6 tanaman maupun alat penyuling menyebabkan semakin meningkatnya keuntungan
petani Damanik, 2005. d. Peningkatan Produksi
Produksi akarwangi tingkat petani masih berkisar 8,5 – 10 ton ha tahun dan kondisi ini masih dapat ditingkatkan dengan pemberian input produksi seperti
bibit unggul dan pupuk. Kemudian introduksi bibit unggul salah satu cara untuk peningkatan produksi begitu juga metode yang dapat memperbaiki kondisi
pertanaman akarwangi dengan penanaman di lahan miring di atas 20 . Pembentukan guludan maupun tanaman lorong dapat menekan erosi.
e. Kelembagaan Petani Dari sisi kelembagaan sangat diperlukan pembentukkan kelompok petani
konservasi supaya partisipasi petani dapat ditingkatkan melalui institusi kelompok usaha bersama yang sudah dapat dikembangkan menjadi kelompok petani
konservasi. Transfer teknologi dan pemahaman aspek lingkungan dari petugas penyuluhan pertanian dan peneliti diharapkan akan berjalan dengan baik dan efektif
melalui institusi petani konservasi.
1.3. Perumusan Masalah
Kondisi pertanaman akar wangi di kabupaten Garut yang diusahakan pada daerah berlereng dan beresiko adanya erosi, maka perlu memperbaiki sistem
usahatani pola tanam akar wangi yang dapat meningkatkan produktivitas lahan, produktivitas tanaman, pendapatan petani, pengendalian laju erosi, dan perbaikan
lingkungan. Perbaikan sistem usahatani tersebut merupakan introduksi teknologi, yang beraspek konservasi dan lingkungan serta juga solusi pemecahan masalah
pengembangan pertanaman akar wangi di kabupaten Garut. Aspek perbaikan teknologi produksi sangat penting karena tanaman akar
wangi mempunyai alur produksi dari mulai tingkat usahatani on farm sampai pengolahan dan pemasaran. Artinya produksi berupa akar wangi segar tidak
mempunyai nilai apabila tidak dilakukan proses pengolahan hasil untuk memperoleh hasil minyak akar wangi. Khusus aspek produksi ini yang perlu
7 diperhatikan adalah 1 bahan tanaman yaitu varietas yang mempunyai
produktivitas yang tinggi, 2 umur panen tanaman akar wangi harus 12-14 bulan sehingga rendemen minyaknya mencapai 1-2 dan 3 tingkat kebersihan dan
kekeringan dari akar wangi segar harus baik sebelum dijual ke pabrik penyulingan. Ketiga hal tersebut sangat mendasar untuk diperhatikan petani akar
wangi sehingga dapat diperoleh produksi yang optimal untuk diproses menjadi minyak akar wangi . Tanpa memperhatikan bahan tanaman, umur panen dan
kebersihan akar wangi maka sangat sulit memperoleh harga yang maksimal dan tetap membuat petani pada posisi yang lemah karena kualitas produknya tidak
layak untuk dipasarkan. Sesuai dengan teori dimana pada kemiringan lahan 15-40 sudah harus
ada tanaman konservasi dan sistem budidaya lorong. Tingkat bahaya erosi pada tebal solum 30 cm sudah mencapai 15-60 tonhatahun, dengan kriteria sedang
sampai berat Hardjowigeno, 2003. Kondisi pertanaman akar wangi yang tradisional belum sepenuhnya memperhatikan kaidah konservasi sehingga bisa
menurunkan produktivitas usaha pertanian akarwangi. Teknologi konservasi meliputi pemilihan jenis tanaman, pengaturan sistem
pertanaman, pembuatan teras bangku, teras gulud, agroforestry, penggunaan mulsa, penanaman rumput penguat teras dan lain-lain atau kombinasi dari
berbagai komponen teknologi tersebut Tasma et al. 1990. Dalam prakteknya teknologi-teknologi tersebut ada yang mampu secara
baik mencapai sasaran, tetapi ada pula yang masih jauh dari pencapaian sasaran. Hal ini sangat tergantung pada kondisi wilayah dimana teknologi tersebut
diterapkan dan pengelolaan usahatani oleh petani. Penerapan teknologi konservasi pada tanaman akarwangi memerlukan suatu kajian pola usahatani
mana yang sesuai di daerah DAS Cimanuk Hulu, apakah pola petani, pola introduksi dan pola usahatani konservasi.
