Kerangka Teoritik KARAKTER BENTUK DAN ISI PENGATURAN TENTANG STRUKTUR ORGANISASI DAN TATA KERJA PEMERINTAH DESA.

hn_risethups_2015 lebih lanjut keentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi Pasal 236 ayat 3 UU 232014. Materi muatan pada huruf a tersebut merupakan turunan dari konstitusi. Pembentukan Peraturan Daerah untuk melaksanakan otonomi dan tugas ditentukan dalam Pasal 18 ayat 6 UUD NRI 1945. Dikaitkan dengan teori sumber kewenangan perundang-undangan, bermakna sumber kewenangan pembentukan Peraturan Daerah untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan adalah atribusi perundang-undangan. Peraturan Daerah semacam ini dapat juga disebut Peraturan Daerah atribusian atau Peraturan Daerah berkarakter atribusi. 15 Pembentukan Peraturan Daerah untuk menjabarkan lebih lanjut peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, tidaklah langsung dapat disebut sumber kewenangannya adalah atribusi perundang-undangan atau delegasi perundang- undangan. Oleh karena secara tersurat eksplisit tidak ada dasarnya dalam UUD NRI 1945, namun secara tersirat implisit merupakan konsekuensi logis dari diterapkannya prinsip hierarki peraturan perundang-unangan dalam UUD NRI 1945. Untuk menentukan sumber kewenangannya dapat diamati dari kemungkinan Peraturan Daerah bersangkutan dapat memuat inisiatif mengenai pokok-pokok yang baru atau tidak. Apabila Peraturan Daerah bersangkutan dapat memuat inisiatif mengenai pokok-pokok yang baru, maka sumber kewenangan pembentukan Peraturan Daerah tersebut adalah atribusi perundang-undangan. Peraturan Daerah semacam ini dapat disebut Peraturan Daerah atribusian atau Peraturan Daerah berkarakter atribusi. Apabila Peraturan Daerah bersangkutan 15 Gede Marhaendra Wija Atmaja, 2012, “Politik Pluralisme ...”, Ibid., hlm. 284-285. hn_risethups_2015 tidak dapat memuat inisiatif mengenai pokok-pokok yang baru, maka sumber kewenangan pembentukan Peraturan Daerah tersebut adalah delegasi perundang- undangan. Peraturan Daerah semacam ini dapat disebut Peraturan Daerah delegasian atau Peraturan Daerah berkarakter delegasi. 16 Untuk mendapat pemahaman yang lebih jelas mengenai posisi Peraturan Daerah dalam kerangka teoritik sumber kewenangan perundang-undangan, dapat disimak bagan berikut. Bagan 3.1. Posisi Peraturan Daerah dalam kerangka teoritik sumber kewenangan perundang-undangan Teknik Penyusunan Peraturan Perundang-undangan, yang dikenal dalam tradisi pembentukan peraturan perundang-undang dan yang telah dituangkan dalam UU 122011 sebelumnya UU 102004 mengenal teknik merumuskan kewenangan yang bersifat diskresioner. Teknik Penyusunan Peraturan Perundang-undangan TP3u Nomor 267 Pasal 64 ayat 2 UU 122011 jo. Lampiran II menentukan: Untuk menyatakan sifat diskresioner dari suatu kewenangan yang diberikan kepada seorang atau lembaga, gunakan kata dapat. Contoh 1: Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara 16 Gede Marhaendra Wija Atmaja, 2012, “Politik Pluralisme ...”, Ibid., hlm. 285. PERDA menjabarkan lebih lanjut peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi PERATURAN DAERAH PERDA PERDA melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan tidak dapat memuat inisiatif mengenai pokok-pokok yang baru ATRIBUSI DELEGASI dapat memuat inisiatif mengenai pokok-pokok yang baru hn_risethups_2015 Pasal 90 Pemegang IUP dan IUPK dapat melakukan sebagian atau seluruh tahapan usaha pertambangan, baik kegiatan eksplorasi maupun kegiatan operasi produksi. Contoh 2: Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Administrasi Kependudukan Kabupaten Hulu Sungai Utara Pasal 28 2 Penduduk yang tidak mampu melaksanakan pelaporan sendiri terhadap peristiwa kependudukan yang menyangkut dirinya sendiri dapat dibantu oleh