6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Gambaran Umum Wilayah
Kepulauan Seribu berada di posisi geografis antara 106
o
20 00 BT hingga 106
o
57 00 BT dan 5
o
10 00 LS hingga 5
o
57 00 LS, terdiri dari 105 gugus pulau yang terbentang vertikal dari Teluk Jakarta hingga ke utara
yang berujung di Pulau Sebira yang berjarak kurang lebih 150 km dari pantai Jakarta Utara. Secara administratif Kepulauan Seribu berada dalam wilayah
Propinsi DKI Jakarta. Wilayah adminstrasi Kabupaten Administratif Kepulauan Seribu memiliki luas daratan mencapai 897,71 ha dan luas perairan
mencapai 6.997,50 km
2
Suharsono et al., 2010. Kabupaten administrasi Kepulauan Seribu dibagi menjadi dua
kecamatan, yakni Kecamatan Kepulauan Seribu Utara dan Kecamatan Kepulauan Seribu Selatan. Selain itu Kepulauan seribu dibagi menjadi 6
kelurahan, yakni: Kelurahan Kelapa, Kelurahan Harapan, Kelurahan Untung Jawa, Kelurahan Tidung, Kelurahan Pari, Kelurahan Panggang. Pulau Air
merupakan salah satu gugusan pulau yang terletak di Kecamatan Kepulauan Seribu Utara, Kelurahan Panggang Iqbal, 2013.
Kontur di Pulau Air memiliki kedalaman dari 0-25 m. Berdasarkan kontur batimetri di wilayah perairan Pulau Air sesuai untuk kegiatan wisata
snorkeling dan diving baik untuk pemula maupun berpengalaman, karena kondisi kedalaman dan tubir yang landai. Wilayah perairan dangkal ke tubir
cukup jauh dan tipe pertumbuhan karangnya adalah karang tepi atau fringing reef sehingga memungkinkan Pulau Air cukup terlindung Iqbal, 2013.
2.2. Biologi
Acanthaster planci 2.2.1. Taksonomi dan Morfologi
Acanthaster planci pertama kali diperkenalkan oleh Rumphius pada tahun 1705 yang menyebutkan terdapat bintang laut yang termasuk dalam
genus Acanthaster. Nama binomial diberikan oleh Linneaus diberikan pada tahun 1758. A. planci tersebar luas di kawasan Indo Pasifik Barat, mulai dari
pantai timur Benua Afrika sampai ke Hawaii sebelah barat dan mulai dari Okinawa di Jepang selatan sampai ke perairan sebelah utara Selandia Baru
Aziz, 1995. Klasifikasi dari A. planci menurut Birkeland dan Lucas 1990 adalah sebagai berikut: Kingdom: Animalia, Phylum: Echinodermata, Class:
Asteroidea, Ordo: Spinolisida, Family: Acanthasteridae, Genus: Acanthaster dan Species: A. planci.
A. planci berukuran relatif besar, diameternya mencapai 60-70 cm, memiliki perut yang lebih besar dibandingkan bintang laut pada umumnya,
dan memiliki banyak duri tajam pada permukaan tubuhnya dengan panjang mencapai 5-6 cm yang dilengkapi oleh jaringan yang mengandung seyawa
beracun Reichelt et al., 1990. A. planci mempunyai sejumlah lengan, biasanya sekitar 15-23 buah. Berbagai organ tubuh, alat pencernaan, gonad
kantung benih, susunan saraf, dan lainnya terdapat pada setiap lengan Fraser et al., 2003.
Permukaan tubuh bagian bawah A. planci, terdapat sebuah mulut yang besar dan sederetan kaki tabung yang tersusun sebagai suatu alur pada
masing-masing lengan. Permukaan tubuh bagian atas A. planci terdapat sejumlah susunan atau struktur yang hanya bisa terlihat dengan pengamatan
yang seksama, seperti sebuah anus, yang terletak dekat dengan tubuh bagian tengah disk, sejumlah tonjolan kecil keras yang terletak di sekitar tubuh
bagian luar madreporites dan sejumlah pasangan duri tubuh berbentuk seperti jepitan kecil yang digunakan untuk membersihkan permukaan tubuh
bagian atas pedicellaria Fraser et al., 2003. Morfologi A. planci tersaji pada Gambar 1.
