pembukuan berdasarkan standarisasi akuntansi serta audit. 85 Dengan diterapkannya prinsip kehati-hatian dalam pelayanan jasa-jasa perbankan, menghimpun dan menyalurkan dana kepada masyarakat dalam bentuk pemberian kredit dinilai akan menurunkan kredit bermasalah Non Performing Loan atau kerugian bagi bank itu sendiri baik kerugian dalam kategori besar maupun kecil. Oleh karena itu, dalam memberikan kredit, harus mengikuti tahap-tahap yang tepat sehingga terhindar dari kredit bermasalah. Pemberian kredit dari bank dimaksudkan sebagai salah satu usaha untuk mendapatkan keuntungan, maka bank dalam menyalurkan simpanan masyarakat kepada nasabahnya dalam bentuk kredit harus sesuai dengan jangka waktu yang diperjanjikan kedua belah pihak. 86 Hal tersebut menunjukkan, debiktur dan kreditur perlu memperhatikan faktor kemampuan dan kemauan debitur, sehingga tersimpul prinsip kehati-hatian dengan menjaga unsur keamanan dan sekaligus unsur keuntungan dari suatu kredit tersebut. 87 Kehati-hatian dalam penilaian terhadap karakter kepribadianwatak dari nasabah harus terlebih dahulu ditinjau dan dilakukan analisis yang mendalam melalui pendekatan mengenal nasabah apakah nasabah tersebut berkepribadian yang baik, jujur, selalu menepati janji, memiliki lingkungan yang baik, mepunyai riwayat hidup yang baik, tidak terlibat tindakan kriminal, sumber pendapatan yang halal, dan lain- 85 Anwar Nasution, Op. cit, hal. 2. 86 Muhammad Djumhana, Op. cit, hal. 299. 87 Iswi Hariyani, Op. cit, hal. 10. Universitas Sumatera Utara lain. 88 Namun terkadang ini tidak bisa dijadikan ukuran, karena bank biasanya tidak mengenal nasabahnya secara mendalam mengingat waktu dari pihak bank yang sangat terbatas. Oleh karena itu perlu diterapkan oleh bank prinsip mengenal nasabah yang pada prinsipnya agar bank berhati-hati dalam melayani nasabahnya mencakup kewajiban bank memiliki kebijakan dan prosedur penerimaan dan pelayanan terhadap nasabah. 89

D. Kewenangan Bank Indonesia Dalam Menetapkan Ketentuan Prinsip Kehati- Hatian