maupun melalui perrtumbuhan ekonomi yang mendorong tumbuhnya unit-unit ekonomi besar.
5.2. Kebijakan Terkait Pasar Tenaga Kerja di Era Otda
5.2.1. Kebijakan Fiskal
Kebijakan fiskal yang dianalisis dalam penelitian ini dibatasi pada pengeluaran pembangunan untuk infrastruktur. Pembatasan fokus analisis
disebabkan pentingnya infrastruktur sebagai modal publik dalam memberikan hasil dalam bentuk jasa yang bernilai dimasa depan sementara perhatian
pemerintah dalam menyediakan infrastruktur relatif kurang. Setelah krisis ekonomi tahun 19971998, pemerintah lebih menfokuskan pada permasalahan
menjaga stabilitas nilai tukar rupiah dan ekonomi secara keseluruhan, mencegah pelarian modal, menanggulangi hutang luar negeri serta menstabilkan kembali
kondis politik sosial sehingga perhatian pada penyediaan infrastruktur khususnya di wilayah di luar jawa sangat kurang Tambunan, 2006.
Permasalahan umum infrastruktur di Indonesia ISEI, 2005 dalam Tambunan, 2006: 1 menurunnya belanja untuk infrastruktur karena salah
satunya akibat keterbatasan dana, 2 rendahnya kinerja infrastruktur, 3 rendahnya tingkat recovery infrastruktur, 4 kesenjangan pembangunan
infrastruktur antar wilayah, 5 kesenjangan aksesibilitas infrastruktur, dan 6 inefisiensi penyediaan infrastruktur. Nilai rasio pengeluaran pembangunan untuk
infrastruktur terhadap PDB Indonesia setelah diterapkannya kebijakan otda rata- rata bernilai kurang dari 2 persen Siregar dan Nely, 2005. Dengan nilai tersebut
Indonesia, Kamboja dan Filipina berada dalam jajaran negara dengan nilai rasio
terendah di antara negara-negara berkembang lainnya Winoto, 2005 dalam Tambunan 2006.
Memasuki era otda, ada kecenderungan pengeluaran pemerintah daerah untuk infrastruktur meningkat sementara pengeluaran pemerintah pusat untuk
infrastruktur mengalami penurunan. Akibatnya secara nasional, rasio pengeluaran untuk infrastruktur dan PDB turun dari 3.8 persen tahun 1994 menjadi 0.8 persen
tahun 2002. Gambaran nyata sebagai contoh, jalan raya masih terbatas, hanya 1 kilometer per 1000 penduduk, dan hampir 50 persen dalam kondisi buruk
terutama di tingkat kabupaten Bank Indonesia, 2006. Kondisi ini akan mempengaruhi kelancaran bisnis karena efisiensi waktu yang rendah dan biaya
transportasi yang tinggi. Infrastruktur yang buruk, baik yang terkait dengan masalah transportasi, energi, maupun pengairan, dapat memicu gangguan
distribusi dan produksi. Dengan prospek sisi permintaan yang membaik, keterbatasan sisi pasokan akan mengakibatkan pemanasan ekonomi overheating
yang memicu gejolak harga. Hal yang membuat optimis adalah pemerintah telah menyadari bahwa
infrastruktur Indonesia sangat tidak memadai dan telah menjadi kendala dalam kegiatan investasi infrastruktur. Komitmen pemerintah telah terlihat pada butir
penting dalam program 100 hari pemerintah untuk mengakselerasi pembangunan infrastruktur. Disamping itu pemerintah telah melakukan revisi 11 Peraturan
Pemerintah PP dan 3 Peraturan Presiden yang terkait dengan infrastruktur yang mencerminkan bahwa perbaikan infrastruktur adalah hal mendasar yang segera
perlu dilaksanakan.
5.2.2. Kebijakan Moneter