Analisis Sistem Immunitas Tubuh Pada Jaringan Hemopoetik Pasien Penderita Kanker Serviks Terhadap Dosis Penyinaran Radioterapi

(1)

DAFTAR PUSTAKA

Anonim 2010. Pemeriksaan Lab Hematologi.

A. Setyawan, H.M. Djakaria, 2013. Efek Dasar Radiasi pada Jaringan. Radioterapi dan Onkologi Indonesia.Vol 5(1) Jan. 2014:25-33.

Ayisetia Budy, 2009. Komposisi Darah.

Baratawidjaja, Karnen, Garna. 2006. Imunologi Dasar. Edisi 7. FKUI. Jakarta. Universitas Indonesia. Jakarta.

Campbell, A. Neil, Jane B. Reecee & Mitchel Lawrence G.2002. Biologi Jilid 3 Edisi Erlangga.

Donny Satriyo, 2014. Kumpulan Artikel Kedokteran Terlengkap. 1-10.

Gando Soebrata, R. 2010. Penuntun Laboratorium Klinik. Edisi Keenambelas. Jakarta: Dian Rakyat Hoffbrand, A.V. 2012. Kapita Selekta.

Guyton, Arthur C. 1995. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 7. Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Pearce, Evelyn C. 2005. Anatomi dan Fisiologi untuk Paramedis. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Prayetni, 1997, Asuhan Keperawatan Ibu dengan Gangguan Sistem Reproduksi Pusdiknakes, Jakarta.

Purwoastuti, Endang, 2008. Kanker Payudara: Deteksi Dini dan Pencegahan. Kanisius. Yogyakarta.

Rahmat. R. 2006. Efek Radioterapi Terhadap Jumlah Leukosit dan Kadar Hemoglobin pada Penderita Karsinoma Nasofarings. Skripsi. Universitas Diponegoro Semarang.

Rini, L.M. 2009. Analisis Faktor Pencetus Cancer Cervix. Skripsi. Universitas Indonesia.

R. Susworo, 2007. Dasar-dasar Radioterapi.

Slonane, Ethel. 2003. Anatomi dan Fisiologi. EGC, Jakarta.

Stewart, C.C. and Perez, C. Aeffectof Irradiation on Immune Response. Radiology 118:201-210.1976.

Suhartono.1990.Teknik Radioterapi.

Sulistyani, Konsep Dasar Interaksi Radiasi terhadap Materi.


(2)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Tempat Penelitian

Penelitian dilaksanakan di Rumah Sakit Murni Teguh Memorial Medan.

.

3.2 Materi dan Bahan Penelitian

Penelitian dilakukan dengan mengumpulkan data rekam medik pasien radioterapi, jumlah sampel pasien sebanyak 25 orang pasien penderita Kanker Serviks. Penelitian dilakukan dengan mengamati hasil laboratorium darah khususnya sel darah putih atau Leukosit dan bagian-bagiannya yaitu neutrofil, eosinofil, basofil, monosit dan limfosit. Selama berlangsungnya proses pemberian dosis radiasi radioterapi sampai masa penyinaran yang telah ditentukan selesai. Kriteria meliputi: Pasien berusia kurang dari 70 tahun, Pasien tidak menderita tumor atau Kanker lain, Pasien belum pernah melakukan Radioterapi. Data rekam medik pasien lengkap meliputi anamnessa pasien dan diagnosa klinis dokter sebelum menjalani penyinaran. Pasien melakukan pemeriksaan darah minimal 3 kali yaitu 1 kali sebelum penyinaran dan 2 kali setelah penyinaran. Kriteria eksklusif meliputi: Pasien menolak melanjutkan radioterapi dan pasien meninggal. 3.3 Alat Penelitian

Alat yang digunakan pada penelitian ini adalah: Pesawat radioterapi LINAC (Linear Accelerator)

Type : Multy synergi dengan MLC Treatment Unit : Synergi

Radiation Type : Photon

Energy : 10 MV Merk : Electa

Lokasi/Tempat : Rumah Sakit Murni Teguh Memorial Medan Pengambilan Data : di Ruang : 1. Radioterapi


(3)

Gambar 3.1 LINAC Multy Synergi Rumah Sakit Umum Murni Teguh Memorial Medan


(4)

3.4 Diagram Penelitian

Gambar 3.3 Diagram Alir Penelitian di Rumah Sakit Umum Murni Teguh Medan

Gambar diagram ini menjelaskan tahapan-tahapan yang akan dilaksanakan oleh penulis untuk dapat melaksanakan penelitian di Rumah Sakit Umum Murni Teguh Medan.

Selesai

Start

Rekam Medik / Data Lab, Histopatologi


(5)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Analisis Data Jaringan Hemopoetik Terhadap Dosis Penyinaran Radioterapi Dari hasil pengambilan data yang telah dilakukan di Rumah Sakit Umum

Murni Teguh Medan Bagian Radioterapi, maka diperoleh data pasien sebanyak 7 orang yang memenuhi metode pengamatan.

4.2 Tabel dan Grafik Data Hubungan Jaringan Hemopoetik terhadap Dosis Penyinaran Radioterapi

Tabel 4.1 Nilai Normal Leukosit (Maxwell M. Wintrobe, 1974)

No. Usia Nilai Normal Leukosit

1. Bayi Baru Lahir 9.000-30.000/mm3 2. BayiAnak 9.000-12.000/mm3 3. Dewasa 4.000-10.000/mm3

Tabel 4.2 Hubungan Jumlah Leukosit Terhadap Dosis Radioterapi

Pasien Jumlah Fraksinasi (Kali)

Jumlah Sel Leukosit (10^3/L) Sebelum Fraksinasi

(10^3/L)

Sesudah Fraksinasi (10^3/L)

A 25 11,26 2,76

B 26 9,62 3,22

C 28 11,43 10,64

D 28 12,45 6,49

E 28 15,06 2,8

F 33 11,87 3,70


(6)

Gambar 4.1 Grafik Hubungan Jumlah Leukosit Terhadap Dosis Radioterapi

Dari Grafik 4.1 memperlihatkan penurunan jumlah leukosit yaitu 0,79% sampai 12,26% pada pasien C jumlah sel leukosit sebelum fraksinasi pada angka 11,43%, dan setelah dilakukan fraksinasi ke 28 kali turun menjadi 10,64%. Penurunan singkat ini memperlihatkan sedang terjadi proses awal terjadinya infeksi pada tubuh pasien dan pada fraksinasi yang dilakukan pada pasien E terjadi penurunan dari sebelum fraksinasi jumlah leukosit 15,6% menjadi 2,8%, hal ini menunjukkan jika infeksi cukup kuat untuk sistem immunitas tubuh. Tubuh akan melemah bahkan bisa menyebabkan kematian. Penurunan jumlah sel leukosit juga merupakan respon terhadap suatu penyakit dan diagnosa dapat ditegakkan jika jumlah bersifat menetap.

Sel leukosit mengalami penurunan jumlah kurang dari nilai normal, dalam istilah medis disebut Leukopenia. Adapun gejala yang ditimbulkan adalah demam, adanya ulkus di mulut, sering pingsan, anemia, gangguan keseimbangan emosi, menstruasi berkepanjangan. Sedangkan jika jumlah sel leukosit meningkat atau tinggi disebut Leukositosis dengan gejala yaitu: Demam, lelah, kehilangan berat badan drastis, rasa sakit pada tulang, mudah berdarah.

11.26 9.62 11.43 12.45 15.06 11.87 15.01 2.75 3.22 10.64 6.49 2.8 3.7 3.62 0 2 4 6 8 10 12 14 16

25 26 28 28 28 33 33

Ju m la h L e u k o si t (1 0 ^ 3 /L) Jumlah Fraksinasi Sebelum Sesudah Jumlah Fraksinasi (Kali)


(7)

Tabel 4.3 Nilai Normal Hitung jenis Leukosit (Maxwell M Wintrobe, 1947)

No. Jenis Nilai Normal Hitung Jenis

1. Basofil 0-1% (absolut 20 - 100 sel/mm3) 2. Eosinofil 1-3% (absolut 50 - 3.000 sel/mm3) 3. Netrofil: - Batang

- Segmen

3-5% (absolut 150 - 500 sel/mm3) 50-70% (absolut 2.500 - 7.000 sel/mm3) 4. Limfosit 25-35% (absolut 1.750 - 3.500 sel/mm3) 5. Monosit 4-6% (absolut 200 - 600 sel/mm3) Tabel 4.4 Hubungan Hitung Jenis Leukosit (Eosinofil) terhadap Dosis Radioterapi

Pasien Jumlah Fraksinasi (Kali)

Jumlah Sel Eosinofil (%) Sebelum Fraksinasi

(Sel/mm3)

Sesudah Fraksinasi (Sel/mm3)

A 25 6,5 2,7

B 26 4,2 1,1

C 28 3,4 2,2

D 28 0,6 0,2

E 28 1,9 1,5

F 33 2,9 0,4

G 33 3,1 0,7

Gambar 4.2 Grafik Hubungan Leukosit (Eosinofil) terhadap Dosis Radioterapi 6.5

4.2

3.4

0.6

1.9

2.9 3.1 2.7

1.1

2.2

0.2

1.5

0.4 0.7 0 1 2 3 4 5 6 7 8

25 26 28 28 28 33 33

Ju m la h E o si n o fi l (% ) Jumlah Fraksinasi Sebelum Sesudah Jumlah Fraksinasi (Kali)


(8)

Dari gambar Grafik 4.2 dapat dianalisa setelah dilaksanakan fraksinasi terjadi penurunan jumlah Eosinofil sebanyak 0,4%-3,8%. Sebelum dan sesudah fraksinasi yang ke 28 kali terjadi penurunan singkat itu pertanda awal terjadinya infeksi dan pada fraksinasi ke 25 kali jumlah leukosit yang awalnya 6,5% turun sebesar 2,7%. Penurunan ini pertanda terjadinya peradangan yang disebabkan oleh infeksi bakteri dan jamur.

Pada data juga dapat diperlihatkan bahwa sebelum dan sesudah fraksinasi, pasien yang awalnya memiliki jumlah sel Eosinofil dalam batas normal turun dari nilai normal. Jumlah Eosinofil kurang dari nilai normal, dalam istilah medis disebut Eosinopenia dengan gejala yaitu: Berat badan naik, otot melemah, muka membundar, edema pada kaki, tanda merah pada kulit bagian paha, bokong dan perut, depresi serta periode menstruasi yang tidak teratur. Hal ini disebabkan terjadinya peradangan yang disebabkan oleh infeksi bakteri dan jamur. Penurunan jumlah Eosinofil merupakan respon terhadap suatu penyakit dan diagnosa dapat ditegakkan jika jumlah bersifat menetap.

Pada data juga diketahui bahwa pada pasien yang memiliki jumlah sel Eosinofil di atas nilai normal, dalam istilah medis disebut Eosinofilia juga mengalami penurunan jumlah sel tetapi masih dalam nilai normal. Gejala-gejala dari Eosinofilia adalah penurunan berat badan, kelelahan menyeluruh, nyeri dada, sakit perut, ruam kulit, linglung, dan koma.

Tabel 4.5 Hubungan Hitung Jenis Leukosit (Basofil) terhadap Dosis Radioterapi

Pasien Jumlah Fraksinasi (Kali)

Jumlah Sel Basofil (%) Sebelum Fraksinasi

(Sel/mm3)

Sesudah Fraksinasi (Sel/mm3)

A 25 2,1 0,6

B 26 2,4 0,3

C 28 0,6 0,3

D 28 0,7 0,4

E 28 0,4 0,2

F 33 0,8 0,6


(9)

Gambar 4.3 Grafik Jumlah Hitung Jenis Leukosit (Basofil) terhadap Dosis Radioterapi

Dari gambar Grafik 4.3 memperlihatkan jumlah hitung jenis leukosit (Basofil) menurun yaitu 0,2% sampai 2,1%. Jika dinilai dari batas normal sel Basofil jumlah pada grafik sesudah fraksinasi berada pada nilai normal. Pada awal sebelum fraksinasi terjadi pada data ada terdapat nilai hitung jenis leukosit Basofil berada di atas nilai normal. Dalam istilah medis disebut Basofilia. Hal ini terjadi karena adanya reaksi antigen–antibodi Basofil akan melepaskan histamin dari granulanya. Sedang jika jumlah sel Basofil kurang dari nilai normal pun dapat menimbulkan gangguan sistem immunitas tubuh seperti pada gejala Hipersensitivitas yaitu ketidaknyamanan, alergi, bintul-bintul merah pada kulit, anemia dan stres.

