HUBUNGAN ANTARA BODY IMAGE DAN KONFORMITAS DENGAN PERILAKU KONSUMTIF PADA SISWI KELAS XI SMA NEGERI 7 SURAKARTA
commit to user
HUBUNGAN ANTARA BODY IMAGE DAN KONFORMITAS
DENGAN PERILAKU KONSUMTIF PADA SISWI KELAS XI SMA NEGERI 7 SURAKARTA
SKRIPSI
Dalam Rangka Penyusunan Skripsi Sebagai Salah Satu Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi Program Pendidikan Strata I Psikologi
Oleh: Jessica Sebayang
G0107058
Pembimbing:
1. Drs. Munawir Yusuf, M. Psi.
2. Aditya Nanda Priyatama, S. Psi., M.Si.
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA 2011
(2)
commit to user
ii
HALAMAN PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka. Jika terdapat hal-hal yang tidak sesuai dengan isi pernyataan ini, maka saya bersedia untuk dicabut derajat kesarjanaan saya.
Surakarta, Agustus 2011
(3)
commit to user
(4)
commit to user
(5)
commit to user
v MOTTO
Lebih baik sedikit barang dengan disertai takut akan Tuhan, daripada banyak harta dengan disertai kecemasan.
(Amsal 15: 16)
Kelilingi diri anda hanya dengan orang-orang yang akan mengangkat anda lebih tinggi.
(Oprah Winfrey)
The most beautiful thing in the world is see your parent smiling, and knowing that you’re the reason behind the smile.
(6)
commit to user
vi
PERSEMBAHAN
Karya ini didedikasikan kepada:
Orangtuaku yang selalu mendoakan dan melakukan yang terbaik untukku. Kakak, adik, dan keluarga besar yang selalu mendukungku. Seluruh guru dan pembimbing yang telah memberikan ilmunya.
Sahabat-sahabatku yang memberi warna dalam hidupku. Almamaterku tercinta.
(7)
commit to user
vii
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yesus Kristus atas segala kasih karunia-Nya kepada penulis, yang selalu memberkati, memberi kekuatan, dan menyertai penulis dalam menyusun dan menyelesaikan karya ini. Satu hal yang penulis sadari, bahwa karya ini dapat terselesaikan juga karena bantuan dari berbagai pihak. Rasa terima kasih sudah sepantasnya penulis sampaikan dengan hati yang tulus kepada segenap pihak dengan segala partisipasinya dalam pelaksanaan dan penyelesaian karya ini. Untuk itu dengan kerendahan hati, penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
a. Bapak Prof. Dr. Zainal Arifin Adnan, dr., Sp PD-KR-FINASIM selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta.
b. Bapak Drs. Hardjono, M.Si. selaku Ketua Program Studi Psikologi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta dan penguji utama yang telah memberikan saran, masukan, sera dukungan yang berarti kepada penulis.
c. Bapak Drs. Munawir Yusuf, M.Psi. selaku pembimbing utama atas segala bimbingan, waktu, masukan, dan bantuannya sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ini dengan lancar.
d. Bapak Aditya Nanda Priyatama, S.Psi., M.Si. selaku pembimbing pendamping dan pembimbing akademik atas segala bimbingan, bantuan, nasehat, dan kesabaran dalam mengarahkan dan membimbing penulis selama studi dan penyusunan karya ini.
(8)
commit to user
viii
e. Ibu Rin Widya Agustin, M.Psi. selaku Koordinator Skripsi Program Studi Psikologi dan penguji pendamping atas segala bantuan, masukan, dan kesediaannya untuk menjadi penguji penulis.
f. Seluruh staf pengajar di Program Studi Psikologi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta atas segala ilmu yang sangat berharga selama penulis menempuh studi.
g. Staf tata usaha (Mas Dimas dan Mas Rian), staf perpustakaan (Mbak Ana), dan seluruh pegawai (Bu Jan, Pak No, dll.) di Program Studi Psikologi atas segala dukungan dan bantuannya selama ini.
h. Drs. Soekardjo, M.A. selaku Kepala Sekolah SMA Negeri 7 Surakarta atas ijin penelitian yang diberikan.
i. Ibu Sri Siswanti, S.Pd. selaku Wakahumas SMA Negeri 7 Surakarta dan seluruh guru SMA Negeri 7 Surakarta atas segala bantuan, waktu, dan masukannya sehingga penelitian penulis dapat berjalan secara lancar.
j. Seluruh siswi kelas XI SMA Negeri 7 Surakarta atas bantuan, kesediaan, dan kerjasamanya untuk membantu penulis dalam penelitian.
k. Bapak dan Mama (Aleksander Sebayang, S.H., M.H. dan Dumaria, S.H.) atas segala cinta kasih, doa, dukungan, dan pengorbanan yang tiada habisnya. Semoga karya ini paling tidak dapat sedikit membanggakan bapak dan mama. Love you Dad and Mom!
l. Kak Astrid dan Angel tersayang atas segala doa, dukungan, dan semangatnya. Ayo semangat! Kita banggakan Bapak dan Mama!
