10
1 Bagaimana pola kepemilikan dan penguasaan tanah pada pulau-pulau di wilayah Kepulauan Batam?
2 Bagaimana Pelaksanaan penggunaan tanah pada pulau-pulau di wilayah Kepulauan Batam?
3 Apakah ada perlindungan hukum terhadap kepemilikan dan penguasaan tanah di pulau-pulau di wilayah Kepulauan Batam tersebut?
Dengan demikian penelitian ini benar-benar asli,baik dari segi substansi maupun dari segi permasalahan.Sehingga dengan demikian penelitian inibukan hasil
ciplakan dari penelitian atau penulisan orang lain dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
F. Kerangka Teori dan Konsepsi
1. Kerangka Teori
Dalam setiap penelitian harus disertai dengan pemikiran-pemikiran teoritis, teori adalah suatu penjelasan yang berupaya untuk menyederhanakan pemahaman
mengenai suatu fenomena atau teori merupakan simpulan dari rangkaian berbagai fenomena menjadi sebuah penjelasan.
6
Kerangka teori merupakan landasan dari teori atau
dukungan teori
dalam membangun
atau memperkuat
kebenaran dari
permasalahan yang dianalisis. Kerangka teori dimaksud adalah kerangka pemikiran
6
Mukti Fajar ND dan Yulianto Achmad, 2010, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, hlm.134.
Universitas Sumatera Utara
11
atau butir-butir pendapat, teori, tesis, sebagai pegangan baik disetujui atau tidak disetujui.
7
Adapun teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori Friedrich von Savigny dari mazhab sejarah.Menurut von Savigny bahwa hukum merupakan
pencerminan dari jiwa bangsa volksgeist. Jiwa semangat bangsa menjelma dalam bahasa, adat kebiasaan, susunan ketatanegaraan, dan hukum bangsa itu. Mazhab ini
menolak pengagungan terhadap akal rasio manusia. Hukum tidak dibuat, melainkan diteruskan dalam masyarakat. Hukum hanyalah cerminan dari volkgeist. Oleh karena
itu, hukum adat yang tumbuh dan berkembang dalam rahim volkgeist, harus dipandang sebagai hukum kehidupan sejati.
8
Selanjutnya menurut Savigny, hukum timbul bukan karena perintah penguasa, tetapi karena perasaan keadilan yang terletak di dalam jiwa bangsa Volkgeist itu
menjadi sumber hukum. Ia juga mengingatkan bahwa untuk membangun hukum, studi terhadap sejarah suatu bangsa mutlak perlu dilakukan.
9
Kemudian di lain pihak, Puchta salah seorang murid von Savigny menguatkan pendapat tersebut dengan menyatakan:
Hukum berasaskan pada keyakinan bangsa, baik menurut isinya maupun menurut ikatan materiilnya. Artinya, hukum timbul dan berlaku karena terikat
pada jiwa bangsa. Timbulnya hal itu dalam tiga bentuk. Hukum timbul dari jiwa bangsa secara langsung dalam pelaksanaannya dalam adat istiadatorang-
orang, secara tidak langsung hukum timbul dari jiwa bangsa dari undang-
7
M.Solly Lubis,1994,Filsafat Ilmu dan Penelitian, Mandar Maju,Bandung, hlm.80.
8
Ishaq, 2009, Dasar-Dasar Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, hlm.202.
9
Lili Rasjidi, 1996, Dasar-Dasar Filsafat Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm.69.
Universitas Sumatera Utara
12
undang yang dibentuk oleh negara dan melalui ilmu pengetahuan hukum yang merupakan karya ahli hukum.
10
Sebagaimana dikutip oleh Ishaq, W. Freidmann menjelaskan bahwa pokok- pokok ajaran mazhab sejarah yang diuraikan Savigny dan beberapa pengikutnya
dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Hukum ditemukan, tidak dibuat. Ada pandangan yang pesimistis tentang
pandangan manusia. Pertumbuhan hukum pada dasarnya adalah proses yang tidak disadari dan organis, oleh karena itu perundang-undangan adalah kurang
penting dengan adat kebiasaan. 2. Karena hukum berkembang dari hubungan hukum yang mudah dipahami
dalam masyarakat primitif ke hukum yang lebih kompleks dalam peradaban modern. Kesadaran umum tidak dapat lebih lama lagi menonjolkan dirinya
secara langsung, tetapi disajikan oleh para ahli hukum, yang merumuskan prinsip-prinsip hukum secara teknis. Ahli hukum tetap merupakan suatu organ
kesadaran umum, terikat pada tugas untuk memberi bentuk pada apa yang ia temukan sebagai bahan mentah perundang-undangan menyusul pada tingkat
akhir. Oleh karena itu, ahli hukum sebagai badang pembuat undang-undang relatif lebih penting dari pada pembuat undang-undang itu sendiri.
