BAB II
KAJIAN TEORI
2.1. Kebutuhan Afiliasi
2.1.1. Pengertian kebutuhan afiliasi
Murray dalam Baron 2004 berpendapat bahwa kebutuhan afiliasi terkait dengan kecenderungan untuk membentuk pertemanan dan untuk bersosialisasi,
untuk berinteraksi secara dekat dengan orang lain, untuk bekerjasama dan berkomunikasi dengan orang lain dengan cara yang bersahabat, dan untuk jatuh
cinta.
Menurut Maslow dalam Siagian 1989, manusia adalah makhluk sosial sehingga kebutuhan afiliasi pada manusia timbul secara naluriah. Karena sifatnya
yang naluriah, kebutuhan ini sudah timbul sejak seseorang dilahirkan dan terus bertumbuh dan berkembang dalam perjalanan hidupnya. Karena sifatnya yang
naluriah juga maka keinginan untuk memuaskannya pun berada pada intensitas yang tetap tinggi.
Sementara itu, Dwyer 2000 menganggap afiliasi sebagai kebutuhan dasar untuk berhubungan dengan orang lain. Kita berafiliasi dalam berbagai keadaan
seperti bersenang-senang, memperoleh perizinan, mengurangi ketakutan dan untuk berbagi keintiman seksual.
Martaniah 1984 mendefinisikan motif berafiliasi sebagai motif yang mendorong individu untuk berinteraksi dengan orang lain yang mengandung
kepercayaan, afeksi dan empati yang simpatik. Sementara itu, Vernon dalam Martaniah 1984 menganggap motif berafiliasi sebagai suatu kemauan untuk
mengurangi motif personal sehingga dapat diterima oleh kelompoknya. Menurutnya, sumber dari motif berafiliasi adalah suatu konformitas atau
keseragaman.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa kebutuhan afiliasi merupakan kebutuhan untuk menjalin dan mempertahankan suatu hubungan dengan orang
lain yang disertai kepercayaan dan perasaan yang kuat.
2.1.2. Faktor Yang Mempegaruhi Kebutuhan Afiliasi
Manusia memiliki tingkat kebutuhan afiliasi yang berbeda-beda antara yang satu dengan yang lainnya. Franzoi 2006 mencoba menjelaskan beberapa
faktor yang menyebabkan kita memiliki hasrat berafiliasi yang berbeda-beda. Terdapat tiga faktor yang mempengaruhi hasrat berafiliasi pada manusia. Ketiga
faktor tersebut adalah :
1. Warisan kebudayaan evolusioner manusia
Tampaknya kebutuhan manusia untuk memiliki sangat kuat dan fundamental. Saat kebutuhan ini tidak terpenuhi dan mengalami pengeluaran
atau penolakan, manusia akan bertindak dengan beragam cara yang negatif, seperti meningkatnya stress, kecemasan, dan perilaku penyerahan diri, yang
biasanya sering diikuti dengan penurunan kesehatan fisik. Studi mengenai gambaran otak manusia mengindikasikan bahwa perasaan sakit sosial yang
kita alami yang diakibatkan oleh penolakan secara neurologi memiliki kesamaan dengan perasaan distress yang dihubungkan dengan sakit fisik, yang
mana keduanya dimulai di dalam bagian depan cingulated cortex otak di lobus frontal.
Dengan kata lain, dapat disimpulkan bahwa kecenderungan manusia untuk mencari orang lain, untuk berteman dan untuk membentuk hubungan dekat
yang menyenangkan terlihat seperti sifat yang diwarisi yang membantu manusia untuk bertahan dan bereproduksi.
2. Otak dan aktifitas sistem saraf pusat
Perkembangan bukti biologis mengindikasikan bahwa perbedaan antar individu dalam kebutuhan afiliasi meliputi perbedaan-perbedaan di dalam
arousability sistem saraf pusat dan aktifitas otak yang terkait dengan
pengalaman emosi negatif dan positif. Arousability adalah derajat kebiasaan yang membangun produksi stimulasi dari sistem saraf pusat.