Tabel 4.6 Hubungan Jumlah Hitung Jenis Leukosit (Neutrofil) terhadap Dosis Penyinaran Radioterapi

Pasien Jumlah Fraksinasi (Kali)

Jumlah Sel Neutrofil (%) Sebelum Fraksinasi

(Sel/mm3)

Sesudah Fraksinasi (Sel/mm3)

A 25 68,4 79,8

B 26 60,5 78,4

C 28 79,2 85,8

D 28 80,1 84,0

E 28 81,6 73,3

F 33 70,0 84,4

G 33 63,4 72,7

2.1 2.4 0.6 0.7 0.4 0.8 1.2 0.6

0.3 0.3

0.4

0.2

0.6 0.7

0 1 2 3 4

25 26 28 28 28 33 33

Ju m la h B a so fi l (% ) Jumlah Fraksinasi Sebelum Sesudah Jumlah Fraksinasi (Kali)


(10)

Gambar 4.4 Grafik Hubungan Jumlah Hitung Jenis Leukosit (Neutrofil) terhadap Dosis Penyinaran Radioterapi

Dari gambar Grafik 4.4 memperlihatkan pada hitung jenis leukosit (Neutrofil) sesudah dilaksanakan fraksinasi terdapat penurunan dan peningkatan jumlah sel Neutrofil. Penurunan jumlah sel Neutrofil sebanyak 8,3% dan peningkatan jumlah sel Neutrofil sebanyak 3,9%-17,8%.

Penurunan singkat jumlah sel Neutrofil menunjukkan terjadinya infeksi awal peradangan, sedangkan peningkatan jumlah sel Neutrofil umumnya disebabkan karena terjadinya infeksi bakteri.

Dalam istilah medis penurunan jumlah sel Neutrofil dari jumlah normal disebut Neutrofenia umumnya mempunyai gejala: demam, nyeri disekitar mulut. Dan peningkatan jumlah sel Neutrofil dari jumlah normal dalam istilah medis disebut Netrofilia dengan gejala adanya infeksi akut.

68.4

60.5

79.2 80.1

81.6

70 63.4

79.8 78.4

85.8

84

73.3 84.4

72.7 0 20 40 60 80 100

25 26 28 28 28 33 33

Ju m la h N e u tr o fi l (% ) Jumlah Fraksinasi Sebelum Sesudah Jumlah Fraksinasi (Kali)


(11)

Tabel 4.7 Hubungan Jumlah Jenis Leukosit (Limfosit) terhadap Dosis Penyinaran Radioterapi

Pasien Jumlah Fraksinasi (Kali)

Jumlah Sel Limfosit (%) Sebelum Fraksinasi

(Sel/mm3)

Sesudah Fraksinasi (Sel/mm3)

A 25 18,0 9,7

B 26 27,9 12,8

C 28 13,4 7,6

D 28 12,0 8,1

E 28 10,3 13,2

F 33 18,9 4,9

G 33 27,5 16,9

Gambar 4.5 Grafik Hubungan Jumlah Hitung Jenis Leukosit (Limfosit) terhadap Dosis Penyinaran Radioterapi

18.0

27.9

13.4

12.0 10.3

18.9 27.5 9.7 12.8 7.6 8.1 13.2 4.9 16.9 0 5 10 15 20 25 30 35

28 33 26 28 33 28 25

Ju m la h L im fo si t (%) Jumlah Fraksinasi Sebelum Sesudah


(12)

Dari gambar Grafik 4.5 memperlihatkan pada hitung jenis leukosit (Limfosit) sesudah dilaksanakan fraksinasi terdapat peningkatan jumlah sel Limfosit sebesar 2,9% dan penurunan jumlah sel Limfosit sebesar 3,9%-15,1%. Peningkatan dan penurunan jumlah sel pada data Limfosit pada Tabel 4.7 sesudah dilaksanakan fraksinasi jumlahnya masih tetap di bawah nilai normal hitung jenis Limfosit.

Peningkatan jumlah sel Limfosit menunjukkan pada tubuh sedang terjadi infeksi virus, istilah medis untuk jumlah Limfosit tinggi dari nilai normal hitung jenis Limfosit disebut Limfositosis. Gejala yang dialami tubuh adalah: Adanya kenaikan suhu tubuh, nafsu makan menurun dan sakit kepala.

Pada penurunan jumlah Limfosit dari nilai batas normal dalam istilah medis disebut Limfositopenia menunjukkan kemampuan tubuh untuk melawan infeksi terganggu yang mengakibatkan tubuh rentan infeksi. Gejala yang dialami tubuh adalah demam.

Tabel 4.8 Hubungan Jumlah Jenis Leukosit (Monosit) terhadap Dosis Radioterapi

Pasien Jumlah Fraksinasi (Kali)

Jumlah Sel Leukosit (Sel/mm3) Sebelum Fraksinasi

(Sel/mm3)

Sesudah Fraksinasi (Sel/mm3)

A 25 5,0 7,2

B 26 5,0 7,4

C 28 3,4 4,1

D 28 6,6 7,3

E 28 5,8 11,8

F 33 3,4 9,7


(13)

Gambar 4.6 Grafik Hubungan Jumlah Hitung Jenis Leukosit (Monosit) terhadap dosis Radioterapi

Dari gambar Grafik 4.6 memperlihatkan pada hitung jenis Leukosit (Monosit) sesudah mendapatkan fraksinasi mengalami peningkatan jumlah sel Monosit sebesr 0,7% - 6,3%. Hal ini merupakan tanda adanya infeksi virus yang sedang berlangsung di tubuh yang terjadi biasanya bersifat kronis seperti pada infeksi paru-paru dan kanker. Istilah medis untuk jumlah Monosit lebih dari jumlah normal disebut Monositosis. Sedangkan jika jumlah Monosit kurang dari jumlah normal istilah medis disebut Monositopenia, hal ini terjadi akibat kurangnya produksi Monosit yang kurang dari sumsum tulang seperti pada anemia aplastik. 5.0 5.0 3.4 6.6 5.8 3.4 4.8 7.2 7.4

4.1 7.3 11.8 9.7 9.0 0 2 4 6 8 10 12 14

28 33 26 28 33 28 25

Ju m la h Mo n o si t (% ) Jumlah Fraksinasi Sebelum Sesudah Jumlah Fraksinasi (Kali)


(14)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Dari data dan hasil penelitian Analisis Sistem Immunitas Tubuh Pada Jaringan Hemopoetik Pasien Penderita Kanker Serviks Terhadap Dosis Penyinaran Radioterapi dapat diperoleh kesimpulan sebagai berikut:

1. Pemberian radiasi radioterapi pada pasien penderita kanker serviks mempengaruhi sistem immunitas tubuh pasien penderita kanker serviks. Dimana pada sistem hemopoetik pasien penderita kanker serviks setelah penyinaran radioterapi mengalami penurunan ataupun peningkatan jumlah sel dari nilai normal dengan membandingkan jumlah nilai normal pada ketetapan teori Maxwell M. Wintrobe, 1947. Penurunan ataupun peningkatan jumlah sel adalah merupakan respon terhadap suatu penyakit dan diagnosa dapat ditegakkan jika jumlah bersifat menetap.

2. Nilai normal leukosit menurut teori Maxwell M. Wintrobe, 1947 adalah: a. Bayi baru lahir 9.000 – 30.000/mm3

b. Anak-anak 9.000 – 12.000/mm3 c. Dewasa 4.000 – 10.000/mm3

3. Nilai normal hitung jenis leukosit menurut teori Maxwell M. Wintrobe, 1947 adalah:

a. Basofil 0 – 1% (absolut 20 – 100 sel/mm3) b. Eosinofil 1 – 3% (absolut 50 – 3.000 sel/mm3) c. Neutrofil: Batang 3 – 5% (absolut 150 – 500 sel/mm3)

Segmen 50 – 70% (absolut 2.500 – 7.000 sel/mm3) d. Limfosit 25 – 35% (absolut 1.750 – 3.500 sel/mm3) e. Monosit 4 – 6% (absolut 200 – 600 sel/mm3)

4. Hasil penelitian menunjukkan sel Leukosit turun 0,79% - 12,26%, sel Eosinofil turun 0,4%-3,8%, sel Basofil turun 0,2%-2,1%. Pada sel Neutrofil terjadi variasiefek yaitu sel Neutrofil naik sebesar 3,9%-17,9% dan sel Neutrofil turun sebesar 8,3%. Pada sel Limfosit juga memperlihatkan variasi efek yaitu jumlah sel Limfosit turun 3,9%-15,1% dan jumlah sel naik sebesar 2,9%. Pada sel Monosit jumlah sel memperlihatkan naik sebesar 0,7%-6,3%.


(15)

5.2 Saran

Sebaiknya untuk menjaga kelangsungan pengobatan terapi radiasi pada penderita kanker serviks berjalan stabil, baik dan berhasil pemeriksaan laboratorium atau pengecekan darah dilaksanakan sekali setelah terjadi fraksinasi sebanyak lima kali dan tetap berlangsung sampai jadwal fraksinasi yang sudah terjadwal selesai sesuai jumlah dosis yang telah ditentukan.


(16)

BAB II DASAR TEORI

2.1 Sistem Immunitas Tubuh

Sistem Immun adalah sistem pertahanan manusia sebagai perlindungan terhadap infeksi dari makromolekul asing atau serangan organisme, termasuk virus, bakteri, protozoa dan parasit. Sistem immunitas tubuh atau sistem kekebalan tubuh adalah sistem perlindungan dari pengaruh luar biologis yang dilakukan oleh sel dan organ khusus pada suatu organisme sehingga tidak mudah terkena penyakit. Jika sistem immun bekerja dengan benar, sistem ini akan melindungi

tubuh terhadap infeksi bakteri dan virus serta menghancurkan sel kanker dan zat asing lain dalam tubuh. Sebaliknya jika sistem immun melemah maka

kemampuannya untuk melindungi tubuh juga berkurang (Pearce, Evelin C. 2005). Fungsi sistem immun untuk Penangkal “benda” asing yang masuk ke dalam tubuh, untuk keseimbangan fungsi tubuh terutama menjaga keseimbangan komponen tubuh yang telah tua dan sebagai pendeteksi adanya sel-sel abnormal, termutasi atau ganas serta menghancurkannya. Sistem Immun tidak dapat dibentuk dalam waktu yang singkat. Respon Immun tubuh alamiah terhadap serangan pathogen baru akan muncul dalam waktu 24 jam. Kebanyakan pathogen yang ada di sekitar kita sulit masuk ke dalam tubuh akibat adanya mekanisme pertahanan tubuh secara alami (Campbell, dkk, 2002).

Terdapat empat mekanisme pertahanan tubuh alami terhadap pathogen yang akan masuk ke dalam tubuh yaitu: pertahanan fisik, mekanik, kimia dan biologi. Pertahanan fisik merupakan kulit memberikan penghalang fisik bagi jalan masuknya pathogen ke dalam tubuh. Lapisan luar sel-sel kulit mati yang keras mengandung keratin dan sangat sedikit air sehingga pertumbuhan pathogen menjadi terhambat. Contoh zat yang menghambat pertumbuhan bakteri adalah: Air mata, Sebum, Mukus. Pertahanan Mekanik yaitu rambut hidung berfungsi sebagai filter udara yang melewati saluran hidung. Bakteri dan partikel lain yang terperangkap di mucus akan diserap keluar dari paru-paru oleh silia. Pertahanan Kimia seperti air mata, mucus, saliva dan keringat semuanya mengandung zat kimia yang menghambat pertumbuhan mikroorganisme. Biasanya ditemukan


(17)

enzim lisozim di antara mereka. Lisozim mengkatalis hidrolisis molekul dinding sel bakteri. Selain itu ada asam hidroklorik yang terdapat pada cairan lambung membunuh sebagian besar mikroorganisme yang masuk ke lambung. Adapun Pertahanan Biologi di dalam terdapat populasi bakteri tidak berbahaya yang hidup di kulit dan membrane mukosa yang menghambat pertumbuhan banyak bakteri pathogen. Mereka melindungi kita dengan cara berkompetisi dengan bakteri pathogen dalam mendapatkan nutrien. Dalam sumsum tulang terdapat 5 jenis darah putih yaitu: Basofil, Eosinofil, Neutrofil, Limfosit dan Monosit (Ayisetia Budy, 2009).

