mempengaruhi aktivitas dunia bisnis. Maka lahirlah gugatan terhadap peran perusahaan agar mempunyai tanggung jawab sosial. Disinilah
salah satu manfaat yang dapat dipetik perusahaan dari kegiatan CSR. Dalam konteks inilah aktivitas CSR menjadi menu wajib bagi
perusahaan, di luar kewajiban yang digariskan undang-undang.
Namun ternyata hanya sekadar menjalankan aktivitas CSR tidak lagi mencukupi. Dalam pelaksanaannya, CSR masih terus saja
mengalami kritikan yang secara umum terdapat dua kritikan. Pertama, program-program CSR yang dijalankan oleh perusahaan banyak yang
hanya memiliki pengaruh jangka pendek dengan skala yang terbatas. Program-program CSR yang dilaksanakan seringkali kurang
menyentuh akar permasalahan komunitas yang sesungguhnya. Seringkali pihak perusahaan masih menganggap dirinya pihak yang
paling memahami kebutuhan komunitas, sementara komunitas dianggap sebagai kelompok pinggiran yang menderita sehingga
memerlukan bantuan perusahaan. Di samping itu, aktivitas CSR dianggap hanya semata-mata dilakukan demi terciptanya reputasi
perusahaan yang positif, bukan demi perbaikan kualitas hidup komunitas dalam jangka panjang.
Kedua, terhadap pelaksanaan CSR adalah bahwa program ini seringkali diselenggarakan dengan jumlah biaya yang tidak sedikit,
maka CSR identik dengan perusahaan besar yang ternama. Masalahnya, dengan kekuatan sumber daya yang dimilikinya,
perusahaan-perusahaan besar dan ternama ini mampu membentuk opini publik yang mengesankan seolah-olah mereka telah
melaksanakan CSR. Padahal yang dilakukannya hanya semata-mata aktivitas filantropis, bahkan dapat dikatakan dilakukan untuk
menutupi perilaku-perilaku yang tidak etis seperti telah mengeksploitasi sumber daya alam yang ada di lingkungan
masyarakat.”
14
Banyak perusahaan beroperasi pada lahan yang bersentuhan langsung dengan kehidupan hajat hidup orang banyak. Kerusakan lingkungan yang
diakibatkan eksploitasi yang berlebihan terhadap sumber daya alam tanpa memperhatikan dampak yang ditimbulkan terhadap lingkungan ternyata
bertentangan dengan budaya masyarakat setempat. Secara khusus budaya
2.1.3. Sejarah Perkembangan Corporate Social Responsibility CSR di Indonesia
14
A. B. Susanto, Reputation-Driven Corporate Social Responsibility Pendekatan Strategic Management dalam CSR, Jakarta : Erlangga, 2009, hal. 2-3, 5.
19
masyarakat lokal ini oleh pakar antropologi dipopulerkan dengan konsep kearifan lokal atau kearifan tradisional. Keberadaan kearifan lokal menunjukkan
masyarakat Indonesia di semua lingkungan atau daerah memiliki sikap yang cukup arif dalam rangka pelestarian lingkungan.
15
Kesadaran akan keadaan tersebut selanjutnya mengakibatkan dorongan pada pelaku usaha untuk lebih memperhatikan tujuan dan kepentingan yang berkaitan
dengan pemeliharaan lingkungan dan kesejahteraan masyarakat setempat. Perhatian ini dimaksudkan untuk menggantikan peluang dan kebebasan
melakukan aktivitas ekonomi yang hilang akibat kehadiran perusahaan tersebut. Oleh karena itu pada pihak perusahaan selanjutnya muncul perilaku kemurahan
Oleh karena itu, masyarakat setempat senantiasa melakukan respon atau umpan balik berupa protes atas kerusakan lingkungan yang terjadi akibat perilaku
pelaku usaha. Mereka menuntut perusahaan agar memberikan perhatian yang baik dan berkesinambungan atas pemeliharaan lingkungan.
Menghadapi protes masyarakat atas kerusakan lingkungan sebagai dampak aktivitas ekonomi pelaku usaha, maka pada proses selanjutnya antara masyarakat
setempat dan pelaku usaha terlibat musyawarah. Kadangkala musyawarah itu melibatkan pemerintah lokal dalam suatu masalah yang ada. Dalam pertemuan
yang terjadi ada kalanya pelaku usaha menyadari bahwa selain telah mengakibatkan kerusakan atas lingkungan, praktik ekonomi mereka ternyata juga
telah menghilangkan peluang masyarakat setempat dalam melakukan aktivitas pelaku usaha. Padahal selama ini mereka dengan bebas melakukan aktivitas
ekonomi tanpa gangguan dan pembatasan dari pihak manapun.
15
Matias Siagian Agus Suriadi, Op. Cit. hal. 22-23.
20
hati atau kedermawanan sosial. Masing-masing perusahaan memiliki cara-cara tersendiri dalam memberikan khidmat atau manfaat atas kehadiran perusahaan
milik mereka bagi masyarakat setempat. Aktivitas yang didorong oleh kemurahan hati atau kedermawanan sosial inilah yang kemudian berkembang menjadi
tanggung jawab sosial perusahaan. Dengan demikian tanggung jawab sosial perusahaan sesungguhnya telah
dilaksanakan pelaku usaha di Indonesia sejak lama. Banyak istilah yang digunakan untuk menanamkan aktivitas sosial tersebut, seperti “bakti sosial
oerusahaan”, “kontribusi sosial perusahaan”, atau pengembangan masyarakat oleh perusahaan. Semua aktivitas yang menggunakan berbagai istilah tersebut
dilaksanakan sebagai perwujudan kemurahan hati sosial perusahaan bagi masyarakat setempat.
Dalam banyak kasus, seperti kasus CSR PT Freeport Indonesia merupakan salah satu kasus yang menunjukkan kurangnya tanggung jawab perusahaan
kepada masyarakat yang telah terkena dampak akibat eksploitas pertambangan yang dilakukan. Selain itu kasus PT. Newmont Minahasa Raya yang sampai saat
ini masih belum terselesaikan yang mengungkapkan bahwa PT. Newmont belum memiliki ijin permanen pembuangan limbah di Teluk Buyat, Kabupaten Minahasa,
Sulawesi Utara. Sementara PT. Newmont hanya memiliki ijin penempatan bagian akhir tailing di dasar teluk. Oleh sebab itu aktivitas ekonomi menjadi
perwujudan kemurahan hati sosial perusahaan itu muncul sebagai hasil musyawarah antara perusahaan dengan masyarakat setempat atau atas kesadaran
sendiri dari pelaku usaha atas pentingnya meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat. Pada perkembangan selanjutnya, asas-asas belas kasihan sosial
21
perusahaan berkembang dan dikenal dengan istilah tanggung jawab sosial perusahaan.
2.1.4. Corporate Social Responsibility CSR dan Perusahaan