3. Undang-undang tidak berlaku atau dapat diterapkan secara universal. Setiap masyarakat mengembangkan hukum kebiasaannya sendiri, karena mempunyai
bahasa, adat istiadat dan konstitusi yang khas. Savigny menekankan bahwa bahasa dan hukum adalah sejajar. Juga tidak dapat diterapkan pada
masyarakat dan daerah lain. Volksgeist dapat dilihat dalam hukumnya, oleh karena itu sangat penting untuk mengikuti evolusi Volksgeist melalui
penelitian hukum sepanjang sejarah.
11
Sejalan dengan apa yang disampaikan diatas, pada tanggal 24 September 1960, Indonesia telah berhasil mewujudkan cita-citanya, yaitudengan mengahapuskan
hukum agraria kolonial dan menggantikannya dengan hukum agraria nasional yang berlandaskan kepada Pasal 33 ayat 3 Undang-Undang Dasar 1945 UUD 1945,
10
Ishaq,log.cit.
11
Ibid, hlm.203.
Universitas Sumatera Utara
13
yaituUndang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria UUPA.
Dengan demikian kesatuan hukum agraria telah tercapai secara nasional yang mana
ketentuan yang berlaku atasnya didasarkan pada hukum adat, yang berarti hukum adat menduduki posisi yang sentral didalam hukum agraria nasional. Hal
tersebut dapat kita lihat pada rumusan Pasal 5 UUPA yang berbunyi: “Hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum
adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara, berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta dengan
peraturan-peraturan yang tercantum dalam undang-undang ini dan dengan peraturan-peraturan lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan unsur-
unsur yang bersandar pada hukum agama.”
Selain sebagai sumber utama dalam pembentukan hukum agraria nasional, hukum adat berfungsi sebagai pelengkap. Hal tersebut untuk mengatasi agar tidak
terjadi kekosongan hukum. Berfungsinya hukum adat sebagai pelengkap hukum tanah nasional yang tertulis, artinya jika sesuatu soal belum atau belum lengkap
mendapat pengaturan dalam hukum tanah yang tertulis maka yang berlaku terhadapnya adalah ketentuan hukum adat.
Sebagaimana yang dinyatakan dalam Pasal 58 UUPA, bahwa “selama peraturan-peraturan pelaksanaan undang-undang ini belumterbentuk, maka peraturan-
peraturan baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis mengenai bumi dan air serta kekayaan alam yang terkandung didalamnya dan hak-hak atas tanah, yang ada pada
mulai berlakunya undang-undang ini tetap berlaku...,”
Universitas Sumatera Utara
14
Dengan lahirnya UUPA maka telah melahirkan beberapa ketentuan yang mengatur hubungan antara negara dengan masyarakat bangsa Indonesia atas bumi,
air, dan ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya sebagaimana yang tercantum dalam penjelasan umum UUPA sebagai berikut:
1. Meletakkan dasar-dasar bagi penyusunan hukum agraria Nasional yang akan
merupakan alat untuk membawa kemakmuran, kebahagiaan dan keadilan bagi Negara dan rakyat, terutama rakyat tani dalam rangka masyarakat adil dan
makmur. 2.
Meletakkan dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan dan kesadaran dalam hukum pertanahan.
3. Meletakkan dasar-dasar untuk memberikan kepastian hukum mengenai hak-hak
atas tanah bagi rakyat seluruhnya. Selanjutnyakembali kepada pokok pembahasan dalam tesis ini. Sebagai
hukum agraria nasional, di dalam UUPA tidak ada ditemukan pengaturan yang mengatur secara eksplisit tegas terkaitmengenai tanah timbul. Namun demikian,
secara implisit tidak tegas sebagaimana termuat dalam Pasal 2 ayat 1 UUPA yang menyatakan “Atas dasar ketentuan dalam Pasal 33 ayat 3 Undang-Undang Dasardan
hal-hal sebagai yang dimaksud dalam Pasal 1, bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh
Negara....”. Berdasarkan Surat Edaran Menteri Negara AgrariaKepala Badan Pertanahan
Nasional Nomor 410-1293 tentang Penertipan Status Tanah Timbul dan Tanah
Universitas Sumatera Utara
15
Reklamasi, tanah timbul adalah merupakan tanah yang dikuasai langsung oleh negara. Sebagaimana termuat dalam angka 3 Surat Edaran Menteri Negara
AgrariaKepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 410-1293 tersebut, yang menyatakan bahwa:
“Tanah-tanah timbul secara alami seperti delta, tanah pantai, tepi danausitu, endapan tepi sungai, pulau timbul dan tanah timbul secara alami lainnya
dinyatakan sebagai tanah yang langsung dikuasai oleh negara. Selanjutnya penguasaanpe-milikan serta penggunaannya diatur oleh Menteri Negara
AgrariaKepala Badan
Pertanahan Nasional
sesuai dengan
peraturan perundangan yang berlaku”.