2.2 Jaringan Hemopoetik

Jaringan merupakan sekolompok sel dengan asal embriologi yang sama yang membawa fungsi khusus tertentu. Sel dalam jaringan memiliki sistem organisasi spesifik. Jaringan hemopoetik adalah jaringan yang mempengaruhi pembentukan sel darah pada sumsum tulang (Pearce, Evelin C, 2005).

Radiasi yang mengenai sumsum tulang akan menyebabkan depresi jumlah sel darah karena destruksi sel punca hemopoetik dan sel progenitor yang sangat sensitif radiasi. Dengan meningkatnya dosis radiasi yang diabsorbsi semakin banyak sel punca dan sel prekusor hemopoetik yang mati dan

semakin sedikit atau bahkan tidak ada lagi pembentukan sel matur fungsional (A. Setyawan, H.M. Djakaria, 2013).

Darah merupakan bagian penting dalam sistem sirkulasi tubuh. Darah terdiri atas dua bagian yaitu bagian cair (plasma darah) dan sel darah. Sel darah meliputi: Eritrosit, Leukosit dan Trombosit. Menurut (Campbell, dkk, 2002) bahwa sel darah putih atau Leukosit berfungsi sebagai Sistem Immunitas Tubuh yaitu untuk melindungi tubuh terhadap invasi benda asing seperti bakteri dan virus.


(18)

Tempat pembentukan sel darah putih ada pada sumsum merah tulang pipih, limpa dan kelenjar getah bening. Semua sel darah putih memiliki masa hidup antara enam hingga delapan hari. Umumnya sel darah putih berukuran lebih besar dari sel darah merah. Bentuknya anmeboid (tidak beraturan) dan tidak berwarna. Eritrosit bersama haemoglobin berfungsi dalam oksigenasi jaringan dan produksi Hb, Trombosit berfungsi dalam mekanisme pembekuan darah. Hemoglobin merupakan sejenis protein pengikat dan pembawa oksigen.

Dalam leukosit terdiri dari beberapa sel yaitu: Basofil, Eosinofil, Neutrofil, Limfosit dan Monosit.

Gambar 2.2 Jenis sel darah putih (Dikutip dari White Blood Cell J Function, Kempert P.H. University of Calivornia at Los Angeles, Mattel Children’s Hospital and UCLA Medical Center

Basofil dapat melepaskan senyawa kimia seperti histamin yaitu sebuah molekul protein dalam tubuh manusia dengan rumus kimia C5H9N3 sebagai bagian penting dari respon kekebalan tubuh manusia yang menyebabkan reaksi inflamasi yaitu pembengkakan. Eosinofil memiliki peranan dalam reaksi alergi. Neutrofil memiliki ciri nucleus berlobus dan merupakan sel darah putih terbesar berfungsi fagositosis yaitu menelan mikroorganisme dan sisa sel mati. Limfosit berfungsi membentuk antibodi yaitu sejenis protein yang berfungsi memerangi kuman penyakit (Terdiri dari 2 jenis sel yaitu Limfosit B dan Limfosit T. Limfosit B berfungsi sebagai antibodi yakni sistem pertahanan tubuh kita yang akan melindungi tubuh terhadap penyakit dan kuman yang berbeda dari protein tubuh kita yang dinamakan antigen. Limfosit T berfungsi sebagai mediated immun yaitu immunitas yang diperantarai sel dan melibatkan sel menyerang organisme asing.


(19)

Terdapat 3 jenis sel T yaitu: Sel T pembantu bertugas membantu atau mengontrol komponen respon immun spesifik lainnya. Mengaktivasi makrofag untuk segera bersiap memfagositosit pathogen dan sisa-sisa sel. Sel T Pembuluh bertugas menyerang sel tubuh yang terinfeksi dan sel-sel pathogen yang relatif besarsecara langsung. Sel T Supresor berfungsi untuk menurunkan dan menghentikan respon imun dimana mekanisme tersebut diperlukan ketika respon imun sudah mulai lebih dari yang diperlukan ketika respon immun sudah mulai lebih dari yang diperlukan atau ketika infeksi sudah mulai berhasil diatasi. Monosit akan berkembang menjadi makrofag yakni yang menelan dan mencerna patogen yang juga berfungsi fagositosis yaitu suatu proses yang digunakan oleh sel untuk menelan dan mencerna partikel nutrisi atau bakteri (Ayisetia Budy, 2009).

Leukosit adalah sel darah putih yang diproduksi oleh jaringan hemopoetik yang berfungsi untuk membantu tubuh melawan berbagai penyakit infeksi sebagai bagian dari sistem kekebalan tubuh.

Tabel 2.1 Nilai Normal Leukosit (Maxwell M Wintrobe, 1947)

No. Usia Nilai normal Leukosit

1. Bayi baru lahir 9.000-30.000/mm3

2. Bayi/Anak 9.000-12.000/mm3

3. Dewasa 4.000-10.000/mm3

Peningkatan jumlah leukosit disebut leukositosis menunjukkan adanya proses infeksi atau radang akut, misalnya pneumonia yaitu radang paru-paru, meningitis atau radang selaput otak, apendiksitis atau radang usus buntu, tuberculosis, tonsilitis. Penurunan jumlah leukosit disebut leukopenia dapat terjadi pada infeksi tertentu terutama virus, malaria, alkoholic dan lain-lain. Pada hitung jenis leukosit yang ada dalam darah berdasarkan proprsi (%) tiap jenis leukosit dari seluruh jumlah leukosit.

Tabel 2.2 Nilai Normal Hitung Jenis Leukosit (Maxwell M Wintrobe, 1947)

No. Jenis Nilai Normal Hitung Jenis

1. Basofil 0-1% (absolut 20 - 100 sel/mm3) 2. Eosinofil 1-3% (absolut 50 - 3.000 sel/mm3) 3. Netrofil: - Batang

- Segmen

3-5% (absolut 150 - 500 sel/mm3) 50-70% (absolut 2.500 - 7.000 sel/mm3) 4. Limfosit 25-35% (absolut 1.750 - 3.500 sel/mm3) 5. Monosit 4-6% (absolut 200 - 600 sel/mm3)


(20)

Salah satu jenis leukosit yang cukup besar yaitu dua kali besarnya eritrosit yaitu sel darah merah dan mampu bergerak aktif dalam pembuluh darah maupun di luar pembuluh darah. Neutrofil paling cepat bereaksi terhadap radang dan luka dibanding leukosit yang lain dan merupakan pertahanan selama fase infeksi akut. Peningkatan jumlah neutroil biasanya pada kasus infeksi akut, radang, kerusakan jaringan, apendiksitis akut atau radang usus buntu dan lain-lain. Penurunan jumlah neutrofil terdapat pada infeksi virus leukimia, anemia defisiensi besi dan lain-lain. 2.3 Kanker Serviks

2.3.1 Defenisi

Kanker Serviks adalah pertumbuhan sel-sel abnormal pada daerah batas antara epitel yang melapisi ektoserviks atau porsio dan endoserviks kanalis servikalis yang disebut squamo columnar junction (SCJ). Kanker serviks merupakan sel-sel kanker yang menyerang bagian squamosa columnar junction (SCJ) serviks. Kanker serviks atau kanker mulut rahim adalah kanker yang terjadi pada serviks uterus suatu daerah pada organ reproduksi wanita yang merupakan pintu masuk ke arah rahim. Kanker serviks merupakan karsinoma ginekologi yang terbanyak diderita (Danny Satriyo, 2014).

2.3.2.Epidemiologi

Kanker Serviks merupakan kanker pembunuh wanita nomor dua di dunia setelah kanker payudara. Setiap tahunnya terdapat kurang lebih 500 ribu kasus baru kanker serviks. Sebanyak 80% terjadi pada wanita yang ada di negara berkembang. Sedikitnya 231.000 wanita di seluruh dunia meninggal akibat kanker serviks. Menurut data Departemen Kesehatan RI tahun 2007 penyakit kanker serviks saat ini menempati urutan pertama daftar kanker yang diderita kaum wanita di Indonesia dan 70% kasus yang datang ke rumah sakit ditemukan dalam keadaan stadium lanjut. Penyebab utama terjadinya Kanker Serviks diduga kuat karena infeksi Virus Human Papiloma Virus (HPV). Kanker Serviks pada stadium awal tidak menimbulkan gejala apapun. Gejala baru timbul ketika sel-sel Kanker Serviks sudah menginvasi jaringan sekitarnya.

Di ilmu Onkologi (Sub-bidang medis yang mempelajari dan merawat Kanker), Serviks merupakan istilah medis untuk leher rahim (Rini, L.M, 2009). Leher rahim


(21)

Pada dasarnya organ leher rahim meliputi beberapa bagian yaitu ovarium, rahim, leher rahim dan vagina. Kanker Serviks memiliki masa pertumbuhan yang lambat. Dimulai sejak jaringan leher rahim terinfeksi virus, masa infeksi virus membutuhkan waktu 3 hingga 25 tahun untuk mengetahui pasien terinfeksi Kanker Serviks. Pasien akan didiagnosa dan dideteksi untuk mengetahui stadium Kanker Serviks yang dideritanya. Menurut data dari Internasional Federation of Gynaecology and Obstetrics (FIGO) pada tahun 2009, klasifikasi Kanker Serviks terdiri dari: Kanker Serviks stadium 0 (T is) disebut juga Karsinoma in situ yaitu sel-sel Kanker Serviks hanya ditemukan di lapisan terdalam leher rahim.

Kanker Serviks stadium 1 (T 1) Suatu tahap dimana sel Kanker hanya berada pada bagian organ leher rahim. Stadium 1 dibagi menjadi: Stadium 1a(T1a) tahap Kanker baru saja mulai tumbuh, ukuran sangat kecil dan bisa dilihat melalui pemeriksaan sel dengan mikroskop. Stadium 1a1(T1a1) adalah ketika sel Kanker invasi stroma dalamnya < 3 mm dan lebarnya < 7 mm. Stadium 1a2 (T1a2) adalah dimana sel Kanker invasi stroma 3-5mm dan lebarnya < 7 mm. Stadium 1b1 (T1b1) secara klinis lesi < 4 cm. Stadium 1b2 (T1b2) secara klinis lesi > 4 cm (Wiknyosastro, 1997). Metode pendeteksian Kanker Serviks adalah Pap smear dan Tes HPV. Pengobatan Kanker Serviks Stadium 1 dimana stadium 1A2 penderita harus menjalani proses radioterapi dan brachyterapy atau radiasi dalam sedang pada Kanker Serviks stadium 1B2 bisa dilakukan dengan kemoterapi, radioterapi dan brachyterapy.

Gambar 2.3 Klasifikasi Kanker Serviks menurut FIGO (Internasional Federation of Gynaecology and Obstetrics) pada tahun 2009


(22)

Kanker Serviks stadium 2 dimana proses keganasan telah keluar dari serviks dan menjalar 2/3 bagian atas vagina dan parametrium tetapi tidak sampai dinding panggul. Kanker Serviks stadium 2 dibagi menjadi 2 tingkat yaitu stadium 2A dan 2B yaitu Stadium 2A (T2a) dimana penyebaran hanya ke vagina parametrium masih bebas dari infiltrat tumor. Stadium 2b (T2b) yaitu penyebarannya Kanker ke parametrum (Wiknyosastro, 1997). Metode Pemeriksaan Kanker dengan Pap smear. Pengobatan Kanker Serviks Stadium 2 dapat dilakukan dengan terapi radiasi diantaranya dilakukan dengan menggunakan perlengkapan khusus yang akan menyebarkan sinar-X. Dengan dosis sesuai stadium Kanker dengan radiasi dalam atau brachiterapi yaitu dengan metode menanam sel radioaktif ke bagian Kanker atau bagian yang paling dekat dengan Kanker kemudian dengan kemoterapi yaitu metode pengobatan Kanker dengan memberikan obat-obat Pembunuh sel Kanker dengan cara melalui pembuluh darah. Kanker Serviks stadium 3 (T3) merupakan tumor yang menginvasi sampai dinding pelvis dan menginfiltrasi sampai 1/3 distal vagina dan atau menyebabkan hidronefrosis atau gagal ginjal. Kanker Serviks stadium 3 dibagi menjadi stadium 3A (T3a) yaitu penyebaran sampai 1/3 bagian distal vagina dan Stadium 3B (T3b) yaitu penyebaran Kanker sudah sampai dinding panggul (Wiknyosastro, 1997). Metode pemeriksaan Kanker dapat dilakukan dengan Pap smear, Biopsi Serviks, CT-Scan, Pet-CT Scan,Tes darah,X-ray kondisi paru-paru. Pengobatan Kanker Stadium 3 dapat dilakukan dengan radioterapi dengan memberikan penyinaran radioterapi diarahkan ke beberapa titik area panggul dan rongga vagina. Terapi dilakukan selama 20-35 kali tergantung kondisi penderita. Kemoterapi dilaksanakan bersamaan dengan radioterapi. Tindakan lain adalah tindakan operasi histerektomi yaitu pengangkatan leher rahim dan semua bagian rahim.