(9)
commit to user
ix
m. Seluruh keluarga besar Sebayang dan keluarga besar Simorangkir atas segala doa, semangat, dan dukungannya yang sangat berarti.
n. Ayu ‘gembul’ Yulita, Nurwidya ‘jidhen’ Rachmawati, Nurul ‘ijah’ Rahmawati, Noor ‘Nisong’ Fitriana A.P, dan Aan ‘Oneng’ Nurfitriana atas segala tawa, tangis, canda, bantuan, dukungan, dan semangatnya selama ini. Semoga persahabatan yang indah ini tidak akan pernah berakhir selamanya. Tetap semangat untuk mengejar mimpi-mimpi kita!
o. Tumbal Shesa, Dewi Debok, Rifa Pabok, Ali Cantik, Halim, Nana Norak, Disty, Rarat, Ipeh, Idudh, Apip, Citra, dan seluruh teman-teman angkatan 2007 atas suka, duka, canda, dan warna-warni 4 tahun selama ini. Suatu kebanggaan dapat mengenal dan bersahabat dengan kalian semua.
p. Kakak tingkat 2004, 2005, dan 2006, serta adik tingkat 2008, 2009, dan 2010 atas bantuan, semangat, dan dukungannya selama ini secara langsung maupun tidak langsung.
q. Ephik, Tutik, Tante Wulan, Mimi, Mbak Nurul, Mbak Dila, Ciput, dan seluruh penghuni Kost Huru Hara Hura Hura atas segala bantuan, semangat, tawa, tangis, dan hal-hal bodoh selama tinggal satu atap dengan kalian.
Penulis berharap semoga segala kebaikan dan bantuan anda dapat dibalas oleh-Nya. Akhir kata penulis berharap semoga karya ini dapat bermanfaat bagi yang membacanya.
Surakarta, Agustus 2011
(10)
commit to user
x ABSTRAK
HUBUNGAN ANTARA BODY IMAGE DAN KONFORMITAS DENGAN PERILAKU KONSUMTIF PADA SISWI
KELAS XI SMA NEGERI 7 SURAKARTA Jessica Sebayang
Program Studi Psikologi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta
Remaja merupakan salah satu target pemasaran potensial berbagai produk industri karena karakteristik remaja yang labil, spesifik, dan mudah dipengaruhi sehingga dapat mendorong munculnya perilaku konsumtif. Perilaku konsumtif merupakan tindakan individu untuk membeli atau mengkonsumsi barang atau jasa secara berlebihan yang bukan prioritas kebutuhannya dan tanpa pertimbangan yang rasional, demi kepuasan fisik dan dorongan untuk memuaskan hasrat kesenangan semata. Individu dengan body image yang negatif dan tingkat konformitas yang tinggi dapat meningkatkan perilaku konsumtif individu tersebut.
Tujuan penelitian ini yaitu untuk mengetahui: 1. Hubungan antara body image dan konformitas dengan perilaku konsumtif pada siswi kelas XI SMA Negeri 7 Surakarta; 2. Hubungan antara body image dengan perilaku konsumtif pada siswi kelas XI SMA Negeri 7 Surakarta; 3. Hubungan antara konformitas dengan perilaku konsumtif pada siswi kelas XI SMA Negeri 7 Surakarta.
Populasi dalam penelitian ini adalah siswi kelas XI SMA Negeri 7 Surakarta. Alat pengumpul data yang digunakan dalam penelitian ini adalah Skala Perilaku Konsumtif dengan koefisien korelasi Pearson sebesar -0,052-0,679 dan Reliabilitas Alpha 0,909; Skala Body Image dengan koefisien korelasi Pearson sebesar -0,052-0,693 dan Reliabilitas Alpha 0,902; serta Skala Konformitas dengan koefisien korelasi Pearson -0,056-0,667 dan Reliabilitas Alpha 0,738. Teknik analisis data yang digunakan untuk menguji hipotesis pertama adalah analisis regresi ganda, dan selanjutnya untuk menguji hipotesis kedua dan ketiga menggunakan analisis korelasi parsial.
Berdasarkan hasil analisis regresi ganda diperoleh nilai koefisien korelasi (R) sebesar 0,450; p = 0,000 (p<0,05) dan F hitung 9,527 > F tabel 3,12. Hasil tersebut menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara body image dan konformitas dengan perilaku konsumtif pada siswi kelas XI SMA Negeri 7 Surakarta. Secara parsial menunjukkan terdapat hubungan negatif yang signifikan antara body image dengan perilaku konsumtif pada siswi kelas XI SMA Negeri 7 Surakarta dengan koefisien korelasi (r) sebesar -0,247; serta terdapat hubungan positif yang signifikan antara konformitas dengan perilaku konsumtif pada siswi kelas XI SMA Negeri 7 Surakarta yang ditunjukkan dengan koefisien korelasi (r) sebesar 0,309.