instansi pelaksana atau meminta bantuan kepada orang lain. Sifat diskresioner dari suatu kewenangan, sebagaimana ditunjukkan oleh ketentuan tersebut di atas, bermakna pilihan. Untuk mendapat pemahaman yang lebih memadai perlu mengkonfirmasikan dengan teori kewenangan diskresi. Wewenang terdiri atas wewenang terikat dan wewenang bebas. Wewenang terikat adalah wewenang yang oleh peraturan dasarnya ditentukan mengenai waktu kapan dan keadaan wewenang tersebut dapat digunakan atau peraturan dasarnya sedikit banyak menentukan tentang isi dari keputusan yang harus diambil. Wewenang bebas adalah wewenang yang oleh peraturan dasarnya memberi kebebasan kepada badan atau pejabat tata usaha negara untuk menentukan sendiri mengenai isi dari keputusan yang akan dikeluarkannya atau peraturan dasarnya memberi ruang lingkup kebebasan kepada pejabat yang bersangkutan. 17 Wewenang bebas dikenal dengan istilah diskresi, yang hakekatnya lawan dari wewenang terikat gebonden bevoegdheid, dengan esensi ada pilihan 17 Didasarkan pada Indrohato, 1993, Usaha MemahamiUndang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Buku I, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.hlm. 99-101. hn_risethups_2015 choise untuk melakukan tindakan pemerintahan. 18 Pemahaman teoritik tentang diskresi dan implikasinya dalam penormaan adalah: 1. Diskresi memuat esensi pilihan choise untuk melakukan tindakan pemerintahan, yakni memilih di antara dua atau lebih pilihan, atau memberikan kebebasan kepada pejabat publik untuk mengambil pilihan di antara serangkaian tindakan yang mungkin atau tidak melakukan tindakan. 2. Implikasinya diskresi dalam penormaan adalah perumusan aturan hukum yang membolehkan subjek kaidah untuk memilih di antara dua atau lebih pilihan, atau memberikan kebebasan kepada pejabat publik untuk mengambil pilihan di antara serangkaian tindakan yang mungkin atau tidak melakukan tindakan. Aturan hukum demikian memiliki karakter diskresioner. 3. Aturan hukum yang berkarakter diskresioner ─ yang memuat wewenang bebas ─ hakikatnya merupakan lawan dari aturan hukum yang bersifat imperatif ─ yang tidak memuat memuat pilihan atau dapat juga disebut memuat wewenang terikat. 19 Teori lain yang digunakan adalah validitas hukum, yang dalam tradisi perundang-undangan digunakan saat merumuskan konsiderans peraturan perundang-undangan. Pemahaman validitas hukum sebagai berikut: 20 18 Ridwan, 2014, Diskresi Tanggung Jawab Pemerintah, Yogyakarta: FH UII Press, hlm. 35, yang mengutip pendapat Philipus M. Hadjon. 19 Marhaendra Wija Atmaja, 2015a, “Penormaan Materi Pokok Yang Diatur”, Denpasar: Fakultas Hukum Universitas Udayana, hlm. 11. 20 Gede Marhaendra Wija Atmaja, 2012, “Politik Pluralisme ...”, Op.Cit., hlm. 37. hn_risethups_2015 1. Validitas hukum adalah suatu kualitas hukum, yang menyatakan norma- norma hukum itu mengikat dan mengharuskan orang berbuat sesuai dengan yang diharuskan oleh norma-norma hukum. Suatu norma hanya dianggap valid berdasarkan kondisi bahwa norma tersebut termasuk ke dalam suatu sistem norma. 2. Satjipto Rahardjo dengan mendasarkan pada pandangan Gustav Radbruch mengungkapkan, bahwa validitas adalah kesahan berlaku hukum serta kaitannya dengan nilai-nilai dasar dari hukum. Bahwasanya hukum itu dituntut untuk memenuhi berbagai karya dan oleh Radbruch disebut sebagai nilai-nilai dasar dari hukum, yakni keadilan, kegunaan, dan kepastian hukum. 3. Adanya keterhubungan antara validitas hukum dengan nilai-nilai dasar hukum, bahwasanya hukum didasarkan pada keberlakuan filsafati supaya hukum mencerminkan nilai keadilan, didasarkan pada keberlakuan sosiologis supaya hukum mencerminkan nilai kegunaan, dan didasarkan pada keberlakuan yuridis supaya hukum mencerminkan nilai kepastian hukum.