Selanjutnya pernyataan tanah timbul sebagai tanah yang dikuasai langsung oleh negara juga dapat lihat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2004
tentang Penatagunaan Tanah. Dimana dalam Pasal 12 Peraturan Pemerintah ini dinyatakan bahwa: “Tanah yang berasal dari tanah timbul atau hasil reklamasi di
wilayah perairan pantai, pasang surut, rawa, danau, dan bekas sungai dikuasai langsung oleh negara”
Berkaitan dengan hal di atas, UUPA memberi pengertian bahwa dikuasai bukanlah berarti dimiliki, akan tetapi adalah pengertian memberi kewenangan kepada
negara, sebagai organisasi kekuasaan dari bangsa Indonesia itu, untuk tingkatan tertinggi:
12
a. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan
pemeliharaannya;
12
Penjelasan Umum angka II, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.
Universitas Sumatera Utara
16
b. Menentukan dan mengatur hak-hak yang dapat dipunyai atas bagian dari bumi,
air, dan ruang angkasa itu; c.
Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi,air dan ruang angkasa.
Dengan demikian, berdasarkan Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 juncto Pasal 4 ayat 1 dan 2 UUPA, dapat disimpulkan bahwa Bumi, air, dan kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya di kuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat,atas dasar hak menguasai dari negara sebagaimana dimaksud
maka ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi, yang disebut tanah dalam hal ini termasuk tanah timbul, hak-hak tanah yang dimaksud adalah
memberi wewenang untuk mempergunakan tanah yang bersangkutan. Adapun macam-macam hak-hak atas tanah tersebut dapat dilihat dalam Pasal
16 ayat 1 UUPA, yaitu sebagai berikut: a. Hak milik
b. Hak guna usaha c. Hak guna bangunan
d. Hak pakai e. Hak sewa,
f. Hak membuka tanah, g. Hak memungut hasil hutan,
h. Hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut diatas yang akan
ditetapkan dengan undang-undang, serta hak-hak yang sifatnya sementara sebagai yang disebutkan dalam Pasal 53.
Sejalan dengan urain pasal di atas, dapatlah diketahui bahwa tanah-tanah yang tidak dilekati dengan suatu hak, yakni hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan,
hak pakai atas tanah negara, hak pengelolaan, serta tanah ulayat dan wakaf adalah
Universitas Sumatera Utara
17
tanah merupakan tanah negara.Menurut Herman Hermitsebagaimana dikutip Sunahan Yosua,bahwa tanah negara dapat dibedakan menjadi 2 dua jenis, yaitu tanah negara
bebas dan tanah negara tidak bebas. Tanah negara bebas adalah tanah negara yang langsung di bawah penguasaan negara, yang mana diatas tanah tersebut tidak ada
satupun hak yang dipunyai oleh pihak lain selain negara. Sedangkan tanah negara tidak bebas adalah tanah negara yang diatasnya sudah ditumpangi oleh suatu hak
punya pihak lain.
13
Kemudian dapat dilihat adanya batasan terhadap kebebasan masyarakat dalam menguasai dan memanfaatkan tanah. Dimana penguasaannya dibatasi oleh hak
menguasai oleh negara, sedangkan pemanfaatannya dibatasi oleh kewenangan negara yang
mengatur dan
menyelenggarakan peruntukan
dan penggunaan
tanah tersebut.Sehingga dengan dasar pemikiran ini dapat dipahami bahwa setiap warga
negara Republik Indonesia dalam menggunakan dan memamfaatkan tanah haruslah berdasarkan ketentuan atau peraturan hukum yang berlaku sebagai landasan yuridis,
sehingga tidak menyimpang dan melanggar hukum. Lalusejauh mana Negara mengakui dan menghormati hak-hak penguasaan
dan kepemikan atas tanah termasuk tanah timbul yang lahir berdasarkan kebiasaan masyarakat hukum adat yang mana secara tegasdalam Pasal 5 UUPA menyatakan
bahwa “...Hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat...”,
yang mana
selanjutnyadalamPasal 56
UUPA tersebut,menyatakan
13
Sunahan Yosua, 2010, Hak Atas Tanah Timbul aanslibbing Dalam Sistem Hukum Pertanahan Indonesia, hlm.54.