(11)
commit to user
xi ABSTRACT
THE RELATIONSHIP BETWEEN BODY IMAGE AND CONFORMITY TOWARD CONSUMPTIVE BEHAVIOR OF THE XIth GRADE
FEMALE STUDENTS OF SMA NEGERI 7 SURAKARTA Jessica Sebayang
Program Studi Psikologi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta
Adolecent belongs to one of the potential marketing targets for some industrial products regarding the adolescent characteristics of which labile, specific, and persuadable, so that effecting the appearance of consumptive behavior. Consumptive behavior is an individual action in purchasing or consuming goods or service excessively which is not the priority of need and without any rational consideration, for the sake of physical satisfaction and a drive for obtaining a desire of pleasure only. Individual with negative body image and high degree conformity tends to have high comsumptive behavior.
The purpose of this research is to find out: 1. The relationship between body image and conformity toward consumptive behavior of the XIth grade female students of SMA Negeri 7 Surakarta; 2. The relationship between body image and consumptive behavior of the XIth grade female students of SMA Negeri 7 Surakarta; 3. The relationship between conformity and consumptive behavior of the XIth grade female students of SMA Negeri 7 Surakarta.
The population in this research is the XIth grade female students of SMA Negeri 7 Surakarta. The instrument for data collection is Consumptive Behavior Scale with the Pearson Correlation Coefficient -0,052-0,679 and Alpha Reliability 0,909; Body Image Scale with the Pearson Correlation Coefficient -0,052-0,693 and Alpha Reliability 0,902; Conformity Scale with Pearson Correlation Coefficient -0,056-0,667 and Alpha Reliability 0,738. Data analysis technique used for examining the first hypothesis is multiple regression analysis while partial correlation analysis is used for examining the second hypothesis and the third one.
The multiple regression analysis showed that correlation coefficient (R) 0,450; p = 0.000 (p<0.05) and F count 9,527 > F table 3,12 meant that there was a significant correlation between body image and conformity toward consumptive behavior of the XIth grade female students of SMA Negeri 7 Surakarta. The partial result showed that the coefficients correlation (r) -0,247, had meaning that, there was a significant negative correlation between body image and consumptive behavior of the XIth grade female students of SMA Negeri 7 Surakarta with correlation coefficient (r) -0,247; and there was significant positive correlation between conformity and consumptive behavior of the XIth grade female students of SMA Negeri 7 Surakarta, and showed by the coefficient correlation which was (r) 0,309.
(12)
commit to user
xii DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PERNYATAAN ... ii
HALAMAN PERSETUJUAN ... iii
HALAMAN PENGESAHAN ... iv
HALAMAN MOTTO ... v
HALAMAN PERSEMBAHAN ... vi
KATA PENGANTAR ... vii
ABSTRAK ... x
ABSTRACT ... xi
DAFTAR ISI ... xii
DAFTAR TABEL ... xvi
DAFTAR GAMBAR ... xvii
DAFTAR LAMPIRAN ... xix
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Perumusan Masalah ... 11
C. Tujuan Penelitian ... 12
D. Manfaat Penelitian ... 12
BAB II LANDASAN TEORI A. Perilaku Konsumtif ... 14
1. Pengertian Perilaku Konsumtif ... 14
(13)
commit to user
xiii
3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perilaku Konsumtif ... 20
B. Body Image ... 31
1. Pengertian Body Image... 31
2. Aspek-aspek Body Image... 34
3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Body Image... 36
C. Konformitas ... 38
1. Pengertian Konformitas ... 38
2. Aspek-aspek Konformitas ... 41
3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Konformitas ... 43
D. Hubungan antara Body Image dan Konformitas dengan Perilaku Konsumtif ... 48
1. Hubungan antara Body Image dan Konformitas dengan Perilaku Konsumtif ... 48
2. Hubungan antara Body Image dengan Perilaku Konsumtif ... 53
3. Hubungan antara Konformitas dengan Perilaku Konsumtif ... 57
E. Kerangka Pemikiran ... 60
F. Hipotesis ... 61
