KARAKTER BENTUK DAN ISI PENGATURAN TENTANG STRUKTUR ORGANISASI DAN TATA KERJA PEMERINTAH DESA.

(1)

(2)

(3)

iii

RINGKASAN

Penelitian ini membahas persoalan hukum mengenai karakter bentuk dan isi pengaturan struktur organisasi dan tata kerja pemerintah desa, dengan pertanyaan penelitian sebagai berikut:

1. Bagaimanakah karakter bentuk dan isi Perda dan Perdes berkenaan dengan susunan organisasi dan tata kerja Pemerintah Desa pada masa berlakunya kebijakan tentang Desa tahun 2004?.

2. Faktor apakah yang menjadi pertimbangan perlunya menetapkan Perda dan Perdes berkenaan dengan struktur organissi dan tata kerja Pemerintah Desa berdasarkan kebijakan tentang Desa tahun 2014?

3. Bagaimanakah karakter bentuk dan isi Perda dan Perdes berkenaan dengan susunan organisasi dan tata kerja Pemerintah Desa berdasarkan kebijakan tentang Desa tahun 2014?.

Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian hukum, dengan langkah-langkah melakukan studi tekstual terhadap peraturan perundang-undangan, yang didukung studi empirik untuk mendapatkan pemahaman bekerjanya Perda tentang SOTK Pemdes, melakukan analisis terhadap data yang terkumpul, dan penarikan kesimpulan.

Kesimpulan penelitian mengenai karakter bentuk dan isi pengaturan struktur organisasi dan tata kerja pemerintah desa adalah: Pertama, karakter bentuk dan isi Perda dan Perdes berkenaan dengan susunan organisasi dan tata kerja Pemerintah Desa pada masa berlakunya kebijakan tentang Desa tahun 2004 yakni:

1. Karakter bentuk Perda tentang Pedoman SOTK Pemerintahan Desa bersifat atribusian, yakni memuat pokok-pokok yang baru.

2. Karakter isi Perda tentang Pedoman SOTK Pemerintahan Desa bersifat diskresioner, dalam hal ini memuat norma diskresi, yakni memberikan ruang kebebasan kepada Desa untuk menentukan jumlah Perangkat Desa disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi sosial budaya masyarakat setempat.

3. Karakter bentuk Perdes tentang SOTK Pemerintahan Desa bersifat delegasian, yakni memuat materi muatan penjabaran lebih lanjut ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tanpa memuat pokok-pokok yang baru.

4. Karakter isi Perdes tentang SOTK Pemerintahan Desa bersifat imperatif, yakni Pemerintahan Desa memiliki kewajiban untuk menetapkan Perdes tentang SOTK Pemerintahan Desa.

5.Praktiknya, Perdes tentang SOTK Pemerintahan Desa tidak dibentuk.

Kedua, faktor yang menjadi pertimbangan perlunya menetapkan Perda

berkenaan dengan struktur organissi dan tata kerja Pemerintah Desa berdasarkan kebijakan tentang Desa tahun 2014 adalah:

1. Terdapat Perda yang memuat faktor yuridis yang menjadi pertimbangan perlunya menetapkan Perda dan terdapat Perda yang memuat faktor filosofis. sosiologis, dan yuridis yang menjadi pertimbangan perlunya menetapkan Perda.

2. Perda SOTK yang dibentuk dalam kerangka UU 6/2014 dan PP 43/2014 adalah berkarakter atribusian yang menyebabkan faktor yang menjadi pertimbangan perlunya menetapkan Perda adalah faktor


(4)

iv

3. Secara normatif pembentukan Perda dalam kerangka UU 6/20014 dan PP 43/2014 adalah filosofis, sosiologis, dan yuridis.

Ketiga, karakter bentuk dan isi Perda dan Perdes berkenaan dengan susunan

organisasi dan tata kerja Pemerintah Desa berdasarkan kebijakan tentang Desa tahun 2014 adalah:

1. Karakter bentuk Perda tentang Pedoman SOTK Pemerintah Desa bersifat atribusian, yakni memuat materi muatan penyelenggaraan Otonomi Daerah.

2. Karakter isi Perda tentang Pedoman SOTK Pemerintah Desa bersifat diskresioner, dalam pengertian memberikan ruang kebebasan kepada Desa untuk menetapkan paling banyak 3 (tiga) bidang urusan sebagai unsur staf sekretariat Desa dan paling banyak 3 (tiga) seksi sebagai pelaksana teknis yang merupakan unsur pembantu kepala desa.

3. Karakter bentuk Perdes tentang SOTK Pemerintah Desa bersifat delegasian, yakni memuat materi muatan penjabaran lebih lanjut ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.

4. Karakter isi Perdes tentang SOTK Pemerintah Desa bersifat imperatif, yakni Pemerintahan Desa memiliki kewajiban untuk menetapkan SOTK Pemerintah Desa dengan Perdes.

Saran yang diajukan berdasakan penelitian mengenai karakter bentuk dan isi pengaturan struktur organisasi dan tata kerja pemerintah desa adalah:

1. Perda Pedoman SOTK Pemerintah Desa agar memuat norma mengenai strategi implementasi, yang memastikan Pemerintahan Desa menetapkan SOTK Pemerintah Desa dengan Perdes.

2. Perda SOTK Pemerintah Desa adalah bersifat atribusian, oleh karena itu Pemerintahan Kabupaten/Kota dapat segera menetapkan Perda SOTK Pemerintah Desa untuk memberikan landasan dan kepastian hukum dalam penetapan SOTK Pemerintah Desa.

3. Perdes SOTK Pemerintah Desa bersifat diskresioner, dalam kerangka ini Pemerintahan Desa agar memanfaatkan sifat diskresioner tersebut dengan baik, dalam pengertian agar menetapkan nomenklatur dan jumlah bidang urusan-bidang urusan dan seksi-seksi sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan keuangannya.


(5)

v

PRAKATA

Atas berkat rahkmat Tuhan Yang Maha Esa, Ida Sang Hyang Widi Wasa, dan kerja sama yang dari Tim Peneliti, penelitian bertajuk Karakter Bentuk dan Isi Pengaturan Struktur Organisasi dan Tata Kerja Pemerintah Desa dapat diselesaikan.

Terimakasih disampaikan kepada Bapak Rektor, Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat Universitas Udayana, Dekan Fakultas Hukum Universitas Udayana atas kesempatan dan fasilitasi untuk mengadakan penelitian.

Terimakasih juga disampaikan kepada banyak pihak, yang tidak dapat disebutkan namanya satu per satu atas segala bantuan dan kerja samanya sehingga penelitian ini dapat diselesaikan.

Denpasar, 13 Oktober 2015 Tim Peneliti


(6)

vi DAFTAR ISI

HALAMAN PENGESAHAN ...ii

RINGKASAN...iii

PRAKATA ...v

DAFTAR ISI ...vi

DAFTAR TABEL ...viii

DAFTAR LAMPIRAN ...ix

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang Masalah ... 1

1.2. Rumusan Masalah ... 4

1.3. Ruang Lingkup Masalah ... 5

BAB II TUJUAN DAN MANFAAT ... 6

2.1.Tujuan ... 6

2.2. Manfaat ... 6

BAB III TINJAUAN PUSTAKA ... 8

3.1. Studi Terdahulu ... 8

3.2. Studi Pendahuluan ... 10

3.3. Kerangka Teoritik ... 18

3.4. Kontribusi Yang Akan Dihasilkan ... 24

BAB IV METODE PENELITIAN ... 25

4.1. Pendekatan Penelitian ... 25

4.2. Pengumpulan Data ... 26

4.3. Analisis Data ... 26


(7)

vii

5.1. Hasil Penelitian perihal Karakter Bentuk dan Isi Pengaturan tentang

Struktur Organisasi dan Tata Kerja Pemerintah Desa ...30

5.2. Pembahasan perihal Karakter Bentuk dan Isi Pengaturan tentang Struktur Organisasi dan Tata Kerja Pemerintah Desa ...59

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN ... 1077

6.1. Kesimpulan ... 107

6.2. Saran ... 112

DAFTAR PUSTAKA ... 1133

LAMPIRAN ... 116 • Pedoman wawancara.


(8)

viii

DAFTAR BAGAN DAN TABEL

Bagan 3.1. Posisi Peraturan Daerah dalam kerangka teoritik sumber kewenangan perundang-undangan ... 20 Tabel 3.1. Perda Kabupaten/Kota se Bali tentang Pedoman Organisasi dan Tata

Kerja Pemerintahan Desa ... 10 Tabel 3.2. Definisi-definisi berkenaan dengan pedoman struktur organisasi dan

tata kerja Pemerintah Desa ... 17 Tabel 3.3. Perbedaan Atribusi Kewenangan Perundang-undangan dan Delegasi Kewenangan Perundang-undangan ... 19 Tabel 5.1. Materi Muatan Perda Badung 3/2007 Berdasarkan Pasal 13 ayat (2) PP

72/2005 ... 31 Tabel 5.2. Materi Muatan Perda Badung 3/2007 Berdasarkan Pasal 13 ayat (2) PP

72/2005 ... 37 Tabel 5.3. Pengaturan Desa Lebih Lanjut dengan Peraturan Daerah

Kabupaten/Kota dalam UU 6/2014 ... 55 Tabel 5.4. Pengaturan Desa Lebih Lanjut dengan Peraturan Daerah

Kabupaten/KotaKabupaten/Kota dalam PP 43/2014 ... 57 Tabel 5.5. Kategori Bentuk dan Isi Perda Badung 3/2007 ... 60 Tabel 5.6. Kategori Bentuk dan Isi Perda Denpasar 5/2007 ... 63 Tabel 5.7. Landasan Keabsahan Peraturan Perundang-undangan menurut Para

Sarjana Indonesia ... 68 Tabel 5.8. Pandangan teoritik tentang landasan keabsahan peraturan

perundang-undangan ... 70 Tabel 5.9. Pertimbangan Pembentukan Peraturan Perundang–undangan Menurut

UU 12/2011 ... 71 Tabel 5.10. Landasan Keabsahan Peraturan Perundang-undangan Berdasarkan

Pandangan Teoritik dan UU No. 12/2011 ... 72 Tabel 5.11. Konsiderans Peraturan Daerah ... 74 Tabel 5.12. Praktik Penyelenggaraan Perda Badung 3/2007 ... 78 Tabel 5.13. Sinkronisasi Perda Badung 3/2007 dengan UU 6/2014 dan PP 43/2014

... 83 Tabel 5.14. Sinkronisasi Perda Denpasar 5/2007 dengan UU 6/2014 dan PP

43/2014 ... 92 Tabel 5.15. Landasan Filosofis, Sosiologis, dan Yuridis Ranperda tentang

Pedoman Susunan Organisasi dan Tata Kerja Pemerintah Desa... 99 Tabel 5.16. Materi muatan Peraturan Daerah Menurut UU 12/2011 dan UU


(9)

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana diubah dengan dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (selanjutnya disingkat UU 32/2004), mengatur tentang Desa di dalam Bab XI, mulai dari Pasal 200 sampai dengan Pasal 216. Pasa1 216 ayat (1) menentukan, “Pengaturan lebih lanjut mengenai desa ditetapkan da1am Perda dengan berpedoman pada Peraturan Pemerintah.”

Berdasarkan ketentuan tersebut ditetapkan Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa (selanjutnya disingkat PP 72/2005). Berkenaan dengan struktur organisasi dan tata kerja pemerintah desa, di dalam PP 72/2005 disebut susunan organisasi dan tata kerja pemerintahan desa. Pasal 12 ayat (5) PP 72/2005 menentukan: “Susunan organisasi dan tata kerja pemerintahan desa ditetapkan dengan peraturan desa.” Pemerintahan desa dalam menetapkan Peraturan Desa (Perdes) tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Pemerintahan Desa mengacu pada pedoman yang ditetapkan dengan Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten/Kota (Pasal 13 ayat (1) PP 72/2005).

