73
dengan pengetahuannya. Dapat dipastikan dengan pendidikan dan pengetahuan yang cukup WUS akan mempunyai sikap yang positif terhadap kontrasepsi dibandingkan
dengan yang pendidikan rendahkurang.
6.5 Gambaran Perilaku Penggunaan Kontrasepsi Berdasarkan Jumlah Anak
Berdasarkan hasil penelitian ini diketahui bahwa penggunaa alat kontrasepsi pada WUS di Sumatera Utara pada tahun 2008 – 2012 sebagian besar memiliki 3 – 4 anak,
sedangkan jumlah anak paling sedikit yang dimiliki WUS pengguna alat kontrasepsi yaitu 0 anak. Hasil ini didapatkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara
jumlah anak dengan perilaku penggunaan kontrasepsi pada WUS. Dalam hal ini jumlah anak yang dimaksud adalah jumlah anak WUS yang masih hidup. Hasil penelitian ini
sejalan dengan penelitian Simbolon 2010 di Kabupaten Dairi, Sumatera Utara, yang juga mengatakan bahwa dari hasil analisis statistik menunjukkan bahwa ada hubungan
antara jumlah anak dengan perilaku penggunaan kontrasepsi. Menurut Kamus Saku Mosby, paritas merupakan klasifikasi perempuan
berdasarkan jumlah bayi lahir hidup dan lahir mati yang dilahirkannya pada umur kehamilan lebih dari 20 minggu. Pada saat hamil, rahim ibu teregang karena adanya
janin. Apabila terlalu sering melahirkan, rahim ibu akan semakin lemah. Jika ibu telah melahirkan 3 anak atau lebih, perlu diwaspadai adanya gangguan pada waktu kehamilan,
persalinan dan nifas Kemenkes RI, 2011. Kemungkinan seorang istri untuk menambah anak tergantung pada jumlah anak
yang telah dilahirkannya. Seseorang istri mungkin menggunakan alat kontrasepsi setelah mempunyai jumlah anak tertentu dan juga umur anak yang telah dilahirkannya. Seorang
istri akan menggunakan alat kontrasepsi setelah mempunyai sejumlah anak yang dilahirkan, maka hal ini akan menjadi semakin memiliki risiko kematian dalam
74
persalinan. Dalam artian jumlah anak akan sangat mempengaruhi kesehatan ibu dan dapat meningkatkan taraf hidup keluarga secara maksimal Mantra, 2006.
Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Fienalia 2012 di Kota Depok, dimana adanya hubungan yang signifikan antara jumlah anak hidup dengan
penggunaan kontrasepsi jangka panjang. Responden yang memiliki anak ≥ 3 orang memiliki peluang 3,9 kali lebih besar untuk menggunakan kotrasepsi jangka panjang
dibandingkan dengan yang mempunyai anak 0 – 2 orang. Selain itu penelitian yang dilakukan oleh Wahidin 2005 di Kota Palu, menunjukan adanya hubungan antara
jumlah anak hidup dengan pemilihan metode kontrasepsi suntik di Kecamatan Palu Selatan Kota Palu. Akseptor akan menggunakan metode kontrasepsi sebagai suatu cara
untuk mengatasi kelahiran anak yang tidak diinginkan, apabila jumlah anak hidup yang dimilikinya telah cukup.
Budaya patriarki adalah keadaan hukum adat yang memakai nama bapak dan hubungan keturunan melalui garis kerabat priabapak. Perempuan seringkali diabaikan
haknya dalam lingkup budaya patriarki diantaranya adanya pendominan anak laki-laki maskulinitas atau kecenderungan harapan lahirnya anak laki-laki dalam suatu keluarga
serta otoritas pengambil keputusan dalam keluarga yang juga dapat mempengaruhi keputusan WUS menjadi akseptor keluarga berencana Aritonang, 2010.
Di negara-negara barat, Eropa Barat termasuk negara Indonesia, budaya dan ideologi patriarki masih sangat kental mewarnai berbagai aspek kehidupan dan struktur
masyarakat. Apabila dilihat dari garis keturunan, masyarakat Sumatera Utara lebih cenderung sebagai masyarakat yang patrilineal yang dalam hal ini posisi ayah atau bapak
laki-laki lebih dominan dibandingkan dengan posisi ibu perempuan. Selain itu Contoh suku yang menganut faktor budaya patriarki adalah Batak, Melayu dan Nias Sastriyani,
2007.
