Tabel 3. Konsentrasi Hambat Minimum ekstrak umbi bawang Lokio terhadap Escherichia coli
Diameter Zona Hambat mm Konsentrasi
Pelarut 50
40 30
20 10
7,5 Etil asetat
13,25 11,5
11,75 9,5
9 -
Etanol 11,75
9,5 9
8,75 8
- Hasil menunjukkan bahwa konsentrasi hambat minimum ekstrak umbi
bawang Lokio fraksi etanol dan etil asetat adalah sama, dengan konsentrasi 10 masing-masing diameter zona hambat sebesar 8 mm dan 9 mm. Potensi yang
sama juga dihasilkan dari ekstrak etanol bawang dayak Eleutherine palmifolia 10 mg mL dengan diameter zona hambat sebesar 8 mm Amanda, 2014.
Penelitian Najjaa et al., 2009 menambahkan bahwa Allium roseum pada konsentrasi 2 juga menghasilkan diameter zona hambat sebesar 9 mm.Penelitian
Tajkarimi et al., 2010 terkait dengan beberapa ekstrak bahan alami masing- masing pada konsentrasi 0,5 dalam menghambat pertumbuhan bakteri E. coli
diantaranya ialah ekstrak kayu manis sebesar 8 mm, ekstrak cengkeh sebesar 11,6 mm, ekstrak bawang putih 10 mm dan ekstrak jahe 9,3 mm.
4.4. Uji Organoleptik Ikan Nila yang diberi Ekstrak Umbi Bawang Lokio
Ikan Nila yang ditangkap hidup dari tambak Bakti Mulyo dibawa ke laboratotorium untuk selanjutnya dibersihkan dan diberi perlakuan. Hasil uji
organoleptik ikan Nila disajikan pada Gambar 5 berikut dan Lamp. 5LHlm. 42
Gambar 5. Perubahan nilai organoleptik ikan Nila hingga akhir penyimpanan. 1
2 3
4 5
6 7
8 9
6 12
18 24
30 36
Waktu Penyimpanan jam Nil
ai org
ano lep
tik
Kontrol + 4°C, Perlakuan, Kontrol - 27°C,
--- batas kelayakan. Perubahan nilai organoleptik ikan Nila baik kontrol maupun dengan
perlakuan penambahan ekstrak umbi bawang Lokio dan disimpan memiliki pola penurunan nilai organoleptik yang sama dengan tingkat kecepatan yang berbeda.
Hingga akhir penyimpanan jam ke-36 tingkat penurunan nilai organoleptik terlambat terlihat pada kontrol positif penyimpanan pada suhu 4 °C, diikuti
dengan perlakuan penambahan ekstrak dan kontrol negatif. Dari hasil diperoleh bahwa ikan dengan perlakuan ekstrak masih dapat diterima konsumen hingga jam
ke- 30 dengan nilai organoleptik 7,16. Hasil organoleptik kontrol negatif dan perlakuan pada jam ke-12
menunjukkan perbedaan yang cukup jauh, sementara disimpan pada suhu yang sama. Perbedaan tingkat kecepatan penurunan nilai organoleptik pada ikan Nila
dengan perlakuan penambahan ekstrak dikarenakan aktivitas senyawa antibakteri pada ekstrak. Menurut Kyung 2012, aktivitas antimikroba dari kebanyakan
Alliumyang berperan utama adalah thiosulfinat. Senyawa antimikroba turunan Allium ini menghambat pertumbuhan mikroba melalui pengikatan dengan
kelompok protein sel sulfihydryl SH. Tajkarimi et al., 2010 menambahkan bahwa aktivitas antibakteri dari minyak atsiri dan ekstrak tanaman dapat
diaplikasikan ekstrak kasar maupun senyawa bioaktifnya dalam pengawetan. Namun, ekstrak umbi bawang Lokio pada penelitian ini dapat mengubah warna
mata dan tubuh ikan serta menimbulkan bau khas sulfur ekstrak pada daging ikan. Adanya perbedaan cara mati ikan dan pembersihan isi perut juga insang
penyiangan juga mempengaruhi kesegaran ikan. Penelitian yang dilakukan oleh Munandar et al.,2009, bahwa ikan Nila yang mati ditusuk dengan penyiangan
akan lebih lama mengalami fase rigor mortis dibandingkan dengan mati menggelepar dan tanpa penyiangan.Menurut Ghaly et al., 2010, pengeluaran isi
perut penyiangan bertujuan untuk mengurangi enzim protease dari saluran pencernaan. Enzim digestif keluar saat post mortem bersamaan dengan pecahnya
dinding perut. Bagaimanapun, kesempatan kontaminasi silang bakteri mungkin terjadi selama proses pengeluaran isi perut.