BAB III METODE PENELITIAN A. Identifikasi Variabel Penelitian ... 62
B. Definisi Operasional ... 62
(14)
commit to user
xiv
2. Body Image ... 63
3. Konformitas ... 64
C. Populasi, Sampel, dan Teknik Pengambilan Sampel ... 64
1. Populasi ... 64
2. Sampel ... 65
3. Teknik Pengambilan Sampel ... 65
D. Metode Pengumpulan Data ... 66
1. Sumber Data ... 66
2. Metode Pengumpulan Data ... 67
E. Validitas dan Reliabilitas ... 73
1. Validitas Instrumen... 73
2. Reliabilitas ... 74
F. Metode Analisis Data ... 74
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Persiapan Penelitian ... 77
1. Orientasi Kancah Penelitian ... 77
2. Persiapan Alat Ukur ... 79
3. Pelaksanaan Uji Coba ... 80
4. Uji Validitas dan Reliabilitas Skala ... 81
5. Penyusunan Alat Ukur untuk Penelitian ... 87
B. Pelaksanaan Penelitian ... 90
1. Penentuan Subjek Penelitian ... 90
(15)
commit to user
xv
3. Pelaksanaan Skoring ... 91
C. Analisis Data ... 92
1. Uji Asumsi ... 92
2. Uji Hipotesis ... 98
3. Analisis Deskriptif ... 101
4. Sumbangan Efektif dan Sumbangan Relatif ... 102
D. Pembahasan ... 103
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 1. Kesimpulan ... 108
2. Saran ... 108
DAFTAR PUSTAKA ... 111 LAMPIRAN
(16)
commit to user
xvi
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Tabel Sistem Penilaian Aitem Skala... 68
Tabel 2. Blue Print Skala Perilaku Konsumtif Sebelum Uji-Coba ... 69
Tabel 3. Blue Print Skala Body Image Sebelum Uji-Coba ... 71
Tabel 4. Blue Print Skala Konformitas Sebelum Uji-Coba ... 72
Tabel 5. Distribusi Aitem Sahih dan Gugur Skala Perilaku Konsumtif setelah Uji Coba... 83
Tabel 6. Hasil Analisis Reliabilitas Skala Perilaku Konsumtif... 84
Tabel 7. Distribusi Aitem Sahih dan Gugur Skala Body Image setelah Uji Coba... 85
Tabel 8. Hasil Analisis Reliabilitas Skala Body Image... 85
Tabel 9. Distribusi Aitem Sahih dan Gugur Skala Konformitas setelah Uji Coba... 86
Tabel 10. Hasil Analisis Reliabilitas Skala Konformitas... 87
Tabel 11. Distribusi Penyusunan Aitem Skala Perilaku Konsumtif untuk Penelitian ... 88
Tabel 12. Distribusi Penyusunan Aitem Skala Body Image untuk Penelitian ... 89
Tabel 13. Distribusi Penyusunan Aitem Skala Konformitas untuk Penelitian ... 89
Tabel 14. Hasil Uji Normalitas ... 93
(17)
commit to user
xvii
Tabel 16. Hasil Uji Linearitas Konformitas dengan Perilaku Konsumtif ... 94
Tabel 17. Hasil Uji Autokorelasi ... 95
Tabel 18. Hasil Uji Multikolinearitas ... 96
Tabel 19. Hasil Uji Heteroskedastisitas Lnei2 dengan LnX1 ... 97
Tabel 20. Hasil Uji Heteroskedastisitas Lnei2 dengan LnX2... 98
Tabel 21. Hasil Analisis Regresi Ganda ... 99
Tabel 22. Hasil Uji F-Test ... 99
Tabel 23. Hasil Analisis Korelasi Parsial antara Body Image dengan Perilaku Konsumtif ... 100
Tabel 24. Hasil Analisis Korelasi Parsial antara Konformitas dengan Perilaku Konsumtif ... 101
Tabel 25. Statistik Deskriptif ... 101
(18)
commit to user
xviii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Kerangka Pemikiran ... 60 Gambar 2. Struktur Organisasi SMA Negeri 7 Surakarta Tahun Ajaran
2011/2012 ... 79 Gambar 3. Uji Autokorelasi ... 96
(19)
commit to user
xix
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran A. Skala Uji Coba ... 115
Lampiran B. Distribusi Nilai Uji Coba Skala ... 127
Lampiran C. Validitas dan Reliabilitas Skala ... 135
Lampiran D. Skala Penelitian ... 139
Lampiran E. Distribusi Nilai Skala Penelitian ... 149
Lampiran F. Analisis Data ... 160
Lampiran G. Sumbangan Relatif dan Sumbangan Efektif ... 165
Lampiran H. Surat Penelitian ... 172
(20)
commit to user
1 BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Belanja adalah kata yang sering digunakan sehari-hari dalam konteks perekonomian, sebagai salah satu cara konsumen untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan. Namun kata yang sama telah berkembang artinya sebagai suatu cerminan gaya hidup dan rekreasi pada masyarakat kelas ekonomi tertentu. Menurut Santoso (2006), fenomena komersialisasi belanja yang sangat gencar dewasa ini, bukanlah sesuatu yang sudah ada sejak lama. Konsumsi yang berlebihan pada masyarakat ini baru terjadi pada abad ke-20.