Uraian tersebut menunjukkan di masa berlakunya UU 32/2004, PP 72/2005 menentukan adanya 2 (dua) jenis peraturan perundang-undangan mengenai susunan organisasi dan tata kerja pemerintahan desa, yakni:


(10)

1. Perdes tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Pemerintahan Desa, yang menjadi dasar menetapkan susunan organisasi dan tata kerja pemerintahan desa.

2. Perda Kabupaten/Kota yang menjadi pedoman dalam penetapan Perdes tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Pemerintahan Desa.

Telah dilakukan penelitian pendahuluan dan ditemukan, pemerintahan daerah kabupaten/kota di Bali telah menetapkan Perda yang mengatur pemberian pedoman penyusunan organisasi dan tata kerja pemerintahan desa, antara lain adalah:

1. Perda Kabupaten Badung Nomor 3 Tahun 2007 tentang Pedoman Penyusunan Organisasi dan Tata Kerja Pemerintahan Desa (selanjutnya disingkat Perda Badung 3/2007); dan

2. Perda Kota Denpasar Nomor 5 Tahun 2007 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Pemerintahan Desa (selanjutnya disingkat Perda Denpasar 5/2007).

Reformasi kebijakan tentang desa tahun 2014 mengubah ketentuan tersebut di dalam PP 72/2005. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (selanjutnya disingkat UU 6/2014) dan Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, sebagaimana diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa (selanjutnya disingkat PP 43/2014) tidak mengatur keharusan membuat Perda dan Perdes perihal struktur organisasi dan tata kerja Pemerintah Desa ataupun Pemerintahan


(11)

Desa. Berkenaan dengan tema penelitian ini, Pasal 26 ayat (3) huruf a UU 6/2014 menentukan, dalam melaksanakan tugas Kepala Desa berhak mengusulkan struktur organisasi dan tata kerja Pemerintah Desa.

Adanya reformasi kebijakan tentang desa yang dituangkan dalam UU 6/2014 beserta peraturan pelaksanaannya, terutama PP 43/2014, menempatkan Perda Badung 3/2007 dan Perda Denpasar 5/2007 pada posisi ketiadaan dasar hukum dan arah kebijakan (politik hukum) tentang desa.

Di sisi lain, ketentuan dalam Pasal 26 ayat (3) huruf a UU 6/2014 yang menentukan, dalam melaksanakan tugas Kepala Desa berhak mengusulkan struktur organisasi dan tata kerja Pemerintah Desa, menimbulan persoalan mengenai:

1. Kepada siapa Kepala Desa mengusulkan struktur organisasi dan tata kerja Pemerintah Desa? Asumsinya kepada Badan Permusyawaratan Desa (BPD), karena BPD adalah lembaga yang melakukan fungsi pemerintahan di desa, selain Pemerintah Desa, yakni Kepala Desa yang dibantu perangkat desa, sebagai unsur penyelenggara pemerintahan desa.

2. Dalam bentuk apa Kepala Desa mengusulkan struktur organisasi dan tata kerja Pemerintah Desa? Asumsinya dalam bentuk Rancangan Perdes, karena kebijakan yang dihasilkan oleh Kepala Desa dan BPD adalah Perdes.

3. Apa saja isi usulan Kepala Desa tersebut? Asumsinya bagian-bagian struktur organisasi pemerintah desa (bukan pemerintahan desa) dan


(12)

hubungan tata kerja dari bagian-bagian struktur organisasi pemerintah desa (bukan pemerintahan desa).

Pasal 26 ayat (3) huruf a UU 6/2014 khususnya, dan UU 6/2014 dan PP 43/2014 tidak lengkap mengatur perihal struktur organisasi dan tata kerja Pemerintah Desa.

Berdasarkan atas persoalan-persoalan tersebut, perlu dilakukan penelitian hukum mengenai karakter bentuk dan isi pengaturan berkenaan dengan susunan organisasi dan tata kerja Pemerintah Desa.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian tersebut di atas, dapat dirumuskan sejumlah pertanyaan penelitian sebagai berikut:

1. Bagaimanakah karakter bentuk dan isi Perda dan Perdes berkenaan dengan susunan organisasi dan tata kerja Pemerintah Desa pada masa berlakunya kebijakan tentang Desa tahun 2004?.

2. Faktor apakah yang menjadi pertimbangan perlunya menetapkan Perda dan Perdes berkenaan dengan struktur organissi dan tata kerja Pemerintah Desa berdasarkan kebijakan tentang Desa tahun 2014? 3. Bagaimanakah karakter bentuk dan isi Perda dan Perdes berkenaan

dengan susunan organisasi dan tata kerja Pemerintah Desa berdasarkan kebijakan tentang Desa tahun 2014?.

1.3. Ruang Lingkup Masalah

Perda tentang susunan organisasi dan tata kerja Pemerintah Desa pada masa berlakunya kebijakan tentang Desa tahun 2004, yang dimaksud dalam penelitian ini, adalah Perda Kabupaten Badung dan Perda Kota Denpasar. Ini berdasarkan


(13)

pertimbangan, Perda Kabupaten Badung mewakili Perda Kabupaten yang ada di Bali, sedangkan Perda Kota Denpasar mewakili susunan pemerintahan daerah kota di Bali, yang merupakan satu-satunya Kota di Bali.

Perda Kabupaten Badung yang dimaksud adalah Perda Kabupaten Badung Nomor 3 Tahun 2007 tentang Pedoman Penyusunan Organisasi dan Tata Kerja Pemerintahan Desa (Perda Badung 3/2007) dan Perda Kota Denpasar yang dimaksud adalah Perda Kota Dnpasar Nomor 5 Tahun 2007 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Pemerintahan Desa (Perda Denpasar 5/2007).

Perdes tentang tentang susunan organisasi dan tata kerja Pemerintah Desa, sepanjang penelitian pendahuluan yang telah dilakukan, tidak ditemukan adanya Perdes dimaksud. Seperti di Kabupaten Badung, pemerintahan desa langsung menetapkan susunan organisasi dan tata kerja Pemerintahan Desa dengan mendasarkan pada Perda Badung 3/2007.1

1

Mengemuka dalam Sosialisasi Ranperda SOTK Pemdes, Kamis 3 September 2015, diselenggarakan oleh BPMD Pemdes Kabupaten Badung, di Puspem Badung.


(14)

BAB II

TUJUAN DAN MANFAAT

2.1. Tujuan

Tujuan penelitian karakter pengaturan stuktur oraganisasi dan tata kerja Pemerintah Desa adalah:

1. Memahami dan menginterpretasi karakter bentuk dan isi Perda dan Perdes berkenaan dengan susunan organisasi dan tata kerja Pemerintahan Desa pada masa berlakunya kebijakan tentang Desa tahun 2004.

2. Memahami dan menginterpretasi faktor yang menjadi pertimbangan perlunya menetapkan Perda dan Perdes berkenaan dengan struktur organissi dan tata kerja Pemerintah Desa berdasarkan kebijakan tentang Desa tahun 2014.

3. Memahami dan menginterpretasi karakter bentuk dan isi Perda dan Perdes berkenaan dengan susunan organisasi dan tata kerja Pemerintah Desa berdasarkan kebijakan tentang Desa tahun 2014.

2.2. Manfaat

Manfaat penelitian ini adalah untuk mendapatkan informasi mengenai karakter bentuk dan isi Perda dan Perdes berkenaan dengan susunan organisasi dan tata kerja Pemerintah Desa pada masa berlakunya kebijakan tentang Desa tahun 2004. Informasi ini akan menjadi konteks praktik-pengalaman dalam pembuatan Perda dan Perdes berikutnya.


(15)

Selain itu, urgensi penelitian ini, khususnya mengenai pertimbangan perlunya menetapkan Perda dan Perdes berkenaan dengan struktur organissi dan tata kerja Pemerintah Desa berdasarkan kebijakan tentang Desa tahun 2014, berikut karakter bentuk dan isi dari Perda dan Perdes bersangkutan, adalah dalam rangka memberikan kontribusi dalam penyusunan Rancangan Perda dan Perdes berkenaan dengan struktur organissi dan tata kerja Pemerintah Desa berdasarkan kebijakan tentang Desa tahun 2014.


(16)

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1. Studi Terdahulu

Studi tentang karakter pengaturan struktur organisasi dan tata kerja Pemerintah Desa, sepanjang tinjauan pustaka yang telah dilakukan tidak diperoleh informasi bahwa studi itu telah dilakukan. Beberapa karya studi tentang pemerintahan desa yang berhasil diidentifikasi adalah sebagai berikut:

1. Didik Sukriono, Pembaharuan Hukum Pemerinah Desa: Politik Hukum Pemerintahan Desa Di Indonesia, diterbitkan Setara Pers, Malang, 2010. Karya ini berasal dari disertasi, yang kemudian Bab IV, huruf C, angka 3 berjudul “Penyelenggaraan Pemerintahan Desa”. Bagian ini ada membahas Peraturan Desa dalam kaitan dengan (1) kewenangan badan permusyawaratan desa dalam pembuatan Perdes; dan (2) kewenangan mengajukan rancangan Perdes. Jadi, tidak membahas karakter pengaturan Perda dan Perdes berkenaan dengan struktur oganisasi dan tata kerja Pemerintah Desa.

2. H. Ateng Syafrudin dan Suprin Na’a, Republik Desa: Pergulatan

Hukum Tradisional dan Hukum Modern dalam Desain Otonomi Desa,

diterbitkan Penerbit Alumni, Bandung, 2010. Bab IV berjudul Peraturan Desa, yang dibahas adalah (1) keberadaan, kedudukan dan fungsi Perdes; dan (2) proses pembentukan Perdes. Karakter pengaturan Perda dan Perdes berkenaan dengan struktur oganisasi dan tata kerja Pemerintah Desa tidak dibahas dalam bab itu.


(17)

3. M. Silahuddin, Kewenangan Desa dan Regulasi Desa, diterbitkan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Republik Indonesia, Jakarta, 2015. Buku ini memuat 2 (dua) materi pokok, yakni kewenangan desa dan regulasi desa. Kewenangan desa mencakup: a. Kewenangan Desa Berdasarkan Hak Asal Usul; dan b, Kewenangan Lokal Berskala Desa. Sedangka regulasi desa mencakup: a. Tahapan Pembuatan Peraturan Desa, b. Tahapan Pembuatan Peraturan Bersama Kepala Desa, c. Tahapan Pembuatan Peraturan Kepala Desa, dan d. Musyawarah Desa: Wahana Demokratisasi Desa. Regulasi desa yang dibahas dalam buku ini tidak mencakup karakter pengaturan Perda dan Perdes berkenaan dengan struktur oganisasi dan tata kerja Pemerintah Desa.

4. Sutoro Eko, Regulasi Baru, Desa Baru: Ide, Misi, dan Semangat UU Desa, diterbitkan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Republik Indonesia, Jakarta, 2015. Buku ini antara lain membahas perihal ketundukan desa dihadapan hukum sungguh berbeda dengan ketundukan desa secara langsung dihadapan hirarki kekuasaan. Wujud ketundukan Desa dihadapan hukum adalah bahwa Peraturan Desa, termasuk Perdes Desa Adat, harus tunduk pada norma hukum positif yang ada diatasnya. Pemerintah Daerah akan mengatur desa berdasarkan hukum (Perda). Meskipun demikian, sesuai dengan prinsip demokrasi, desa berhak terlibat aktif mempengaruhi perumusan Perda. Selain itu, membahas pula tentang Perda tentang Pungutan Desa.


(18)

Namun, buku ini tidak membahas Perda tentang pedoman struktur organisasi dan tata kerja pemerintah desa.

5. Ni’matul Huda, Hukum Pemerintahan Desa Dalam Konstitusi

Indonesia Sejak Kemerdekaan Hingga Era Reformasi, diterbitkan

Setara Press, Malang, 2015. Buku ini terdiri dari 9 bab. Kedua bab terakhir, yakni Bab VIII berjudul Dinamika Desa dalam UU Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa, dan Bab IX berjudul Peraturan Desa dan Pengujian Peraturan Desa. Buku ini, khususnya kedua bab terakhir, tidak ada pembahasan mengenai Perda dan Perdes berkenaan dengan struktur organisasi dan tata kerja pemerintah desa.