Kanker Serviks stadium 4A (T4a) merupakan proses keganasan telah keluar dari panggul kecil dan melibatkan mukosa rektum dan atau vesika urunaria atau telah bermetastasi keluar panggul ke tempat yang jauh. Adapun pembagian stadium yaitu: Stadium 4A (T4a) dimana proses sudah sampai mukosa rektum atau vesika urinaria atau sudah keluar dari panggul kecil, metastasi jauh belum terjadi sedang stadium 4B (T4b) telah terjadi metastasi jauh (Wiknyosastro, 1997). Metode pemeriksaan Kanker dapat dilakukan dengan Pap smear, Biopsi, Tes darah dan X-ray. Pengobatan Kanker Serviks stadium 4 ada beberapa metode pengobatan


(23)

dapat dilakukan dengan melihat kemampuan penderita. Kemoterapi dan Radioterapi adalah Metode yang akan dilakukan secara bersamaan. Terapi dilakukan selama 20 hingga 25 kali dengan masa istirahat pada hari Sabtu dan Minggu. Kemoterapi dilakukan dengan memasukkan jenis obat pembunuh Kanker (Prayetni, 1997). 2.4 Radioterapi

Sejarah penemuan sinar-X oleh Wilhelm Conrad Rontgen (bulan November tahun 1895) merupakan suatu revolusi dalam dunia kedokteran. Wilhelm Conrad Rontgen dalam penyelidikannya menemukan hampir semua sifat sinar Rontgen yaitu sifat-sifat fisika dan kimianya. Namun ada satu sifat sinar yang tidak sampai diketahuinya yaitu sifat biologik yang dapat merusak sel-sel hidup. Sejalan dengan penemuannya baru diketahui beberapa tahun kemudian sewaktu terlihat bahwa kulit bisa menjadi berwarna akibat penyinaran sinar-X. Namun pada waktu itu belum sampai terfikirkan bahwa sinar ini dapat membahayakan dan merusak sel hidup manusia. Tetapi lama kelamaan yaitu dalam dasawarsa pertama dan kedua abad ke-20 ternyata banyak pioner menjadi korban sinar ini. Kelainan biologik yang diakibatkan oleh sinar-X adalah berupa kerusakan pada sel-sel hidup yang dalam tingkat dirinya hanya sekedar perubahan warna sampai penghitaman kulit bahkan sampai merontokkan rambut. Dosis sinar yang lebih tinggi lagi dapat mengakibatkan lecet kulit sampai nekrosis bahkan bila penyinaran masih saja dilanjutkan itu dapat menjelma menjadi tumor kulit ganas atau Kanker kulit.

Sejalan dengan perkembangan diagnostik mulai juga perkembangan di bidang terapi. Setahun setelah sinar-X ditemukan pada bulan Maret tahun1896, Uranium ditemukan oleh Bacquerel namun tidak langsung diketahui kegunaannya. Bacquerrel dan M. Curie secara bersamaan memperhatikan bahwa radiasi yang dipancarkan oleh Radium memberikan efek pada kulit. Selanjutnya Pierre Curie juga meneliti efek biologi Radium yang hasilnya dapat menerangkan lebih detail mengenai beberapa fase epidermitis basah serta proses penyembuhannya. Sekitar 3 dasawarsa Radium yang memancarkan radiasi gamma, baru digunakan untuk terapi kanker. Sekitar tahun 1951 usaha peningkatan kualitas radiasi dari sinar-X kilovolt menjadi radiasi gamma Co 60 dimulai. Kemudian dilanjutkan dengan era Megavolt yang dimulai pada tahun 1970-an.


(24)

Dalam bidang Radioterapi eksternal dikenal pula brakhiterapi dan radioterapi internal. Keduanya memanfaaatkan radiasi pengion yang diproduksi oleh sumber radioaktif. Brakhiterapi menggunakan sumber radiasi tertutup dengan cara implantasi atau dengan cara meletakkannya dekat tumor sedangkan radioterapi internal menggunakan sumber radioaktif terbuka yang dimasukkan ke dalam tubuh melalui injeksi ataupun secara oral melalui proses metabolisme yang diarahkan pada organ tertentu. Kemajuan brakhiterapi maupun radioterapi internal seiring dengan peningkatan penemuan berbagai material radioaktif buatan.

Radioterapi adalah pengobatan dengan memberikan dosis radiasi yang terukur terhadap penyakit Kanker. Perkembangan teknologi di dunia kedokteran telah membantu penderita penyakit Kanker untuk sembuh dari sakit yang dideritanya dan meningkatkan kualitas hidup penderita tersebut. Cukup banyak penderita Kanker yang berobat ke rumah sakit menerima terapi radiasi. Radiasi yang diterima dapat berupa terapi tunggal kadang dikombinasikan dengan kemoterapi atau operasi pembedahan. Terapi radiasi secara umum bertujuan untuk: Kuratif yakni, secara langsung mencegah kambuh lokal dan regional dan secara tidak langsung mencegah terjadinya metastasis jauh. Mengecilkan tumor agar meningkatkan operabilitas. Dilakukan dengan cara meradiasi tumor sampai pada batas maksimum yang dapat ditoleransi.Tujuan Paliatif yakni, untuk menghilangkan atau mengurangi nyeri, mengecilkan tumor atau tukak, mengatasi pendarahan, menghilangkan gejala neurologik akibat metastasis (Suhartono, 1990) sehingga dapat meningkatkan kualitas hidup pasien. Dilakukan dengan cara mengurangi efek samping yang akut karena biasanya pasien memiliki angka harapan hidup yang tidak lama maka efek samping jangka panjang tidak terlalu diperhatikan (R. Susworo, 2007). Tidak hanya sel kanker yang hancur oleh radiasi, sel normal juga. Karena itu dalam terapi radiasi dokter selalu berusaha menghancurkan sel kanker sebanyak mungkin sambil sebisa mungkin menghindari sel sehat disekitarnya. Tetapi sekalipun terkena, kebanyakan sel normal dan sehat mampu memulihkan diri dari efek radiasi. Radioterapi bisa digunakan untuk mengobati hampir semua jenis tumor atau kanker yakni, kanker otak, payudara, leher, rahim, tenggorokan, paru-paru, pankreas, prostat, kulit dan sebagainya. Bahkan juga leukimia dan limfoma. Cara dan dosisnya tergantung


(25)

banyak hal, antara lain jenis Kanker dan lokasinya apakah jaringan disekitarnya rawan rusak, kesehatan umum dan riwayat medis penderita apakah penderita menjalani pengobatan lain dan sebagainya.

Penyakit Kanker adalah suatu penyakit pertumbuhan sel yang tidak hanya terdapat pada manusia tetapi pada hewan dan tumbuh-tumbuhan akibat adanya kerusakan gen yang mengatur pertumbuhan dan diferensiasi sel. Salah satu sebab kerusakan itu ialah adanya mutasi gen. Mutasi gen adalah suatu keadaan ketika sel mengalami perubahan sebagai akibat adanya paparan sinar UV, bahan kimia ataupun bahan-bahan yang berasal dari alam. Saat ini Kanker sebagai salah satu penyebab kematian di seluruh dunia. Tujuan pengobatan kanker adalah eradikasi kelompok sel kanker atau tumor secara utuh. Modalitas radioterapi prinsip utamanya yaitu menggunakan radiasi pengion untuk merusak materi genetik dari sel kanker (DNA) menyebabkan sel mengalami kematian atau kehilangan kemampuan proliferasinya. Dalam penggunaan radioterapi paparan radiasi ke jaringan normal harus menjadi pertimbangan. Seluruh bentuk pengobatan genotoksik berefek ke jaringan normal dengan derajat kerusakan yang bervariasi dan efek samping ini kemudian dapat membatasi pengobatan kanker.

Jaringan normal pada tingkat sel lebih terorganisir dan mempunyai kemampuan memperbaiki kerusakan dari radiasi sedang kebanyakan sel kanker memiliki cacat pada sistem regulasi sel. Salah satu target utama dari radiasi adalah DNA pada inti sel. Radioterapi adalah tindakan medis yang dilakukan pada pasien dengan menggunakan radiasi pengion untuk mematikan sel kanker sebanyak mungkin dengan kerusakan pada sel normal sekecil mungkin. Tindakan terapi ini menggunakan sumber radiasi tertutup. Radiasi pengion adalah berkas pancaran energi atau atau partikel yang bila mengenai sebuah atom akan menyebabkan terpentalnya elektron keluar dari orbit elektron tersebut. Pancaran energi berupa gelombang elektromagnetik yang dapat berupa sinar gamma dan sinar-X. Akibat dari disintegrasi inti tersebut akan terbentuk satu pancaran energi berupa sinar gamma dan 2 pancaran partikel yaitu pancaran elektron disebut sinar beta dan pancaran inti helium disebut sinar alfa.


(26)

Jenis radioterapi radiasi eksterna atau sinar luar adalah bentuk pengobatan radiasi dengan sumber radiasi mempunyai jarak dengan target yang dituju atau berada di luar tubuh. Sumber yang dipakai adalah sinar-X atau photon yang merupakan pancaran gelombang elektromagnetik yang dikeluarkan oleh pesawat linear akselerator (LINAC). Dikarenakan sinar-X menimbulkan perubahan-perubahan bilogi pada jaringan, Efek biologi ini dipergunakan dalam pengobatan radioterapi.

Pada pembahasan ini dijelaskan jenis pesawat radioterapi eksternal yang menggunakan foton yaitu Pesawat sinar-X. Sinar-X ditemukan oleh Wilhelm Conrad Rontgen seorang berkebangsaan Jerman pada tahun 1895. Penemuannya diilhami dari hasil percobaan sebelumnya antara lain dari J.J Thomson mengenai tabung katoda dan Heinrich Hertz tentang foto listrik. Kedua percobaan tersebut mengamati gerak elektron yang keluar dari katoda menuju ke anoda yang berada dalam tabung kaca yang hampa udara. Pembangkit sinar-X berupa tabung hampa udara yang di dalamnya terdapat filamen yang juga sebagai katoda dan terdapat komponen anoda. Jika filamen dipanaskan maka akan keluar elektron dan apabila antara katoda dan anoda diberi beda potensial yang tinggi elektron akan dipercepat menuju ke anoda.

Dengan percepatan elektron tersebut maka akan terjadi tumbukan tak lenting sempurna antara elektron dengan anoda akibatnya terjadi pancaran radiasi sinar-X. Pelat fotoluminesensi yang terletak bersebelahan dengan tabung katoda berpendar ketika tabung katoda digunakan pada ruang gelap dan Rontgen berfikir pasti ada jenis radiasi baru yang belum diketahui terjadi di dalam tabung sinar katoda dan membuat pelat fotoluminensensi berpendar. Oleh karena itu kemudian radiasi ini di kenal sebagai sinar-X.