Sebelumnya, konsumsi yang dilakukan masyarakat hanya berdasarkan kebutuhan (Santoso, 2006). Walaupun masyarakat memiliki keinginan untuk mengikuti trend, gairah mereka belum didukung dengan promosi produk yang berlimpah sehingga masyarakat mampu menahan keinginan untuk mengikuti trend terbaru. Masalah ini kemudian dipecahkan dengan adanya teknologi baru yang memampukan masyarakat untuk memanfaatkan sumber daya yang ada.
Perkembangan teknologi yang pesat menyebabkan produsen dapat memproduksi barang dengan lebih mudah dan cepat. Akibatnya, banyak produsen yang memproduksi barang secara berlebihan. Kuantitas produk yang berlebihan terjadi karena kemampuan masyarakat dalam melakukan pembelian. Masyarakat semakin mudah untuk mengonsumsi produk dan sulit untuk berhenti. Senada dengan yang pernyataan Elliot (dalam Lury, 1998) bahwa terdapat sindrom
(21)
commit to user
perilaku kehilangan kendali terhadap belanja dan konsumsi yang sangat serupa dengan bentuk ketagihan yang lain dan sebagian besar konsumen adalah kaum wanita.
Bagi produsen, kelompok usia remaja adalah salah satu pasar yang potensial. Hal ini disebabkan karena remaja yang mudah tertarik dan terbujuk pada barang atau jasa yang sedang trend atau mengikuti mode. Perkembangan pusat perbelanjaan dan mall yang pesat juga semakin memudahkan remaja untuk mendapatkan barang atau jasa yang diinginkan. Dapat dilihat dalam data yang dihimpun Kementrian Pendidikan Nasional (Kemendiknas, 2010) bahwa 50% pengunjung pusat perbelanjaan atau mall adalah remaja. Pada awalnya, alasan remaja mengunjungi mall hanya sebagai tempat berkumpul dengan teman-teman, tetapi lambat laun mall justru menjadi tempat untuk remaja menghambur-hamburkan uang dan berperilaku konsumtif.
Hasil penelitian Susianto (dalam Kotler, 2000) menunjukkan bahwa remaja merupakan salah satu segmen penting pasar di Indonesia. Alasannya antara lain karena pola konsumsi seseorang terbentuk pada usia remaja. Remaja biasanya mudah terbujuk rayuan iklan, suka ikut-ikutan teman, tidak realistis, dan cenderung boros dalam menggunakan uangnya (Tambunan, 2001). Sifat-sifat remaja inilah yang dimanfaatkan oleh sebagian produsen untuk memasuki pasar remaja karena belanja juga punya arti tersendiri bagi remaja.
Rank (dalam Sarwono, 2004) menjelaskan bahwa masa remaja merupakan masa pembebasan kehendak dalam menuju terbentuknya kepribadian yang mandiri yang menentukan self-nya sendiri. Perkembangan proses berpikir
(22)
commit to user
berpengaruh pada peningkatan kemandirian pada remaja, termasuk juga posisinya sebagai konsumen. Remaja memiliki pilihan mandiri mengenai apa yang hendak dilakukan dengan uangnya dan menentukan sendiri produk apa yang ingin dibeli.
Remaja memang sering dijadikan target pemasaran berbagai produk industri, antara lain karena karakteristik mereka yang labil, spesifik, dan mudah dipengaruhi sehingga akhirnya mendorong munculnya berbagai gejala dalam perilaku membeli yang tidak wajar (Zebua dan Nurdjayadi, 2001). Membeli dalam hal ini tidak lagi dilakukan karena produk tersebut memang tidak dibutuhkan, namun membeli dilakukan karena alasan-alasan lain seperti sekedar mengikuti arus mode, hanya ingin mencoba produk baru, ingin memperoleh pengakuan sosial dan sebagainya (Aryani, 2006). Perilaku membeli yang tidak sesuai kebutuhan semata-mata demi kesenangan sehingga menyebabkan seseorang menjadi boros disebut sebagai perilaku konsumtif.
Menurut Sembiring (2009), perilaku konsumtif adalah perilaku berkonsumsi yang boros dan berlebihan, yang lebih mendahulukan keinginan daripada kebutuhan, serta tidak ada skala prioritas atau juga dapat diartikan sebagai gaya hidup yang bermewah-mewah. Perilaku konsumtif pada umumnya terjadi pada remaja, akan tetapi dalam perkembangannya mereka akan menjadi orang-orang dewasa dengan gaya hidup konsumtif (Tambunan, 2001).
Perilaku konsumtif pada remaja sebenarnya dapat dimengerti bila melihat usia remaja sebaga usia peralihan dalam mencari identitas diri (Tambunan, 2001). Remaja ingin diakui eksistensinya oleh lingkungan dengan berusaha menjadi bagian dari lingkungan itu. Kebutuhan untuk diterima dan menjadi sama dengan
(23)
commit to user
orang lain yang sebaya itu menyebabkan remaja berusaha untuk mengikuti berbagai atribut yang sedang trend.