3.4. Kontribusi Yang Akan Dihasilkan

Kontribusi yang akan dihasilkan dari penelitian ini adalah salah satu sumber informasi dalam penyusunan Rancangan Perda dan Perdes berkenaan dengan struktur organissi dan tata kerja Pemerintah Desa berdasarkan kebijakan tentang Desa tahun 2014. hn_risethups_2015 BAB IV METODE PENELITIAN

4.1. Pendekatan Penelitian

Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian hukum, dengan langkah-langkah sebagai berikut: 21 1. Melakukan studi tekstual, yakni menganalisis secara kritikal terhadap pasal-pasal dalam peraturan perundang-undangan, yakni UU 62014 berikut peraturan pelaksanaannya. Studi tekstual dilakukan guna: a. menemukan makna yang terjalin dalam suatu teks hukum dengan melakukan kontemplasi terhadap pesan dalam teks hukum dan mencari relasi di antara bagian-bagian dari teks hukum itu; b. menjelaskan makna teks hukum itu dan implikasinya terhadap kepala desa dan perangkat desa dalam konstelasi hubungan tata kerja pemerintah desa. 2. Melakukan studi empirik: 1 dengan melakukan identifikasi dan analisis bekerjanya Perda-Perda terkait dan UU 62014 serta peraturan pelaksanaannya; dan 2 untuk mendapatkan data empirik tentang pengalaman dan pemahaman dari para pejabat di lingkungan SKPD yang membidangi desa dan dari para kepala desa dan perangkat kepala 21 Langkah-langkah penelitian hukum tersebut merujuk pada Metode Penelitian Hukum berbasis kajian sosio-legal, sebagaimana terangkum dalam Marhaendra Wija Atmaja, 2014, “Metode Penelitian Hukum dalam Penyusunan Naskah Akademik Rancangan Peraturan Perundang-undangan”, Denpasar: Progran Studi Magister Ilmu Hukum Program Pasca Sarjana Universitas Udayana, hlm. 12. Risalah ini merujuk pada Soelistyowati Irianto, 2012, “Memperkenalkan kajian sosio-legal dan implikasi metodologisnya”, dalam Adriaan W. Bedner, dkk Eds., Kajian Sosio-Legal, Denpasar: Pustaka Larasan; dan Soelistyowati Irianto, 2011, “Praktik Penelitian Hukum: Perspektif Sosiolegal”, dalam Soelistyowati Irianto dan Shidarta, Eds., Metode Penelitian Hukum: Knstelasi dan Refleksi, Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia. hn_risethups_2015 desa. Studi empirik dilakukan dengan cara mengajukan kuesioner daftar tanya, wawancara, dan dan FGD. 3. Melakukan analisis terhadap data yang terkumpul baik data peraturan maupun data empirik dan penarikan kesimpulan.

4.2. Pengumpulan Data

Data dikumpulkan dengan cara pembacaan dan pencatatan data hukum perundang-undangan, dengan melakukan klasifikasi sesuai masalah penelitian. Data empirik diperoleh melalui wawancara kepada SKPD terkait.

4.3. Analisis Data

Merujuk pada Miles dan Huberman, yang membedakan empat tahap dalam proses analisis, yakni pengumpulan data, reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan. Menurut Miles dan Huberman, analisis data tekandung dalam tiga tahapan terakhir. Penggunaannya dalam penelitian hukum ini adalah sebagai berikut: 22 a. reduksi data data reduction, yaitu proses pemilihan, penyedehanaan, abstraksi data berdasarkan tema-tema yang ditentukan berkenaan dengan struktur organisasi dan tata kerja pemerintah desa. b. penyajian data data display, merupakan proses interpretasi, yakni proses pemberian makna terhadap unsur-unsur maupun totalitas, kemudian menyajikan hasil reduksi data dalam bentuk uraian naratif danatau tabulatif dikaitkan dengan permasalahan yang diajukan; dan 22 Merujuk pada Miles dan Huberman berdasarkan pemahaman Agus Salim, 2006, Teori Paradigma Penelitian Sosial , Edisi Kedua, Yogyakarta: Tiara Wacana, hlm. 22-23; dan Nyoman Kutha Ratna, 2010, Metodologi Penelitian Kajian Budaya dan Ilmu-Ilmu Sosial Humaniora Pada Umumnya , Yogyakarta: Pustaka Pelajar, hlm. 310-311.