3.2. Studi Pendahuluan

Studi pendahuluan yang sudah dilaksanakan terkait dengan tema penelitian ini adalah telah melakukan invetarisasi Perda Kabupaten/Kota se Bali mengenai susunan organisasi dan tata kerja Pemerintahan Desa. Hasil invetarisasi tersebut dikemukakan dalam tabel berikut:

Tabel 3.1

Perda Kabupaten/Kota se Bali tentang Pedoman Organisasi dan Tata Kerja Pemerintahan Desa

NO. PERDA TENTANG CATATAN

1 Kabupaten Buleleng Nomor 8 Tahun 2006

Pedoman Organisasi dan Tata Kerja Pemerintahan Desa 2 Kabupaten Jembrana

Nomor 25 Tahun 2006

Organisasi Pemerintahan Desa 3 Kabupaten Badung

Nomor 3 Tahun 2007

Pedoman Penyusunan Organisasi dan Tata Kerja Pemerintahan Desa 4 Kabupaten Karangasem

Nomor 3 Tahun 2007

Pedoman Penyusunan Organisasi dan Tata Kerja Pemerintahan Desa 5 Kota Denpasar

Nomor 5 Tahun 2007

Pedoman Susunan Organisasi Pemerintahan Desa

6 Kabupaten Gianyar Nomor 1 Tahun 2008

Pemerintahan Desa Pedoman


(19)

Organisasi Pemerintahan Desa dalam Bab IV 7 Kabupaten Bangli

Nomor 2 Tahun 2008

Pedoman Penyusunan Organisasi dan Tata Kerja Pemerintahan Desa 8 Kabupaten Klungkung

Nomor 13 Tahun 2010

Pedoman Penyusunan Organisasi dan Tata Kerja Pemerintahan Desa 9 Kabupaten Tabanan

Nomor 7 Tahun 2012

Pedoman Penyusunan Organisasi dan Tata Kerja Pemerintahan Desa

Perda yang dijadikan objek penelitian adalah Perda Kabupaten Badung dan Perda Kota Denpasar, yakni Perda Badung 3/2007 dan Perda Denpasar 5/2007, dengan alasan sebagaimana telah dikemukakan di dalam Ruang Lingkup Masalah. Pada dasarnya Perda-Perda tersebut, termasuk Perda Badung 3/2007 dan Perda Denpasar 5/2007, memuat pedoman struktur organisasi dan tata kerja pemerintahan desa. Oleh karena itu perlu diadakan studi pendahuluan mengenai pengertian Pedoman Struktur Organisasi dan Tata Kerja Pemerintah Desa.

Pertama. Pengertian Pedoman. Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan

Pengembangan Bahasa,2 mengemukakan beberapa pengertian pedoman. Dua

diantaranya adalah (1) kumpulan ketentuan dasar yang memberi arah bagaimana sesuatu harus dilakukan; dan (2) hal (pokok) yang menjadi dasar (pegangan, petunjuk, dsb) untuk menentukan atau melaksanakan sesuatu.

Pengertian pedoman dapat ditelusuri dari beberapa peraturan perundang-undangan yang menggunakan judul pedoman, yakni:

1. Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 08 Tahun 2006 tentang Pedoman Penyusunan Analisis Dampak Lingkungan Hidup. Di

2

Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1993, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, hlm. 740.


(20)

dalam Lampiran I perihal Pedoman Penyusunan Kerangka Acuan Analisis Dampak Lingkungan Hidup (KA-ANDAL), A. Penjelasan Umum, angka 2 perihal Fungsi pedoman penyusunan KA-ANDAL, dijelaskan: “Pedoman penyusunan KA-ANDAL digunakan sebagai dasar bagi penyusunan KA-ANDAL ...”. Dengan melakukan abstraksi, yakni menghilangkan unsur yang khusus, maka pedoman berarti dasar bagi penyusunan sesuatu. Sesuatu itu bisa berupa struktur organisasi. 2. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 34 Tahun 2011 tentang

Pedoman Evaluasi Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah Di Lingkungan Kementerian Dalam Negeri. Lampiran. angka II. perihal Ruang Lingkup Pedoman Evaluasi LAKIP, huruf A perihal Maksud dan Tujuan, dijelaskan: “Pedoman Evaluasi LAKIP unit kerja di Lingkungan Kementerian Dalam Negeri dimaksudkan sebagai panduan dalam rangka pelaksanaan evaluasi LAKIP.” Dengan melakukan abstraksi, yakni menghilangkan unsur yang khusus, maka pedoman berarti panduan dalam rangka pelaksanaan pekerjaan.

Merujuk pada pengertian-pengertian pedoman tersebut di atas, dalam penelitian ini, pedoman diartikan sebagai dasar bagi penyusunan struktur organisasi dan tata kerja Pemerintah Desa.

Kedua, Pengertian Struktur Organisasi. Sondang P. Siagian,3 mendefinisikan

Organisasi sebagai:

setiap bentuk persekutuan antara dua orang atau lebih yang bekerja sama untuk mencapai sesuatu tujuan bersama dan terikat secara formal dalam suatu ikatan hirakhi dimana selalu terdapat hubungan antara seorang atau

3

Sondang P. Siagian, 1982a, Peranan Staf dalam Managemen, Jakarta: Gunung Agung, hlm. 20. Lihat juga Sondang P. Siagian, 1984, Filsafat Administrasi, Jakarta: Gunung Agung, hlm. 7.


(21)

sekelompok orang yang disebut pimpinan dan seorang atau sekelompok orang yang disebut bawahan.

Pandangan Sondang P. Siagian tersebut tidak jauh berbeda dengan beberapa pandangan berikut:

1. Edwin B. Flippo menyatakan bahwa: organisasi adalah sistem hubungan antara sumber daya (among resources) yang memungkikankan pencapaian sasaran.

2. James D. Mooney berpendapat bahwa: “Organization is the form of every human association for the attainment of coomon purpose” (Organisasi adalah setiap bentuk kerjasama untuk pencapaian tujuan bersama.

3. Gitosudarmo, mengemukakan pengertian organisasi adalah suatu sistem yang terdiri dari pola aktivitas kerjasama yang dilakukan secara teratur dan berulang-ulang oleh sekolmpok orang untuk mencapai suatu tujuan.4

Pengertian-pengertian organisasi tersebut memuat unsur-unsur sebagai berikut: (1) sekelompok manusia; (2) terdapat pemimpin dan yang dipimpin; (3) bekerja sama; dan (3) untuk mencapai tujuan bersama.

Lazimnya pembahasan tentang organisasi ditinjau dari segi statis dan segi dinamis. Dikemukakan oleh Sondang P. Siagian,5 berbagai literatur tentang teori

organisasi memberikan petunjuk bahwa para ahli lumrah melakukan pembahasan tentang organisasi dari dua segi pandangan, yaitu organisasi yang ditelaah dengan pendekatan struktural dan organisasi yang disoroti dengan pendekatan

4

Terkutip dalam Arifin Tahir, 2014, Buku Ajar Perilaku Organisasi, Yogyakarta: Deepublish, hlm. 21-22.

5

Sondang P. Siagian, 1982b, Organisasi, Kepemimpinan dan Perilaku Administrasi,

Jakarta: Gunung Agung, hlm. 9-11. Uraian tersebut terdapat pula dalam Sondang P. Siagian, 1982a, Ibid. Bandingkan dengan Soewarno Handayaningrat, 1985, Pengantar Studi Ilmu Administrasi dan Managemen, Jakarta: Gunung Agung, hlm. 42.


(22)

keperilakuan. Pendekatan yang sifatnya struktural menyoroti organisasi sebagai wadah. Pendekatan demikian melihat organisasi sebagai sesuatu yang relatif statis. Berikut dikemukakan, organisasi dalam arti statis adalah wadah tempat penyelenggaraan berbagai kegiatan dengan penggambaran yang jelas tentang hirarki kedudukan, jabatan serta jaringan saluran wewenang dan pertanggungjawaban. Pendekatan keperilakuan menyoroti organisasi sebagai suatu organisme yang dinamik. Pengertian organisasi dari segi dinamikanya merupakan proses kerjasama yang serasi antara orang-orang di dalam perwadahan yang sistematis, formal dan hirarkis yang berpikir dan bertindak seirama demi tercapainya tujuan yang telah ditentukan dengan efisien, efektif, produktif dan ekonomis yang pada gilirannya memungkinkan terjadinya pertumbuhan baik dalam arti kuantitatif maupun kualitatif.

Sebagaimana telah dikemukakan pengertian-pengertian organisasi tersebut memuat unsur-unsur sebagai berikut: (1) sekelompok manusia; (2) terdapat pemimpin dan yang dipimpin; (3) bekerja sama; dan (3) untuk mencapai tujuan bersama. Pada unsur pemimpin dan yang dipimpin menunjukkan adanya hirarki kedudukan, jabatan serta jaringan saluran wewenang dan pertanggungjawaban.

Dengan perkataan lain, di dalam suatu organisasi terdapat susunan hirarkis kedudukan, jabatan, wewenang, dan pertanggungjawaban. Mengenai hal ini Prayudha Wijaya, Adam Nugroho, Sugeng Rahardjo6, mengemukakan struktur

organisasi atau yang biasa disebut bagan organisasi ialah suatu lukisan yang dimaksudkan untuk menggambarkan susunan organisasi baik mengenai fungsi-fungsinya, bidang-bidang pekerjaannya maupun mengenai tingkatan-tingkatannya

6

Prayudha Wijaya, Adam Nugroho, Sugeng Rahardjo, (Eds), 2008, Panduan Membentuk OrganisasiPengelola Keuangan dan Aset Daerah (OPKAD), Jakarta: LGSP/Local Governance Support Program, hlm. 9.


(23)

atau eselonering, rentang kendali dan sebagainya. Pengertian tentang sebuah struktur dapat disederhanakan menjadi suatu cara dimana bagian-bagian disusun menjadi satu kesatuan.

Untuk mendapat pemahaman yang lebih memadai relevan mengutip beberapa pengertian berikut:7

1. Organization Chart Bagan Organisasi. Gambar struktur organisasi

yang ditunjukkan dengan kotak-kotak atau garis-garis yang disusun menurut kedudukannya masing-masing memuat fungsi tertentu dan satu sama lain dihubungkan dengan garis-garis saluran wewenang dan tanggung jawab.

2. Organization Structure Struktur Organisasi. Kerangka yang terdiri

dari satuan-satuan organisasi yang didalamnya terdapat pejabat, tugas serta wewenang yang masing-masing mempunyai peranan serta hubungan tertentu dalam lingkungan kesatuan yang utuh dalam rangka mencapai tujuan tertentu.

3. Structural Organization Chart Bagan Organisasi Struktur. Bagan

organisasi yang isinya menunjukkan susunan organisasi dari pucuk pimpinan sampai dengan satuan-satuan organisasi yang berkedudukan terbawah dengan mencantumkan sebutan satuan organisasi serta nama masing-masing satuan organisasi.

Dengan demikian struktur organisasi adalah susunan dari satuan-satuan organisasi yang didalamnya terdapat pejabat, tugas dan wewenang yang terjalin dalam hubungan pertanggungjawaban dalam rangka mencapai tujuan tertentu.

7

Pariata Westra, Sutarto, dan Ibnu Syamsi, (Eds), 1977, Ensiklopedi Administrasi, Jakarta: Gunung Agung, hlm. 232, 233, 323.


