8
BAB II LANDASAN TEORI
2.1 Teori Tentang Masjid
2.1.1 Definisi Masjid
Pengertian masjid menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia 2008:883 adalah “rumah atau bangunan tempat beribadah orang Islam”. Menurut
Moh.E.ayub dkk 1996:1, kata masjid berasal dari Bahasa Arab sajada yang berarti “tempat sujud atau tempat menyembah ALLAH SWT”. Dari pengertian
masjid menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia dan Moh.E.ayub dkk dapat ditarik
satu pengertian bahwa masjid adalah bangunan yang dibuat sacara khusus digunakan untuk melakukan ibadah kepada ALLAH SWT.
2.1.2 Masjid Nabawi Masjid Nabawi selalu menjadi rujukan peneguh bagi tampilnya elemen
arsitektur masjid di tempat lain. Meskipun sesungguhnya elemen-elemen yang dipasang pada masjid tersebut pernah diterapkan di masjid-masjid lain bahkan
yang dibangun sebelumnya, akan tetapi kehadiran elemen tersebut seakan belum “sah” sebelum masjid Nabi juga menggunakannya. Mihrab atau minaret,
misalnya, pernah dipasang pada masjid-masjid di Kufah, Fustat, Basra, dan Damaskus. Akan tetapi „pengesahan’ kehadirannya berlangsung setelah elemen
tersebut terpasang resmi di Masjid Nabawi. Ir. Achmad Fanani, 2009:141
8
9
Baru setelah perubahan-perubahan tersebut, maka menjadi resmilah kiranya bahwa atas dasar suatu pertimbangan penting masjid dapat dibangun
dengan menafsirkan kembali prinsip kesederhanaan dan mengetengahkan unsur keindahan dan kemegahan.
2.1.3 Payung Hidrolik-Elektris Pada Masjid Nabawi Pada Masjid Nabawi terdapat peracangan sistem mekanikal untuk
pegontrol temperatur ruang, diracang dan dibangun oleh Sonde-konstruksionen Und Leichtbau Gmbh SL dari Jerman, bersama Abdel Wahed El-Wakil dari
Arab Saudi. SL memanfaatkan kelima sahn sebagai ruang terbuka di dalam. Yulianto Sumalyo, 2000:588
SL membuat dua sistem untuk mengatasi masalah iklim semuanya dapat bergerak, membuka atau menutup. Salah satu sistem tersebut adalah memakai
sistem payung. Sistem yang menggunakan payung diletakkan diatas sahn kembar berbaris di depan haram utama berasal dari jaman masjid didirikan Nabi pada
bagian ini terdapat makam Nabi. Payung-payung tersebut dirancang sejak 1991 selesai 1992 cukup cepat mengingat rumit dan canggih teknologinya. Pada ke dua
sahn masing-masiing dibuat 6 buah payung, sehingga semuanya terdapat 12 payung. Setiap payung luasnya 17x18 M
2
. Lapisan payung terbuat dari membran, dibuka dan ditutuup secara otomatis dengan lengan-lengan yang tidak berbeda
dengan payung biasa, selain ukuran yang besar, bentuk, bahan dan sistem elektris dan otomatis dalam keadaan membuka dan menutup. Yulianto Sumalyo,
2000:588
10
Payung-payung dihubungkan dengan komputer dalam satu sistem dengan pendinginan dalam masjid, sehingga dapat membuka dan menutup secara
otomatis dalam temperatur tertentu dikehendaki. Outlets dari pengkondisian udara air-conditioning dibuat menyatu dengan tiang-tiang payung pada kepala di mana
terdapat juga lampu-lampu. Yulianto Sumalyo, 2000:588
2.1.4 Minaret Minaret yang berasal dari Bahasa Turki yang dipungut oleh Bahasa Inggris
memang memiliki kedekatan dengan kata manara, nar, atau nur, yang berkait dengan makna cahaya dalam Bahasa Arab.