Pola petani adalah kondisi pertanaman akarwangi yang berlangsung saat ini dimana aspek faktor produksinya adalah bibit lokal, tanpa ada guludan,
pemakaian pupuk anorganik, dan panen sekaligus. Sedangkan pola introduksi yaitu penggunaan faktor produksi dengan bibit komposit, ada guludan, pupuk
8 anorganik, dan panen bertahap. Selanjutnya pola konservasi menanam tanaman
lorong, ada guludan, pupuk organik dan bibit lokal. Kegiatan konversi lahan kehutanan di DAS Cimanuk Hulu yang
digunakan untuk pertanaman akar wangi, yang semestinya berfungsi sebagai kawasan konservasi, mengakibatkan berkurangnya penutupan coverage lahan.
Luas hutan di kawasan DAS Cimanuk hanya 16 persen dari luas wilayah atau masih kekurangan luas hutan sebagai penyangga sebesar 19.531 ha, artinya luasan
tersebut masih kurang dari syarat minimal luasan hutan di suatu kawasan yaitu minimal 30 persen dari luas wilayah sesuai dengan Undang-undang No.41 tahun
1999 tentang kehutanan. Kerusakan di hulu juga disebabkan munculnya lahan kritis sebanyak 4.806 ha yang masuk kawasan DAS Cimanuk Hulu. Kerusakan
daerah hulu selanjutnya mengakibatkan peningkatan aliran permukaan run off, peningkatan erosi, penurunan kemampuan menyerap dan menyimpan air.
Permasalahan yang berhubungan dengan erosi tanah dan material terlarut akibat kerusakan daerah hulu mengakibatkan penurunan kualitas lahan dan
pendangkalan aliran sungai sedimentasi. Intensitas dampak kerusakan hulu terhadap hilir akan terus meningkat seiring berlanjutnya kerusakan di hulu.
Sedimen yang masuk ke muara Sungai Cimanuk mengakibatkan pendangkalan dan selanjutnya terjadi banjir. Pertanaman padi dan palawija di daerah hilir
diperkirakan ± 150 ha tergenang air.
Pola usahatani akar wangi yang diterapkan petani di wilayah ini belum mengikuti kaidah-kaidah konservasi, sehingga memperburuk kondisi lahan-lahan
kritis tersebut. Tidak diterapkannya kaidah-kaidah konservasi oleh petani akar wangi berkaitan erat dengan rendahnya kemampuan petani dari segi finansial dan
ketersediaan teknologi yang spesifik lokasi Puslitbangbun, 2003. Pertanyaan yang diajukan dalam penelitian ini sebagai perumusan masalah
adalah : 1. Sejauh mana sistem pola usahatani petani, introduksi, dan pola konservasi
pada akar wangi dapat mencegah degradasi lingkungan khususnya erosi lahan ? 2. Sejauh mana aspek ekonomi fungsi produksi usahatani akar wangi pada
ketiga pola petani, introduksi, konservasi ? 3. Sejauh mana tingkat respon petani terhadap pola usahatani konservasi ?
9 Strategi penelitian untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut
dilakukan dengan merancang penelitian dalam beberapa sub kajian sebagai berikut :
a. Kajian ekologis pola usahatani akar wangi untuk melihat pertumbuhan vegetatif dan generatif dari ketiga pola usahatani dan membandingkan mana
pola usahatani yang dapat menekan laju erosi. b. Kajian ekonomi pola usahatani akar wangi, untuk melihat kelayakan finansial
dan efesiensi usahatani. c. Analisis respon petani, untuk melihat faktor-faktor apa saja yang
mempengaruhi petani untuk dapat merespon pola usahatani konservasi apakah pendapatan, tenaga kerja, pendidikan dan keikutsertaan dalam pelatihan.
1.4. Tujuan