(24)

Ketiga, Pengertian Tata Kerja. Secara etimologis dibentuk oleh kata “tata” dan kata “kerja”. Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa,8 mengartikan kata tata,

kerja, dan tata kerja sebagai berikut:

1. tata, merupakan kata benda, berarti aturan (biasanya dipakai dl kata majemuk); kaidah, aturan, dan susunan; cara menyusun; sistem;

2. kerja, merupakan kata benda, berarti kegiatan melakukan sesuatu; sesuatu yg dilakukan (diperbuat);

3. tata kerja berarti aturan (sistem dsb) bekerja;

Dari pengertian leksikal tersebut dikaitkan dengan pengertian organisasi, maka tata kerja dapat diartikan sebagai aturan atau cara melaksanakan tugas dan wewenang untuk mencapai tujuan organisasi.

Keempat, Pengertian Pemerintahan Desa dan Pemerintah Desa. Di masa

berlakunya UU 32/2004 sebutannya adalah struktur organisasi dan tata kerja pemerintahan desa, sedangkan dalam masa berlakunya UU 6/2014 sebutannya adalah struktur organisasi tata kerja pemerintah desa.Uraian dalam bagian ini dipusatkan pada pengertian Pemerintah Desa.

Struktur organiasi yang dimaksud adalah struktur organisasi Pemerintah Desa, dan tata kerja yang dimaksud adalah tata kerja Pemerintah Desa. Oleh karena itu penting merumuskan pengertian Pemerintah Desa. UU 6/2014 telah merumuskan pengertian itu di dalam Pasal 1 angka 7, yakni “Pemerintah desa atau yang disebut dengan nama lain adalah kepala desa dan perangkat desa." Perangkat Desa terdiri atas: a. secretariat Desa; b. pelaksana kewilayahan; dan c. pelaksana teknis (Pasal 8 UU 6/2014).

8

Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, 2008, Kamus Bahasa Indonesia, Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, hlm. 703, 1547.


(25)

Kelima, Pengertian Pedoman Struktur Organisasi dan Tata Kerja Pemerintah Desa. Merujuk pada pengertian-pengertian tersebut di atas, yakni adalah dasar bagi penyusunan struktur organisasi dan tata kerja Pemerintah Desa.

Pengertian-pengertian tersebut merupakan definisi. Definisi, menurut JJ. H. Bruggink, adalah sebuah pengertian dengan sifat-sifat khusus. Maksud sebuah definisi adalah untuk menentukan batas-batas sebuah pengertian secermat mungkin, sehingga jelas bagi tiap orang dalam setiap keadaan, apa yang diartikan oleh pembicara atau penulis dengan sebuah perkataan atau istilah tertentu. 9

Definisi dirumuskan dalam formulasi definiendum dan definien. Definiendum adalah perkataan yang harus didefinisikan dan definien adalah perkataan-perkataan yang mewujudkan definisi.10 Berikut definisi-definisi

berkenaan dengan pedoman struktur organisasi dan tata kerja Pemerintah Desa diringkas dalam tabel berikut:

Tabel 3.2

Definisi-definisi berkenaan dengan pedoman struktur organisasi dan tata kerja Pemerintah Desa

DEFINIENDUM DEFINIEN

Pedoman adalah dasar bagi penyusunan.

Struktur Organisasi adalah susunan dari satuan-satuan organisasi yang didalamnya terdapat pejabat, tugas dan wewenang yang terjalin dalam hubungan pertanggungjawaban.

Tata Kerja adalah cara melaksanakan tugas dan wewenang. Pemerintah Desa adalah kepala desa dan perangkat desa yang terdiri atas

sekretariat Desa, pelaksana kewilayahan, pelaksana teknis.

Pedoman Struktur

Organisasi dan Tata Kerja Pemerintah Desa

adalah dasar bagi penyusunan struktur organisasi dan tata kerja Pemerintah Desa.

9

JJ. H. Bruggink, 2011, Refleksi Tentang Hukum: Pengertian-pengertian Dasar dalam Teori Hukum, alihbahasa B. Arief Sidharta, Bandung: Citra Aditya Bakti, hlm. 71.

10


(26)

3.3. Kerangka Teoritik

Teori undangan membedakan sumber kewenangan perundang-undangan atas atribusi kewenangan perundang-perundang-undangan dan delegasi kewenangan perundang-undangan.

Atribusi kewenangan perundang-undangan adalah pembentukan kewenangan (-baru) untuk membuat peraturan perundang-undangan, yang diberikan oleh pembuat Undang-Undang Dasar kepada pembuat undang-undang atau lembaga lain, atau oleh pembuat undang-undang kepada lembaga lain, dan lembaga yang menerima kewenangan bertanggung jawab atas pelaksanaan kewenangan yang diterimanya.11

Berbeda dengan atribusi kewenangan perundang-undangan, pada delegasi perundang-undangan terjadi peralihan kewenangan untuk membentuk peraturan perundang-undangan. Delegasi kewenangan perundang-undangan adalah penyerahan kewenangan untuk membuat peraturan perundang-undangan tanpa memuat inisiatif mengenai pokok-pokok yang baru, yang diserahkan oleh pemegang kewenangan atributif (delegans) kepada lembaga lainnya (delegataris), dan lembaga yang menerima kewenangan (delegataris) bertanggung jawab atas pelaksanaan kewenangan yang diterimanya.12

Antara atribusi kewenangan perundang-undangan dan delegasi kewenangan perundang-undangan terdapat persamaan dan perbedaan. Persamaannya adalah lembaga yang menerima kewenangan bertanggung jawab atas pelaksanaan

11

Gede Marhaendra Wija Atmaja, 2012, “Politik Pluralisme Hukum dalam Pengakuan Kesatuan Masyarakat Hukum Adat dengan Peraturan Daerah”, Disertasi, Malang: Program Doktor Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, hlm. 277-278.

12


(27)

kewenangan yang diterimanya, dan perbedaannya sebagaimana dapat diungkapkan dalam tabel berikut:13

Tabel 3.3.

Perbedaan Atribusi Kewenangan Perundang-undangan dan Delegasi Kewenangan Perundang-undangan

Kategori Atribusi Kewenangan Perundang-undangan

Delegasi Kewenangan Perundang-undangan Pihak-pihak Kewenangan diberikan oleh

pembentuk UUD kepada pembuat UU atau lembaga lain, atau oleh pembuat UU kepada lembaga lain.

Kewenangan diserahkan oleh pemegang kewenangan atributif (delegans) kepada lembaga lainnya (delegataris). Karakter

kewenangan

Pembentukan kewenangan (-baru) untuk membuat peraturan perundang-undangan.

Penyerahan kewenangan untuk membuat peraturan perundang-undangan.

Substansi kewenangan

Kewenangan untuk membuat peraturan perundang-undangan memuat inisiatif mengenai pokok-pokok yang baru.

Kewenangan untuk membuat peraturan perundang-undangan tidak memuat inisiatif mengenai pokok-pokok yang baru.

Salah satu jenis peraturan perundang-undangan adalah Peraturan Daerah, sehingga layak ditegaskan posisi Peraturan Daerah dalam kerangka teoritik sumber kewenangan perundang-undangan.

Penetapan materi muatan Peraturan Daerah berdasarkan kriteria umum dan kriteria khusus. Kriteria Umum, yakni hal-hal yang digali dari asas pemerintahan daerah (otonomi dan tugas pembantuan) sebagai materi muatan Peraturan Daerah. Kriteia Khusus, yakni hal-hal yang secara tegas ditentukan sebagai matei muatan Peraturan Daeah.14

Kriteria khusus penetapan materi muatan Peraturan Daerah (Perda) hakikatnya merupakan penjabaran peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. UU 23/2014 (sebelumnya UU 32/2004) menentukan Perda memuat materi muatan: a. penyelenggaraan Otonomi dan Tugas Pembantuan; dan b. penjabaran

13

Gede Marhaendra Wija Atmaja, 2012, “Politik Pluralisme ...”, Ibid., hlm. 25-26

14

Gede Marhaendra Wija Atmaja, 1995, “Ruang Lingkup Materi Muatan Peraturan Daerah Tingkat II (Kasus Kabupaten Daerah Tingkat II Badung dan Kotamadya Daerah Tingkat II Denpasar), Tesis Magister, Bandung: Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran, hlm. 168.


(28)

lebih lanjut keentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi (Pasal 236 ayat (3) UU 23/2014). Materi muatan pada huruf a tersebut merupakan turunan dari konstitusi.

Pembentukan Peraturan Daerah untuk melaksanakan otonomi dan tugas ditentukan dalam Pasal 18 ayat (6) UUD NRI 1945. Dikaitkan dengan teori sumber kewenangan perundang-undangan, bermakna sumber kewenangan pembentukan Peraturan Daerah untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan adalah atribusi perundang-undangan. Peraturan Daerah semacam ini dapat juga disebut Peraturan Daerah atribusian atau Peraturan Daerah berkarakter atribusi.15

Pembentukan Peraturan Daerah untuk menjabarkan lebih lanjut peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, tidaklah langsung dapat disebut sumber kewenangannya adalah atribusi undangan atau delegasi perundang-undangan. Oleh karena secara tersurat (eksplisit) tidak ada dasarnya dalam UUD NRI 1945, namun secara tersirat (implisit) merupakan konsekuensi logis dari diterapkannya prinsip hierarki peraturan perundang-unangan dalam UUD NRI 1945. Untuk menentukan sumber kewenangannya dapat diamati dari kemungkinan Peraturan Daerah bersangkutan dapat memuat inisiatif mengenai pokok-pokok yang baru atau tidak. Apabila Peraturan Daerah bersangkutan dapat memuat inisiatif mengenai pokok-pokok yang baru, maka sumber kewenangan pembentukan Peraturan Daerah tersebut adalah atribusi perundang-undangan. Peraturan Daerah semacam ini dapat disebut Peraturan Daerah atribusian atau Peraturan Daerah berkarakter atribusi. Apabila Peraturan Daerah bersangkutan

15


(29)

tidak dapat memuat inisiatif mengenai pokok-pokok yang baru, maka sumber kewenangan pembentukan Peraturan Daerah tersebut adalah delegasi perundang-undangan. Peraturan Daerah semacam ini dapat disebut Peraturan Daerah delegasian atau Peraturan Daerah berkarakter delegasi.16

Untuk mendapat pemahaman yang lebih jelas mengenai posisi Peraturan Daerah dalam kerangka teoritik sumber kewenangan perundang-undangan, dapat disimak bagan berikut.

Bagan 3.1.

Posisi Peraturan Daerah dalam kerangka teoritik sumber kewenangan perundang-undangan

Teknik Penyusunan Peraturan Perundang-undangan, yang dikenal dalam tradisi pembentukan peraturan perundang-undang dan yang telah dituangkan dalam UU 12/2011 (sebelumnya UU 10/2004) mengenal teknik merumuskan kewenangan yang bersifat diskresioner.

Teknik Penyusunan Peraturan Perundang-undangan (TP3u) Nomor 267 (Pasal 64 ayat (2) UU 12/2011 jo. Lampiran II) menentukan:

Untuk menyatakan sifat diskresioner dari suatu kewenangan yang diberikan kepada seorang atau lembaga, gunakan kata dapat.

Contoh 1:

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara

16

Gede Marhaendra Wija Atmaja, 2012, “Politik Pluralisme ...”, Ibid., hlm. 285.

PERDA menjabarkan lebih lanjut peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi PERATURAN DAERAH (PERDA)

PERDA melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan

tidak dapat memuat inisiatif mengenai pokok-pokok yang baru

ATRIBUSI DELEGASI

dapat memuat inisiatif mengenai pokok-pokok yang baru


(30)

Pasal 90

Pemegang IUP dan IUPK dapat melakukan sebagian atau seluruh tahapan usaha pertambangan, baik kegiatan eksplorasi maupun kegiatan operasi produksi.

Contoh 2:

Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Administrasi Kependudukan Kabupaten Hulu Sungai Utara

Pasal 28

(2) Penduduk yang tidak mampu melaksanakan pelaporan sendiri terhadap peristiwa kependudukan yang menyangkut dirinya sendiri dapat dibantu oleh instansi pelaksana atau meminta bantuan kepada orang lain.

