Patofisiologi Obesitas Tinjauan Umum Obesitas

III. Berdasarkan distribusi lemak, obesitas dibagi menjadi dua kategori yaitu obesitas sentral dan obesitas generalumum. Obesitas berkaitan erat dengan distribusi lemak tubuh. Tipe obesitas berdasarkan pola distribusi lemak tubuh dapat dibedakan menjadi dua yaitu obesitas tubuh bagian atas upper body obesity dan obesitas tubuh bagian bawah lower body obesity. Obesitas tubuh bagian atas disebabkan adanya penimbunan lemak tubuh di trunkal. Pada trunkal terdapat beberapa kompartemen jaringan lemak yaitu trunkal subkutaneus yang merupakan kompartemen paling umum, intraperitoneal abdominal, dan retroperitoneal. Obesitas tubuh bagian atas lebih banyak terjadi pada pria, oleh karena itu tipe obesitas ini lebih dikenal sebagai “android obesity” atau disebut juga dengan obesitas sentral. Penentuan obesitas tipe sentral menggunakan IMT dan lingkar perut. Obesitas tipe sentral berhubungan lebih kuat dengan diabetes, hipertensi, dan penyakit kardiovaskuler dari pada obesitas tubuh bagian bawah. Obesitas tubuh bagian bawah adalah keadaan tingginya akumulasi lemak tubuh pada regio gluteofemoral. Obesitas tipe ini lebih banyak terjadi pada wanita sehingga sering disebut “gynoid obesity”. Obesitas ini berhubungan erat dengan gangguan menstruasi pada wanita Indriati, 2010.

2.1.3 Patofisiologi Obesitas

Proses pencernaan alkohol menyerupai pada saat tubuh mencerna lemak, sehingga jumlah kalori meningkat tajam. Komponen kalori dalam beberapa minuman beralkohol persajian bisa mencapai 120 kalori. Alkohol juga dapat meningkatkan kadar trigliserida dalam tubuh, apabila akumulasi trigliserida terdapat di hati dan di otot akan mengakibatkan resistensi insulin. Jaringan lemak adiposit mengeluarkan beberapa hormon, secara kolektif dinamai adipokin yang berperan penting dalam kesimbangan energi dan metabolisme. Salah satu adipokin adalah resistin yang dibebaskan terutama pada obesitas yang menyebabkan resistensi insulin Sherwood, 2012. Asupan glukosa berlebihan dan pengeluaran energi minimal menimbulkan keseimbangan energi positif yang menyebabkan terjadi akumulasi lemak berlebihan di jaringan adiposa abdominal dan dapat dilihat sebagai obesitas sentral Soegondo, 2005. Pada penderita obesitas terjadi berbagai gangguan metabolisme antara lain diabetes mellitus tipe dua, hipertensi, penyakit jantung, dan batu empedu. Besarnya risiko mengalami penyakit-penyakit ini sebanding dengan besar penumpukan lemak yang terjadi. Pada diabetes mellitus tipe dua peranan obesitas dijelaskan dalam berbagai teori, salah satu teori menyebutkan bahwa sel-sel lemak yang mengalami hipertropi dapat menurunkan jumlah reseptor insulin. Teori lain menyebutkan tingginya asam lemak, peningkatan hormon resistin, dan penurunan adiponektin sebagai akibat penumpukan lemak pada penderita obesitas dapat mempengaruhi kerja insulin sehingga dapat menyebabkan tingginya kadar glukosa darah Indriati, 2010. World Health Organization WHO mendefinisikan sindroma metabolik sebagai suatu kelainan metabolik meliputi hipertensi, hiperlipidemia, obesitas general dan sentral, dan mikroalbuminuria. National Cholesterol Education Program Expert Panel on Detection Evaluation, and Treatment of High Blood Cholesterol in Adults Adult Treatment Panel III NCEP-ATP III tahun 2001 menyatakan bahwa sindroma metabolik adalah sekelompok kelainan metabolik lipid maupun non-lipid yang merupakan faktor risiko penyakit jantung koroner terdiri dari obesitas sentral, dislipidemia aterogenik kadar trigliserida meningkat, kadar kolesterol high-density lipoprotein rendah, hipertensi, dan peningkatan kadar glukosa plasma Indriati, 2010. Peningkatan kejadian sindroma metabolik sejalan dengan peningkatan obesitas. Obesitas adalah suatu keadaan ditemukannya kelebihan lemak dalam tubuh, terbagi menjadi obesitas general dan obesitas sentral. Penimbunan lemak dalam perut dikenal dengan obesitas sentral atau obesitas viseral berkaitan erat dengan kejadian penyakit jantung koroner dan diabetes mellitus. Penelitian yang berhubungan dengan hal ini telah banyak dilakukan, sebagian besar peneliti menyimpulkan bahwa dibandingkan dengan lemak subkutan atau lemak tubuh total obesitas general lemak viseral obesitas sentral lebih kuat hubungannya dengan kelainan sindroma metabolik. Adiposit jaringan lemak ini adalah adiposit dengan ukuran besar, kurang peka terhadap kerja antilipolisis sehingga lebih mudah dilipolisis yang menyebabkan peningkatan asam lemak bebas. Peningkatan kadar asam lemak bebas dapat meningkatkan distribusi asam lemak di hati. Hal tersebut meningkatkan proses glukoneogenesis, menghambat pengambilan serta penggunaan glukosa di otot. Akumulasi trigliserida di hati dan di otot akan mengakibatkan resistensi insulin, jaringan lemak sendiri menghasilkan beberapa sitokin dan hormon yang menghambat kerja insulin. Hormon insulin merupakan regulator penting pada metabolisme karbohidrat, lipid, dan protein. Setiap gangguan yang terjadi pada kerja insulin menimbulkan konsekuensi metabolik yang tampak pada sindroma metabolik. Menurut Jellife dalam buku Supariasa, antropometri gizi berhubungan dengan berbagai macam pengukuran dimensi tubuh dan komposisi tubuh dari berbagai tingkat umur dan tingkat gizi. Ukuran tubuh yang dimaksud antara lain berat badan, tinggi badan, lingkar lengan atas, dan tebal lemak bawah kulit. Pengukuran ini banyak dilakukan karena relatif murah, mudah digunakan untuk mengukur populasi yang banyak, objektif, hasilnya cukup baik, dan bisa menunjukkan adanya kelainan nutrisi maupun pertumbuhan. Beberapa kekurangan dari pengukuran ini yaitu tidak tepat dan adanya keterbatasan untuk mendiagnosa secara teliti Supariasa, 2010. Beberapa cara yang digunakan untuk pengukuran lemak tubuh antara lain triceps skinfold, subscapular skinfold, biceps skinfold, Lingkar Lengan Atas LLA, lingkar pinggang, dan lingkar panggul. Pengukuran BBTB 2 sering disebut Body Mass Index atau BMI, di Indonesia dikenal dengan Indeks Massa Tubuh atau IMT Indriati, 2010.

2.1.4 Epidemiologi Obesitas