Gambar 1. Morfologi A. planci: Bagian aboral dan oral A dan B Fraser et
al., 2003; A. planci di Sulawesi Tenggara C Syahnilawati et al., 2013; dan A. planci di Wakatobi D Rani et al., 2011
Bagian ujung lengan-lengan terdapat struktur-struktur yang sangat sensitif berwarna merah muda cerah. Ini adalah sensor yang selalu bergerak
untuk mendeteksi adanya sinyal-sinyal kimiawi di air. Warna tubuh A. planci bervariasi mulai dari kelabu hingga biru, ungu, dan merah.
Kemampuan regenerasi A. planci terbatas. Individu-individu yang rusak
A B
C D
Lengan Duri
Anus Mulut
Kaki Tabung
akan beregenerasi dan tubuh yang terbelah dua tepat di bagian tengah akan bisa bertahan hidup Fraser et al., 2003.
A. planci memiliki warna yang bermacam-macam tergantung pada lokasi mereka berada. A. planci ditemukan di Thailand memiliki warna
merah dan abu-abu. Warna yang sama juga banyak ditemukan di Great Barrier Reef Australia. A. planci berwarna hijau dan merah di Hawaii.
Warna tubuh A. planci di Indonesia umumnya abu-abu, ungu, hijau, dan biru Suharsono, 1991.
2.2.2. Reproduksi dan Siklus Hidup
A. planci dibedakan menjadi hewan jantan dan betina. Fertilisasi dilakukan secara eksternal dengan rasio 1:1 untuk gamet jantan dan gamet
betina. A planci dewasa dengan ukuran 0,5-4 kg dapat menghasilkan telur sebanyak 4-65 juta Suharsono, 1991. A. planci memulai pemijahannya
dengan merangkak sampai di bagian puncak karang, seperti bagian atas karang bercabang, kemudian dari sana telur dan sperma akan dilepaskan ke
dalam air melalui lubang-lubang pores pada permukaan bagian atas lengan-lengan mereka Gambar 2 Fraser et al., 2003.
Ada sekitar 10 juta telur-telur yang kecil diameter 1,2 mm yang bisa dilepaskan oleh seekor induk betina besar ke dalam kolom air. Adapun
sperma yang dilepaskan oleh jantan akan berenang menuju telur-telur tersebut Fraser et al., 2003. Lamanya pelepasan telur dan sperma adalah 30
menit dengan ukuran telur rata-rata 0,2 mm dan sperma 0,5 mm. Penelitian menyebutkan bahwa pada saat A. planci melakukan pemijahan, mereka
melepaskan sejenis hormon yang disebut feromon. Hormon ini merangsang A. planci yang berdekatan untuk melepaskan gonadnya Suharsono, 1991.
Gambar 2. A. planci saat mengeluarkan gonad Hoey, 2004
Setiap telur yang telah dimasuki oleh sebuah sperma, maka membran telur akan membesar menjauhi yolk kuning telur untuk mencegah
masuknya sperma yang lain. Telur-telur yang telah dibuahi akan menjadi larva planktonik sehingga akan terbawa oleh arus jauh dari tempatnya
dipijah, atau seringkali sampai pada permukaan terumbu karang, atau justru terbawa ke laut terbuka menjauhi terumbu karang Fraser et al., 2003. Fase
planktonik dibedakan menjadi fase perubahan gamet menjadi blastula, gastrula, selanjutnya yaitu bipinaria yang biasanya berumur 4-5 hari
sedangkan pada umur 6-12 hari bipinaria berubah menjadi brachiolaria yang akan mulai melekat pada suatu substrat dan mengalami metamorfosa
menjadi A. planci muda Suharsono, 1991.
Periode planktonis dari A. planci berlangsung sekitar dua minggu. Periode planktonis larva brachiolaria diakhiri dengan berkembangnya lima
lengan melalui metamofosis dan menempel di dasar terumbu. Metamorfosis tersebut terjadi setelah hari ke -12 Olson, 1985. Setelah tujuh bulan, A.
planci akan membesar sampai sekitar berdiameter 10 mm dan mulai menambahkan lengan sampai organisme ini mencapai ukuran dewasa
Fraser et al., 2003. Bintang laut ini akan menjadi individu dewasa setelah mencapai diameter tubuh sekitar 200 mm dengan jumlah lengan sekitar 17
buah Lucas, 1987. Pertumbuhan A. planci sangat cepat karena dapat mencapai sekitar 5 cm pada tahun pertama, 20 cm pada tahun kedua, dan 30
cm setelah kira-kira mencapai umur dua tahun Fraser et al., 2003.