Sifat diskresioner dari suatu kewenangan, sebagaimana ditunjukkan oleh ketentuan tersebut di atas, bermakna pilihan. Untuk mendapat pemahaman yang lebih memadai perlu mengkonfirmasikan dengan teori kewenangan diskresi.

Wewenang terdiri atas wewenang terikat dan wewenang bebas. Wewenang terikat adalah wewenang yang oleh peraturan dasarnya ditentukan mengenai waktu (kapan) dan keadaan wewenang tersebut dapat digunakan atau peraturan dasarnya sedikit banyak menentukan tentang isi dari keputusan yang harus diambil. Wewenang bebas adalah wewenang yang oleh peraturan dasarnya memberi kebebasan kepada badan atau pejabat tata usaha negara untuk menentukan sendiri mengenai isi dari keputusan yang akan dikeluarkannya atau peraturan dasarnya memberi ruang lingkup kebebasan kepada pejabat yang bersangkutan.17

Wewenang bebas dikenal dengan istilah diskresi, yang hakekatnya lawan dari wewenang terikat (gebonden bevoegdheid), dengan esensi ada pilihan

17

Didasarkan pada Indrohato, 1993, Usaha MemahamiUndang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Buku I, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.hlm. 99-101.


(31)

(choise) untuk melakukan tindakan pemerintahan.18 Pemahaman teoritik tentang

diskresi dan implikasinya dalam penormaan adalah:

1. Diskresi memuat esensi pilihan (choise) untuk melakukan tindakan pemerintahan, yakni memilih di antara dua atau lebih pilihan, atau memberikan kebebasan kepada pejabat publik untuk mengambil pilihan di antara serangkaian tindakan yang mungkin atau tidak melakukan tindakan.

2. Implikasinya diskresi dalam penormaan adalah perumusan aturan hukum yang membolehkan subjek kaidah untuk memilih di antara dua atau lebih pilihan, atau memberikan kebebasan kepada pejabat publik untuk mengambil pilihan di antara serangkaian tindakan yang mungkin atau tidak melakukan tindakan. Aturan hukum demikian memiliki karakter diskresioner.

3. Aturan hukum yang berkarakter diskresioner yang memuat wewenang bebas hakikatnya merupakan lawan dari aturan hukum yang bersifat imperatif yang tidak memuat memuat pilihan atau dapat juga disebut memuat wewenang terikat.19

Teori lain yang digunakan adalah validitas hukum, yang dalam tradisi perundang-undangan digunakan saat merumuskan konsiderans peraturan perundang-undangan. Pemahaman validitas hukum sebagai berikut:20

18

Ridwan, 2014, Diskresi & Tanggung Jawab Pemerintah, Yogyakarta: FH UII Press, hlm. 35, yang mengutip pendapat Philipus M. Hadjon.

19

Marhaendra Wija Atmaja, 2015a, “Penormaan Materi Pokok Yang Diatur”, Denpasar: Fakultas Hukum Universitas Udayana, hlm. 11.

20


(32)

1. Validitas hukum adalah suatu kualitas hukum, yang menyatakan norma-norma hukum itu mengikat dan mengharuskan orang berbuat sesuai dengan yang diharuskan oleh norma-norma hukum. Suatu norma hanya dianggap valid berdasarkan kondisi bahwa norma tersebut termasuk ke dalam suatu sistem norma.

2. Satjipto Rahardjo dengan mendasarkan pada pandangan Gustav Radbruch mengungkapkan, bahwa validitas adalah kesahan berlaku hukum serta kaitannya dengan nilai-nilai dasar dari hukum. Bahwasanya hukum itu dituntut untuk memenuhi berbagai karya dan oleh Radbruch disebut sebagai nilai-nilai dasar dari hukum, yakni keadilan, kegunaan, dan kepastian hukum.

3. Adanya keterhubungan antara validitas hukum dengan nilai-nilai dasar hukum, bahwasanya hukum didasarkan pada keberlakuan filsafati supaya hukum mencerminkan nilai keadilan, didasarkan pada keberlakuan sosiologis supaya hukum mencerminkan nilai kegunaan, dan didasarkan pada keberlakuan yuridis supaya hukum mencerminkan nilai kepastian hukum.

3.4. Kontribusi Yang Akan Dihasilkan

Kontribusi yang akan dihasilkan dari penelitian ini adalah salah satu sumber informasi dalam penyusunan Rancangan Perda dan Perdes berkenaan dengan struktur organissi dan tata kerja Pemerintah Desa berdasarkan kebijakan tentang Desa tahun 2014.


(33)

BAB IV

METODE PENELITIAN

4.1. Pendekatan Penelitian

Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian hukum, dengan langkah-langkah sebagai berikut:21

1. Melakukan studi tekstual, yakni menganalisis secara kritikal terhadap pasal-pasal dalam peraturan perundang-undangan, yakni UU 6/2014 berikut peraturan pelaksanaannya. Studi tekstual dilakukan guna:

a. menemukan makna yang terjalin dalam suatu teks hukum dengan melakukan kontemplasi terhadap pesan dalam teks hukum dan mencari relasi di antara bagian-bagian dari teks hukum itu;

b. menjelaskan makna teks hukum itu dan implikasinya terhadap kepala desa dan perangkat desa dalam konstelasi hubungan tata kerja pemerintah desa.

2. Melakukan studi empirik: (1) dengan melakukan identifikasi dan analisis bekerjanya Perda-Perda terkait dan UU 6/2014 serta peraturan pelaksanaannya; dan (2) untuk mendapatkan data empirik tentang pengalaman dan pemahaman dari para pejabat di lingkungan SKPD yang membidangi desa dan dari para kepala desa dan perangkat kepala

21

Langkah-langkah penelitian hukum tersebut merujuk pada Metode Penelitian Hukum berbasis kajian sosio-legal, sebagaimana terangkum dalam Marhaendra Wija Atmaja, 2014, “Metode Penelitian Hukum dalam Penyusunan Naskah Akademik Rancangan Peraturan Perundang-undangan”, Denpasar: Progran Studi Magister Ilmu Hukum Program Pasca Sarjana Universitas Udayana, hlm. 12. Risalah ini merujuk pada Soelistyowati Irianto, 2012, “Memperkenalkan kajian sosio-legal dan implikasi metodologisnya”, dalam Adriaan W. Bedner, dkk (Eds.), Kajian Sosio-Legal, Denpasar: Pustaka Larasan; dan Soelistyowati Irianto, 2011, “Praktik Penelitian Hukum: Perspektif Sosiolegal”, dalam Soelistyowati Irianto dan Shidarta, (Eds.), Metode Penelitian Hukum: Knstelasi dan Refleksi, Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.


(34)

desa. Studi empirik dilakukan dengan cara mengajukan kuesioner (daftar tanya), wawancara, dan dan FGD.

3. Melakukan analisis terhadap data yang terkumpul (baik data peraturan maupun data empirik) dan penarikan kesimpulan.

4.2. Pengumpulan Data

Data dikumpulkan dengan cara pembacaan dan pencatatan data hukum perundang-undangan, dengan melakukan klasifikasi sesuai masalah penelitian. Data empirik diperoleh melalui wawancara kepada SKPD terkait.

4.3. Analisis Data

Merujuk pada Miles dan Huberman, yang membedakan empat tahap dalam proses analisis, yakni pengumpulan data, reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan. Menurut Miles dan Huberman, analisis data tekandung dalam tiga tahapan terakhir. Penggunaannya dalam penelitian hukum ini adalah sebagai berikut:22

a. reduksi data (data reduction), yaitu proses pemilihan, penyedehanaan, abstraksi data berdasarkan tema-tema yang ditentukan berkenaan dengan struktur organisasi dan tata kerja pemerintah desa.

b. penyajian data (data display), merupakan proses interpretasi, yakni proses pemberian makna terhadap unsur-unsur maupun totalitas, kemudian menyajikan hasil reduksi data dalam bentuk uraian naratif dan/atau tabulatif dikaitkan dengan permasalahan yang diajukan; dan

22

Merujuk pada Miles dan Huberman berdasarkan pemahaman Agus Salim, 2006, Teori & Paradigma Penelitian Sosial, Edisi Kedua, Yogyakarta: Tiara Wacana, hlm. 22-23; dan Nyoman Kutha Ratna, 2010, Metodologi Penelitian Kajian Budaya dan Ilmu-Ilmu Sosial Humaniora Pada Umumnya, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, hlm. 310-311.


(35)

c. penarikan kesimpulan dan verifikasi (conclusion drawing and verification), proses akhir analisis adalah penarikan kesimpulan, yakni memberikan jawaban atas permasalahan yang telah diajukan, yang dalam proses penelitian berlangsung setiap kesimpulan terus-menerus diverifikasi sehingga benar-benar diperoleh kesimpulan yang valid. Sebagaimana dikemukakan sebelumnya bahwa penyajian data (data

display), merupakan proses interpretasi, proses pemberian makna, terhadap

unsur-unsur maupun totalitas. Untuk melakukan interpretasi tersebut dilakukan interpretasi berbasis hermeneutika hukum.

Hermeneutika hukum merupakan penerapan hermeneutika pada bidang hukum yang intinya adalah kegiatan menginterpretasi teks hukum, yakni pemberian makna pada kata-kata dalam peraturan perundang-undangan dan/atau peraturan kebijakan. Hermeneutika hukum bekerja berdasarkan prinsip-prinsip dalam aras lingkaran hermeneutika hukum, yakni:23

1. Berkerja dalam tiga horizon, yaitu horizon pengarang (author), horizon teks, dan horizon pembaca (reader). Direfleksikan di bidang hukum, horizon pengarang adalah konteks kelahiran teks hukum (aturan hukum), horizon teks adalah aturan hukum, dan horizon pembaca adalah konteks penerapan aturan hukum. Dalam penelitian huku ini, interpretasi atas peraturan mengenai struktur organisasi dan tata kerja

23

Marhaendra Wija Atmaja, 2014, “Memahami Interpretasi Secara Hermeneutikal: Menalar Pertimbangan Hukum Pumk Nomor 50/PUU-XII/2014”, dalam I Gusti Ngurah Parikesit Widiatedja, (ed.), Bunga Rampai Pemikiran Hukum Di Indonesia, Denpasar, Udayana University Press, hlm. 115-139; dan Gede Marhaendra Wija Atmaja, 2012, “Politik Pluralisme Hukum dalam Pengakuan Kesatuan Masyarakat Hukum Adat dengan Peraturan Daerah”, Disertasi Doktor, Malang: PDIH Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, hlm. 17-18. Kedua tulisan ini merujuk berbagai pandangan tentang hermeneutika hukum dan hermeneutika pada umumnya.


(36)

pemerintah desa berbasiskan pada tiga horizon tersebut, paling tidak horizon teks dan horizon konteks penerapan.

2. Bekerja dalam gerak bolak-balik antara bagian-bagian dan keseluruhan, sehingga terbentuknya pemahaman secara lebih utuh, yakni tiap ayat hanya bisa dipahami berdasarkan pemahaman atas pasalnya dan tiap pasal hanya dapat dipahami berdasarkan pemahaman atas undang-undangnya bahkan dengan sistem hukum yang melingkupinya, sebaliknya undang-undang (sebagai keseluruhan) hanya dapat dipahami berdasarkan pemahaman atas pasal atau ayat sebagai bagian dari undang-undang sebagai keseluruhan.

3. Bekerja dalam gerak bolak-balik antara kaedah dan fakta, yakni proses timbal-balik antara kaidah-kaidah dan fakta-fakta. Penafsir harus mengkualifikasi fakta-fakta dalam cahaya kaidah-kaidah dan menginterpretasi kaidah-kaidah dalam cahaya fakta-fakta. Dengan perkataan lain, penalaran dilakukan dari fakta-fakta ke kaidah-kaidah dalam aturan hukum (ia mengkualifikasi), untuk kemudian dari kaidah-kaidah dalam aturan aturan hukum itu ke fakta-fakta (ia menginterpretasi), dan hal itu terjadi berulang-ulang sampai menemukan sebuah penyelesaian. Proses ini dari sisi logika disebut abduksi. Kaidah-kaidah hukum yang dimaksud di sini adalah kaidah-kaidah hukum dalam UU 6/2014 beserta peraturan pelaksanaannya, dan yang dimaksud dengan fakta-fakta di sini adalah data yang diperoleh dari studi empirik.


