Kebakaran Hutan 1982-1983 dan 1987 Kebakaran Hutan 1991 dan 1994

10 Project FireFight Southeast Asia Publication, 2003. Apabila api di lahan gambut tidak dapat dipadamkan, api tersebut dapat tetap menyala di bawah permukaan dalam waktu yang lama bahkan tahunan dan menyebabkan kebakaran baru apabila cuaca menjadi lebih kering lagi. Api yang menyala di bawah permukaan merusak sistem perakaran pohon. Pohon-pohon tersebut akan menjadi tidak stabil dan kemudian tumbang atau mati. Hal ini akan menghasilkan sejumlah besar pohon mati atau sisa tanaman, yang akan menjadi bahan bakar yang potensil bagi kebakaran berikutnya. Penelitian yang dilakukan terhadap arang yang terdapat di tanah mengindikasikan bahwa kebakaran hutan secara periodik terjadi semenjak 17.500 tahun yang lalu. Penyebab utama kebakaran hutan saat itu mungkin terjadi secara alamiah karena kondisi iklim saat itu yang lebih kering dibanding saat ini, tetapi manusia juga telah mulai membakar hutan lebih dari puluhan ribu tahun yang lalu untuk perburuan dan pertanian Glover, et al., 1999. Pada abad 20, Statistik Kehutanan Indonesia pertama kali memuat luas hutan yang terbakar pada tahun 1978-1979. Kejadian kebakaran hutan besar yang terekam paling awal dan cukup lengkap adalah kebakaran hutan yang terjadi di Kalimantan Timur pada tahun 1982-1983, semenjak itu, kebakaran hutan merupakan kejadian yang rutin di Indonesia pada umumnya dan Kalimantan khususnya hingga kini.

2.5.1 Kebakaran Hutan 1982-1983 dan 1987

Kebakaran hutan di Kalimantan Timur pada tahun 1982-1983 merupakan kebakaran hutan paling besar dalam sejarah. Kebakaran hutan yang menghancurkan 3,5 juta hektar hutan atau setara dengan 56 kali luas Singapura. Penyebabnya adalah perubahan struktur vegetasi akibat pembalakan kayu yang telah dimulai sekitar tahun 1970-an. Pembalakan menyisakan limbah kayu dalam jumlah besar yang menjadi bahan bakar. El Nino yang terjadi pada tahun 1982-1983 mengakibatkan terjadinya musim kemarau panjang sehingga memperparah kebakaran hutan. Rincian tipe vegetasi yang terbakar yaitu 800.000 ha hutan primer, 1.400.000 ha hutan yang sudah dibalak, 750.000 hutan sekunder atau ladang berpindah atau pemukiman, dan 550.000 ha lahan dan hutan rawa gambut KLH, 2001. Asap yang ditimbulkan menyebabkan transportasi udara lumpuh di Kalimantan Timur, bahkan Surabaya. Asap juga menggangu penerbangan dari dan ke Jakarta maupan dari dan ke Singapura serta melumpuhkan transportasi air di Balikpapan. Asap menimbulkan iritasi mata dan tenggorokan walaupun tidak ada catatan adanya korban jiwa. Masyarakat juga mengalami kerugian sosial ekonomi, diantaranya adalah berkurangnya cadangan makanan dan pasokan air bersih, terhambatnya akses ke desa terpencil, berkurangnya hasil hutan, dan dampak pada pendapatan tunai serta pekerjaan alternatif. Kebakaran besar terjadi lagi pada tahun 1987 yang melanda hampir semua propinsi terutama bagian timur Kalimantan, Bali, Nusa Tenggara, Timor, serta Sulawesi dan Kalimantan Tengah. Indonesia kembali mengalami El Nino yang mengakibatkan terjadinya kemarau panjang sejak pertengahan bulan Juni 1987. Penyebab kebakaran hutan tahun 1987 disebabkan oleh kemarau panjang, perladangan berpindah yang dilakukan oleh masyarakat setempat, areal HPH yang tidak dikelola dengan baik, dan batu bara yang menyala terus menerus di Kalimantan Timur KLH, 2001.

2.5.2 Kebakaran Hutan 1991 dan 1994

Kebakaran hutan terjadi lagi pada tahun 1991 dan dampaknya lebih luas hingga mencakup 23 propinsi dibandingkan kebakaran hutan pada tahun 1987. Pada tahun 1991 juga mulai muncul kesadaran bahwa kebakaran hutan juga menimbulkan kerugian di berbagai sektor non-kehutanan terutama perhubungan. Kerugian ini berkaitan dengan asap yang ditimbulkan oleh kebakaran hutan. Maskapai Merpati Nusantara Airlines melaporkan 337 pembatalan penerbangan dari dan ke Sumatera dan Kalimantan dengan kerugian diperkirakan mencapai Rp 6,5 milyar. Tingkat hunian di berbagai hotel di Kalimantan dan Sumatera turun 20 hingga 70 persen karena bandara-bandara harus ditutup akibat kabut asap yang menurunkan jarak apandang atau visibilitas. Penyebaran asap ke negara tetangga di Asia Tenggara mulai dirasakan. Pemerintah Malaysia melaporkan kasus iritasi mata dan penyakit pernafasan meningkat. Singapura juga mengalami peningkatan penyakit pernafasan dan iritasi mata pada bulan September 1991 dan jarak pandang hanya satu kilometer Skpehi, 1992 dalam KLH, 2001. Perubahan dan perbaikan terus dilakukan oleh pemerintah pusat dan provinsi di Kalimantan, namun upaya yang dilakukan 11 masih belum menyentuh dua akar permasalahan utama yaitu perubahan vegetasi serta pembukaan lahan dengan menggunakan api, sehingga berakibat kembali terjadinya kebakaran hutan besar pada tahun 1994. Kebakaran hutan meluas hingga menghancurkan sekitar 4 juta hektar namun hanya sekitar 8000 hektare lahan hutan alam yang terbakar sedangkan sisanya merupakan daerah hutan produksi dan perkebunan serta pertanian Goldammer, 1997 dalam KLH, 2001. Peristiwa kebakaran tahun 1994 memproduksi asap yang dirasakan semakin menggangu kehidupan dan aktifitas sehari- hari. Banyak bandara di Sumatera dan Kalimantan yang ditutup karena jarak pandang pendek karena tertutup kabut asap. Asap tebal yang disebabkan kebakaran hutan di Indonesia menyelimuti wilayah Malaysia dan Singapura sejak pertengan September 1994. Asap itu juga menyebar ke Brunei Darussalam dan diperkirakan bergerak menuju Thailand KLH, 2001.

2.5.3 Kebakaran Hutan 1997