Gambar 3. Siklus hidup A. planci Birkeland dan Lucas, 1990
Waktu pemijahan bintang laut ini tergantung pada letak geografis di mana organisme ini tinggal. Misalnya di belahan bumi utara, musim
memijah terjadi pada bulan Mei-Juli, sedangkan di belahan bumi selatan, pemijahan terjadi antara bulan November-Januari. Belum diketahui secara
pasti periode memijah pada daerah khatulistiwa khususnya Indonesia Suharsono, 1991.
2.2.3. Habitat dan Perilaku
A. planci cenderung untuk hidup pada habitat yang cukup terlindung, yaitu daerah yang bintang laut ini tidak dapat dengan mudah terhempaskan
atau terlempar keluar dari karang termpatnya menempel akibat gelombang yang kuat. Alasan inilah yang menyebabkan bintang laut ini cenderung
untuk menghindari daerah perairan terbuka atau perairan yang dangkal, sehingga terumbu karang pada daerah tersebut seringkali luput dari
pemangsaannya Moran, 1986. Bintang laut dewasa aktif mencari makan pada siang dan malam hari,
sedangkan anakan bintang laut ini hanya makan pada waktu malam hari untuk menghindari predator. Cara makan bintang laut ini cukup unik, yaitu
dengan mengeluarkan isi perutnya melalui mulut dan kemudian akan menutupi permukaan koloni karang sehingga pencernaan terjadi di luar
tubuh. Pada proses pencernaan makanan, bintang laut ini mengeluarkan suatu enzim dari pyloric caeca yang berfungsi sebagai pemecah lemak.
Proses ini membutuhkan waktu antara 4 –6 jam Suharsono, 1991. Akibat
proses tersebut memakan waktu yang cukup lama, maka A. planci umumnya makan hanya satu atau dua kali dalam sehari Frasser et al., 2003
Makanan utama bintang laut ini adalah karang keras namun A.planci juga dapat memangsa beberapa jenis organisme bentik lainnya, tergantung
dari faktor ketersediaan makanan Moran, 1986. Makanan bintang laut ini berbeda-beda, tergantung tingkat kedewasaan dan ukuran tubuh dari biota
tersebut. Pada fase larva makanan bintang laut ini adalah fitoplankton diatom dan dinoflagellata Suharsono, 1991 sedangkan pada fase dewasa
makanan utamanya adalah karang keras Moran, 1990.
Gambar 4. A. planci di atas karang dengan bentuk pertumbuhan tabular
Hoey, 2004 Bentuk pertumbuhan karang juga turut mempengaruhi preferensi
makanan dari bintang laut ini, bentuk pertumbuhan yang paling disukai pada semua genera karang adalah tabular Gambar 4 dan yang kurang disukai
adalah bentuk pertumbuhan masif. Hasil penelitian yang dilakukan di Great Barrier Reef, Australia, genera karang keras yang paling disukai untuk
dimangsa oleh A. planci adalah dari genera Acropora dan yang paling tidak disukai adalah genera Porites
De’ath dan Moran, 1998.
2.2.4. Predator Acanthaster planci
Seluruh permukaan tubuh bintang laut ini dilindungi duri-duri beracun yang jika diamati sepintas tidak mungkin ada yang memangsanya. Namun,
sejak berbentuk telur hingga dewasa A. planci tidak pernah luput dari incaran predator Suharsono, 1991. Kepiting karang dan beberapa jenis ikan
diketahui memangsa A. planci juvenil. Ada beberapa jenis ikan seperti ikan kerapu, ikan trigger dan ikan napoleon yang pernah diamati memakan A.
planci dewasa. Ikan-ikan ini menghindari duri tubuh yang beracun dengan cara membalikan A.planci sehingga bagian bawah menghadap atas dan
mudah dimangsa. Triton raksasa Charonia tritonis Gambar 5 dan udang warna Hymeno cerapicta juga merupakan predator A. planci Fraser et al.,
2003.