Rangkaian dasar pesawat sinar-X terdiri dari 3 bagian utama yaitu Tabung sinar-X, Sumber tegangan tinggi yang mencakup tegangan listrik pada kedua elektroda dalam tabung sinar-X dan Unit pengatur. Bagian pesawat sinar-X yang menjadi sumber radiasi adalah tabung sinar-X. Di dalam tabung pesawat sinar-X yang biasanya terbuat dari bahan gelas terdapat filamen yang bertindak sebagai katode dan target yang bertindak sebagai anode. Tabung sinar-X berisi filamen yang juga sebagai katoda dan berisi anoda. Filamen terbuat dari tungsten sedangkan anoda terbuat dari lugamanoda (Cu, Fe atau Ni). Anoda biasanya dibuat


(27)

berputar supaya permukaannya tidak lekas rusak yang disebabkan tumbukan elekron. Trafo tegangan tinggi berfungsi pelipat tegangan rendah dari sumber menjadi tegangan tinggi antara 30 kV sampai 100 KV. Pada trafo tegangan tinggi diberi minyak sebagai pendingin. Travo tegangan tinggi berfungsi untuk mempercepat elektron di dalam tabung. Setiap tahun pada pesawat sinar-X terjadi penyimpangan cukup besar sehingga perlu di kalibrasi sekurang-kurangnya satu bulan sekali. Pesawat radioterapi sinar-X menurut energi yang dihasilkan yaitu Sinar-X dengan energi rendah (10-125 KV) disebut kontak terapi dan Sinar-X energi menengah (125-130 KV) dan dinamakan sinar-X orthovoltage.

2.5 Interaksi Radiasi dengan Materi

Konsep dasar interaksi radiasi dengan materi pada dasarnya merupakan interaksinya dengan elektron di dalam orbital atom. Interaksi radiasi dengan materi menyebabkan terjadinya ionisasi dan eksitasi. Interaksi radiasi dengan inti atom hanya terjadi dengan neutron yang tidak bermuatan sehingga tidak menyebabkanionisasi. Tabrakan elastis neutron dengan inti hidrogen menghasilkan proton pental (recoil proton) yang dideteksi sebagai partikel tidak bermuatan. Besarnya energi radiasi ditentukan dengan cara mengukur jangkauan (range) radiasi ketika menembus materi yaitu jarak yang dicapai oleh radiasi berenergi tertentu ketika menembus materi. Pengukuran energi radiasi juga dapat ditentukan melalui ketebalan paruh (half thickness) yaitu ketebalan materi yang dapat mengurangi intensitas radiasi itu menjadi separuhnya. Dapat juga dengan dengan menentukan ketebalan paruh (Sulistyani). Jenis-jenis interaksi radiasi dengan materi yaitu: Absorpsi energi, Koefisien atenuasi, Efek foto listrik, Efek compton dan produksi pasangan.

2.5.1 Absorpsi Energi

Pada saat berkas foton melewati medium sebagian energi radiasi ditransfer pada medium. Dosis absorpsi yang menyatakan jumlah energi yang diserap persatuan massa jaringan merupakan besaran yang dipakai untuk memperkirakan efek biologi terhadap radiasi. Secara sederhana proses penyerapan energi radiasi sampai terjadinya efek biologi.


(28)

2.5.2 Koefisien Atenuasi

Bila berkas foton melewati medium, sejumlah foton akan berinteraksi dengan medium dan keluar dari berkas sedangkan sebagian lain kemungkinan tidak mengalami interaksi sama sekali. Akibat jumlah foton yang keluar darimedium berkurang. Penurunan intesitas (I) dari sinar-X sebanding dengan jarak (x) yang dilewatinya. Koefisien atenuasi dinyatakan dengan

= - dx

Dimana: I = Intensitas sinar-X (1) µ = Koefisien Atenuasi

Integritas memberikan:

μx

0

x I e

I  

Dimana: Ix = Intensitas sinar-X yang diteruskan I0 = Intensitas sinar-X yang datang X = Tebal

2.5.3 Efek Fotolistrik

Dalam proses fotolistrik energi foton diserap oleh atom yaitu elektron sehingga elektron tersebut dilepaskan dari ikatannya dengan atom. Elektron yang keluar dari atom disebut fotoelektron. Peristiwa efek foto listrik ini terjadi pada energi radiasi rendah ( E < 1 MeV) dan nomor atom besar.

Gambar 2.4 Efek fotolistrik (Sumber: Jurnal Dasar Teori Sinar-X. 2012 Universitas Sumatera Utara, Medan)

Gambar di atas menggambarkan skema alat yang digunakan Einstein untuk mengadakan percobaan. Alat tersebut terdiri atas tabung hampa udara yang dilengkapi dengan dua elektroda A dan B dan dihubungkan dengan sumber tegangan arus (DC). Pada saat alat tersebut dibawa ke dalam ruang gelap


(29)

maka amperemeter tidak menunjukkan adanya arus listrik. Akan tetapi pada saat permukaan katoda (A) dijatuhkan sinar amperemeter menunjukkan adanya arus listrik. Hal ini menunjukkan adanya aliran arus listrik. Aliran arus ini terjadi karena adanya elektron yang terlepas dari permukaan (yang selanjutnya disebut elektrofoton) A bergerak menuju B. Apabila tegangan baterai diperkecil sedikit demi sedikit ternyata arus listrik juga semakin mengecil dan jika tegangan terus diperkecil sampai nilainya negatif ternyata pada saat tegangan mencapai nilai tertentu (-V0), amperemeter menunjuk angka nol yang berarti tidak ada arus listrik yang mengalir atau tidak ada elektron yang keluar dari keping A. Potensial V0 ini disebut potensial henti yang nilainya tidak tergantung pada intensitas cahaya yang dijatuhkan, hal ini menunjukkan bahwa energi kinetik mencium elektron yang keluar dari permukaan adalah sebesar:

0 2

eV mV 2 1

EK  

Bila foton atau radiasi pengion tidak langsung mengenai elektron dalam suatu elektron dalam suatu orbit dalam atom sebagian energi foton (Q) digunakan untuk mengeluarkan elektron dari atom dan sisanya dibawa oleh elektron sebagai energi kinetiknya. Seluruh energi foton dipakai dalam proses tersebut.

E= hf =Q + EK Dimana: E = energi (Joule)

f = frekuensi (herzt)

h = konstanta plank (6,627 x J.s) Q = energi ikat elektron (Joule)

Ek = energi kinetik elektron (Joule) 2.5.4 Efek Compton

Foton berinteraksi dengan elektron yang dianggap bebas. Dalam suatu tumbukan antara sebuah foton dan elektron bebas maka tidak mungkin semua energi foton dapat dipindahkan ke elektron jika momentum dan energi dibuat kekal. Hal ini dapat diperlihatkan dengan berasumsi bahwa reaksi semakin dimungkinkan. Jika hal itu memang benar maka menurut hukum kekekalan semua energi foton diberikan kepada elektron.


(30)

Gambar 2.5 Penghamburan Compton (Sumber: Jurnal Dasar Teori Sinar-X. 2012 Universitas Sumatera Utara, Medan)

Gambar percobaan Compton cukup sederhana yaitu sinar x monokromatik (sinar x yang memiliki panjang gelombang tunggal) dikenakan pada keping tipis berilium sebagai sasarannya, kemudian untuk mengamati foton dari sinar x dan elektron yang terhambur dipasang detektor. Sinar x yang telah menumbuk elektron akan kehilangan sebagian energinya yang kemudian terhambur dengan

sudut hamburan sebesar θ terhadap arah semula.

Berdasarkan hasil pengamatan ternyata sinar x yang terhambur memiliki panjang gelombang yang lebih besar dari panjang gelombang sinar x semula, hal ini dikarenakan sebagian energinya terserap oleh elektron.

Menurut hukum kekekalan momentum semua momentum foton (p) harus dipindahkan ke elektron jika foton tersebut menghilang.

mv c E P  

Dimana: E = energi (Joule) m = massa (Kg)

c = kecepatan elektron (m/dtk) p = momentum

v = kecepatan elektron (m/dtk) 2.5.5 Produksi Pasangan

Produksi pasangan adalah salah satu efek interaksi suatu penyinaran pada suatu benda atau materi.


(31)

Gambar 2.6 Proses terjadinya produksi pasangan (Sumber: Jurnal Dasar Teori Sinar X. 2012. Universitas Sumatera Utara, Medan)

Pada gambar 2.6 memperlihatkan pada waktu foton yang berenergi lebih dari 1,02 MeV menembus materi dan mendekati inti atom. Foton berubah dan membentuk satu pasangan yaitu positron dan elektron yang masing-masing berenergi sebesar 0,51 MeV. Peristiwa ini disebut produksi pasangan. Energi sebesar 1,02 MeV ini disebut nilai batas ambang produksi pasangan.

Sebuah foton yang energinya lebih dari 1,02 MeV pada saat bergerak dekat dengan sebuah inti secara spontan akan menghilang dan energinya akan muncul kembali sebagai suatu positron dan elektron.

2.6 Interaksi Elektron dengan Zat

Apabila sebuah elektron bergerak dalam suatu media maka akan kehilangan energinya oleh dua hal yaitu :

1. Ionisasi (apabila energi elektron rendah)

Proses ionisasi seperti halnya pada partikel berat bermuatan yakni tumbukan inelastik antara elektron datang dengan elektron-elektronatom-atom media. 2. Radiasi (bremmstrahlung: apabila energi elektron tinggi)

Kehilangan energi karena radiasi hanya terjadi apabila energi elektron datang tinggi. Pada radioterapi dengan penggunaan pesawat LINAC yaitu dengan pemanfaatan Sifat sinar-Xmaka dapat disimpulkan interaksi yang terjadi antara radiasi dengan materi pada radioterapi ini adalah dengan dasar mengetahui sifat-sifat sinar-X yaitu: Efek ionisasi (interaksi elektron dengan zat) yang adalah juga efek primer dari sinar-X yang apabila mengenai suatu bahan atau zat dapat menimbulkan ionisasi pada partikel-partikel atau zat yang dilaluinya. Dikarenakan sinar-X menimbulkan perubahan-perubahan bilogi pada jaringan, efek biologi ini dipergunakan dalam pengobatan radioterapi.


(32)

2.7 Linear Akselerator (Linac)

Akselerator yaitu Pesawat sinar-X pada umumnya memproduksi sinar-X energi berorde kilo elektron Volt (KeV). Untuk mendapat sinar-X dengan energi yang sangat tinggi biasanya digunakan alat pemercepat partikel atau akselerator. Akselerator adalah alat yang dipakai untuk mempercepat gerak partikel bermuatan seperti elektron, proton, inti-inti ringan dan inti atom lainnya. Mempercepat gerak partikel bertujuan agar partikel tersebut bergerak dengan cepat sehingga memiliki energi kinetik yang sangat tinggi. Untuk mempercepat gerak partikel ini diperlukan medan listrik ataupun medan magnet. Akselerator gerak pertama kali dikembangkan oleh dua orang fisikawan Inggris yaitu J.D. Cockroft dan E.T.S.Walton. Di Laboratorium Cavendish Universitas Cambrigde pada tahun 1929 atas jasanya-jasanya mereka dianugerahi hadiah Nobel bidang fisika pada tahun 1951. Akselerator partikel biasanya dipakai untuk penelitian fisika energi tinggi dengan cara menabrakkan partikel berkecepatan sangat tinggi ke target tertentu namun ada beberapa jenis akselerator partikel yang dirancang untuk memproduksi radiasi berenergi tinggi untuk keperluan radioterapi. Akselerator digunakan untuk menghasilkan sinar-x dengan energi yang tinggi dengan menggunakan tabung betaron dan sinkrotron.

2.7.1 Tabung Betatron

Tabung Betatron merupakan bagian dari pesawat LINAC. Betatron pertama kali diperkenalkan pada tahun 1941 oleh Donald William Kerts dari Universitas Illinois Amerika Serikat. Penamaan Betatron mengacu pada jenis sinar radioaktif sinar beta yang merupakan aliran elekton yang berkecepatan tinggi. Betatron terdiri atas tabung kaca hampa udara berbentuk cincin raksasa yang diletakkan diantara dua kutub magnet yang sangat kuat. Elektron akselerator pada prinsipnya adalah suatu tabung sinar-X berukuran sangat besar. Penyuntik berupa filamen panas yang berperan sebagai pemancar elektron dipasang untuk menginjeksi aliran elektron ke dalam tabung pada sudut tertentu. Setelah elektron disuntikkan ke dalam tabung ada dua gaya yang akan bekerja pada elektron tersebut.


(33)

Gaya yang pertama, membuat elektron bergerak mengikuti lengkungan tabung. Di dalam medan magnet partikel akan bergerak melingkar. Gaya yang kedua, berperan mempercepat gerak elektron hingga kecepatannya semakin tinggi. Melalui gaya yang kedua ini elektron memperoleh energi kinetik yang sangat besar. Dalam waktu sangat singkat elektron akan bergerak melingkar di dalam tabung beberapa ribu kali. Apabila energi kinetik elektron telah mencapai nilai tertentu elektron dibelokkan dari jalur lengkungannya sehingga dapat menabrak target secara langsung yang berada di tepi ruangan. Dari proses tabrakan ini pancaran sinar-X berenergi sangat tinggi karena sebagian besar akselerator dapat mempercepat elektron hingga energinya mencapai 20 Mega elektron Volt (MeV). Betatron memiliki kelemahan karena mesin itu memerlukan magnet berukuran sangat besar guna mendapatkan perubahan fluks yang diperlukan untuk mempercepat elektron.