3. Kebudayaan, gender, dan afiliasi
Diluar penyebab biologis, kebutuhan afiliasi juga tampak dibentuk oleh variabel kebudayaan. Studi yang dilakukan oleh Geert Hofstede dalam Franzoi
2006 terhadap 22 desa menemukan hubungan yang positif r = 46 antara derajat kebudayaan individualis dan kebutuhan afiliasi warganya : semakin
tinggi kebudayaan individualis maka akan membutuhkan kebutuhan afiliasi yang lebih tinggi. Dalam menjelaskan penemuan ini, Hofstede menetapkan
bahwa dalam kebudayaan individualis, secara general individu berharap untuk mengembangkan secara individual hubungan mereka dan untuk melakukan
hal yang sama dalam berbagai variasi keadaan sosial. Karena mereka mengembangkan pertalian sosial dengan orang lain dari berbagai kelompok
sosial, mereka mungkin memiliki banyak hubungan, tetapi mereka tidak memiliki keintiman.
Walaupun hubungan sosial pada orang-orang individualis cenderung kurang intim daripada orang yang kolektivis, beberapa orang individualis
berusaha mempererat hubungan yang lebih intim daripada yang lain. perempuan juga lebih suka daripada laki-laki untuk berfikir, bersikap, dan
menetapkan dirinya dijalan yang menegaskan koneksi emosi mereka dengan orang lain. berhubungan secara sosial relasi diri yang lebih ini, dapat
dibedakan dengan kesendirian kemandirian diri yang menjadi tipikal laki-laki, yang membuat seseorang menjadi mandiri dan kurang tertarik dalam
pengembangan emosi.
Selain ketiga point yang dijabarkan di atas, Martaniah 1984 menambahkan beberapa faktor lain yang dapat mempengaruhi kebutuhan
berafiliasi yaitu perasaan adanya kesamaan. Kesamaan dapat berupa kesamaan status, kesamaan kelompok etnik, kesamaan bangsa. Sebagai contoh dapat dilihat
bahwa orang yang memiliki kesamaan pendidikan lebih tertarik untuk menjalin
hubungan dan mempertahankannya sehingga terbentuklah semacam forum alumni dan sebagainya.
2.1.3. Beberapa Penelitian Mengenai Afiliasi
Sebagai salah satu kebutuhan psikis yang terdapat pada diri manusia, kebutuhan afiliasi telah mengundang minat para psikolog dan ilmuwan psikologi
untuk diteliti guna mendapatkan gambaran mendalam dan merumuskan hasil penemuan menjadi satu kesatuan teori yang dapat dimanfaatkan. Salah satu
penelitian yang dilakukan, berusaha mencari jawaban mengenai keterkaitan antara stress dan afiliasi.
Alasan yang mendasari mengapa respon terhadap stress disertai dengan keramahan dan afiliasi diidentifikasikan pertama kali oleh Schachter dalam Baron
2004. Hasil penelitiannya telah menunjukkan bahwa sampel yang mengetahui bahwa dirinya berada dalam situasi yang memicu stress stressful akan
menunjukkan perilaku mencari teman dan berhubungan dengan rekannya, sementara sampel yang tidak mengetahui keadaannya akan cenderung
menunjukkan perilaku ingin sendiri dan tidak bergabung dengan orang lain.
Sementara itu, Exline dalam Martaniah 1984 lebih tertarik untuk melakukan penelitian mengenai kaitan antara kebutuhan berprestasi dan
kebutuhan berafiliasi. Hasil penelitiannya menemukan bahwa kompetisi menyebabkan orang yang mempunyai kebutuhan afiliasi yang tinggi menghindari
menatap satu sama lainnya, sedangkan pada orang yang mempunyai motif berafiliasi yang rendah interaksi visualnya lebih intensif.
Memang terdapat banyak bukti yang menunjukkan adanya hubungan yang tidak searah antara kebutuhan berprestasi dan kebutuhan berafiliasi. Corsini
1994 menjelaskan bahwa hal ini mungkin dikarenakan kedua motif ini secara general diekspresikan dalam bentuk perilaku yang sama-sama tidak cocok.
Kebutuhan mencapai kesuksesan dikarakteristikan oleh perhatian pada kemajuan diri yang memfokuskan satu perhatian pada tugas-tugas yang memperkuat
kapabilitas dan menyediakan feedback dalam efektivitas personal. Individu yang memiliki kebutuhan afiliasi yang tinggi mungkin jadi menyembunyikan atau
mencela kepandaian mereka, agar tidak membuat orang lain merasa rendah atau menimbulkan perasaan cemburu.
