BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Di era globalisasi ini, semakin banyak tantangan yang dihadapi dari segala segi kehidupan. Untuk menghadapi tantangan zaman ini, maka tidak
lepas dari peranan pendidikan. Pendidikan bersifat madal hayah, artinya pendidikan harus dilakukan sepanjang hidup. Dengan pendidikan, setiap
individu dapat mengoptimalkan kemampuan yang dimilikinya. Sehingga hasil dari pendidikan atau pengalaman-pengalaman yang dialami dapat
diaplikasikan dalam kehidupan sesuai dengan tantangan zaman. Salah satu bentuk pendidikan formal adalah sekolah. Sekolah merupakan
tempat siswa menimba ilmu. Di sekolah, siswa diharapkan dapat mencapai tujuan pembelajaran sesuai dengan kurikulum yang berlaku pada setiap
jenjang pendidikan. Salah satu pelajaran yang ada pada setiap jenjang pendidikan mulai Sekolah Dasar SD sampai Sekolah Menengah Atas SMA
bahkan dibangku kuliahpun adalah pelajaran matematika. Selain itu, matematika juga merupakan salah satu pelajaran yang diujikan pada ujian
nasional pada setiap jenjangnya. Ini pertanda bahwa matematika merupakan pelajaran yang sangat penting, karena matematika merupakan salah satu cara
untuk mengembangkan kemampuan berpikir dan suatu pertanda intelegensi manusia. Oleh karena itu, matematika sangat diperlukan baik dalam kehidupan
sehari-hari maupun untuk menghadapi kemajuan Ilmu Pengetahuan dan Tekhnologi IPTEK.
Berdasarkan hasil studi TIMSS Trends in International Mathematics and Science Study tahun 2007 untuk siswa kelas VIII, menempatkan siswa
Indonesia pada urutan ke-36 dari 49 negara dengan nilai rata-rata untuk kemampuan matematika secara umum adalah 397. Nilai tersebut masih jauh
dari standard minimal nilai rata-rata kemampuan matematika yang ditetapkan
1
TIMSS yaitu 500. Prestasi siswa Indonesia ini berada dibawah siswa Malaysia dan Singapura. Siswa Malaysia memperoleh nilai rata-rata 474 dan Singapura
memperoleh nilai rata-rata 593.
1
Skala matematika TIMSS-Benchmark Internasional menunjukkan bahwa siswa Indonesia berada pada peringkat
bawah, Malaysia pada peringkat tengah, dan Singapura berada pada peringkat atas. Padahal jam pelajaran matematika di Indonesia 136 jam untuk kelas
VIII, lebih banyak dibanding Malaysia yang hanya 123 jam dan Singapura 124 jam.
2
Selain itu ditingkatan nasional, yaitu di DKI Jakarta pada tahun 2008 jumlah siswa SMP yang gagal ujian nasional meningkat dan tingkat
ketidaklulusan siswa DKI terendah. Mata pelajaran yang diujikan adalah Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam.
Tingkat ketidaklulusan siswa Sekolah Menengah Pertama SMP yang mengikuti ujian nasional tahun ini mengalami peningkatan.
Tahun lalu, tingkat ketidaklulusan 6,66 persen, tahun ini menjadi sebesar 7,25 persen. Berarti terjadi peningkatan ketidaklulusan
sebesar 0,59 persen dari 3.278.884 siswa SMP peserta ujian nasional tahun 2008. Dibandingkan provinsi lain, tingkat
ketidaklulusan siswa SMP di Provinsi DKI Jakarta paling rendah, hanya 0,22 persen. Dua provinsi lain dengan persentasi
ketidaklulusan terendah adalah Kalimantan Timur dan Bali, masing-masing 0,66 persen dan 0,91 persen.
3
Melihat kenyataan tersebut, maka mutu pendidikan di Indonesia terutama pada pelajaran matematika masih rendah. Dan dengan melihat fakta-
fakta tersebut, tentunya ada faktor-faktor yang mempengaruhi hasil belajar anak didik. Diantara faktor-faktor tersebut yang sangat mempengaruhi adalah
faktor pada proses pembelajaran itu berlangsung di kelas yaitu kemampuan bagaimana guru mendesain pengajaran yang tepat sesuai dengan materi yang
akan diajarkan. Sehingga akan berpengaruh pada apa yang diperoleh siswa serta juga akan berpengaruh pada hasil belajarnya.
1
Ina V.S. Mullis, dkk, “TIMSS 2007 International Mathematics Report”, dari http:timss.bc.eduTIMSS2007techreport.html, 6 September 2009, h. 38.