2.7.2 Sinkrotron Elektron

Untuk mengatasi kelemahan ini diperkenalkan jenis akselerator elektron lainnya yang menggunakan magnet yang berbentuk cincin yang diberi nama Sinkrontron elektron. Alat ini berfungsi sebagai pemercepat elektron yang mampu menghasilkan elektron dengan energi kinetik lebih besar dibandingkan Betatron. Elektron dengan energi antara 50-100 KV dipancarkan dari filamen untuk selanjutnya dipercepat di dalam alat. Pada saat akhir proses percepatan, elektron ditabrakkan menuju sasaran sehingga dihasilkan sinar-X dengan energi dan intensitas tinggi.

Akselerator Linear adalah alat terapi radiasi eksternal yang paling umum digunakan untuk pasien yang terkena cancer. Linear Accelerator digunakan untuk mengobati semua lokasi badan yang terkena kanker. Menyampaikan high-energy sinar-X yang sama dosisnya kepada daerah tumor pasien. Alat ini digunakan tidak hanya dalam terapi radiasi eksternal tetapi juga untuk Radio Surgery Stereotactic dan Badan Streotactic Radioterapi yang serupa menggunakan gamma. Sinar Rontgen ini dapat menghancurkan sel kanker selagi melingkupi jaringan normal. Aplikasi LINAC Akselerator Linear pertama kali diperkenalkan oleh R. Wideroe di Swiss pada tahun 1929, namun unjuk kerjanya pada saat itu kurang memuaskan. LINAC mempunyai kelebihan dan kekurangan dibandingkan dengan akselerator magnetik. Ukuran alat dan biaya yang


(34)

diperlukan untuk mengoperasikan LINAC kira-kira proposional dengan energi akhir partikel yang dipercepat, sedangkan pada akselerator magnetik tenaga yang diperlukan akan lebih tinggi untuk menghasilkan energi akhir partikel yang sama besarnya. Oleh sebab itu untuk mendapatkan partikel berenergi sangat tinggi, LINAC akan lebih ekonomis dibandingkan akselerator magnetik. Disamping itu penyuntikan partikel yang akan dipercepat dalam akselerator magnetik sangat sulit dilakukan sedang pada LINAC partikel dalam bentuk berkas terkolimasi secara otomatis terpencar ke dalam tabung akselerator.

LINAC dapat dipakai untuk mempercepat partikel hingga berenergi di atas 1 BeV. Betatron praktis tidak mungkin mencapai energi setinggi ini karena

memerlukan magnet berukuran sangat besar. 2.7.3 Prinsip Kerja dari LINAC

LINAC semula dipakai untuk mempercepat partikel bermuatan positif seperti proton, namun setelah berbagai modifikasi mesin dapat pula dipakai untuk mempercepat partikel bermuatan negatif seperti elektron. Dalam hal ini elektron yang dipercepat mampu bergerak dengan kecepatan mendekati kecepatan cahaya. Elektron dengan energi 2 MeV bergerak dengan kecepatan 0,98c dengan c adalah kecepatan cahaya. Jika elektron berenergi tinggi itu ditabrakkan pada target dari logam berat maka dari pesawat LINAC akan dipancarkan sinar-X berenergi tinggi. Radioterapi dapat juga dilakukan dengan menggunakan elekron berenergi tinggi. Elektron yang dipercepat dalam LINAC dapat langsung dimanfaatkan untuk radioterapi tanpa harus ditabrakkan terlebih dahulu dengan logam berat. Jadi LINAC dapat juga berperan sebagai sumber radiasi partikel berupa elektron cepat yang dapat dimanfaatkan untuk radioterapi tumor. LINAC dalam aplikasinya menggunakan teknologi gelombang mikro yang juga digunakan untuk radar. Gelombang mikro ini dimanfaatkan untuk mempercepat elektron dalam akselerator yang disebut “Wave Guide” hal tersebutlah yang kemudian mengijinkan elektron bertumbukan dengan heavy metal target. Hasil dari tumbukan antara elektron dan metal adalah high energy X-rays yang dihasilkan oleh metal target. High energy X-rays tersebut kemudian akan diatur untuk kemudian diberikan pada pasien tumor dan diatur keluarannya dari mesin yang disesuaikan dengan keadaan dari pasien. Sinar yang keluar dari bagian accelerator disebut sebagai gantry yang berotasi di sekeliling pasien. Pasien ditempatkan


(35)

pada kursi pengobatan yang dapat bergerak ke segala arah agar dapat dipastikan pemberian radiasi dalam posisi yang tepat. Radiasi dikirim melalui kursi pengobatan. LINAC yang merupakan akselerator dengan partikel lurus mengandung unsur-unsur:

1. Sumber partikel

Tergantung pada partikel yang sedang bergerak. Proton yang dihasilkan dalam sumber ion memiliki desain yang berbeda. Jika partikel lebih berat harus dipercepat misalnya ion uranium.

2. Sebuah sumber tegangan tinggi untuk injeksi awal partikel.

3. Sebuah ruang hampa pipa vakum. Jika perangkat digunakan produksi sinar-X untuk pemeriksaan atau terapi pipa mungkin hanya 0,5 sampai 1,5 meter sedangkan perangkat yang akan diinjeksi bagi sebuah sinkrotron mungkin sekitar sepuluh meter panjangnya. Serta jika perangkat digunakan sebagai akselerator utama untuk investigasi partikel nuklir mungkin beberapa ribu meter. 4. Dalam ruang, elekrik elektroda silinder terisolasi ditempatkan yang panjangnya

bervariasi dengan jarak sepanjang pipa. Panjang elektroda ditentukan oleh frekuensi dan kekuatan sumber daya penggerak serta sifat partikel yang akan dipercepat dengan segmen yang lebih pendek di dekat sumber dan segmen lagi dekat target.

5. Satu atau lebih sumber energi frekuensi radio. Sebuah akselerator daya yang sangat tinggi akan menggunakan satu sumber untuk elektroda masing-masing. Sumber harus beroperasi pada level daya yang tepat, frekuensi dan fase yang sesuai dengan jenis partikel dipercepat untuk mendapatkan daya perangkat maksimum.

6. Sebuah sasaran yang tepat. Pada kecepatan mendekati kecepatan cahaya. Peningkatan kecepatan tambahan akan menjadi kecil dengan energi yang muncul sebagai penigkatan massa partikel. Dalam bagian-bagian dari akselerator hal ini terjadi, panjang elektroda tabung akan hampir berjalan konstan.

7. Tambahan elemen lensa magnetis atau elektrostatik. Untuk memastikan bahwa sinar tetap di tengah pipa dan elektodanya.

8. Akselerator yang sangat panjang akan menjaga keselarasan tepat komponen mereka melalui penggunaan sistem servo dipandu oleh sinar laser.


(36)

2.8 Dosis Penyinaran Radioterapi

Dosis dari radiasi penyinaran radioterapi ditentukan dari ukuran, luasnya, tipe dan stadium Kanker. Sebagai pertimbangan efek radiasi yang maksimal terhadap Kanker dan efek yang minimal terhadap jaringan yang sehat. Dosis yang digunakan adalah 46 Gy-50Gy dalam 23-25 fraksi radiasi. 2 Gy per fraksi. Kontribusi dosis dari lapangan Anterior 0,6 Gy, Lapangan Posterior 0,6 Gy, Lapangan Lateral Kanan 0,4 Gy, Lapangan Lateral Kiri 0,4 Gy. Total dalam 1 hari mendapat dosis per fraksi 2 Gy.

Besaran dosis total juga tergantung dari tujuan radiasi (Kuratif atau Paliatif) dan juga jenis histopatologinya. Dosis Kuratif umumnya 25-30 kali diberikan lima kali dalam satu minggu (Senin s/d Jum’at) dengan dosis perkali yang diberikan 1,8-2 Gy. Dosis paliatif umumnya 5-20 kali dengan dosis perkali yang diberikan 2-5 Gy. 2.9 Dosimetri

Dosimetri radiasi dapat diartikan sebagai ilmu yang mempelajari berbagai besaran dan satuan dosis radiasi, sedangkan pengertian dosis adalah kuantitas dari proses yang ditinjau sebagai akibat radiasi mengenai materi.

2.9.1 Paparan Radiasi

Paparan radiasi (exposure) adalah kemampuan radiasi sinar-X atau gamma untuk menimbulkan ionisasi di udara dan digunakan untuk mendeskripsikan sifat emisi sinar-X atau sinar gamma dari sebuah sumber radiasi. Satuan ini mendeskripsikan keluaran radiasi dari sebuah sumber radiasi namun tidak mendeskripsikan energi yang diberikan pada sebuah objek yang disinari. Satuannya adalah roentgen atau R.

1 Roentgen (R) = 2,58 x Coulomb/Kg udara 1 Roentgen (R) = 1,610 x Pasangan ion/gr udara 2.9.2 Kecepatan Pemaparan

Kecepatan pemaparan (ER) adalah besar pemaparan persatuan waktu. Satuannya adalah R/Jam

ER =

ER = Kecepatan pemaparan (R/jam)


(37)

2.9.3 Dosis Serap

Adosis serap (D) adalah energi rata-rata yang diberikan oleh radiasi pengion sebesar dE kepada bahan yang dilaluinya dengan massa dm. Satuan yang digunakan sebelumnya adalah rad. Satu rad adalah energi rata-rata sebesar 100 erg yang diserap bahan dengan massa 1 gram yamg didefenisikan sebagai:

1 rad : 100 erg/gr 1 gray (Gy) : 100 rad

Satuan dosis serap dalam SI adalah Joule/Kg atau sama dengan gray (Gy). Satu gray adalah dosis radiasi yang diserap dalam satu joule per kilogram.

1 gray (Gy) = 1 joule/Kg 2.9.4 Laju Dosis Serap

Adalah dosis serap persatuan waktu. Satuan laju dosis serap dalam SI adalah joule/Kg.jam atau gray/jam (Gy/jam) dan dalam satuan lama adalah rad/jam.

2.9.5 Distribusi Dosis Kedalaman

Penyinaran dilakukan pada pasien, Dosis yang diserap akan bervariasi sesuai dengan kedalaman. Variasi ini bergantung pada banyaknya kondisi seperti: Sinar, kedalaman, luas lapangan, jarak dari sumber dan sistem kolimasi sinar. Demikian juga kalkulasi dosis pada pasien melibatkan pertimbanagan dalam perhatian parameter-parameter dan efek-efek lain pada distribusi dosis kedalaman.

2.9.6 Persentase dosis kedalaman

Jumlah radiasi yang diserap oleh badan atau jaringan disebut dosis serap dan banyaknya radiasi yang diserap oleh badan atau jaringan pada suatu kedalaman tertentu disebut persentase dosis kedalaman (PDD). Persentase dosis kedalaman adalah hasil bagi dari dosis serap pada suatu kedalaman tertentu (Dd) dengan dosis serap pada suatu kedalaman tertentu dengan dosis serap pada kedalaman maksimum (Dmax) yang dinyatakan dalam persentasi dengan rumus:


(38)

100% x D

D PPD

max d

Dimana: Dd = dosis serap pada suatu kedalaman Dmax = dosis serap pada kedalaman maksimum.

Persentase dosis kedalaman dipengaruhi olehenergi, Luas lapangan, SSD dan komposisi medium yang diradiasi. Dalam praktek klinik puncak dosis serap pada sumbu utama disebut juga dosis maksimum. Dosis maksimum dari dosis yang diberikan atau dapat dirumuskan sebagai berikut:

100% x PDD

D

D d

max 

Distribusi dosis pada sumbu utama dalam pasien atau fantom yang dikenal sebagai PDD dinormalisasikan dengan dosis maksimum (Dmax) = 100% yakni, dosis pada kedalaman maksimum (dmax).