Sebagaimana dijelaskan di atas, dapat peneliti simpulkan bahwa berdasarkan hasil penelitian mereka, perilaku afiliatif muncul atau menjadi
semakin meningkat karena adanya suatu kondisi yang tidak biasa, menekan atau menegangkan yang dihadapi oleh individu. Situasi tersebut menyebabkan
munculnya reaksi psikis stress, ragu-ragu yang membuat individu membutuhkan orang lain baik untuk dijadikan penegasan atas kelayakan tingkah lakunya
ataupun untuk dijadikan sebagai suatu acuan penilaian.
Selain itu, penelitian lainnya yang dilakukan oleh Exline lebih menegaskan akan adanya hubungan yang berlawanan antara tingkat kebutuhan
afiliasi dan tingkat kebutuhan berprestasi yang dimiliki individu.
Kesimpulannya, setiap individu memiliki tingkat kebutuhan afiliasi yang berbeda-beda dan cenderung berbanding terbalik dengan tingkat kebutuhan
berprestasi, tetapi suatu kondisi tertentu dapat meningkatkan kebutuhan afiliasi yang dimiliki oleh individu.
2.1.4. Ciri-ciri Bentuk Kebutuhan Afiliasi
Salah seorang psikolog yang banyak membahas mengenai kebutuhan afiliasi adalah H.A Murray. Need for affiliation n Aff adalah satu dari 20
kebutuhan psikis yang diidentifikasi oleh H.A.Murray dan diukur di dalam thematic Apperception Test
TAT. Kebutuhan afiliasi dihitung ketika satu atau beberapa karakter yang terdapat di dalam cerita TAT subjek menunjukkan
mengenai “membentuk, memelihara, atau memperbaiki hubungan afeksi positif dengan orang lain” Corsini, 1994.
Murray dalam Martaniah 1984 juga menyatakan bahwa kebutuhan afiliasi merupakan keinginan untuk mendekat atau keinginan untuk kerjasama
dengan orang lain, menyenangkan dan mendapat afeksi dari orang lain, dan setia terhadap teman. Di dalam kebutuhan afiliasi terkandung kepercayaan, kemauan
baik, afeksi, kasih, dan empati yang simpatik yang dimanifestasikan dalam sikap bersahabat, sosial, menyenangkan, penuh kasih dan kepercayaan, dan bersifat
baik.
Dalam buku bukunya Exploration In Personality, Murray menjelaskan bentuk aksi dari kebutuhan afiliasi individu secara mendetail. Penjabaran aksi-aksi
tersebut dibagi ke dalam beberapa komponen sebagaimana tertera dalam table di bawah ini.
Tabel. 2.1. Ciri-ciri kebutuhan afiliasi
No. Komponen Ciri
aksi 1. General
Umum - Bertemu dan berkenalan dengan orang lain
- Membentuk, memelihara menerima keterkaitan dengan orang lain
- menunjukkan perbuatan baik dan cinta - melakukan sesuatu yang menyenangkan orang
lain - menghindari untuk menyakiti orang lain dan
menghilangkan pertengkaran
2. Motones motorik - Mendekatkan diri
- Melambai, berjabat tangan dan memeluk 3. Verbones
verbal - Mengucap salam, halo dan bertanya
dengan bersahabat - Member informasi, bercerita dan bertukar
perasaan - Mengekspresikan kepercayaan,
kekaguman, perasaan dan mempercayai orang lain
4. Kontak
Melakukan pendekatan, menyentuh, menemani dan tinggal dekat kerabat
5. Persamaan - Merasa atau bersikap seperti teman
- Mengikuti dan menyetujui orang lain
6. kerjasama
Menerima sesuatu dengan orang lain 7.
Timbal balik - Berkomunikasi, bermain dengan orang
lain, bertelepon dan mengirim surat - Berbagi keuntungan, pengetahuan,
kepercayaan dengan orang lain - Menikmati hubungan intim dengan orang
yang dicintai 8. Ide
- Menerima ide, menyelaraskan satu perasaan dengan perasaan yang lain
menyelesaikan perbedaan
Sementara itu, skor tinggi individu mengenai kebutuhan afiliasi dalam Adjective Check List
milik Gough cenderung mendeskripsikan diri mereka dengan istilah friendly bersahabat, warm hangat, trusting percaya, talkactive
talkaktif, cheerful riang, kind baik, loyal setia, helpful suka membantu, praising
suka memuji, accepting menerima, generous dermawan Corsini, 1994.