Minaret dalam perkembangan arsitektur masjid cenderung menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari masjid, meskipun banyak masjid yang tidak
mempunyai minaret. Di luar elemen-elemen pokok dan pelengkap tersebut, aspek dekorasi termasuk kaligrafi dan kubah juga sangat bervariasi, berkembang sejalan
dengan budaya suatu masyarakat, di tempat tertentu, dan pada jaman tertentu pula. Yulianto Sumalyo, 2000:8
Gambar 2.1 Payung Hidrolik-Elektrik Masjid Nabawi
Sumber: Yulianto Sumalyo 2000:588
11
Dalam tampilan bentuk minaret, pengaruh tradisi setempat yang terkait dengan gagasan budaya dan tingkat ketrampilan mengolah bahan yang dikuasai
masyarakatnya ikut mengambil peranan besar. Ragam bentuk minaret dari satu daerah budaya, berbeda dengan daerah yang lain. Masing-masing menyumbang
kreasinya bagi kekayaan khazanah Arsitektur Islam lampiran ragam gaya minaret. Ir. Achmad Fanani, 2009:102
Masjid terdahulu yang menggunakan minaret diantaranya: 1. Masjid Ahmad Ibn Tulun 876-9, Kairo
Masjid ini berdiri di atas lahan seluas 2,6 Ha, ttermasuk halaman di dalam pagar keliling siyada di mana pada bagian depan atau utara terdapat minaret.
Yulianto Sumalyo, 2000:69
Gambar 2.2 Masjid Ahmad Ibn Tulun 876-9, Kairo
Sumber: Yulianto Sumalyo, 2000:69
12
2. Masjid al-Hakim 990-1002 Masjid al-Hakim saat ini tinggal reruntuhan, dari sisa bangunan terlihat
pengaruh gaya masjid sebelumnya terutama Masjid Ibn Tulun cukup besar, termasuuk adanya dinding keliling, menara dan pintu gerbang.
Dekorasi Masjid al-Hakim tidak terlalu berbeda dengan masjid-masjid sebelumnya, antara lain berupa deretan ornamen geometris sepanjang dinding
keliling beberapa kaligrafi. Minaret cukup ramai dihias, antara lain dengan muqarnas mucarabes yaitu hiasan geometris menyerupai stalactite. Yulianto
Sumalyo, 2000:73
2.1.5 Masjid Jawa Fakta fisik arsitektur Masjid Demak, dengan corak atap tajuknya,
sengkalan memet berupa ikon binatang bulus berkaki empat dan ekornya, digabung dengan sumber historiografi Jawa baik lisan maupun tertulis, akan
menuntun lebih jauh pada gambaran suasana kemasyarakatan di awal perkembangan Islam di Jawa. Ir. Achmad Fanani, 2009:25
Gambar 2.3 Masjid al-Hakim 990-1002
Sumber: Yulianto Sumalyo, 2000:73
13
Sebuah karya arsitektur tidak pernah lepas sendiri dari keadaan masyarakat yang melahirkannya. Atau sebuah karya arsitektur mampu menjadi pintu masuk
untuk lebih memahami keadaan masyarakat tempat di mana benda itu berada. 2.1.6 Arsitektur Masjid
Arsitektur adalah sebuah sintaks, begitu kata Roger Scruton. Menurut ahli masalah estetika ini, untuk membaca muatan pesannya secara utuh, harus dicari
kombinasi-kombinasi yang pas dari penggabungan masing-masing komponen bangunannya. Dalam pengertian sintaks ini Scruton menekankan pemahaman
tentang bagaimana unsur-unsur teknis berhubungan satu sama lain, atau juga antarunsur baik teknis maupun estetika akan saling menunjang di dalam
menghasilkan wujud yang bukan saja kukuh, akan tetapi sekaligus juga indah. Ir. Achmad Fanani, 2009:21
Hal yang tidak boleh ditinggalkan adalah keterkaitan antara fungsi praktis dengan fungsi simboliknya. Dengan demikian, akan diperoleh pemahaman yang
utuh tentang makna dari sebuah wujud arsitektur itu. Cara pandang ini hampir sama dengan yang dikemukakan oleh Van Peursen tentang pengertian fungsi-
fungsi dalam perkembangan budaya. Menurut Van Peursen seharusnya fungsi- fungsi dalam budaya dikembalikan pada hakikatnya di dalam kehidupan.
Lewat arsitektur masjid dapat ditelusuri keadaan suatu masyarakat Muslim, situasi kemasyarakatannya, pemahaman keagamaannya, di saat dan
tempat di mana karya arsitektur masjid tersebut berada. Arsitektur masjid sebagai benda bentukan dengan sendirinya akan bisa menuntun pada penjelasan tentang
pola perilaku, kehendak, keinginan,dan gagasan keagamaan masyarakat Muslim
14
di sekeliling masjid tersebut. Minaret, kubah, kaligrafi, dika, maksura, semua dapat menjadi petanda guna mengungkap rangkaian kejadian.
2.2 Tinjauan Umum Pariwisata