2.10 Prosedur Pemeriksaan Pasien Radioterapi 2.10.1 Persiapan Pasien

Persiapan yang harus dilaksanakan pasien yang akan mendapat pelayanan radioterapi yaitu dengan melaksanakan pemeriksaan laboratorium lengkap meliputi darah tepi, gula darah, kimia darah. Pemeriksaan BNO-IVP diperlukan untuk menetapkan fungsi ginjal dan untuk menentukan apakah ureter terkena atau tidak, pemeriksaan radiologik tulang-tulang pelvis, lumbal, dan pemeriksaan EKG. 2.10.2 ProsedurRadioterapi

Proses Radioterapi melibatkan sejumlah tahap kompleks dan ditangani oleh suatu tim yang terdiri dari dokter spesialis Bedah Onkologi, dokter radiasi Onkologi, dokter Ginekologi Onkologi, dokter Hematologi ahli onkologi akan merekomendasikan prosedur atau urutan yang berbeda. Pengobatan radioterapi juga bekerjasama dengan fisikawan Medik, Radiografer Radioterapi dan teknisi medis. Dokter spesialis Radiologi konsultan onkologi Radiasi/Spesialis Onkologi Radiasi adalah dokter spesialis yang bertanggung jawab penuh terhadap pasien yang akan menjalani terapi radiasi, antara lain konsultasi, penetapan perencanaan radiasi, Dosis radiasi, Pemberian obat-obat medis, Evaluasi terapi, dan pengawasan selama dan sesudah radiasi.

(5)


(39)

Fisikawan Medis bertugas membantu dokter dalam penetapan arah radiasi, Kalkulasi Dosis, Keamanan penyinaran, Pengendalian mutu dan peralatan radiasi. Radiografer Radioterapi bertugas membantu dokter dalam pelaksanaan radiasi serta melakukan simulator sebelum radiasi. Teknisi medis bertanggung jawab dalam aspek teknik peralatan radiasi, kerusakan-kerusakan mesin, elektronik dan lain-lain.

Tahap setelah dokter memutuskan bahwa pasien menjalani terapi radiasi maka dokter akan membuat jadwal untuk pelaksanaan terapi radiasi. Tahap selanjutnya akan dilakukan penggambaran lokasi penyinaran atau sering disebut simulator. Sebelum dilakukan simulator terkadang diperlukan pembuatan masker/topeng sebagai alat fiksasi agar selama radiasi pasien tidak bergerak, Penggunaan masker ini penting agar daerah yang disinar selalu tetap dan tepat setiap harinya sesuai dengan pada saat disimulator. Simulator dibuat persis seperti yang akan dikerjakan di dalam penyinaran yang sesungguhnya, menggunakan pesawat simulator/Ct-Simulator. Apabila pengaturan target telah ditetapkan maka dibuatlah tanda dengan tinta di kulit pada daerah yang akan diradiasi. Tanda tersebut dibuat sedemikian rupa dan tidak boleh dihapus selama dan sampai terapi radiasi selesai diberikan. Jika pasien menggunakan masker tidak perlu khawatir tanda akan hilang atau terhapus.

Setelah persiapan selesai pasien harus menunggu beberapa hari sebelum radiasi dimulai karena hasil simulator akan dikirim ke ahli fisika medik untuk dihitung dan dilakukan kalkulasi dosis serta arah penyinaran di ruang TPS. Jika semua persiapan dan perhitungan telah selesai dan disetujui oleh dokter baru dimulailah terapi radiasi yang sesungguhnya. Lama menunggu tergantung dari tingkat kerumitan teknik radiasi yang akan dilakukan. Dalam ruang pengobatan radiasi pasien diposisikan persis sama sewaktu menjalani simulator. Pasien diharuskan diam selama pengobatan berlangsung. Dokter dan radiografer dari ruang monitor akan mengamati pasien melalui monitor dan dapat berkomunikasi melalui intercom. Radiasi diberikan dengan jarak antara sumber radiasi dan target dengan menggunakan LINAC adalah 100 cm.


(40)

Lama radiasi berlangsung pada kebanyakan tipe kanker diberikan dalam dosis 5 hari berturut-turut (Senin s/d Jum’at) sehari sekali kurang lebih 6-7 minggu. Umumnya sekali radiasi membutuhkan waktu kurang lebih 15-30 menit mulai pasien masuk ke ruang radiasi, saat penyinaran sampai pasien kembali ke luar ruang radiasi.

Gambar 2.7Alur Radioterapi

Keterangan gambar:

a. Citra CT pasien dalam posisi pengobatan diperoleh.

b. Ahli onkologiRadiasi membuat kontur target dan organ berisiko pada sistem perencanaan pengobatan Treatment Planning System (TPS).

c. Ahli onkologi Radiasi meresepkan dosis radiasi dan instruksi perencanaan. d. Dosimetris membuat rencana radiasi pada TPS.

e. Ahli onkologi Radiasi meninjau dan menerima rencana. f. Rencana pengobatan menjalani pemeriksaan jaminan kualitas. g. Data dikirimkan ke Akselerator Linear.

h. Pasien menerima pengobatan.

i. Citra QA pada pengobatan RT Harian atau Mingguan dilakukan untuk memastikanbidangpengobatan sudah benar.


(41)

2.10.3 Hal-hal penting yang harus diketahui pasien

Selama menjalani radioterapi pasien harus disiplin diantaranya datang tepat waktu, istirahat cukup, makan dan minum sesuai anjuran. Beberapa hal juga yang tidak boleh dilakukan selama menjalani terapi adalah: Mengubah atau menghapus tanda area radiasi. Tidak boleh menggunakan sabun, deodoran, parfum, make up pada area radiasi karena biasa menghapus tanda (tanda tidak boleh dibersihkan dengan air atau bahan dasar lain). Tidak boleh memakai pakaian sempit atau pakaian yang tidak menyerap keringat. Tidak boleh terkena sinar matahari langsung atau berlebih. Tidak boleh mengompres di area radiasi dengan kompres air panas atau dingin. Tidak boleh menggunakan obat-obat tanpa sepengetahuan dokter, salep atau krim, obat-obatan pembersih luka di area radiasi. Tidak merokok, minuman-minuman beralkohol dan makanan-makanan yang mengandung penyedap rasa, yang dibakar, dipanggang.


(42)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Radioterapi merupakan suatu jenis pengobatan yang menggunakan atau memanfaatkan sinar pengion (sinar-X, sinar gamma) dan partikel lain

(neutron, proton) untuk mematikan sel-sel kanker. Penggunaan sinar-X untuk terapi kanker kulit sudah dirintis oleh J.E. Gilman ilmuwan Eropa sejak akhir abad 19. Cara-cara penyinaran kanker tergantung pada letak kanker dan jenis pesawat yang digunakan. Salah satu pesawat radioterapi yang sering digunakan saat ini adalah pesawat Linear Accelerator (LINAC). Metode radioterapi disesuaikan dengan tujuannya yaitu tujuan pengobatan kuratif atau paliatif.

Pengobatan kuratif ialah mematikan sel kanker serta sel yang telah menjalar ke sekitarnya atau bermetastasis ke kelenjar getah bening dengan tetap

mempertahankan sebanyak mungkin jaringan sehat di sekitarnya. Radioterapi dengan dosis kuratif diberikan pada kanker dengan stadium I sampai III B. Sedangkan Radioterapi dengan tujuan Paliatif bertujuan untuk memberikan kualitas hidup yang lebih baik dan radioterapi ini diberikan secara selektif pada stadium IV A (Danny Satriyo, 2014).

Efek atau respon jaringan normal terhadap radiasi dapat lebih mudah dipahami dengan mengetahui perbedaan struktur jaringan. Salah satu jaringan tubuh yang sangat sensitif terhadap radiasi adalah jaringan hemopoetik yaitu jaringan tempat terbentuknya sel-sel darah. Sistem pemberian dosis Radioterapi berbeda sesuai dengan tipe dan stadium kanker. Radiasi yang diterima tubuh bekerja dengan cara merusak materi genetik dari sel Deoxyribose Nucleid Acid atau DNA Kanker. Kerusakan disebabkan oleh proses ionisasi dari radiasi pengion yang dipergunakan. Kerusakan yang terjadi pada sel akibat penyerapan dosis radioterapi mengakibatkan sistem mekanisme tubuh terganggu. Jika mekanisme tubuh terganggu maka akan berpengaruh terhadap kondisi umum pasien. Dikarenakan kematian sel-sel tubuh akibat pengaruh serapan dosis radiasi pada jaringan Kanker dan juga jaringan sehat yang terpapar radiasi tak langsung.


(43)

Efek samping yang terjadi pada pasien yang telah menjalani radioterapi bervariasi. Beberapa efek samping yang dialami pasien karena berkurangnya sistem kekebalan tubuh dapat berupa kelelahan, perasaan kram dan nyeri, reaksi kulit, kehilangan nafsu makan, diare, mual, muntah, rambut rontok, sering berkemih. Efek samping lain yang terjadi juga dapat mengakibatkan terjadinya komplikasi penyakit diantaranya terjadi pendarahan, infertil, obstruksi ureter, Hidronefrosis, Gagal ginjal, Anemia, infeksi sistemik (Danny Satriyo, 2014). Diantara efek-efek samping yang terjadi pada pasien saat berlangsungnya terapi radiasi terkadang membuat pasien enggan melanjutkan proses penyinaran sampai batas waktu yang ditentukan karena adanya rasa lelah dan semangat yang menurun dan kadang kala proses radioterapi mengakibatkan terjadinya komplikasi penyakit sehingga untuk sementara proses radioterapi diberhentikan dikarenakan pasien dianjurkan rawat inap di rumah sakit dikarenakan menurunnya kondisi kesehatan pasien. Dalam pengobatan Kanker dengan radioterapi paparan radiasi ke jaringan tubuh harus menjadi pertimbangan, baik itu ke jaringan Kanker maupun ke jaringan yang sehat. Telah diketahui salah satu sifat sinar-X terhadap materi yang dilaluinya adalah efek ionisasi. Pada tubuh manusia radiasi yang mengenai sumsum tulang akan menyebabkan depresi jumlah sel darah karena

destruksi sel punca hemopoetik dan sel progenitor yang sangat sesitif radiasi (A. Setyawan, H.M. Djakaria, 2013). Di dalam tubuh manusia yang

mempengaruhi pembentukan sel-sel darah adalah jaringan hemopoetik dan salah satu dari sel darah tersebut terdapat sel darah putih dimana sel darah putih atau Leukosit ini yang berfungsi dan berperan dalam sistem immunitas tubuh (Campbell, 2002). Sel darah putih dalam tubuh manusia terdiri dari beberapa jenis yaitu: Basofil, Eosinofil, Neutrofil, Limfosit dan Monosit (Ayisetia Budy, 2009). Pada umumnya penderita Kanker akan mengalami penurunan jumlah sel darah putih misalnya pada pasien penderita Kanker Nasofaring (Rahmat. R, 2006). Maka pada penelitian ini penulis ingin mengetahui mengapa sistem immunitas tubuh pasien dapat menurun setelah mendapatkan dosis penyinaran radioterapi terlebih pada sistem jaringan hemopoetik pasien penderita kanker serviks apakah mengalami penurunan ataukah kenaikan.


(44)

1.2. Perumusan Masalah

Dari latar belakang di atas maka penulis dapat merumuskan suatu permasalahan tentang bagaimana menganalisa sistem immunitas tubuh pada jaringan Hemopoetik pasien penderita kanker serviks terhadap respon radiasi radioterapi yang diterima.

1.3. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan:

a. Untuk mengetahui efek pemberian dosis radioterapi terhadap sistem immunitas tubuh pasien kanker serviks.

b. Untuk mengetahui sistem immunitas tubuh pada jaringan hemopoetik terhadap dosis radiasi radioterapi yang telah diterima oleh tubuh.

1.4. Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian ini:

a. Bermanfaat sebagai dasar pengetahuan mengenai efek-efek yang terjadi pada pemberian dosis radioterapi yang dapat mempengaruhi sistem immunitas tubuh.

b. Dapat memberikan informasi bahwa sistem jaringan hemopoetik mempengaruhi sistem immunitas tubuh.

c. Dapat dijadikan sebagai referensi atau acuan dalam proses pemahaman pemanfaatan sinar radioterapi.

1.5. Batasan Masalah

Pada penelitian ini masalah dibatasi pada pemberian dosis radioterapi yang mempengaruhi sistem immunitas tubuh jaringan Hemopoetik yaitu sel darah putih pasien penderita kanker serviks.


