2. Segolongan sarjana menganggap bahwa ilmu politik mementingkan “sifat-sifat
dinamis dari negara” yaitu proses-proses kegiatan dan aktivitas negara. Subyek ilmu politik ialah gerakan-gerakan dan kekuatan-kekuatan di belakang evolusi yang terus menerus. Sebaliknya
menurut para sarjana tersebut ilmu negara lebih mementingkan “segi-segi statis dari negara” seolah-seolah negara adalah beku dan membatasi diri pada penelitian Lembaga kenegaraan yang
resmi.
3. Ilmu negara dianggap lebih tajam konsep-konsepnya dan lebih terang
metodologinya, tetapi ilmu politik dianggap lebih konkrit dan lebih mendekati realitas. 4.
Perbedaan yang praktis ialah bahwa ilmu negara lebih mendapat perhatian dari ahli hukum, sedangkan ahli sejarah dan ahli sosiologi lebih tertarik kepada ilmu politik.
BAB IV PENGERTIAN NEGARA
Dalam sejarah ketatanegaraan pengertian-pengertian tentang negara senantiasa berubah- ubah disebabkan karena pengertian-pengertian itu dilahirkan menurut panggilan zaman dan juga
karena alam fikiran dari penciptanya. Aristoteles yang hidup pada tahun 384 – 322 SM yang telah merumuskan arti dalam bukunya yang berjudul Politica. Dalam perumusannya itu
pandangan Aristoteles masih pada wilayah yang kecil yang disebut polis negara menurut faham sekarang. Bagi Aristoteles yang memerintah dalam negara bukanlah manusia melainkan pikiran
yang adil sedangkan penguasa sebenarnya hanya pemegang hukum dan keseimbangan saja. Kesusilaan yang akan menentukan baik dan tidaknya suatu peraturan undang-undang dan
membuat undang-undang adalah sebagian dari kecakapan menjalankan pemerintahan negara. Oleh karena itu kata Aristoteles bahwa yang penting ialah mendidik manusia menjadi warga
negara yang baik karena sikapnya yang adil akan terjamin kebahagiaan hidup warga negaranya.
Dalam abad pertengahan muncul seorang sarjana yang menjadi tokoh dalam agama katholik yang bernama Agustinus 350 – 430 sesudah Masehi. Dalam karangannya ia membagi
negara atas dua bagian. Satu pihak negara disebut Civitas Dei yang artinya negara Tuhan, dan dipihak lain disebut Civitas Terrena atau Civitas Diaboli yang artinya negara-negara duniawi
akan negara iblis. Civitas terrena ini yang ditolak Agustinus sedangkan yang pertama itu yang dipujinya. Contoh dari negara duniawi yang merupakan Civitas Diaboli itu adalah kerajaan
Romawi yang diperintah Kaisar yang tidak mempunyai rasa keadilan dan sewenang-wenang. Sedangkan contoh dari raja-raja yang memerintah sesuai dengan cita-cita tersebut adalah
Constantin dan Theodosius karena mereka memimpin Civitas Terrena dengan jiwa Civitas Dei. Demikianlah negara menurut abad pertengahan yang dipengaruhi oleh agama katholik.
Kemudian pada abad Renaissance kebenaran-kebenaran tentang negara menurut beberapa faham disangkal. Di antaranya adalah faham dari Machiavelli 1469 – 1527 yang
mengartikan negara sebagai negara kekuasaan. Dalam bukunya “Il Principle” yang merupakan buku pelajaran bagi raja-raja, ia mengajarkan bagaimana raja harus memerintah sebaik-baiknya.
Ia memandang negara dari sudut kenyataan jika dibandingkan dengan faham-faham yang lain, yang melihat negara dari segi alam pikiran. Menurut perkembangan sejarah selanjutnya ajaran
Machiavelli mendapat tentangan terutama oleh karena akibat dari ajarannya raja-raja dapat memerintah dengan sewenang-wenang. Tentangan itu timbul dari rakyat yang menghendaki
kebebasan dari tekanan-tekanan raja.