Perilaku konsumtif dapat terus mengakar di dalam gaya hidup sekelompok remaja. Dalam perkembangannya, mereka akan menjadi orang-orang dewasa dengan gaya hidup konsumtif (Tambunan, 2001). Gaya hidup konsumtif ini harus didukung oleh kekuatan finansial yang memadai. Masalah lebih besar terjadi apabila pencapaian tingkat finansial itu dilakukan dengan segala macam cara yang tidak sehat. Mulai dari pola bekerja yang berlebihan sampai menggunakan cara instan seperti korupsi. Pada akhirnya perilaku konsumtif bukan saja memiliki dampak ekonomi, tapi juga dampak psikologis, sosial, bahkan etika.
Remaja berusaha menampilkan jati diri yang terbaik termasuk penampilan fisik. Perhatian yang besar terhadap diri sendiri merupakan minat yang kuat pada remaja putri (Hurlock, 2006). Perhatian ini ditunjukkan melalu kekhawatiran dan perilaku membeli mereka terhadap barang-barang yang dapat merawat dan meningkatkan penampilan. Media massa baik tayangan iklan di televisi maupun majalah yang banyak menampilkan figur-figur ideal remaja dan menawarkan produk-produk remaja akan mempengaruhi remaja untuk membeli produk tersebut (Anin, dkk., 2007).
Menurut Cash dan Pruzinsky (2002), perasaan tidak puas terhadap tubuh dan cara pandang individu terhadap berat badannya berhubungan dengan body image seseorang. Body image mengacu pada persepsi menyeluruh mengenai tubuh, termasuk pemikiran, perasaan, dan reaksi seseorang mengenainya (Adi, 2008). Body image adalah gambaran mengenai tubuh seseorang yang terbentuk
(24)
commit to user
dalam pikiran individu itu sendiri, atau dengan kata lain gambaran tubuh individu menurut individu itu sendiri.
Schilder (dalam Cash dan Pruzinsky, 2002) menjelaskan bahwa body image adalah gambaran tubuh seseorang mengenai tubuhnya sendiri yang terbentuk dari pikirannya. Bagaimana seseorang mempersepsi dan memberikan penilaian atas apa yang dipikirkan dan rasakan terhadap ukuran dan bentuk tubuh atas bagaimana penilaian orang lain terhadap dirinya.
Menurut Smolak (dalam Cash dan Pruzinsky, 2002), body image memiliki dua konsep yaitu positif dan negatif. Body image positif dimiliki oleh individu yang puas dengan keadaan fisiknya, sedangkan body image negatif dimiliki oleh individu yang tidak puas dengan keadaan fisiknya.
Dalam memperoleh jati diri, remaja berusaha membentuk citra atau image tentang dirinya dan upaya ini terlihat dalam suatu gambaran tentang bagaimana setiap remaja mempersepsikan dirinya. Termasuk didalamnya bagaimana ia mencoba menampilkan diri secara fisik (Zebua dan Nurdjayadi, 2001). Hal tersebut membuat mereka sensitif terhadap gambaran fisik sehingga mendorong mereka melakukan berbagai upaya agar tampilan fisiknya sesuai dengan tuntutan komunitas sosial mereka.
Kecantikan dan kesempurnaan fisik menjadi ukuran ideal bagi remaja. Banyak remaja yang berusaha mencapainya dengan bantuan kosmetik, fashion yang up to date, menata rambut ke salon dengan mode mutakhir, sampai melakukan koreksi di tiap bagian wajah dan tubuh. Hal tersebut sesuai dengan Monks (2004) yang mengemukakan bahwa kaum remaja merupakan pembeli
(25)
commit to user
potensial untuk produk-produk seperti pakaian, sepatu, kosmetik, bahkan sampai makanan. Keinginan untuk memenuhi tuntutan tersebut diduga mendorong remaja untuk berperilaku konsumtif.
Sebagian besar remaja putri dari segala umur dan tempat tinggal, tidak puas dengan penampilan fisiknya dan memiliki keinginan untuk memiliki berat badan dan bentuk tubuh yang berbeda (Oswalt & Wyatt, 2007). Masa puber yang menyebabkan perbedaan tubuh menuntut perubahan yang cukup bermakna dalam konsep diri, dan dapat mengakibatkan krisis identitas terutama pada remaja putri. Hal tersebut sesuai dengan penjabaran Atkinson, dkk. (2002) bahwa remaja putra cenderung lebih puas dengan berat badan dibandingkan dengan remaja putri.
Remaja putri biasanya kurang puas dengan berat badan dan penampilan mereka serta selalu membandingkan penampilan dengan standar daya tarik wanita yang dipromosikan oleh media menekankan tubuh yang ramping. Remaja putri akan menjadi lebih boros untuk membelanjakan uang sakunya untuk membeli barang-barang yang dianggap dapat memenuhi kebutuhan akan kecantikan dan penampilan dirinya (Djudiyah dan Hadipranata, 2002).
