2.4.2. Kebijakan Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial
Undang-undang no. 2 tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial telah diberlakukan pada bulan April tahun 2004. UU ini
ditetapkan sebagai dasar hukum baru setelah UU N0. 22 tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan dan UU No. 12 tahun 1964 tentang
Pemutusan Hubungan Kerja di Perusahaan Swasta dianggap sudah tidak sesuai denga kebutuhan masyarakat. UU lama dianggap oleh berbagai pihak terlalu
didominasi pemerintah dalam hubungan industrial sehingga tidak sesuai bagi Indonesia yang semakin demokratis dan terdesentralisasi. Disamping itu UU baru
ini dilatar belakangi era industrialisasi yang ditandai dengan semakin kompleksnya masalah perselisihan hak, kepentingan, pemutusan hubungan kerja
dan perselisihan antar serikat pekerja serikat buruh dalam satu perusahaan. Ada banyak kontroversi panjang seputar UU No. 2 tahun 2004 ini. Kedua
belah pihak yaitu pihak pengusaha dan pihak buruh sama-sama keberatan dengan argumen yang berbeda. Pihak pengusaha merasa diberatkan dengan berbagai
kewajiban seperti pesangon untuk pekerja yang mengundurkan diri, proses PHK, uang pisah, pelanggaran berat, upah buruh mogok yang harus tetap dibayar dan
juga dalam hal mempekerjakan tenaga kerja perempuan. Sementara pihak buruh yang diwakili oleh Komite Anti Penindasan Buruh KAPB merasa UU ini tidak
berpihak pada buruh dan masih bernuansa legalisasi perbudakan modern. Menurut Ketua Asosiasi Serikat Pekerja Indonesia Saepul Tavip dalam Kompas
ada beberapa alasan yang mendasari KAPB tidak sepakat dengan UU No. 2 tahun 2004, diantaranya secara substansi perlindungan terhadap buruh masih rendah.
Di satu sisi, kebijakan dibutuhkan sebagai elemen perlindungan bagi pekerja. Namun, di sisi lain kebijakan yang berlebihan dan protektif dapat
mengurangi daya serap pasar kerja. Pada akhirnya hal tersebut justru akan berdampak negatif bagi pekerja.
2.4.3. Kebijakan Penyediaan Lapangan Kerja
Pemerintah telah berupaya melakukan penanganan semakin meningkatnya tingkat penganguran. Penanganan dilakukan baik melalui: i Program Jaring
Pengaman Sosial JPS, ii program penanggulangan pengangguran akut, iii program penanggulangan pengangguran baru dan iv program penanggulangan
pengangguran marjinal Depnakertrans dan BPPS, 1999. Namun terkesan upaya- upaya tersebut hanya mampu mengalihkan tenaga kerja berlebih ke sektor-sektor
padat karya dalam rangka memanfaatkan sumberdaya yang ada. Dengan demikian, kebijakan penyediaan lapangan kerja yang telah diberlakukan hanya
bersifat jangka pendek Hadi, 2002. Disamping itu untuk menciptakan lapangan kerja, yang utama dibutuhkan
adalah pertumbuhan ekonomi. Dengan prediksi pertumbuhan ekonomi yang jauh dari target maka adalah tepat jika pemerintah merasa perlu memikirkan strategi
pertumbuhan melalui iklim usaha yang kondusif berupa pembenahan peraturan di pasar kerja dan bidang lainnya. Pengalaman masa lalu dimana sejumlah investor
asing PT. Doson dan megaindustri elektronik Sony menutup usahanya di Indonesia jelas telah berakibat hilangnya sebahagian lapangan pekerjaan.