Pada abad ketujuh belas muncul ajaran-ajaran dari 3 sarjana yang kenamaan seperti Thomas Hobes 1588 – 1679, John Locke 1632 – 1704 dan Rousseau 1712 – 1778. Mereka
mengartikan negara sebagai badan atau organisasi hasil dari pada perjanjian masyarakat. Persamaan dari ketiga ajaran-ajaran itu terletak pada konstruksi alam yang membentuk negar
melalui perjanjian masyarakat, sedangkan perbedaannya terletak pada tujuan-tujuannya serta akibatnya. Baik Hobbes, John locke maupun Rousseau mempergunakan sebagai titik pangkal
ajarannya bahwa manusia dilahirkan telah membawa hak asasinya seperti hak untuk hidup, kemerdekaan dan hak milik. Hak-hak ini termasuk dalam hukum alam. Dalam keadaan belum
ada negara yang disebut status naturalis hak-hak itu tidak dapat dilanggar dan oleh karena itu dapat menimbulkan kekacauan yang bisa mengakibatkan perang semesta. Dalam keadaan belum
ada negara Hobbes menyamakan manusia terhadap manusia yang lainnya seperti serigala dengan ucapannya homo homini lupus. Jika tidak dapat dipertahankan lagi maka akan menciptakan
perang semesta yang disebut bellus omnium contre omnes. Oleh karena itu betapa pentingnya negara untuk mencegah terjadinya peristiwa tersebut. Menurut John Locke hak-hak asasi tidak
bisa diserahkan seluruhnya melainkan sebagian saja, karena bagaimana rakyat bisa menyerahkan haknya untuk hidup sedangkan rakyat sendiri memerlukannya untuk hidup. Menurut ajaran john
locke hak asasi daripada manusia tidak bisa diserahkan kepada penguasa maka dari itu ajaran John Locke bukan monarchie absoluut akan tetapi monarchie yang dibatasi oleh konstitusi.
Rousseau berpendapat bahwa hak-hak asasi itu tetap ada pada rakyat oleh karena menurutnya yang berdaulat di dalam negara itu hanya merupakan mandataris daripada rakyat. Ajaran
Rousseau hingga kini masih dipertahankan mengenai kedaulatan rakyatnya yang merupakan mithos bagi negara modern.
Kemudian ajaran-ajaran tentang arti daripada negara yang perlu dipertahankan ialah ajaran-ajaran dari paham sosialis. Contoh dari ajaran-ajaran tersebut adalah pendapat Karl Marx
dan P. Fridrich Engels. Dalam demokrasi yang dicita-citakan oleh rousseau ternyata tidak tercapai sebagaimana mestinya, oleh karena kekuasaan pada hakekatnya tidak dipegang oleh
rakyat melainkan berada pada golongan borjuis. Tetapi yang menarik pada waktu itu negara telah membebaskan diri dari campur tangan kehidupan perekonomian rakyatnya.
Pengarang lainnya seperti Logemann dan Kranenburg memberi pengertian tentang negara yang berbeda lagi. Logemann dalam bukunya over de theorie van een stelling staatsrecht
mengartikan negara sebagai organisasi kewibawaan. Dari pengertiannya itu ia hendak menitik beratkan negara pada sifat kewibawaannya. Dalam segilain logemann dapat dibenarkan karena
arti daripada kewibawaan ialah kekuasaan yang dapat diterima oleh rakyatnya. Akan tetapi dibalik kekuasaan negara-negara jajahan itu tersembunyi tujuan-tujuan yang tidak dapat
dibenarkan. Dalam hal ini faham daripada Kraenburg adalah lebih progresif, dalam bukunya Algemeine Staatslehre. Kraenburg merumuskan arti negara sebagai suatu organisasi yang timbul
karena kehendak dari suatu golonganbangsanya sendiri.
Beberapa pengertian negara dari beberapa sarjana terkenal lainnya:
1. Roger H. Soltau : “Negara adalah alat agency atau wewenangauthority yang mengatur atau mengendalikan persoalan-persoalan bersama atas nama masyarakat”
2. Harold J. Laski : “Negara adalah suatu masyarakat yang diintegrasikan karena mempunyai wewenang yang bersifat memaksa dan yang secara sah lebih agung daripada
individu atau kelompok yang merupakan bagian dari masyarakat itu. Masyarakat adalah kelompok manusia yang hidup dan berkerjasama untuk mencapai terkabulnya keinginan-
keinginan meraka bersama. Masyarakat merupakan negara kalau cara hidup yang harus ditaati baik oleh individu maupun oleh asosiasi-asosiasi ditentukan oleh suatu wewenang yang bersifat
memaksa dan mengikat”.
3. Max Weber : “Negara adalah suatu masyarakat yang mempunyai monopoli dalam penggunaan kekerasan fisik secara sah dalam suatu wilayah”.
4. Robert M. Mac Iver : “Negara adalah asosiasi yang menyelenggarakan penertiban di dalam suatu masyarakat dalam suatu wilayah dengan berdasarkan sistem hukum yang
diselenggarakan oleh suatu pemerintah yang untuk maksud tersebut diberi kekuasaan memaksa”.
5. Miriam Budiardjo : “Negara adalah suatu daerah teritorial yang rakyatnya diperintah governed oleh sejumlah pejabat dan yang berhasil menuntut dari warga negaranya ketaatan
pada peraturan perundang-undangannya melalui pengausan kontrol monopolistis dari kekuasaan yang sah”.
BAB V TEORI-TEORI YANG MEMBERIKAN DASAR-DASAR HUKUM BAGI KEKUASAAN