Dari penjabaran tentang body image dapat diketahui bahwa remaja putri yang memiliki body image positif tidak membutuhkan konsumsi berlebih akan produk-produk untuk meningkat penampilan dirinya. Sebaliknya, body image negatif dapat meningkatkan perilaku konsumtif pada remaja putri, dengan harapan produk-produk yang dibeli dapat meningkatkan penampilan diri secara fisik.
Menurut Mangkunegara (2005), perilaku konsumtif dapat dipengaruhi oleh dua faktor yaitu sosial budaya dan psikologis. Faktor sosial budaya terdiri dari
(26)
commit to user
beberapa faktor salah satunya kelompok anutan, yang sering disebut juga kelompok acuan atau kelompok referensi. Kelompok anutan didefinisikan sebagai suatu kelompok orang yang mempengaruhi sikap, pendapat, norma, dan perilaku konsumen.
Pengaruh kelompok anutan terhadap perilaku konsumtif antara lain menentukan produk dan merek yang akan digunakan sesuai dengan aspirasi kelompok. Penyesuaian dengan kelompok melibatkan perubahan keyakinan individu sebagai reaksi terhadap tekanan kelompok. Kenyataannya memang seseorang bisa bergabung dengan suatu kelompok karena dia mempunyai kecocokan dengan tujuan dan norma-norma yang berlaku dalam kelompok tersebut (Prasetijo dan Ihalauw, 2005).
Perilaku konsumtif pada remaja juga terkait dengan karakteristik psikologis tertentu yang dimiliki oleh remaja yaitu tingkat konformitas terhadap kelompok sebaya. Masa remaja merupakan tahapan peralihan antara masa anak-anak dengan masa dewasa yang ditandai dengan berbagai perubahan baik dalam aspek fisik, sosial, dan psikologis. Perubahan tersebut sebagai upaya menemukan jati diri atau identitas diri. Upaya untuk menemukan jati diri berkaitan dengan bagaimana remaja menampilkan dirinya. Mereka ingin kehadirannya diakui sebagai bagian dari komunitas remaja secara umum dan secara khusus bagian dari kelompok sebaya mereka (Aryani, 2006).
Menurut Baron dan Byrne (2003), konformitas adalah penyesuaian perilaku remaja untuk menganut pada norma kelompok acuan, menerima ide, atau aturan-aturan yang menunjukkan bagaimana remaja berperilaku. Asch (dalam
(27)
commit to user
Indria dan Nindyati, 2007) berpendapat konformitas merupakan proses yang bersifat relatif rasional, dimana individu membangun norma individu lain sebagai acuan untuk dapat berperilaku dengan benar dan pantas.
Wiggins dan Zanden seperti yang dikutip Indria dan Nindyati (2007) mendefinisikan konformitas sebagai tindakan yang mencerminkan adanya penyesuaian perilaku individu dengan norma atau standar yang telah ditentukan oleh individu lain. Sarwono (2009) menjelaskan bahwa melakukan tindakan yang sesuai dengan norma sosial yang terdapat dalam kelompok disebut sebagai konformitas.
Konformitas muncul ketika individu meniru sikap atau tingkah laku orang lain dikarenakan tekanan yang nyata maupun yang dibayangkan oleh mereka (Santrock, 2003). Tekanan untuk mengikuti teman sebaya menjadi sangat kuat pada masa remaja untuk dapat diterima dalam kelompok. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Baron, dkk. (dalam Sarwono dan Meinarno, 2009) yang menjelaskan bahwa tekanan-tekanan untuk melakukan konformitas sangat kuat, sehingga usaha untuk menghindari situasi yang menekan dapat menenggelamkan nilai-nilai personal dari individu.
Keinginan yang kuat untuk melepaskan diri dari keterikatan dengan orang tua membuat remaja mencari dukungan sosial melalui teman sebaya. Dalam kehidupan sosial, remaja banyak sekali dipengaruhi oleh teman sebaya. Biasanya para remaja menghabiskan waktu dua kali lebih banyak dengan teman sebayanya daripada dengan orang tuanya. Peer group menjadi suatu sarana sekaligus tujuan dalam pencarian jati diri remaja. Remaja terkadang meminta dukungan,
(28)
commit to user
penjelasan, dan mendapatkan opini tentang definisi dirinya sendiri dari teman-teman sebayanya (Santrock, 2003).
Konformitas teman sebaya pada remaja dapat menjadi positif dan negatif (Santrock, 2003). Banyak ditemukan kasus perilaku remaja yang disebabkan pengaruh buruk dari kelompok teman sebaya seperti menggunakan bahasa yang asal-asalan, mencuri, mencoret-coret fasilitas umum, dan merokok. Namun, banyak pula konformitas pada remaja yang tidak negatif dan merupakan keinginan remaja untuk terlibat dalam dunia teman sebaya, misalnya berpakaian seperti temannya, dan ingin menghabiskan waktu dengan anggota perkumpulan.