(37)

4. Interpretasi secara hermeneutikal berlangsung secara holistik dalam rangkaian keterkaitan satu interpretasi hukum dengan interpretasi hukum lainnya. Model interpretasi ini digunakan dalam penelitian hukum ini.

5. Interpretasi secara hermeneutikal memerlukan ketepatan pemahaman (subtilitas intellegendi), ketepatan penafsiran (subtilitas explicandi), dan ketepatan penerapan (subtilitas applicandi). Tindakan yang dilakukan dalam penelitian hukum ini adalah memahami teks hukum dengan cara menafsirkannya, dan menerapkannya dalam bentuk rekomendasi pembentukan Rancangan Peraturan Daerah tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Pemerintah Desa.


(38)

BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1. HASIL PENELITIAN

5.1.1. Bentuk dan Isi Pengaturan Berkenaan dengan Susunan Organisasi dan Tata Kerja Pemerintahan Desa Pada Masa Berlakunya Kebijakan Tentang Desa Tahun 2004 Di Kabupaten Badung dan Kota Denpasar.

Bagian ini mengemukakan hasil penelitian tentang bentuk dan isi pengaturan berkenaan dengan susunan organisasi dan tata kerja Pemerintahan Desa pada masa berlakunya kebijakan tentang Desa tahun 2004 di Kabupaten Badung dan Kota Denpasar.

Perda Badung 3/2007 dan Perda Dnpasar 5/2007 dibentuk pada masa berlakunya Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa, yang dalam Pasal 13 ayat (1) menyebutkan Pedoman Penyusunan Organisasi dan Tata Kerja Pemerintahan Desa diatur dengan Peraturan Daerah (Menimbang huruf a Perda Badung 3/2007 dan Menimbang huruf c Perda Denpasar 5/2007).

Pasal 13 ayat (1) PP 72/2005 menentukan, ketentuan lebih lanjut mengenai Pedoman Penyusunan Organisasi dan Tata Kerja Pemerintahan Desa diatur dengan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. Berikutnya pada ayat (2) menentukan, Peraturan Daerah Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1), sekurang-kurangnya memuat: a. tata cara penyusunan struktur organisasi; b. perangkat; c. tugas dan fungsi; d. hubungan kerja.


(39)

Materi muatan Perda Badung 3/2007 dipaparkan berikut ini dikonfirmasikan dengan Pasal 13 ayat (2) PP 72/2005, sebagaimana dikemukakan dalam tabel berikut:

Tabel 5.1.

Materi Muatan Perda Badung 3/2007 Berdasarkan Pasal 13 ayat (2) PP 72/2005 Materi Muatan

Minimal Berdasarkan Pasal 13 ayat (2) PP

72/2005

Materi Muatan Perda Badung 3/2007

Kategori Substansi

Perangkat BAB II

SUSUNAN ORGANISASI

Pasal 2

(1) Pemerintahan Desa terdiri dari: a. Pemerintah Desa;

b. BPD.

(2) Pemerintah Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a terdiri dari :

a. Perbekel; b. Perangkat Desa.

(3) Perangkat Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b terdiri dari:

a. Sekretaris Desa;

b. Perangkat Desa lainnya. (4) Perangkat Desa lainnya sebagimana

dimaksud pada ayat (3) huruf b terdiri dari :

a. Sekretariat Desa;

b. Pelaksana Teknis Lapanga; c. Kelian Banjar Dinas.

(5) Jumlah Perangkat Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (4) disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi budaya masyarakat setempat.

(6) BPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, diatur lebih lanjut dengan Peraturan Daerah tersendiri.

Tata Cara Penyusunan Struktur Organisasi

BAB III TATA CARA PENYUSUNAN STRUKTUR ORGANISASI

Pasal 3

(1) Susunan Organisasi dan Tata Kerja Pemerintah Desa ditetapkan dengan Peraturan desa.

(2) Bagan Susunan Organisasi Pemerintahan Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran Peraturan daerah ini dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.


(40)

Pasal 4

Susunan Organisasi Pemerintahan Desa sebagaimana dimaksud dalam pasal 3 dilaporkan oleh Perbekel kepada Bupati melalui Camat.

Tugas dan Fungsi BAB IV TUGAS, WEWENANG, KEWAJIBAN DAN LARANGAN Bagian Kesatu Tugas dan Wewenang Perbekel Bagian Kedua Kewajiban Perbekel Bagian Ketiga Larangan Perbekel Bagian Keempat Perangkat Desa Bagian Kesatu

Tugas dan Wewenang Perbekel Pasal 5

(1) Perbekal mempunyai tugas menyelenggarakan urusan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan.

(2) Dalam melaksanakan tugas

sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Perbekel mempunyai wewenang sebagai berikut :

a. memimpin penyelenggaraan Pemerintahan Desa, berdasarkan kebijakan yang ditetapkan bersama BPD;

b. mengajukan rancangan Peraturan Desa;

c. menetapkan Peraturan Desa setelah mendapat persetujuan dari BPD; d. menyusun dan mengajukan

rancangan Peraturan desa tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa untuk dibahas dan ditetapkan bersama BPD;

e. membina kehidupan masyarakat desa;

f. membina perekonomian masyarakat desa;

g. mengkoordinasikan pembangunan desa secara partisipasif;

h. mewakili desa didalam dan diluar pengadilan dan dapat menunjuk kuasa hukum untuk mewakilinya sesuai dengan peraturan

perundang-undangan; dan i. melaksanakan wewenang lain

sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Bagian Kedua

Kewajiban Perbekel Pasal 6

(1) Dalam melaksanakan tugas dan wewenang sebagaimana dimaksud dalam pasal 5, Perbekel mempunyai kewajiban :

a. memegang teguh dan mengamalkan Pancasila,


(41)

melaksanakan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta

mempertahankan dan memeliha keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia; b. meningkatkan kesejahteraan

masyarakat;

c. memelihara ketentraman dan ketertiban masyarakat; d. melaksanakan kehidupan

demokrasi;

e. melaksanakan prinsip tata pemerintahan desa yang bersih dan bebas dari kolusi, korupsi, dan nepotisme;

f. menjalin hubungan kerja dengan seluruh mitra kerja pemerintah desa;

g. mentaati dan menegakkan seluruh peraturan perundang- undangan; h. menyelenggarakan administrasi

pemerintahan desa yang baik; i. melaksanakan dan

mempertanggungjawabkan pelaksanaan keuangan desa; j. melaksanakan urusan yang

menjadi kewenangan desa; k. mendamaikan perselisihan

masyarakat di desa; l. membina, mengayomi dan

melestarikan nilai-nilai sosial budaya dan adat istiadat; m. memberdayakan masyarakat dan

kelembagaan di desa;

n. mengembangkan potensi sumber daya alam dan melestarikan lingkungan hidup;

o. membina kerukunan antar umat beragama di desa.

(2) Selain kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Perbekel mempunyai kewajiban untuk memberi laporan penyelenggaraan

pemerintahan desa kepada Bupati, memberikan keterangan

pertanggungjawaban kepada BPD serta menginformasikan laporan penyelenggaraan pemerintahan desa kepada masyarakat;

(3) Laporan peyelenggaraan pemerintahan desa sebagaiaman dimaksud pada ayat (2) disampaikan


(42)

kepada Bupati melalui Camat 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun.

(4) Laporan keterangan

pertanggungjawaban kepada BPD sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun dalam musyawarah BPD. (5) Menginformasikan laporan

penyelenggaraan pemerintahan desa kepada masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat berupa selebaran yang ditempelkan pada papan pengumuman atau

diinformasikan secara lisan dalam berbagai pertemuan masyarakat Desa, radio komunitas atau media lainnya. (6) Laporan sebagaimana dimaksud pada

ayat (3) digunakan oleh Bupati sebagai dasar melakukan evaluasi penyelenggaraan pemerintahan desa dan sebagai bahanpembinaan lebih lanjut.

(7) Laporan akhir masa jabatan Perbekel disampaikan kepada Bupati melalui Camat dan kepada BPD.

Bagian Ketiga Larangan Perbekel Pasal 7

Perbekel dilarang :

a. menjadi pengurus partai politik; b. merangkap jabatan sebagai ketua

dan/atau anggota BPD dan lembaga kemasyarakatan di desa bersangkutan; c. merangkap jabatan sebagai anggota

DPRD;

d. terlibat dalam kampanye pemilighan umum, pemilihan presiden, dan pemilihan kepala daerah; e. merugikan kepentingan umum,

meresahkan sekelompok masyarakat, dan mendiskriminasikan warga atau golongan masyarakat lain;

f. melakukan kolusi, korupsi, dan nepotisme, menerima uang, barang dan/atau jasa dari pihak lain yang dapat mempengaruhi keputusan atau tindakan yang akan dilakukannya; g. menyalahgunakan wewenang; dan h. melanggar sumpah/janji jabatan. Bagian Keempat

Perangkat Desa Pasal 13


(43)

(1) Perangkat Desa bertugas membantu Perbekel dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya.

(2) Dalam melaksanakan tugasnya, Perangkat desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

bertanggungjawab kepada Perbekel. Pasal 9

(1) Sekretaris Desa berkedudukan sebagai unsur staf pembantu Perbekel dan memimpin Sekretaris Desa. (2) Sekretaris Desa diisi dari Pegawai

Negeri Sipil yang memenuhi persyaratan, yaitu :

a. berpendidikan paling rendah lulusan SMUatau sederajat;

b. mempunyai pengetahuan tentang teknis pemerintahan;

c. mempunyai kemampuan dibidang administrasi keuangan dan dibidang perencanaan;

d. mempunyai pengalaman dibidang administrasi keuangan dan dibidang perencanaan; e. memahami sosial budaya

masyarakat setempat; dan f. bersedia tinggal di desa yang

bersangkutan.

(3) Sekretaris Desa sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) diangkat oleh Sekretaris Daerah atas nama Bupati. (4) Sekretaris Desa sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) mempunyai tugas :

a. memberikan saran dan pendapat kepada Perbekel;

b. memimpin, mengkoordinasikan, dan mengendalikan serta mengawasi semua unsur serta kegiatan Sekretaris Desa; c. memberikan informasi mengenai

keadaan desa dan Sekretaris Desa; d. merumuskan kegiatan Perbekel; e. melaksanakan urusan surat

menyurat, kearsipan, dan laporan; f. mengadakan dan melaksanakan

persiapan rapat dan mencatat hasil-hasil rapat;

g. menyusun anggaran pendapatan dan belanja desa;

h. mengadakan kegiatan inventarisasi (mencatat, mengawasi, dan memelihara) kekayaan desa;


(44)

i. melaksanakan kegiatan

admimistrasi pemerintahan desa sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku; j. melaksanakan tugas lain yang

diberikan oleh atasan. Pasal 10

(1) Kepala Urusan berkedudukan sebagai unsur pembantu Sekretaris Desa dalam bidang tugasnya.

(2) Kepala Urusan mempunyai tugas melaksanakan kegiatan kesekretariatan desa dalam bidang tugasnya.

(3) Kepala Urusan dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mempunyai fungsi : a. Melaksanakan kegiatan-kegiatan

urusan pemerintahan, umum, keuangan, pembangunan dan kesejahteraan rakyat sesuai bidang tugasnya masing-masing;

b. Memberikan pelayanan administrasi kepada Sekretaris desa.

Pasal 11

(1) Pelaksana Teknis Lapangan berkedudukan sebagai staf teknis Perbekel dalam bidang tugasnya. (2) Pelaksana Teknis Lapangan

mempunyai tugas membantu perbekel dalam melaksanakan tugasnya yang bersifat teknis.

