Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

commit to user 1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Belanja adalah kata yang sering digunakan sehari-hari dalam konteks perekonomian, sebagai salah satu cara konsumen untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan. Namun kata yang sama telah berkembang artinya sebagai suatu cerminan gaya hidup dan rekreasi pada masyarakat kelas ekonomi tertentu. Menurut Santoso 2006, fenomena komersialisasi belanja yang sangat gencar dewasa ini, bukanlah sesuatu yang sudah ada sejak lama. Konsumsi yang berlebihan pada masyarakat ini baru terjadi pada abad ke-20. Sebelumnya, konsumsi yang dilakukan masyarakat hanya berdasarkan kebutuhan Santoso, 2006. Walaupun masyarakat memiliki keinginan untuk mengikuti trend, gairah mereka belum didukung dengan promosi produk yang berlimpah sehingga masyarakat mampu menahan keinginan untuk mengikuti trend terbaru. Masalah ini kemudian dipecahkan dengan adanya teknologi baru yang memampukan masyarakat untuk memanfaatkan sumber daya yang ada. Perkembangan teknologi yang pesat menyebabkan produsen dapat memproduksi barang dengan lebih mudah dan cepat. Akibatnya, banyak produsen yang memproduksi barang secara berlebihan. Kuantitas produk yang berlebihan terjadi karena kemampuan masyarakat dalam melakukan pembelian. Masyarakat semakin mudah untuk mengonsumsi produk dan sulit untuk berhenti. Senada dengan yang pernyataan Elliot dalam Lury, 1998 bahwa terdapat sindrom commit to user perilaku kehilangan kendali terhadap belanja dan konsumsi yang sangat serupa dengan bentuk ketagihan yang lain dan sebagian besar konsumen adalah kaum wanita. Bagi produsen, kelompok usia remaja adalah salah satu pasar yang potensial. Hal ini disebabkan karena remaja yang mudah tertarik dan terbujuk pada barang atau jasa yang sedang trend atau mengikuti mode. Perkembangan pusat perbelanjaan dan mall yang pesat juga semakin memudahkan remaja untuk mendapatkan barang atau jasa yang diinginkan. Dapat dilihat dalam data yang dihimpun Kementrian Pendidikan Nasional Kemendiknas, 2010 bahwa 50 pengunjung pusat perbelanjaan atau mall adalah remaja. Pada awalnya, alasan remaja mengunjungi mall hanya sebagai tempat berkumpul dengan teman-teman, tetapi lambat laun mall justru menjadi tempat untuk remaja menghambur- hamburkan uang dan berperilaku konsumtif. Hasil penelitian Susianto dalam Kotler, 2000 menunjukkan bahwa remaja merupakan salah satu segmen penting pasar di Indonesia. Alasannya antara lain karena pola konsumsi seseorang terbentuk pada usia remaja. Remaja biasanya mudah terbujuk rayuan iklan, suka ikut-ikutan teman, tidak realistis, dan cenderung boros dalam menggunakan uangnya Tambunan, 2001. Sifat-sifat remaja inilah yang dimanfaatkan oleh sebagian produsen untuk memasuki pasar remaja karena belanja juga punya arti tersendiri bagi remaja. Rank dalam Sarwono, 2004 menjelaskan bahwa masa remaja merupakan masa pembebasan kehendak dalam menuju terbentuknya kepribadian yang mandiri yang menentukan self-nya sendiri. Perkembangan proses berpikir commit to user berpengaruh pada peningkatan kemandirian pada remaja, termasuk juga posisinya sebagai konsumen. Remaja memiliki pilihan mandiri mengenai apa yang hendak dilakukan dengan uangnya dan menentukan sendiri produk apa yang ingin dibeli. Remaja memang sering dijadikan target pemasaran berbagai produk industri, antara lain karena karakteristik mereka yang labil, spesifik, dan mudah dipengaruhi sehingga akhirnya mendorong munculnya berbagai gejala dalam perilaku membeli yang tidak wajar Zebua dan Nurdjayadi, 2001. Membeli dalam hal ini tidak lagi dilakukan karena produk tersebut memang tidak dibutuhkan, namun membeli dilakukan karena alasan-alasan lain seperti sekedar mengikuti arus mode, hanya ingin mencoba produk baru, ingin memperoleh pengakuan sosial dan sebagainya Aryani, 2006. Perilaku membeli yang tidak sesuai kebutuhan semata-mata demi kesenangan sehingga menyebabkan seseorang menjadi boros disebut sebagai perilaku konsumtif. Menurut Sembiring 2009, perilaku konsumtif adalah perilaku berkonsumsi yang boros dan berlebihan, yang lebih mendahulukan keinginan daripada kebutuhan, serta