Lansing dan Heyns dalam Corsini 1994 menemukan bahwa kebutuhan afiliasi secara signifikan berhubungan dengan frekuensi telepon lokal yang
dilakukan oleh subjek, walaupun hanya ada hubungan yang lemah dengan jumlah penulisan surat atau frekuensi mengunjungi teman dekat yang tinggal ditempat
yang jauh. Jadi, seseorang yang memiliki kebutuhan afiliasi yang tinggi cenderung lebih sering menelepon lokal, mengirim surat dan mengunjungi teman
daripada seseorang yang rendah kebutuhan afiliasinya.
Efek kebutuhan afiliasi yang ditunjukkan dalam penelitian penelitian Mc Adams dan Constantian dalam Geen 1995 juga dapat menunjukan perilaku
berafiliasi. Pada penelitian ini, setiap parsitipan diminta untuk menuliskan aktifitas mereka setiap kali mereka menerima sinyal dari perlengkapan penelitian
yang mereka bawa selama rutinitas keseharian. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kebutuhan afiliasi berhubungan positif dengan berbicara dengan orang lain
dan menulis surat Geen, 1995.
Buunk dalam Dwyer 2000 menyatakan adanya perbedaan-perbedaan penting pada karakteristik dan perilaku orang yang bekebutuhan afiliasi tinggi
daripada orang yang berkebutuhan afiliasi rendah. Secara umum, seseorang dengan kebutuhan afiliasi yang tinggi memberikan perhatian pada membentuk dan
memelihara hubungan yang positif dengan orang lain dan mengamati orang lain lebih dekat dalam interaksi sosial. Mereka bersahabat dengan orang lain dan
cenderung popular. Dan karena mereka sangat fokus pada keinginan untuk diterima oleh orang lain, mereka cemas akan penolakan, berhati-hati agar tak
menyakiti orang lain dan menunjukkan kecemasan tinggi dalam keadaan sosial.
Beberapa penjelasan mengenai ciri-ciri dari kebutuhan afiliasi yang diungkapkan oleh beberapa tokoh di atas secara garis besar merujuk pada adanya
keinginan untuk menjalin dan mempertahankan suatu hubungan dengan sikap- sikap positif dalam suatu hubungan.
Tetapi peneliti lebih setuju dengan apa yang dikemukakan Murray mengenai beberapa kriteria yang mencirikan suatu kebutuhan afiliasi pada
individu dalam TAT. Ia mengungkapkan beberapa komponen seperti komponen general, motorik, verbal, kontak, kerjasama, timbale balik dan ide dengan ragam
indikator di dalamnya sebagai gambaran dari apa yang terkandung dalam kebutuhan afiliasi.
Menurut peneliti, penjabaran Murray yang terkait dengan kriteria-kriteria cukup lengkap dan dapat menggambarkan kebutuhan afiliasi secara spesifik.
Dengan demikian, berpegang pada kriteria ini akan mempermudah peneliti dalam mengkonstruk suatu alat pengukuran.
2.1.5. Teori-teori yang terkait dengan afiliasi
Wrightsman 1979 menjabarkan beberapa teori yang menjelaskan alasan yang membuat seseorang ingin menjalin hubungan dan bergabung dengan orang
lain.beberapa teori tersebut adalah :
1. Social Exchange Theory.
Teori ini menyatakan bahwa perilaku afiliatif yang dilakukan oleh individu merupakan cara yang digunakan untuk mendapatkan tujuan. Setiap individu
memiliki tujuan tertentu yang ingin dicapai pada setiap peristiwa dalam hidupnya. Salah satu cara yang dapat digunakan untuk mencapai tujuan-
tujuannya yaitu dengan melakukan interaksi, berhubungan, bekerjasama dan bergabung dengan individu lain. salah satu contoh aplikatif dari teori ini
adalah seorang pemain bulu tangkis yang menjalin hubungan dengan teman mainnya agar dapat memainkan permainan ini Wrightsman, 1979.