(3) Pelaksana Teknis Lapangan dalam melaksnakan tugas sebagaiman dimaksud pada ayat (2) mempunyai fungsi :

a. Melaksanakan kegiatan-kegiatan yang bersifat teknis;

b. Memberikan pelayanan dan pertimbangan teknis kepada Perbekel.

Pasal 12

(1) Kelian Banjar Dinas berkedudukan sebagai staf operasional Perbekel di wilayah kerjanya.

(2) Kelian Banjar Dinas mempunyai tugas untuk melaksanakan kegiatan Perbekel dalam kepemimpinan Perbekel di wilayah kerjanya.

(3) Kelian Banjar Dinas dalam melaksanakan tugas sebagaiamana dimaksud pada ayat (2) mempunyai tugas :


(45)

a. Melakukan kegiatan Pemerintahan, Pembangunan dan ketertiban masyarakat di wilayah kerjanya; b. Melaksanakan Peraturan Desa di

wilayah kerjanya;

c. Melaksanakan kebijakan Perbekel di wilayah kerjanya.

Hubungan Kerja BAB V HUBUNGAN KERJA

Pasal 13

Dalam melaksanakan tugasnya Perbekel dan Perangkat Desa menerapkan prinsip koordinasi dan sinkronisasi.

BAB VI KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 14

Dengan berlakunya peraturan daerah ini, susunan organisasi pemerintah desa yang sudah ada masih tetap berlaku, sepanjang ditetapkan yang baru sesuai dengan Peraturan daerah ini.

BAB VI KETENTUAN PENUTUP

Pasal 15

Hal-hal lain yang belum diatur dalam Peraturan Daerah ini, diatur lebih lanjut dengan Peraturan Bupati.

Pasal 16

Pada saat Peraturan Daerah ini mulai berlaku, maka Peraturan Daerah

Kabupaten Badung Nomor 7 Tahun 2001 tentang Susunan Organisasi Pemerintah Desa dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 17

Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Materi muatan Perda Denpasar 5/2007 dipaparkan berikut ini, dikonfirmasikan dengan Pasal 13 ayat (2) PP 72/2005, sebagaimana dikemukakan dalam tabel berikut:

Tabel 5.2.

Materi Muatan Perda Badung 3/2007 Berdasarkan Pasal 13 ayat (2) PP 72/2005 Materi Muatan

Minimal Berdasarkan Pasal 13 ayat (2) PP

72/2005

Materi Muatan Perda Denpasar 5/2007

Kategori Substansi

Perangkat BAB II

SUSUNAN ORGANISASI

Pasal 2

(1) Pemerintahan Desa terdiri dari: a. Pemerintah Desa;

b. BPD.

(2) Pemerintah Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a


(46)

terdiri dari : a. Perbekel; b. Perangkat Desa. (3) Perangkat Desa terdiri dari:

a. Sekretaris Desa; b. perangkat desa lainnya.

(4) Perangkat Desa lainnya terdiri dari : a. Kepala Urusan;

b. Kepala Dusun; dan

c. Pelaksana Teknis Lapangan. (5) Jumlah Perangkat Desa sebagaimana

dimaksud pada ayat (3) disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi sosial budaya masyarakat setempat. Tata Cara Penyusunan

Struktur Organisasi

dimasukan ke dalam BAB II SUSUNAN ORGANISASI

Pasal 3

(1) Susunan Organisasi Pemerintahan Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ditetapkan dengan Peraturan desa.

(2) Dalam Peraturan Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilampirkan bagan susunan organisasi

pemerintahan Desa.

Tugas dan Fungsi BAB III TATA PEMERINTAHAN DESA Bagian Pertama Tugas, Wewenang, Kewajiban dan Hak Kepala Desa.

Bagian Kedua Tugas, Wewenang, Kewajiban dan Hak Sekretaris Desa, Bagian ketiga Tugas, Wewenang, Kewajiban dan Hak Kepala Urusan. Bagian Keempat Tugas, Wewenang, Kewajiban dan Hak Kepala Dusun

Bagian Pertama

Tugas, Wewenang, Kewajiban dan Hak Kepala Desa.

Pasal 4

(1) Kepala Desa mempunyai tugas menyelenggarakan urusan pemerintahan, pembangunan, dan kemasyarakatan.

(2) Dalam melaksanakan tugas

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Kepala Desa mempunyai wewenang: a. mengajukan rancangan peraturan

desa;

b. menetapkan peraturan desa yang telah mendapat persetujuan bersama BPD;

c. memimpin penyelenggaraan pemerintahan desa berdasarkan kebijakan yang ditetapkan bersama BPD;

d. menyusun dan mengajukan rancangan peraturan desa mengenai APBDesa untuk dibahas dan ditetapkan bersama BPD;

e. membina kehidupan masyarakat desa;


(47)

Bagian Kelima Pengangkatan Perangkat Desa

f. membina perekonomian desa; g. mengkoordinasikan

pembangunan desa secara partisipatif:

h. mewakili desanya didalam dan luar pengadilan dan dapat menunjuk kuasa hukum untuk mewakilinya sesuai dengan peraturan perundangundangan; dan

i. melaksanakan wewenang lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Pasal 5

(1) Dalam melaksanakan tugas dan wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 Kepala Desa mempunyai kewajiban : a. memegang teguh dan

mengamalkan Pancasila, melaksanakan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta

mempertahankan dan memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia; b. meningkatkan kesejahtraan

masyarakat

c. memelihara ketentraman dan ketertiban masyarakat d. melaksanakan kehidupan

demokrasi;

e. melaksanakan prinsip tata pemerintahan desa yang bersih dan bebas dari Kolusi, Korupsi dan Nepotisme;

f. menjalin hubungan kerja dengan seluruh mitra kerja pemerintahan Desa;

g. mentaati dan menegakan seluruh peraturan perundang-undangan; h. menyelenggarakan administrasi pemerintahan Desa yang baik; i. melaksanakan dan

mempertanggung jawabkan pengelolaan keuangan Desa; j. melaksanakan urusan yang

menjadi kewenangan Desa; k. mendamaikan perselisihan

masyarakat di Desa;

l. mengembangkan pendapatan masyarakat dan Desa; m. membina, mengayomi dan


(48)

melastarikan nilai-nilai sosial budaya dan adat istiadat; n. memberdayakan masyarakat dan

kelembagaan di Desa; dan o. mengembangkan potensi sumber

daya alam dan melestarik lingkungan hidup;

(2) Selain kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Kepala Desa mempunyai kewajiban untuk

memberikan laporan penyelenggaraan pemerintahan Desa kepada Walikota memberikan laporan keterangan pertanggung jawaban kepada BPD, dan menginformasikan laporan penyelenggaraan pemerintahan Desa kepada masyarakat.

(3) Laporan penyelenggaraan pemerintah Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan kepada Walikota melalui Camat 1 (satu) kali dalam satu tahun.

(4) Laporan keterangan pertangung jawaban kepada BPD sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan 1 (satu) kali dalam satu tahun dalam musyawarah BPD.

(5) Menginformasikan laporan penyelengaraan pemerintah Desa kepada masyarakat sebagimana dimaksud pada ayat (2) dapat berupa selebaran yang ditempelkan pada papan pengumuman atau

diinformasikan secara lisan dalam berbagai pertemuan masyarakat Desa, radio komunitas atau media lainya. (6) Laporan sebagaimana dimaksud pada

ayat (3) digunakan oleh Walikota sebagai dasar melakukan evaluasi penyelenggaraan Pemerintah Desa dan sebagai bahan pembinaan lebih lanjut.

(7) Laporan akhir masa jabatan Kepala Desa disampaikan kepada Walikota melalui Camat dan kepada BPD Pasal 6

(1) Kepala Desa diberikan penghasilan tetap setiap bulan dan /atau tunjangan lainnya sesuai dengan kemampuan keuangan Desa.

(2) Penghasilan tetap dan/atau tunjangan lainnya yang diterima Kepala Desa


(49)

sebagaimana dimaksud ayat (1) ditetapkan setiap tahun dalam APB Desa.

(3) Penghasilan tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling sedikit sama dengan Upah Minimum

Regional Kota Pasal 7

Kepala Desa dilarang :

a. menjadi pengurus partai politik; b. merangkap jabatan sebagai Ketua dan/

atau Anggota BPD dan lembaga kemasyarakatan di Desa bersangkutan;

c. merangkap jabatan sebagai Anggota DPRD;

d. terlibat dalam kampanye pemilihan umum, pemilihan Presiden, dan pemilihan Kepala Daerah; e. merugikan kepentingan umum,

meresahkan sekelompok masyarakat, dan mendiskriminasikan warga atau golongan masyarakat lain;

f. melakukan Kolusi, Korupsi, dan Nepotisme, menerima uang barang dan/atau jasa dari pihak lain yang dapat mempengaruhi keputusan atau tindakan yang akan dilakukannya; g. menyalahgunakan wewenang; dan h. melanggar sumpah / janji jabatan. Pasal 8

Masa jabatan Kepala Desa adalah 6 (enam) tahun terhitung sejak tanggal pelantikan dan dapat dipilih kembali hanya untuk satu kali masa jabatan berikutnya.

Bagian Kedua

Tugas, Wewenang, Kewajiban dan Hak Sekretaris Desa,

Pasal 9

(1) Sekretaris Desa diisi dari Pegawai Negeri Sipil memenuhi

persyaratan,yaitu

a. berpendidikan paling rendah lulusan Sekolah Menengah Umum atasederajat;

b. mempunyai pengetahuan tentang teknis pemerintahan;


(50)

administrasi perkantoran; d. mempunyai pengalaman dibidang

administrasi keuangan dan dibidan perencanaan; e. memahami sosial budaya

masyarakat setempat. (2) Sekretaris Desa sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) diangkat oleh Sekretaris Kota atas nama Walikota.

Pasal 10

(1) Sekretaris Desa berkedudukan sebagai unsur staf pembantu Kepala Desa dan memimpin Sekretariat Desa.

(2) Sekretaris Desa dalam membantu Kepala Desa mempunyai tugas : a. memberikan saran dan pendapat

kepada Kepala Desa;

b. memimpin, mengkoordinasikan dan mengendalikan serta mengawasi semua unsur / kegiatan Sekretaris Desa; c. memberikan informasi mengenai

keadaan Sekretariat Desa dan keadaan Desa;

d. merumuskan program kegiatan Kepala Desa;

e. melaksanakan urusan surat menyurat, kearsipan dan laporan; f. mengadakan dan melaksanakan

persiapan rapat dan mencatat hasilhasil rapat.

g. menyusun Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa;

h. mengadakan kegiatan inventarisasi (mencatat, mengawasi, memelihara) kekayaan Desa;

i. mengadakan kegiatan pencatatan mutasi tanah dan pencatatan administrasi tanah;

j. melaksanakan administrasi kepegawaian aparat Desa; k. melaksanakan administrasi kependudukan, administrasi pembangunan, administrasi kemasyarakatan; dan

l. melaksanakan tugas lain yang diberikan oleh Kepala Desa; Pasal 11


(51)

Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2), Sekretaris Desa mempunyai wewenang: a. memimpin kesekretariatan Desa dan

atau rumah tangga Desa; b. mengkoordinasikan pelaksanaan

tugas-tugas pemerintahan Desa dengan Kepala Urusan;dan c. melaksanakan tugas lain yang

diberikan Kepala Desa; Pasal 12

Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2) dan Pasal 11 Sekretaris Desa mempunyai kewajiban : a. memegang teguh dan mengamalkan

Pancasila melaksanakan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indoneia tahun 1945 serta mempertahankan dan memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia;

b. melaksanakan prinsip tata

Pemerintahan Desa yang bersih dan bebas dari Kolusi, Korupsi dan Nepotisme;

c. menjalin hubungan kerja dengan seluruh mitra kerja pemerintahan Desa;

d. mentaati dan menegakkan seluruh peraturan perundang-undangan; e. menyelenggarakan administrasi

pemerintahan Desa yang baik; f. memberdayakan masyarakat dan

kelembagaan di Desa; dan g. memgembangkan potensi sumber

daya alam dan melestarikan lingkungan hidup.