tidak ada skala prioritas atau juga dapat diartikan sebagai gaya hidup yang bermewah-mewah. Perilaku konsumtif pada umumnya terjadi pada remaja, akan tetapi dalam perkembangannya mereka akan menjadi orang-orang dewasa dengan gaya hidup konsumtif Tambunan, 2001. Perilaku konsumtif pada remaja sebenarnya dapat dimengerti bila melihat usia remaja sebaga usia peralihan dalam mencari identitas diri Tambunan, 2001. Remaja ingin diakui eksistensinya oleh lingkungan dengan berusaha menjadi bagian dari lingkungan itu. Kebutuhan untuk diterima dan menjadi sama dengan commit to user orang lain yang sebaya itu menyebabkan remaja berusaha untuk mengikuti berbagai atribut yang sedang trend. Perilaku konsumtif dapat terus mengakar di dalam gaya hidup sekelompok remaja. Dalam perkembangannya, mereka akan menjadi orang-orang dewasa dengan gaya hidup konsumtif Tambunan, 2001. Gaya hidup konsumtif ini harus didukung oleh kekuatan finansial yang memadai. Masalah lebih besar terjadi apabila pencapaian tingkat finansial itu dilakukan dengan segala macam cara yang tidak sehat. Mulai dari pola bekerja yang berlebihan sampai menggunakan cara instan seperti korupsi. Pada akhirnya perilaku konsumtif bukan saja memiliki dampak ekonomi, tapi juga dampak psikologis, sosial, bahkan etika. Remaja berusaha menampilkan jati diri yang terbaik termasuk penampilan fisik. Perhatian yang besar terhadap diri sendiri merupakan minat yang kuat pada remaja putri Hurlock, 2006. Perhatian ini ditunjukkan melalu kekhawatiran dan perilaku membeli mereka terhadap barang-barang yang dapat merawat dan meningkatkan penampilan. Media massa baik tayangan iklan di televisi maupun majalah yang banyak menampilkan figur-figur ideal remaja dan menawarkan produk-produk remaja akan mempengaruhi remaja untuk membeli produk tersebut Anin, dkk., 2007. Menurut Cash dan Pruzinsky 2002, perasaan tidak puas terhadap tubuh dan cara pandang individu terhadap berat badannya berhubungan dengan body image seseorang. Body image mengacu pada persepsi menyeluruh mengenai tubuh, termasuk pemikiran, perasaan, dan reaksi seseorang mengenainya Adi, 2008. Body image adalah gambaran mengenai tubuh seseorang yang terbentuk commit to user dalam pikiran individu itu sendiri, atau dengan kata lain gambaran tubuh individu menurut individu itu sendiri. Schilder dalam Cash dan Pruzinsky, 2002 menjelaskan bahwa body image adalah gambaran tubuh seseorang mengenai tubuhnya sendiri yang terbentuk dari pikirannya. Bagaimana seseorang mempersepsi dan memberikan penilaian atas apa yang dipikirkan dan rasakan terhadap ukuran dan bentuk tubuh atas bagaimana penilaian orang lain terhadap dirinya. Menurut Smolak dalam Cash dan Pruzinsky, 2002, body image memiliki dua konsep yaitu positif dan negatif. Body image positif dimiliki oleh individu yang puas dengan keadaan fisiknya, sedangkan body image negatif dimiliki oleh individu yang tidak puas dengan keadaan fisiknya. Dalam memperoleh jati diri, remaja berusaha membentuk citra atau image tentang dirinya dan upaya ini terlihat dalam suatu gambaran tentang bagaimana setiap remaja mempersepsikan dirinya. Termasuk didalamnya bagaimana ia mencoba menampilkan diri secara fisik Zebua dan Nurdjayadi, 2001. Hal tersebut membuat mereka sensitif terhadap gambaran fisik sehingga mendorong mereka melakukan berbagai upaya agar tampilan fisiknya sesuai dengan tuntutan komunitas sosial mereka. Kecantikan dan kesempurnaan fisik menjadi ukuran ideal bagi remaja. Banyak remaja yang berusaha mencapainya dengan bantuan kosmetik, fashion yang up to date, menata rambut ke salon dengan mode mutakhir, sampai melakukan koreksi di tiap bagian wajah dan tubuh. Hal tersebut sesuai dengan Monks 2004 yang mengemukakan bahwa kaum remaja merupakan pembeli commit to user potensial untuk produk-produk seperti pakaian, sepatu, kosmetik, bahkan sampai makanan. Keinginan untuk memenuhi tuntutan tersebut diduga mendorong remaja untuk berperilaku konsumtif. Sebagian besar remaja putri dari segala umur dan tempat tinggal, tidak puas dengan penampilan fisiknya dan memiliki keinginan untuk memiliki berat badan dan bentuk tubuh yang berbeda Oswalt Wyatt, 2007. Masa puber yang menyebabkan perbedaan