Universitas Sumatera Utara
18
bahwaapabila “...undang-undang mengenai hak milik sebagai tersebut dalam Pasal 50 ayat 1 belum terbentuk, maka yang berlaku adalah ketentuan-ketentuan hukum adat
setempat dan peraturan-peraturan lainnya mengenai hak-hak atas tanah yang memberi wewenang sebagaimana atau mirip dengan yang dimaksud dalam Pasal 20...”Karena
sebagaimana telah disebutkan pada uraian sebelumnya, bahwa secara eksplisit tegas di dalam UUPAtidak ada ditemukan aturan yang mengatur tentang tanah timbul
aanslibbing. Hal
ini merupakan permasalahanyang dapat
memicu konflik antara
masyarakat dengan pemerintah. Karena pada kenyataannya pangkal permasalahan yang selalu muncul adalah pelaksanaan hak menguasai negara tersebut. Dimana
disatu pihak yaitu pemerintah sebagai pengemban tugas yang diberikan negara, menyatakan bahwa semua tanah yang berada di Negara Kesatuan Republik Indonesia
yang tidak dilekati dengan suatu hak diatasnya dengan salah satu macam hak hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai atas tanah negara sebagaimana
yang telah ditentukan dalam Pasal 16 UUPA, adalah merupakan tanah yang dikuasai langsung oleh Negarayang berlandaskan kepada Pasal 33 ayat 3 UUD 1945.
Sementara itu di lain pihak masyarakat yang berada dalam suatu wilayah, yang merupakan bagian dari keluruhan rakyat Indonesia yang turut serta memberikan
kuasa kepada negara untuk mengatur pemilikan tanah dan memimpin penggunaan semua tanah di seluruh wilayah Indonesia, merasakan bahwa hak atas tanahnya telah
diingkari oleh negara yang secara langsung pelaksanaannya dijalankan oleh pemerintah selaku pengemban tugas yang diberikan negara.
Universitas Sumatera Utara
19
Pengingkaran hak ini dirasakan oleh masyarakat khususnya masyarakat tani yang berekonomi lemah karena minimnyapelaksanaan ataupun pengakuan terhadap
hak-hak persekutuan ulayat masyarakat maupun hak perseorangan individu atas tanah yang lahir berdasarkan ketentuan hukum yang hidup dalam masyarakat itu
sendiri. Selain itu masyarakat juga merasa bahwa berbagai kebijakan dan peraturan
perundang-undanganyang dikeluarkan oleh pemerintah pada kenyataannya tidak melindungi hak-hak mereka atas tanah, bahkan berbagai kebijakan itu dinilai sebagai
rekayasa hukum yang lebih berpihak kepada investor. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya kasus sengketa pertanahan ditanah air, dimana masyarakat tani menggugat
kekuasaan negara yang tidak diketahui batasannya. Hal ini merupakan persoalan hukum yang harus benar-benar diperhatikan,
karena yang namanya hak ulayat maupun hak perseorangan harusdiakui dan dihormati sebagaimana ketentuan yang berlaku dalamperaturan perundang-undangan
di Negara Republik Indonesia. Berbagai peraturan sebagai dimaksud antara lain adalah sebagai berikut:
a. Terhadap hak ulayat masyarakat
1. Undang-Undang Dasar 1945, yaitu pada Pasal 18B ayat 2 UUD 1945 yang menyatakan bahwa “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan
masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan
Republik Indonesia...”
Universitas Sumatera Utara
20
2. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960, tentang Peraturan Dasar Pokok Agraria, yang merupakan payung hukum bagi hukum adat dan hak ulayat,
sebagaimana terlihat dalam konsiderannya “Berpendapat” huruf a bahwa “...perlu adanya hukum agraria nasional yang berdasarkan atas hukum adat
tentang tanah,...dengan tidak mengabaikan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama.” Selanjutnya di dalam Pasal 5 UUPA tersebut ditegaskan
bahwa “hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat,...”
3. Peraturan Menteri Negara AgrariaKepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999, tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat
Masyarakat Hukum Adat, yang mana dalam Pasal 2 ayat 1 Peraturan Menteri Negara AgrariaKepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun
1999 tersebut dinyatakan bahwa “pelaksanaan hak ulayat sepanjang pada kenyataannya masih ada dilakukan oleh masyarakat hukum adat yang
bersangkutan menurut ketentuan hukum adat setempat.” b.