Pasal 13

(1) Sekretaris Desa diberikan penghasilan tetap setiap bulan dan /atau tunjangan lainnya sesuai dengan kemampuan keuangan Desa. (2) Penghasilan tetap dan/atau tunjangan

lainnya yang diterima Sekretaris Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan setiap tahun dalam APBDesa.

(3) Penghasilan tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling sedikit sama dengan Upah Minimum


(52)

Regional Kota. Bagian ketiga

Tugas, Wewenang, Kewajiban dan Hak Kepala Urusan.

Pasal 14

(1) Kepala Urusan sebagai unsur pembantu Kepala Desa dalam bidang tugasnya.

(2) Kepala urusan mempunyai tugas melaksanakan kegiatan

kesekretariatan Desa dalam bidang tugasnya.

(3) Dalam melaksanakan tugas Kepala Urusan bertanggungjawab kepada Kepala Desa melalaui Sekretaris Desa.

Pasal 15

Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2), Kepala Urusan mempunyai wewenang : a. membina kehidupan masyarakat Desa; b. membina perekonomian Desa;

c. memberikan pelayanan kepada masyarakat; dan

d. mengkoordinasikan pembangunan Desa secara partisipatif;

Pasal 16

(1) Kepala Urusan diberikan penghasilan tetap setiap bulan dan/atau tunjangan lainnya sesuai dengan kemampuan keuangan Desa. (2) Penghasilan tetap dan/atau tunjangan

lainnya yang diterima Kepala Urusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan setiap tahun dalam APBDesa.

(3) Penghasilan tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling sedikit sama dengan Upah Minimum Regional Kota.

Pasal 17

Dalam melaksanakan tugas dan

wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2) dan Pasal 15, Kepala Urusan mempunyai kewajiban : a. memegang teguh dan mengamalkan


(53)

Undang-Udang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta mempertahankan dan memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia;

b. menjalin hubungan kerja dengan seluruh mitra kerja pemerintahan Desa;dan

c. mentaati dan mengamalkan seluruh peraturan perundang-undangan. Bagian Keempat

Tugas, Wewenang, Kewajiban dan Hak Kepala Dusun

Pasal 18

Kepala Dusun mempunyai tugas: a. membantu Kepala Desa dalam

melaksanakan kegiatan pemerintah, pembangunan dan ketertiban masyarakat;

b. melakukan kegiatan pemerintahan, pembangunan dan ketertiban masyarakat; dan

c. melaksanakan Peraturan Desa dan Peraturan Kepala Desa.

Pasal 19

Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18, Kepala Dusun mempunyai wewenang:

a. membina kehidupan masyarakat Dusun;

b. membina perekonomian Dusun; c. memberikan pelayanan kepada

masyarakat; dan

d. mengkoordinasikan pembangunan Dusun secara partisipatif;

Pasal 20

Dalam melaksanakan tugas dan

wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 dan Pasal 19, Kepala Dusun mempunyai kewajiban :

a. menyelenggarakan administrasi kependudukan masyarakat;dan b. memelihara ketentraman dan

ketertiban masyarakat.

Pasal 21

(1) Kepala Dusun diberikan penghasilan tetap setiap bulan dan/atau


(1)

DAFTAR PUSTAKA

Asshiddiqie, Jimly, 2006, Perihal Undang-Undang, Jakarta: Konstitusi Press. Attamimi, A. Hamid S., 1990, “Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia

dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara: Suatu Studi Analisis Mengenai Keputusan Presiden yang Berfungsi Pengaturan dalam Kurun Waktu Pelita I – Pelita IV”, Disertasi Doktor, Jakarta: Fakultas Pascasarjana Universitas Indonesia.

Atmaja, Gede Marhaendra Wija, 1995, “Ruang Lingkup Materi Muatan Peraturan Daerah Tingkat II (Kasus Kabupaten Daerah Tingkat II Badung dan Kotamadya Daerah Tingkat II Denpasar), Tesis Magister, Bandung: Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran.

──────, 2012, “Politik Pluralisme Hukum dalam Pengakuan Kesatuan Masyarakat Hukum Adat dengan Peraturan Daerah”, Disertasi Doktor, Malang: PDIH Fakultas Hukum Universitas Brawijaya.

──────, 2014a, “Metode Penelitian Hukum dalam Penyusunan Naskah Akademik Rancangan Peraturan Perundang-undangan”, Denpasar: Progran Studi Magister Ilmu Hukum Program Pasca Sarjana Universitas Udayana ──────, 2014b, “Memahami Interpretasi Secara Hermeneutikal: Menalar

Pertimbangan Hukum PUMK Nomor 50/PUU-XII/2014”, dalam I Gusti Ngurah Parikesit Widiatedja, (ed.), Bunga Rampai Pemikiran Hukum Di Indonesia, Denpasar, Udayana University Press.

──────, 2015a, “Penormaan Materi Pokok Yang Diatur”, Denpasar: Fakultas Hukum Universitas Udayana.

──────, 2015b, “Permusan Konsiderans Peraturan Daerah: Teori, Kaidah, Praktik” , Denpasar: Fakultas Hukum Universitas Udayana.

Bruggink, JJ. H., 2011, Refleksi Tentang Hukum: Pengertian-pengertian Dasar dalam Teori Hukum, alihbahasa B. Arief Sidharta, Bandung: Citra Aditya Bakti.

Eko, Sutoro, 2015, Regulasi Baru, Desa Baru: Ide, Misi, dan Semangat UU Desa, diterbitkan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Republik Indonesia, Jakarta.

Handayaningrat, Soewarno, 1985, Pengantar Studi Ilmu Administrasi dan Managemen, Jakarta: Gunung Agung.

Huda, Ni’matul, 2015, Hukum Pemerintahan Desa Dalam Konstitusi Indonesia Sejak Kemerdekaan Hingga Era Reformasi, diterbitkan Setara Press, Malang. Indrohato, 1993, Usaha MemahamiUndang-Undang tentang Peradilan Tata


(2)

Irianto, Soelistyowati, 2011, “Praktik Penelitian Hukum: Perspektif Sosiolegal”, dalam Soelistyowati Irianto dan Shidarta, (Eds.), Metode Penelitian Hukum: Konstelasi dan Refleksi, Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.

──────, 2012, “Memperkenalkan kajian sosio-legal dan implikasi metodologisnya”, dalam Adriaan W. Bedner, dkk (Eds.), Kajian Sosio-Legal, Denpasar: Pustaka Larasan.

Lubis, M. Solly, 1989, Landasan dan Teknik Perundang-undangan, Bandung: Penerbit CV Mandar Maju.

Manan, Bagir, 1992, Dasar-Dasar Perundang-undangan Indonesia, Jakarta: Penerbit Ind-Hill.Co.

Rahardjo, Satjipto, 2000, Ilmu Hukum, Bandung: Penerbit PT Citra Aditya Bakti. Ratna, Nyoman Kutha, 2010, Metodologi Penelitian Kajian Budaya dan

Ilmu-Ilmu Sosial Humaniora Pada Umumnya, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Ridwan, 2014, Diskresi & Tanggung Jawab Pemerintah, Yogyakarta: FH UII Press.

Salim, Agus, 2006, Teori & Paradigma Penelitian Sosial, Edisi Kedua, Yogyakarta: Tiara Wacana.

Sukriono, Didik, 2010, Pembaharuan Hukum Pemerinah Desa: Politik Hukum Pemerintahan Desa Di Indonesia, diterbitkan Setara Pers, Malang.

Syafrudin, H. Ateng dan Suprin Na’a, 2010, Republik Desa: Pergulatan Hukum Tradisional dan Hukum Modern dalam Desain Otonomi Desa, diterbitkan Penerbit Alumni, Bandung.

Silahuddin, M., 2015, Kewenangan Desa dan Regulasi Desa, diterbitkan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Republik Indonesia, Jakarta.

Siagian, Sondang P., 1982a, Peranan Staf dalam Managemen, Jakarta: Gunung Agung, hlm. 20. Lihat juga Sondang P. Siagian, 1984, Filsafat Administrasi, Jakarta: Gunung Agung.

Siagian, Sondang P., 1982b, Organisasi, Kepemimpinan dan Perilaku Administrasi, Jakarta: Gunung Agung.

Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1993, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka.

Tahir, Arifin, 2014, Buku Ajar Perilaku Organisasi, Yogyakarta: Deepublish. Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, 2008, Kamus Bahasa Indonesia, Jakarta:

Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional.

Utrecht, E., 1966, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, Edisi Fotografi.

Vlies, I.C. van de, 2005, Buku Pegangan Perancang Peraturan Perundang-undangan, terjemahan (judul asli: Handboek Wetgeving), Jakarta: Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia RI.


(3)

Wijaya, Prayudha; Adam Nugroho; Sugeng Rahardjo, (Eds), 2008, Panduan Membentuk Organisasi Pengelola Keuangan dan Aset Daerah (OPKAD), Jakarta: LGSP/Local Governance Support Program.

Westra, Pariata; Sutarto; dan Ibnu Syamsi, (Eds), 1977, Ensiklopedi Administrasi, Jakarta: Gunung Agung.


(4)

LAMPIRAN

Lampiran 1.

Pedoman Wawancara

PERTANYAAN JAWABAN ANOTASI 1. Praktik penyelenggaraan

Perda Badung 3/2007. 1) Pasal 2 ayat (5) Perda Badung 3/2007: Jumlah Perangkat Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (4) disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi budaya masyarakat setempat.

Berapa jumlah perangkat desa

di setiap desa di Badung dan rinciannya?; Apa yang dimaksud dengan Pelaksana Teknis Lapangan di Badung?;

Apakah setiap Desa memiliki

Pelaksana Teknis Lapangan?; 2) Pasal 3 ayat (1) Perda Badung 3/2007: Susunan Organisasi dan Tata Kerja Pemerintah Desa ditetapkan dengan Peraturan Desa. Apakah setiap Desa telah memiliki Perdes tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Pemerintah Desa dan sejak kapan?;

3) Pasal 4 Perda Badung 3/2007: Susunan Organisasi

Pemerintahan Desa sebagaimana dimaksud dalam pasal 3

dilaporkan oleh Perbekel kepada Bupati melalui Camat. Apakah ada Perbekel yang tidak

melaporkan Susunan Organisasi Pemerintahan Desa kepada Bupati melalui Camat? 4) Hal lainnya: Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Perbekel?; Kewajiban Perbekel?; Larangan Perbekel?; tugas Perangkat Desa?; tugas Kepala Urusan?; tugas Kelian Banjar Dinas? 5) Dalam melaksanakan tugasnya Perbekel dan Perangkat Desa menerapkan prinsip koordinasi dan


(5)

sinkronisasi; bagaimana pelaksanaannya?

2. Kondisi yang ada pada penyelengga-raan pemerintahan desa setelah Perda Badung 3/2007 kehilangan dasar hukumnya, sebagai akibat adanya reformasi kebijakan desa.

1) Apakah Perda Badung 3/2007 masih digunakan dalam

penyusunan organisasi dan tata kerja pemerintahan desa? 2) Dalam hal masih digunakan, apakah disesuaikan dengan UU 6/2014 dan peraturan

pelaksanaannya?

3) Apakah kondisi tersebut menimbulkan masalah dalam penyelenggaraan pemerintahan desa?

3. Permasalahan yang dihadapi masyarakat sebagai akibat Perda Badung 3/2007 kehilangan dasar hukumnya.

1) Apakah kondisi tersebut menimbulkan masalah dalam masyarakat, khususnya masyarakat desa?.

2) Apakah kondisi tersebut menyebabkan pemerintahan desa tidak optimal memberikan pelayanan kepada

masyarakatnya?

3) Apakah masyarakat pernah mengajukan keluhan terhadap kondisi tersebut?


(6)