Franzoi 2006 mennyatakan bahwa teori ini berupaya menjelaskan afiliasi lebih difokuskan pada interaksi antar sesama manusia. Sesuai dengan teori
pertukaran sosial social exchange theory, manusia mencari dan memelihara hubungan yang menghasilkan keuntungan yang melebihi kerugian atau
mengindari dan mengakhiri hubungan yang memiliki kerugian lebih banyak daripada keuntungannya. Asumsi ini mendasari perspektif mengenai afiliasi
yaitu bahwa pada dasarnya manusia itu hedonist, mereka mencari kenikmatan yang banyak dan meminimalkan kesakitan.
2. Reinforcement Theory
Menurut teori ini, orang lain mewakili reward hadiahpenghargaan yang ada di dalam atau pada diri mereka. Berdasarkan teori ini, dapat dikatakan
bahwa kebutuhan-kebutuhan manusia untuk mendapatkan persetujuan dan untuk mengembangkan identitasnya hanya didapatkan melalui orang lain.
Sulit untuk membedakan teori ini dengan teori sebelumnya social exchange theory.
3. Social Comparison Theory
Rumusan teori ini menjelaskan bahwa ketidakhadiran dari standar koreksi yang objektif membuat individu mencari orang lain untuk mengevaluasi diri.
Evaluasi diri self evaluation melalui komparasi sosial akan menjadi lebih berhasil bila dilakukan dengan objek orang lain yang hampir memiliki
kesamaan dengan kita.
Dwyer 2000 menjelaskan bahwa seseorang yang sedang mengalami situasi atau emosi yang tidak menyenangkan tertarik untuk mendiskusikannya
dengan orang lain yang berada dalam situasi yang sama untuk melakukan perbandingan sosial.
Lebih lanjut, Franzoi 2006 menjelaskan bahwa salah satu cara untuk mengetahui diri kita dan benar-benar mengetahui secara baik mengenai tempat
kita di lingkungan sosial adalah dengan cara membandingkan diri kita dengan orang lain. informasi yang diperoleh dari perbandingan sosial akan digunakan
untuk mengevaluasi diri. Selain itu, manusia tidak hanya menggunakan perbandingan sosial untuk mempertimbangkan –dan meningkatkan- diri saja,
tetapi juga untuk menyediakan informasi mengenai emosinya.
Selain ketiga teori yang diungkapkan oleh Wrightsman di atas, Buunk dalam dwyer 2000 juga menambahkan dua hal lain yang dapat menjadi alasan
seseorang berafiliasi yaitu pengurangan kecemasan Anxiety reduction dan pencarian informasi Information seeking. Tetapi ia juga menambahkan bahwa
walaupun terdapat tiga situasi dimana seseorang lebih senang untuk berhubungan dengan orang lain, ada beberapa orang yang lebih cenderung untuk bersosialisasi
dengan orang lain.
Dapat disimpulkan bahwa ketiga teori ini berupaya memecahkan akan alasan seseorang berperilaku afiliatif dikaitkan dengan sesuatu yang diperoleh
individu dari perilaku afiliatifnya. Dengan demikian, ketiga teori menegaskan akan adanya tujuan yang ingin dicapai, hadiah yang ingin didapat, atau
pengetahuan dan informasi untuk penilaiannya yang menjadi latar belakang munculnya perilaku afiliatif.
Bagaimanapun, kebutuhan afiliasi memang ada dalam diri setiap individu. Teori-teori di atas hanya mengungkap sebagian dari sekian banyak alasan yang
mungkin dapat menjadi dasar mengapa seorang individu berperilaku afiliatif.
2.1.6. Pengukuran Kebutuhan Afiliasi
Banyak usaha-usaha yang telah dilakukan oleh para psikolog untuk mengukur kebutuhan afiliasi sebagai trait yang ada pada setiap individu. beberapa
bentuk pengukuran yang ada diantaranya :
1. Pengukuran Lapor Diri Self Report. Pengukuran ini hanya menanyakan pertanyaan langsung mengenai keinginan dan aktivitas yang relevan
dengan afiliasi, dengan demikian hanya menyentuh motif eksplisit explicit motive
untuk berafiliasi. 2. Pengukuran Proyektif terdiri dari gambar-gambar yang ambigu, dimana
responden diminta untuk menginterpretasikan apa yang sedang terjadi. Pengukuran ini diarahkan pada kebutuhan yang lebih tidak disadari, dan
demikian menyentuh motif implisit implicit motive untuk berafiliasi Baron, 2004.
2.2. Kecanduan Facebook