(45)

1.6. Sistematika Penulisan

Bab 1, Berisi tentang Latar Belakang, Perumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian, Batasan Masalah dan Sistematika Penulisan.

Bab 2, Berisi tentang dasar teori meliputi: Sistem Immunitas Tubuh, Jaringan Hemopoetik, Kanker Serviks, Radioterapi, Interaksi Radiasi dengan Materi, Interaksi Radiasi dengan Zat, Linac, Dosis Penyinaran Radioterapi, Dosimetri, Prosedur Pemeriksaan Pasien Radioterapi.

Bab 3, Berisi tentang Metode penelitian yang terdiri dari tempat penelitian, instrumen dan Diagram Alur Penelitian dan Jadwal Penelitian.

Bab 4, Berisi Hasil dan Pembahasan Penelitian di Rumah Sakit Umum Murni Teguh Medan. Tabel Data Analisis Sistem Immunitas Tubuh Pasien Penderita Kanker Serviks pada Jaringan Hemopoetik terhadap Dosis Penyinaran Radioterapi, Tabel dan Grafik Data Analisis Sistem Immunitas Tubuh. Bab 5, Kesimpulan dan Saran


(46)

ANALISIS SISTEM IMMUNITAS TUBUH PADA JARINGAN HEMOPOETIK PASIEN PENDERITA KANKER SERVIKS

TERHADAP DOSIS PENYINARAN RADIOTERAPI ABSTRAK

Penyinaran pada radioterapi dengan LINAC pada kasus kanker serviks akan mengenai sumsum tulang yang sensitif terhadap radiasi, dimana pada jaringan hemopetik salah satu yang berfungsi sebagai sistem immunitas tubuh adalah sel darah putih yaitu leukosit, dimana leukosit terdiri dari sel eosinofil, basofil, neutrofil, limfosit dan monosit. Metode penelitian dilakukan dengan menyusun data rekam medik jaringan hemopoetik pasien radioterapi pada kasus kanker serviks dengan metode membandingkan hasil penelitian dengan nilai normal yang telah ditetapkan oleh teori Maxwell M. Wintrobe, 1947. Hasil penelitian menunjukkan sel leukosit turun 0,79%-12,26%, sel eosinofil turun 0,4%-3,8%, sel basofil turun 0,2%-2,1%. Pada sel neutrofil terjadi variasi efek yaitu sel neutrofil naik sebesar 3,9%-17,9% dan sel neutrofil turun sebesar 8,3%. Pada sel limfosit juga memperlihatkan variasi efek yaitu jumlah sel limfosit turun 3,9%-15,1% dan jumlah sel naik sebesar 2,9%. Pada sel monosit jumlah sel memperlihatkan naik sebesar 0,7%-6,3%.

Kata Kunci: Radioterapi, LINAC, Sistem Immunitas, Jaringan Hemopoetik, Kanker serviks


(47)

SYSTEMS ANALYSIS IMMUNITAS BODY IN NETWORK HEMOPOETIK CANCER SUFFERER PATIENT SERVIKS

TOWARDS RADIOTHERAPY IRRADIATION DOSE

ABSTRACT

Irradiation in radiotherapy with LINAC in cancer case serviks will hit sensitive bone marrow towards radiation, where in network hemopetik one other functioned as system immunitas body phabocyte that is leucocyte, where does leucocyte consist of cell eosinofil, basofil, neutrofil, limfosit and monosit. Watchfulness method has been done with composed data rekam medik network hemopoetik radiotherapy patient in cancer case serviks with method has compared watchfulness result with normal value that appointed by theory Maxwell M. Wintrobe, 1947. Watchfulness result shows leucocyte

cell goes 0,79%-12,26%, cell eosinofil go down 0,4%-3,8%, cell basofil go down 0,2%-2,1%. In cell neutrofil happen effect variation that is cell neutrofil rise as big as

3,9%-17,9% and cell neutrofil go down as big as 8,3%. In cell limfosit also show effect variation that is cell total limfosit go down 3,9%-15,1% and cell total rises as big as 2,9%. In cell monosit cell total shows to rise as big as 0,7%-6,3%.

Keyword: Radiotherapy, LINAC, System Immunitas, Network Hemopoetik, Cancer Serviks


(1)

ANALISIS SISTEM IMMUNITAS TUBUH PADA JARINGAN HEMOPOETIK PASIEN PENDERITA KANKER SERVIKS

TERHADAP DOSIS PENYINARAN RADIOTERAPI ABSTRAK

Penyinaran pada radioterapi dengan LINAC pada kasus kanker serviks akan mengenai sumsum tulang yang sensitif terhadap radiasi, dimana pada jaringan hemopetik salah satu yang berfungsi sebagai sistem immunitas tubuh adalah sel darah putih yaitu leukosit, dimana leukosit terdiri dari sel eosinofil, basofil, neutrofil, limfosit dan monosit. Metode penelitian dilakukan dengan menyusun data rekam medik jaringan hemopoetik pasien radioterapi pada kasus kanker serviks dengan metode membandingkan hasil penelitian dengan nilai normal yang telah ditetapkan oleh teori Maxwell M. Wintrobe, 1947. Hasil penelitian menunjukkan sel leukosit turun 0,79%-12,26%, sel eosinofil turun 0,4%-3,8%, sel basofil turun 0,2%-2,1%. Pada sel neutrofil terjadi variasi efek yaitu sel neutrofil naik sebesar 3,9%-17,9% dan sel neutrofil turun sebesar 8,3%. Pada sel limfosit juga memperlihatkan variasi efek yaitu jumlah sel limfosit turun 3,9%-15,1% dan jumlah sel naik sebesar 2,9%. Pada sel monosit jumlah sel memperlihatkan naik sebesar 0,7%-6,3%.

Kata Kunci: Radioterapi, LINAC, Sistem Immunitas, Jaringan Hemopoetik, Kanker serviks


(2)

SYSTEMS ANALYSIS IMMUNITAS BODY IN NETWORK HEMOPOETIK CANCER SUFFERER PATIENT SERVIKS

TOWARDS RADIOTHERAPY IRRADIATION DOSE

ABSTRACT

Irradiation in radiotherapy with LINAC in cancer case serviks will hit sensitive bone marrow towards radiation, where in network hemopetik one other functioned as system immunitas body phabocyte that is leucocyte, where does leucocyte consist of cell eosinofil, basofil, neutrofil, limfosit and monosit. Watchfulness method has been done with composed data rekam medik network hemopoetik radiotherapy patient in cancer case serviks with method has compared watchfulness result with normal value that appointed by theory Maxwell M. Wintrobe, 1947. Watchfulness result shows leucocyte

cell goes 0,79%-12,26%, cell eosinofil go down 0,4%-3,8%, cell basofil go down 0,2%-2,1%. In cell neutrofil happen effect variation that is cell neutrofil rise as big as

3,9%-17,9% and cell neutrofil go down as big as 8,3%. In cell limfosit also show effect variation that is cell total limfosit go down 3,9%-15,1% and cell total rises as big as 2,9%. In cell monosit cell total shows to rise as big as 0,7%-6,3%.

Keyword: Radiotherapy, LINAC, System Immunitas, Network Hemopoetik, Cancer Serviks


(3)

DAFTAR ISI

Halaman PERSETUJUAN

PERNYATAAN PENGHARGAAN

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

DAFTAR ISI ... iii

DAFTAR TABEL ... v

DAFTAR GAMBAR ... vi

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 3

1.3 Tujuan Penelitian ... 3

1.4 Manfaat Penelitian ... 3

1.5 Batasan Masalah ... 3

1.6 Sistematika Penulisan ... 4

BAB II DASAR TEORI 2.1 Sistem Immunitas Tubuh ... 5

2.2 Jaringan Hemopoetik ... 6

2.3 Kanker Serviks ... 9

2.3.1 Defenisi ... 9

2.3.2 Epidemiologi ... 9

2.4 Radioterapi ... 12

2.5 Interaksi Radiasi dengan Materi ... 16

2.5.1 Absorpsi Energi ... 16

2.5.2 Koefisien Atenuasi ... 17

2.5.3 Efek Foto Listrik ... 17

2.5.4 Efek Compton ... 18

2.5.5 Produksi Pasangan ... 19

2.6 Interaksi Elektron dengan Zat ... 19

2.7 Linear Akselerator (Linac) ... 20

2.7.1 Tabung Betatron ... 20

2.7.2 Sinkrotron Elektron ... 21

2.7.3 Prinsip Kerja dari LINAC ... 22

2.8 Dosis Penyinaran Radioterapi ... 24

2.9 Dosimetri ... 24

2.9.1 Paparan Radiasi ... 24

2.9.2 Kecepatan Pemaparan ... 24

2.9.3 Dosis Serap ... 25

2.9.4 Laju Dosis Serap ... 25

2.9.5 Distribusi Dosis Kedalaman ... 25

2.9.6 Persentase Dosis Kedalaman ... 25

2.10 Prosedur Pemeriksaan Pasien Radioterapi ... 26

2.10.1 Persiapan Pasien ... 26

2.10.2 Prosedur Radioterapi... 26

2.10.3 Hal-hal penting yang harus diketahui pasien ... 29


(4)

BAB III METODE PENELITIAN

3.1 Tempat Penelitian ... 30

3.2 Materi dan Bahan Penelitian ... 30

3.3 Alat Penelitian ... 30

3.4 Diagram Penelitian ... 32

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Analisis Data Jaringan Hemopoetik Terhadap Dosis Penyinaran Radioterapi ... 33

4.2 Tabel dan Grafik Data Hubungan Jaringan Hemopoetik terhadap Dosis Penyinaran Radioterapi ... 33

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan ... 42

5.2 Saran ... 43


(5)

DAFTAR TABEL

No. Tabel Judul Halaman

2.1 Nilai Normal Leukosit ... 8

2.2 Nilai Normal Hitung Jenis Leukosit ... 8

4.1 Nilai Normal Leukosit ... 33

4.2 Hubungan Jumlah Leukosit Terhadap Dosis Radioterapi ... 33

4.3 Nilai Normal Hitung Jenis Leukosit ... 35

4.4 Hubungan Hitung Jenis Leukosit (Eosinofil) Terhadap Dosis Radioterapi ... 35

4.5 Hubungan Hitung Jenis Leukosit (Basofil) Terhadap Dosis Radioterapi ... 36

4.6 Hubungan Jumlah Hitung Jenis Leukosit (Neutrofil) Terhadap Dosis Penyinaran Radioterapi ... 37

4.7 Hubungan Jumlah Jenis Leukosit (Limfosit) Terhadap Dosis Penyinaran Radioterapi ... 39

4.8 Hubungan Jumlah Jenis Leukosit (Monosit) Terhadap Dosis Radioterapi ... 40


(6)

DAFTAR GAMBAR

No. Gambar Judul Halaman

2.1 Gambar Leukosit Dalam Darah ... 6

2.2 Jenis Sel Darah Putih... 7

2.3 Klasifikasi Kanker Serviks menurut FIGO (Internasional Federation of Gynaecology and Obstetrics) pada tahun 2009 ... 10

2.4 Efek Fotolistrik ... 17

2.5 Penghamburan Compton ... 18

2.6 Proses terjadinya produksi pasangan ... 19

2.7 Alur Radioterapi ... 28

3.1 LINAC Multy Synergi Rumah Sakit Umum Murni Teguh Memorial Medan ... 31

3.2 Operator Concole di Ruang TPS Rumah Sakit Umum Murni Teguh Medan ... 31

3.3 Diagram Alir Penelitian di Rumah Sakit Umum Murni Teguh Medan ... 32

4.1 Grafik Hubungan Jumlah Leukosit terhadap Dosis Radioterapi ... 34

4.2 Grafik Hubungan Leukosit (Eosinofil) terhadap Dosis Radioterapi ... 35

4.3 Grafik Jumlah Hitung Jenis Leukosit (Basofil) terhadap Dosis Radioterapi ... 37

4.4 Grafik Hubungan Jumlah Hitung Jenis Leukosit (Neutrofil) terhadap Dosis Penyinaran Radioterapi ... 38

4.5 Grafik Hubungan Jumlah Hitung Jenis Leukosit (Limfosit) terhadap Dosis Penyinaran Radioterapi ... 39

4.6 Grafik Hubungan Jumlah Hitung Jenis Leukosit (Monosit) terhadap Dosis Radioterapi ... 41