75
Berdasarkan hasil penelitian Mendfora 2012 di Desa Onozitoli Sifauro’Asi menyatakan, dari budaya patrilinealpatriarki yang dianut oleh masyarakat suku Nias,
setiap keluarga berkeinginan untuk mendapatkan anak laki-laki. Apabila dalam sebuah keluarga belum ada anak laki-laki, ada kecenderungan untuk mempunyai anak lagi
sampai mendapatkan anak laki-laki. Selain itu, berdasarkan hasil penelitian Aritonang 2010 di Medan didapatkan
bahwa masih ditemukannya responden yang menyatakan di dalam keluarga laki-laki ditempatkan di depan kaum perempuan. Dari hasil diketahui sebesar 85 responden
yang mengharapkan anak laki-laki dan 87 responden mengatakan keluarga sangat mengidamkan anak laki-laki daripada anak perempuan. Responden juga meyatakan, pada
bidang pendidikan adanya pendahulan pendidikan bagi anak laki-laki dari pada anak perempuan.
Hal ini didukung oleh Manurung yang mengatakan bahwa dalam masyarakat yang bertumpu pada budaya dan ideologi patriarki dengan basis dan nilai perempuan,
kedudukan perempuan berada pada subordinat marginalis dalam pengambilan keputusan termasuk akan keikutsertaan dalam program keluarga berencana dan pendominasian dari
anak laki-laki dan anak perempuan Manurung. 2002 Selain itu, berdasarkan hasil penelitian kualitatif di Maluku menunjukkan bahwa
nilai anak bagi orang Toraja Sa’dan sangat penting. Memiliki banyak anak masih menjadi pandangan utama bagi sebagian besar penduduk Sa’dan. Program Keluarga
Berencana KB dari pemerintah yang mengarahkan dua anak lebih baik tidak berlaku bagi orang Toraja Sa’dan. Istilah KB bagi orang Toraja Sa’dan diubah menjadi “keluarga
besar”, untuk menunjukkan banyaknya jumlah anak yang mereka miliki. Bahkan seorang yang terpandang di Toraja menceritakan bahwa dua bukan dua orang, namun dua pasang
empat anak untuk menunjukkan anak yang mereka miliki. Ketiadaan seorang anak bagi
76
orang Toraja Sa’dan merupakan hal yang masiri’ malu dalam keluarga, dianggap lemah, dan dikasihani oleh keluarga luas. Bahkan, sekalipun sudah memiliki anak, tetapi baru
satu, keluarga tersebut masih dianggap belum lengkap Kemenkes RI, 2012. Pada masyarakat, masih adanya pandangan orang tua terhadap anak dalam
keluarga, dimana anak selain merupakan kebanggaan orang tua, anak juga sebagai tenaga kerja yang membantu meningkatkan ekonomi keluarga. Selain itu adanya kebiasaan dari
suatu kelompok masyarakat yang memberi nilai lebih pada satu jenis kelamin tertentu Siregar, 2003. Bagi kebanyakan masyarakat di Indonesia cenderung masih sangat
mempercayai mitos-mitos terdahulu. Semboyan banyak anak akan banyak rezeki, banyak anak akan banyak
kegembiraan di hari tua masih terdengar dikalangan pasangan yang memiliki anak dengan jumlah banyak. Bagi masyarakat yang cenderung dinamis dalam bidang ekonomi
dan sosial, atau makin meningkat kemakmuran hidupnya, jumlah anak sering dianggap bukan masalah yang memberatkan. Dalam hal ini, target program KB dengan semboyan
dua anak lebih baik sering dianggap sebagai usang yang mungkin hanya cocok bagi masyarakat statis yang hidup dalam garis kemiskinan BKKBN, 2010.
Dibutuhkan peran serta petugas kesehatan dan tokoh masyarakat yang menduduk dalam upaya penyebaran informasi tentang manfaat dari penggunaan kontrasepiyang
mana untuk membatasi kelahiran anak, selain itu usaha yang dilakukan salah satunya meluruskan mitos-motos yang sudah berkembang di masyarakat, seperti banyak anak
banyak rezeki dimana dalam hal ini diperlukannya pendekatan dalam aspek budaya. Petugas KB tidak hanya menginformasikan kontrasepsi kepada ibu saja, namun juga
keluarga diperlukan juga dimana masih adanya peran orang tua terhadap anak yang sudah berkeluarga dalam pemutusan jumlah anak yang dimiliki.
77
6.5 Gambaran Perilaku Penggunaan Kontrasepsi Berdasarkan Tingkat Kekayaan