Gambar 5. Salah satu predator A. planci yaitu Charonia tritonis Hoey, 2004
2.3. Biologi Terumbu Karang
2.3.1. Morfologi
Karang adalah hewan yang termasuk dalam filum Cnidaria atau Coelenterata. Tidak seperti hewan Cnidaria lainnya, karang mengalami fase
medusa yang sangat singkat dan hidup sebagai polip. Polip-polip tersebut
membentuk rangka kalsium karbonat sehingga membentuk suatu kesatuan yang disebut terumbu karang. Terumbu karang tersusun atas kalsium
karbonat CaCO
3
dalam jumlah yang sangat banyak. Terumbu karang adalah struktur di dasar laut berupa deposit kalsium karbonat di laut yang
dihasilkan terutama oleh hewan karang Castro dan Huber, 2007. Satu individu karang atau disebut polip karang memiliki ukuran yang
bervariasi mulai dari yang sangat kecil 1 mm hingga yang sangat besar yaitu lebih dari 50 cm. Umumnya polip karang berukuran kecil, ukuran besar
dijumpai pada karang yang soliter. Karang mendapatkan makanan untuk dirinya memilki cara yang unik, karang juga menangkap zooplankton
dengan tentakel dan mengantarkannya ke mulut karang dan mencerna materi organik luar dengan filamen messenterial tubuhnya Castro dan Huber,
2007.
Gambar 6. Morfologi terumbu karang Castro dan Huber, 2003
Zooxanthellae merupakan istilah umum yang dipakai untuk menggambarkan mikroalga yang hidup bersimbiosis dengan hewan di dalam
polip karang. Zooxanthellae termasuk dalam kelas Dinoflagellata dengan nama genus Symbiodinium dan yang bersimbiosis dengan karang adalah
Symbiondium midroadriaticum. Selain memiliki klorofil clade a, b dan c, zooxanthellae juga memiliki pigmen diadinoxanthine dan piridin yang
berguna dalam fotosintesis. Mereka umumnya berwarna cokelat atau merah kecokelatan sehingga umumnya karang terlihat berwarna cokelat, ini sangat
tergantung pada variasi intensitas cahaya matahari yang masuk kedalam kolom air Lewis dan Cffroth, 2004.
Simbiosis yang terjadi antara karang dengan zooxanthellae adalah simbiosis mutualisme. Polip karang juga mensuplai zooxanthellae dengan CO
2
sebagai hasil dari produk respirasi, yang berguna bagi zooxanthellae dalam proses fotosintesis Tomascik et al., 1997. Keuntungan paling penting dari
simbiosis antara karang dan zooxanthellae bagi karang adalah dalam proses klasifikasi, sebagai proses perkembangan struktur skeleton karang Pearse dan
Muscatine, 1971 dan Muscatine et al., 1972 dalam Tomascik et al., 1997.
2.3.2. Faktor Pembatas
Ekosistem terumbu karang merupakan ekosistem yang melibatkan faktor-faktor abiotik di dalamnya. Faktor lingkungan merupakan faktor
pembatas bagi pertumbuhan karang. Faktor-faktor pembatas bagi kehidupan, distribusi, dan stabilitas ekosistem terumbu karang adalah cahaya matahari,
suhu perairan, salinitas, kecerahan atau kejernihan air, keadaan arus, dan endapan Nybakken dan Mark, 2005.
Faktor-faktor tersebut saling berkaitan dan memiliki perannya masing-masing terhadap terumbu karang maupun biota lain yang menghuni
ekosistem terumbu karang. Faktor-faktor tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
a. Cahaya
Karang sangat memerlukan penetrasi cahaya dikarenakan alga simbionnya, yaitu zooxanthellae sangat bergantung pada cahaya matahari
untuk melakukan fotosintesis Castro dan Huber, 2003. Cahaya berkaitan erat dengan kedalaman yang menentukan kecerahan suatu perairan.
Terumbu karang tidak dapat berkembang di perairan yang kedalamannya lebih dari 50-70 m dan kebanyakan terumbu karang tumbuh di perairan
yang kedalamannya kurang dari 25 m. Tanpa penetrasi cahaya yang cukup, fotosintesis zooxanthellae akan berkurang bersamaan dengan
berkurangnya kemampuan karang dalam mensekresikan CaCO
3
Nybakken dan Mark, 2005.
b. Suhu