Tingkat kelayakan konsumsi ikan Nila ditentukan berdasarkan SNI 01.2346.2006, dimana batas nilai kelayakan organoleptik untuk konsumsi ikan
segar adalah 7. Ikan Nila kontrol mulai ditolak oleh konsumen pada penyimpanan jam ke-12 sedangkan ikan Nila dengan perlakuan penambahan ekstrak mulai
ditolak pada penyimpanan jam ke-36. Hasil ini lebih tinggi dibanding dengan penelitian yang dilakukan oleh Putro et al., 2008 bahwa perendaman ikan
kembung oleh ekstrak bawang putih layak dikonsumsi hingga 12 jam penyimpanan pada suhu kamar.
Perbedaan suhu penyimpanan ikan menurut Chebet 2010, bahwa pembusukan ikan Nila pada suhu ambient 20-30 °C ditandai dengan bau busuk
yang kuat, bau amis dan bau hidrogen sulfida; terjadi dalam waktu 11-17 jam. Produksi bau ini merupakan aktivitas dari bakteri Aeromonas spp dan
Enterobacteriaceae yang menyebabkan penurunan trimetilamin oksida TMAO menjadi TMA dan produksi hidrogen sulfida dari asam amino. Penelitian Adoga
et al., 2010 juga menegaskan bahwa kualitas organoleptik ikan Nila tilapia yang diterima ialah 12 jam pada suhu ambient dan selama 15 hari pada penambahan es.
Bahar 2006, menjelaskan bahwa semakin tinggi temperatur akan menyebabkan waktu berlangsungnya rigor mortis semakin cepat. Ikan yang
disimpan pada suhu lebih tinggi mempunyai mutu organoleptik yang lebih rendah daripada ikan yang disimpan pada suhu lebih rendah. Huss 1995, menambahkan
bahwa rentang kebusukan pada ikan segar yang disimpan pada suhu yang sama akan sama pada semua jenis ikan. Rentang kebusukan ikan pada penyimpanan
suhu 20-30 °C akan 25 kali lebih tinggi daripada penyimpanan suhu 0 °C. SNI 01.2346.2006 menetapkan parameter kenampakan mata, insang,
lendir permukaan badan, warna dan kenampakan badan, bau serta tekstur sebagai kriteria organoleptik ikan segar. Menurut Moeljanto 1982, daging ikan
mengandung jaringan ikat tendon sedikit, sehingga mudah dicerna oleh enzim autolisis. Hasil pencernaan ini mengakibatkan daging menjadi lunak dan cocok
untuk pertumbuhan mikroba sehingga warna dagingnya kusam. Menurut Soewedo 1983, pada umumnya kerusakan warna ikan terjadi karena pada senyawa-
senyawa pigmen yang ada pada ikan karena proses oksidasi. Hal ini berhubungan dengan kadar protein ikan mioglobin dan hemoglobin yang memberi warna
merah pada darah. Warna cokelat atau abu-abu disebabkan karena mioglobin berubah menjadi metmioglobin dan methemoglobin. Menurut Afrianto dan
Liviawaty 1991, bakteri sarkosplasma dalam tubuh ikan menyebabkan bau tengik. Namun adanya pendinginan yang tinggi dapat mencegah terjadinya
degradasi lemak dan protein yang menyebabkan bau tengik. Adanya lendir pada permukaan ikan diduga merupakan hasil metabolisme
bakteri mesofil yang berkembang cepat. Rahayu 2011, menjelaskan bahwa timbulnya lendir sebagai akibat dari berlangsungnya proses biokimiawi dan
berkembangnya mikroba. Rusaknya jaringan pada daging menyebabkan kesegarannya akan hilang, timbul cairan sebagai tetes-tetes air yang mengalir
keluar. Pratiwanggini 1986, menambahkan bahwa bakteri yang dominan pada ikan segar terutama pada saluran pencernaan, insang dan lendir adalah
Pseudomonas sp., Acinetobacter moraxella, Bacillus sp., Proteus sp., Serratia sp., Escherichia sp., Alcaligenes sp.
4.5. Penentuan Angka Lempeng Total ALT Bakteri pada Ikan Nila