Terhadap hak perorangan individu 1. Undang-Undang Dasar 1945, yaitu pada Pasal 28H ayat 4 UUD 1945
tersebut yang menyatakan bahwa “Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang oleh
siapapun.” 2. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, yaitu
pada Pasal 36 yang menyatakan sebagai berikut:
Universitas Sumatera Utara
21
a. Setiap orang berhak mempunyai hak milik, baik sendiri maupun bersama- sama dengan orang lain demi perkembangan dirinya, bangsa dan
masyarakat dengan cara yang tidak melanggar hukum. b. Tidak boleh seorangpun dirampas miliknya dengan sewenang-wenang dan
secara melawan hukum. c. Hak milik mempunyai fungsi sosial. Hak asasi manusia merupakan hak
dasar yang secara kodrati melekat pada diri manusia, bersifat universal dan langgeng, oleh karena itu harus dilindungi, dihormati, dipertahankan dan
tidak boleh diabaikan, dikurangi atau dirampas oleh siapapun. Ini berarti bahwa, setiap orang mengemban kewajiban untuk mengakui dan
menghormati hak asasi orang lain. Kewajiban ini juga berlaku bagi negara dan pemerintah untuk menghormati, mengakui, melindungi, membela dan
menjamin hak asai manusia rakyatnya tanpa adanya diskriminasi.
3. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960, tentang Peraturan Dasar Pokok Agraria, yaitu pada Pasal 9 ayat 1 dan 2 yang menyatakan bahwa “...warga
negara Indonesia dapat mempunyai hubungan yang sepenuhnya dengan bumi, air, dan ruang angkasa” selanjut pada ayat 2 dinyatakan bahwa “ ... baik
laki-laki maupun
wanita mempunyai
kesempatan yang
sama untuk
memperoleh sesuatu hak atas tanah untuk mendapat hasilnya baik bagi diri sendiri maupun keluarganya.” Hak atas tanah yang dimaksud adalah hak
sebagaimana disebut pada Pasal 16 UUPA ini. Maka dengan adanya hak seseorang sebagaimana tersebut dalam Pasal 16, berarti telah dilindungi dan
diakui oleh hukum Indonesia. Dengan demikian, mengacu pada teori Carl von Savigny maka penerapan
prinsip mengakui, menghormati, dan melindungi hak masyarakat hukum adat dan keanekaragamannya sebagai suatu hukum yang hidup living law dalam masyarakat
Indonesia, haruslah diterapkan dalam pelaksanaannya. Karena pengingkaran sesutu
Universitas Sumatera Utara
22
yang tumbuh atau yang hidup dalam masyarakat akan dapat berakibat hilangnya unsur kebangsaan dalamnegara itu sendiri.
Sebagaimana Ida Nurlinda berpendapat bahwa keanekaragaman hukum sebagai wujud dari pluralisme hukum harus dijadikan sebagai unsur yang akan
memperkuat bentuk sistem hukum nasional itu, dan bukan untuk dipertentangkan, karna penyangkalan keberadaan hukum adat sebagai sistem hukum tanah selain
sistem hukum tanah nasional, hanya akan menambah jumlah konflik pertanahan yang melibatkan masyarakat hukum adat.
14
Dari permasalahan yang telah disebutkan, tesis ini berusaha mengkaji secara mendalam berbagai hal yang berkaitan dengan masalah penguasaan atas tanah
khususnya penguasaan tanah timbul pada obyek penelitian di Kecamatan Rengat, Kabupaten Indragiri Hulu, Provinsi Riau.
Memahami hukum yang berlaku dalam suatu masyarakat tidaklah mungkin dapat dilakukan tanpa pemahaman terhadap struktur dari masyarakat itu sendiri,
sebagaimana menurut Muhammad dalam Ida Nurlinda bahwa struktur masyarakat menentukan sistem hukum yang berlaku pada masyarakat.
15
Sehingga dapat disimpulkan bahwa dalam memahami segala hubungan hukum dan peristiwa hukum
yang terjadi dilingkungan masyarakat, hendaknya terlebih dahulu dilakukan pemahaman terhadap struktur hukum masyarakat itu sendiri.
14
Ida Nurlinda, 2009, Prinsip-Prinsip Pembaruan Agraria, Perspektif Hukum, Rajawali Pers, Jakarta, hlm.122
15
Ibid. hlm.42.
Universitas Sumatera Utara
23
2. Konsepsi