tubuh menuntut perubahan yang cukup bermakna dalam konsep diri, dan dapat mengakibatkan krisis identitas terutama pada remaja putri. Hal tersebut sesuai dengan penjabaran Atkinson, dkk. 2002 bahwa remaja putra cenderung lebih puas dengan berat badan dibandingkan dengan remaja putri. Remaja putri biasanya kurang puas dengan berat badan dan penampilan mereka serta selalu membandingkan penampilan dengan standar daya tarik wanita yang dipromosikan oleh media menekankan tubuh yang ramping. Remaja putri akan menjadi lebih boros untuk membelanjakan uang sakunya untuk membeli barang-barang yang dianggap dapat memenuhi kebutuhan akan kecantikan dan penampilan dirinya Djudiyah dan Hadipranata, 2002. Dari penjabaran tentang body image dapat diketahui bahwa remaja putri yang memiliki body image positif tidak membutuhkan konsumsi berlebih akan produk-produk untuk meningkat penampilan dirinya. Sebaliknya, body image negatif dapat meningkatkan perilaku konsumtif pada remaja putri, dengan harapan produk-produk yang dibeli dapat meningkatkan penampilan diri secara fisik. Menurut Mangkunegara 2005, perilaku konsumtif dapat dipengaruhi oleh dua faktor yaitu sosial budaya dan psikologis. Faktor sosial budaya terdiri dari commit to user beberapa faktor salah satunya kelompok anutan, yang sering disebut juga kelompok acuan atau kelompok referensi. Kelompok anutan didefinisikan sebagai suatu kelompok orang yang mempengaruhi sikap, pendapat, norma, dan perilaku konsumen. Pengaruh kelompok anutan terhadap perilaku konsumtif antara lain menentukan produk dan merek yang akan digunakan sesuai dengan aspirasi kelompok. Penyesuaian dengan kelompok melibatkan perubahan keyakinan individu sebagai reaksi terhadap tekanan kelompok. Kenyataannya memang seseorang bisa bergabung dengan suatu kelompok karena dia mempunyai kecocokan dengan tujuan dan norma-norma yang berlaku dalam kelompok tersebut Prasetijo dan Ihalauw, 2005. Perilaku konsumtif pada remaja juga terkait dengan karakteristik psikologis tertentu yang dimiliki oleh remaja yaitu tingkat konformitas terhadap kelompok sebaya. Masa remaja merupakan tahapan peralihan antara masa anak- anak dengan masa dewasa yang ditandai dengan berbagai perubahan baik dalam aspek fisik, sosial, dan psikologis. Perubahan tersebut sebagai upaya menemukan jati diri atau identitas diri. Upaya untuk menemukan jati diri berkaitan dengan bagaimana remaja menampilkan dirinya. Mereka ingin kehadirannya diakui sebagai bagian dari komunitas remaja secara umum dan secara khusus bagian dari kelompok sebaya mereka Aryani, 2006. Menurut Baron dan Byrne 2003, konformitas adalah penyesuaian perilaku remaja untuk menganut pada norma kelompok acuan, menerima ide, atau aturan-aturan yang menunjukkan bagaimana remaja berperilaku. Asch dalam commit to user Indria dan Nindyati, 2007 berpendapat konformitas merupakan proses yang bersifat relatif rasional, dimana individu membangun norma individu lain sebagai acuan untuk dapat berperilaku dengan benar dan pantas. Wiggins dan Zanden seperti yang dikutip Indria dan Nindyati 2007 mendefinisikan konformitas sebagai tindakan yang mencerminkan adanya penyesuaian perilaku individu dengan norma atau standar yang telah ditentukan oleh individu lain. Sarwono 2009 menjelaskan bahwa melakukan tindakan yang sesuai dengan norma sosial yang terdapat dalam kelompok disebut sebagai konformitas. Konformitas muncul ketika individu meniru sikap atau tingkah laku orang lain dikarenakan tekanan yang nyata maupun yang dibayangkan oleh mereka Santrock, 2003. Tekanan untuk mengikuti teman sebaya menjadi sangat kuat pada masa remaja untuk dapat diterima dalam kelompok. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Baron, dkk. dalam Sarwono dan Meinarno, 2009 yang menjelaskan bahwa tekanan-tekanan untuk melakukan konformitas sangat kuat, sehingga usaha untuk menghindari situasi yang menekan dapat menenggelamkan nilai-nilai personal dari individu. Keinginan yang kuat untuk melepaskan diri dari keterikatan dengan orang tua membuat remaja mencari dukungan sosial melalui teman sebaya. Dalam kehidupan sosial, remaja banyak sekali dipengaruhi oleh teman sebaya. Biasanya para remaja menghabiskan waktu dua kali lebih banyak dengan teman sebayanya daripada dengan orang tuanya. Peer group menjadi suatu sarana sekaligus tujuan dalam pencarian jati diri remaja. Remaja terkadang meminta dukungan, commit to user penjelasan, dan mendapatkan opini tentang definisi dirinya sendiri dari teman- teman sebayanya Santrock, 2003. Konformitas teman sebaya pada remaja dapat menjadi positif dan negatif Santrock, 2003. Banyak ditemukan kasus perilaku remaja yang disebabkan pengaruh buruk dari kelompok teman sebaya seperti menggunakan bahasa yang asal-asalan, mencuri, mencoret-coret fasilitas umum, dan merokok. Namun, banyak pula konformitas pada remaja yang tidak negatif dan merupakan keinginan remaja untuk terlibat dalam dunia teman sebaya, misalnya berpakaian seperti temannya, dan ingin menghabiskan waktu dengan anggota perkumpulan. Sementara hampir semua remaja mengikuti tekanan teman sebaya dan ukuran lingkungan sosial, beberapa remaja ada juga yang non-konformis atau anti-konformitas. Non-konformis muncul ketika individu mengetahui apa yang diharapkan oleh orang-orang disekitarnya, tapi mereka tidak menggunakan harapan tersebut untuk mengarahkan tingkah laku mereka. Remaja yang non- konformis sangat mandiri, sama seperti seorang siswa sekolah menengah atas yang memilih tidak menjadi anggota suatu organisasi. Anti-konformitas muncul ketika individu bereaksi menolak terhadap harapan kelompok dan kemudian dengan sengaja menjauh dari tindakan atau kepercayaan yang dianut oleh kelompok. Dua versi anti-konformitas masa kini antara lain “skinheads” dan “punks” Santrock, 2003. Konformitas teman sebaya merupakan sesuatu hal yang umum dalam kehidupan remaja Hurlock, 2006. Dapat dilihat pada hampir tiap sisi kehidupan remaja seperti pilihan atas pakaian yang dipakai, musik yang didengar, bahasa, commit to user dan nilai-nilai yang ada. Bila remaja membeli barang hanya untuk memperoleh pengakuan dari orang lain tanpa pertimbangan yang rasional, maka akan menyebabkan remaja semakin terjerat dalam perilaku konsumtif. Pada dasarnya tidaklah mudah bagi remaja untuk mengikatkan diri mereka pada suatu kelompok karena kelompok memiliki tuntutan yang harus dapat dipenuhi oleh setiap remaja yang ingin bergabung. Brown dalam Santrock, 2003 menyatakan bahwa orang tua, guru, dan orang dewasa lainnya dapat membantu remaja untuk menghadapi tuntutan dan tekanan teman sebaya. Perubahan perkembangan yang terjadi pada masa remaja terkadang membawa rasa tidak aman. Para remaja sangat mudah terganggu karena rasa tidak aman tersebut dan banyaknya perubahan yang terjadi dalam kehidupan mereka. Untuk mengatasi tekanan ini, remaja perlu mengalami kesempatan sukses, baik di dalam maupun di luar sekolah, yang dapat meningkatkan rasa kepemilikan akan kontrol atas dirinya. Konformitas tidak selalu berdampak buruk, tetapi untuk perkembangan pemikiran, untuk menghasilkan hal-hal yang baru dan kreatif, konformitas dapat merugikan Hollander, dalam Rakhmat, 2009. Penelitian ini dilakukan di SMA Negeri 7 Surakarta karena SMA Negeri 7 merupakan salah satu sekolah menengah atas favorit di Surakarta. Selain itu, SMA Negeri 7 Surakarta dikenal sebagai “SMA Artis” karena beberapa siswanya yang menjadi public figure di Indonesia Kisawa, 2006. Oleh karena itu, terbentuklah social image SMA Negeri 7 Surakarta sebagai sekolah yang elit bagi masyarakat Surakarta. commit to user Berdasarkan observasi dan wawancara dengan pihak sekolah, mayoritas siswa-siswi yang bersekolah di SMA Negeri 7 Surakarta berasal dari keluarga kelas ekonomi menengah ke atas. Kemampuan finansial orang tua dan uang saku yang tinggi dapat meningkatkan perilaku konsumtif remaja Djudiyah dan Hadipranata, 2002. Peneliti menggunakan siswi kelas XI karena siswi yang duduk di kelas XI berada dalam batasan usia remaja dan remaja putri cenderung memiliki tradisi konsumtif yang lebih tinggi dibandingkan remaja putra Djudiyah dan Hadipranata, 2002. Berdasarkan latar belakang dan uraian yang telah dipaparkan di atas, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai “Hubungan antara Body Image dan Konformitas dengan Perilaku Konsumtif pada Siswi Kelas XI SMA Negeri 7 Surakarta”.

B. Perumusan Masalah