10 Project FireFight Southeast Asia Publication,
2003. Apabila api di lahan gambut tidak
dapat dipadamkan, api tersebut dapat tetap menyala di bawah permukaan dalam waktu
yang lama bahkan tahunan dan menyebabkan kebakaran baru apabila cuaca menjadi lebih
kering lagi. Api yang menyala di bawah permukaan merusak sistem perakaran pohon.
Pohon-pohon tersebut akan menjadi tidak stabil dan kemudian tumbang atau mati. Hal ini akan
menghasilkan sejumlah besar pohon mati atau sisa tanaman, yang akan menjadi bahan bakar
yang potensil bagi kebakaran berikutnya.
Penelitian yang dilakukan terhadap arang yang terdapat di tanah mengindikasikan
bahwa kebakaran hutan secara periodik terjadi semenjak 17.500 tahun yang lalu. Penyebab
utama kebakaran hutan saat itu mungkin terjadi secara alamiah karena kondisi iklim saat itu
yang lebih kering dibanding saat ini, tetapi manusia juga telah mulai membakar hutan
lebih dari puluhan ribu tahun yang lalu untuk perburuan dan pertanian Glover, et al., 1999.
Pada abad 20, Statistik Kehutanan Indonesia pertama kali memuat luas hutan
yang terbakar pada tahun 1978-1979. Kejadian kebakaran hutan besar yang terekam paling
awal dan cukup lengkap adalah kebakaran hutan yang terjadi di Kalimantan Timur pada
tahun 1982-1983, semenjak itu, kebakaran hutan merupakan kejadian yang rutin di
Indonesia pada umumnya dan Kalimantan khususnya hingga kini.
2.5.1 Kebakaran Hutan 1982-1983 dan 1987
Kebakaran hutan di Kalimantan Timur pada tahun 1982-1983 merupakan
kebakaran hutan paling besar dalam sejarah. Kebakaran hutan yang menghancurkan 3,5 juta
hektar hutan atau setara dengan 56 kali luas Singapura. Penyebabnya adalah perubahan
struktur vegetasi akibat pembalakan kayu yang telah dimulai sekitar tahun 1970-an.
Pembalakan menyisakan limbah kayu dalam jumlah besar yang menjadi bahan bakar. El
Nino yang terjadi pada tahun 1982-1983 mengakibatkan terjadinya musim kemarau
panjang sehingga memperparah kebakaran hutan. Rincian tipe vegetasi yang terbakar
yaitu 800.000 ha hutan primer, 1.400.000 ha hutan yang sudah dibalak, 750.000 hutan
sekunder atau ladang berpindah atau pemukiman, dan 550.000 ha lahan dan hutan
rawa gambut KLH, 2001.
Asap yang ditimbulkan menyebabkan transportasi udara lumpuh di Kalimantan
Timur, bahkan Surabaya. Asap juga menggangu penerbangan dari dan ke Jakarta
maupan dari dan ke Singapura serta melumpuhkan transportasi air di Balikpapan.
Asap menimbulkan iritasi mata dan tenggorokan walaupun tidak ada catatan
adanya korban jiwa. Masyarakat juga mengalami kerugian sosial ekonomi,
diantaranya adalah berkurangnya cadangan makanan dan pasokan air bersih, terhambatnya
akses ke desa terpencil, berkurangnya hasil hutan, dan dampak pada pendapatan tunai serta
pekerjaan alternatif.
Kebakaran besar terjadi lagi pada tahun 1987 yang melanda hampir semua
propinsi terutama bagian timur Kalimantan, Bali, Nusa Tenggara, Timor, serta Sulawesi
dan Kalimantan Tengah. Indonesia kembali mengalami El Nino yang mengakibatkan
terjadinya kemarau panjang sejak pertengahan bulan Juni 1987. Penyebab kebakaran hutan
tahun 1987 disebabkan oleh kemarau panjang, perladangan berpindah yang dilakukan oleh
masyarakat setempat, areal HPH yang tidak dikelola dengan baik, dan batu bara yang
menyala terus menerus di Kalimantan Timur KLH, 2001.
2.5.2 Kebakaran Hutan 1991 dan 1994
Kebakaran hutan terjadi lagi pada tahun 1991 dan dampaknya lebih luas hingga
mencakup 23 propinsi dibandingkan kebakaran hutan pada tahun 1987. Pada tahun 1991 juga
mulai muncul kesadaran bahwa kebakaran hutan juga menimbulkan kerugian di berbagai
sektor non-kehutanan terutama perhubungan. Kerugian ini berkaitan dengan asap yang
ditimbulkan oleh kebakaran hutan. Maskapai
Merpati Nusantara Airlines
melaporkan 337 pembatalan penerbangan dari dan ke Sumatera dan Kalimantan dengan
kerugian diperkirakan mencapai Rp 6,5 milyar. Tingkat hunian di berbagai hotel di Kalimantan
dan Sumatera turun 20 hingga 70 persen karena bandara-bandara harus ditutup akibat
kabut asap yang menurunkan jarak apandang atau visibilitas. Penyebaran asap ke negara
tetangga di Asia Tenggara mulai dirasakan. Pemerintah Malaysia melaporkan kasus iritasi
mata dan penyakit pernafasan meningkat. Singapura juga mengalami peningkatan
penyakit pernafasan dan iritasi mata pada bulan September 1991 dan jarak pandang
hanya satu kilometer Skpehi, 1992 dalam KLH, 2001.
Perubahan dan perbaikan terus dilakukan oleh pemerintah pusat dan provinsi
di Kalimantan, namun upaya yang dilakukan
11 masih belum menyentuh dua akar
permasalahan utama yaitu perubahan vegetasi serta pembukaan lahan dengan menggunakan
api, sehingga berakibat kembali terjadinya kebakaran hutan besar pada tahun 1994.
Kebakaran hutan meluas hingga menghancurkan sekitar 4 juta hektar namun
hanya sekitar 8000 hektare lahan hutan alam yang terbakar sedangkan sisanya merupakan
daerah hutan produksi dan perkebunan serta pertanian Goldammer, 1997 dalam KLH,
2001.
Peristiwa kebakaran tahun 1994 memproduksi asap yang dirasakan semakin
menggangu kehidupan dan aktifitas sehari- hari. Banyak bandara di Sumatera dan
Kalimantan yang ditutup karena jarak pandang pendek karena tertutup kabut asap. Asap tebal
yang disebabkan kebakaran hutan di Indonesia menyelimuti wilayah Malaysia dan Singapura
sejak pertengan September 1994. Asap itu juga menyebar ke Brunei Darussalam dan
diperkirakan bergerak menuju Thailand KLH, 2001.
2.5.3 Kebakaran Hutan 1997