2
Ina V.S. Mullis, dkk, “TIMSS 2007 International ……… h. 195.
3
Admin, “Siswa SMP yang Gagal Ujian Meningkat”, dari www.republika.co.id, 26 Oktober 2009.
Dalam proses pembelajaran di sekolah atau di kelas, hendaknya guru memperhatikan kondisi individual dari siswa karena merekalah yang akan
belajar. Selama ini guru hanya memperhatikan kondisi anak didik secara keseluruhan, tidak perorangan maupun kelompok. Sehingga perbedaan
individual dari anak didik kurang mendapat perhatian. Selain itu, gejala yang lain dapat dilihat dalam proses pembelajaran selama ini yaitu sebagian besar
guru menggunakan metode pengajaran yang cenderung sama setiap kali proses pembelajaran berlangsung. Metode yang sering digunakan adalah metode
ceramah.
4
Sehingga dalam proses pembelajaran ini guru dominan yaitu pengajaran berpusat pada guru teacher centered. Begitu pula yang terjadi
pada sebagian besar guru matematika. Dari permasalahan yang telah dipaparkan, maka perlu adanya perubahan
pada proses pembelajaran. Tidak lagi dengan cara yang klasik pembelajaran konvensional yaitu pengajaran berpusat pada guru sehingga pembelajaran di
kelas-kelas terlihat monoton, tetapi dapat dilakukan pembelajaran yang aktif, kreatif, inovatif, menyenangkan serta dapat mengatasi perbedaan individual
siswa, sehingga pembelajaran dirasakan lebih bermakna bagi siswa. Penggunaan model pembelajaran yang tepat dapat mendorong
tumbuhnya rasa senang siswa terhadap suatu pelajaran, sehingga akan meningkatkan motivasi dalam mengerjakan tugas dan memberikan
kemudahan bagi siswa untuk memahami pelajaran sehingga siswa dapat mencapai hasil belajar yang lebih baik.
5
Diantara beberapa model pembelajaran yang ada, salah satunya adalah pembelajaran kooperatif
cooperative learning. Pembelajaran kooperatif digunakan untuk mewujudkan kegiatan belajar mengajar yang berpusat pada siswa student
oriented, terutama untuk mengatasi permasalahan yang ditemukan guru dalam mengaktifkan siswa, yang tidak dapat bekerja sama dengan orang lain,
siswa yang agresif dan tidak peduli pada yang lain. Model pembelajaran ini
4
Erman Suherman, “Model Belajar dan Pembelajaran Berorientasi Kompetensi Siswa”, dari www.scribd.com, 16 September 2009.
5
Aunurrahman, Belajar dan Pembelajaran, Bandung: Alfabeta, 2009, h.143.
telah terbukti dapat dipergunakan dalam berbagai mata pelajaran dan berbagai usia.
6
Dalam Journal for Research in Mathematics Education menyimpulkan bahwa pembelajaran kooperatif merupakan peralatan yang kuat untuk
meningkatkan kepercayaan diri sebagai seorang pembelajar, pemecah masalah dan untuk memperkuat integrasi yang sebenarnya diantara berbagai macam
siswa.
7
Maka pembelajaran kooperatif merupakan salah satu alternatif pengajaran yang dapat diterapkan di sekolah pada pengajaran di kelas,
sehingga dapat meningkatkan kualitas pembelajaran. Salah satu model pembelajaran kooperatif adalah tipe pair checks.
Tipe ini adalah sebuah model pembelajaran yang dapat melibatkan semua siswa pada proses pembelajaran. Dalam pembelajaran ini siswa dituntut untuk
saling berbagi atau bekerja sama dari masing-masing kemampuan yang dimiliki siswa. Pembelajaran kooperatif diharapkan dapat mengoptimalkan
kemampuan atau potensi yang dimiliki siswa dalam mencapai tujuan pembelajaran sehingga mencapai hasil belajar yang memuaskan sesuai dengan
karakteristik pribadi yang mereka miliki. Dari latar belakang permasalahan yang telah dipaparkan, dalam
penelitian ini peneliti mengambil sebuah judul yaitu: “Pengaruh Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Pair Checks terhadap Hasil Belajar
Matematika Siswa”
6
Isjoni, Cooperative Learning: Mengembangkan Kemampuan Belajar Berkelompok, Bandung: Alfabeta, 2009, Cet.II, h.16-17.
7
Sholomo Sharan, Handbook of Cooperative Learning, Yogyakarta: imperium, 2009, h.349.
B. Identifikasi Masalah