Sementara hampir semua remaja mengikuti tekanan teman sebaya dan ukuran lingkungan sosial, beberapa remaja ada juga yang non-konformis atau anti-konformitas. Non-konformis muncul ketika individu mengetahui apa yang diharapkan oleh orang-orang disekitarnya, tapi mereka tidak menggunakan harapan tersebut untuk mengarahkan tingkah laku mereka. Remaja yang non-konformis sangat mandiri, sama seperti seorang siswa sekolah menengah atas yang memilih tidak menjadi anggota suatu organisasi.
Anti-konformitas muncul ketika individu bereaksi menolak terhadap harapan kelompok dan kemudian dengan sengaja menjauh dari tindakan atau kepercayaan yang dianut oleh kelompok. Dua versi anti-konformitas masa kini antara lain “skinheads” dan “punks” (Santrock, 2003).
Konformitas teman sebaya merupakan sesuatu hal yang umum dalam kehidupan remaja (Hurlock, 2006). Dapat dilihat pada hampir tiap sisi kehidupan remaja seperti pilihan atas pakaian yang dipakai, musik yang didengar, bahasa,
(29)
commit to user
dan nilai-nilai yang ada. Bila remaja membeli barang hanya untuk memperoleh pengakuan dari orang lain tanpa pertimbangan yang rasional, maka akan menyebabkan remaja semakin terjerat dalam perilaku konsumtif.
Pada dasarnya tidaklah mudah bagi remaja untuk mengikatkan diri mereka pada suatu kelompok karena kelompok memiliki tuntutan yang harus dapat dipenuhi oleh setiap remaja yang ingin bergabung. Brown (dalam Santrock, 2003) menyatakan bahwa orang tua, guru, dan orang dewasa lainnya dapat membantu remaja untuk menghadapi tuntutan dan tekanan teman sebaya. Perubahan perkembangan yang terjadi pada masa remaja terkadang membawa rasa tidak aman.
Para remaja sangat mudah terganggu karena rasa tidak aman tersebut dan banyaknya perubahan yang terjadi dalam kehidupan mereka. Untuk mengatasi tekanan ini, remaja perlu mengalami kesempatan sukses, baik di dalam maupun di luar sekolah, yang dapat meningkatkan rasa kepemilikan akan kontrol atas dirinya. Konformitas tidak selalu berdampak buruk, tetapi untuk perkembangan pemikiran, untuk menghasilkan hal-hal yang baru dan kreatif, konformitas dapat merugikan (Hollander, dalam Rakhmat, 2009).
Penelitian ini dilakukan di SMA Negeri 7 Surakarta karena SMA Negeri 7 merupakan salah satu sekolah menengah atas favorit di Surakarta. Selain itu, SMA Negeri 7 Surakarta dikenal sebagai “SMA Artis” karena beberapa siswanya yang menjadi public figure di Indonesia (Kisawa, 2006). Oleh karena itu, terbentuklah social image SMA Negeri 7 Surakarta sebagai sekolah yang elit bagi masyarakat Surakarta.
(30)
commit to user
Berdasarkan observasi dan wawancara dengan pihak sekolah, mayoritas siswa-siswi yang bersekolah di SMA Negeri 7 Surakarta berasal dari keluarga kelas ekonomi menengah ke atas. Kemampuan finansial orang tua dan uang saku yang tinggi dapat meningkatkan perilaku konsumtif remaja (Djudiyah dan Hadipranata, 2002). Peneliti menggunakan siswi kelas XI karena siswi yang duduk di kelas XI berada dalam batasan usia remaja dan remaja putri cenderung memiliki tradisi konsumtif yang lebih tinggi dibandingkan remaja putra (Djudiyah dan Hadipranata, 2002).
Berdasarkan latar belakang dan uraian yang telah dipaparkan di atas, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai “Hubungan antara Body Image dan Konformitas dengan Perilaku Konsumtif pada Siswi Kelas XI SMA Negeri 7 Surakarta”.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah:
1. Apakah terdapat hubungan antara body image dan konformitas dengan perilaku konsumtif pada siswi kelas XI SMA Negeri 7 Surakarta?
2. Apakah terdapat hubungan antara body image dengan perilaku konsumtif pada siswi kelas XI SMA Negeri 7 Surakarta?
3. Apakah terdapat hubungan antara konformitas dengan perilaku konsumtif pada siswi kelas XI SMA Negeri 7 Surakarta?
(31)
commit to user
C. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini, yaitu:
A. Mengetahui hubungan antara body image dan konformitas dengan perilaku konsumtif pada siswi kelas XI SMA Negeri 7 Surakarta.
B. Mengetahui hubungan antara body image dengan perilaku konsumtif pada siswi kelas XI SMA Negeri 7 Surakarta.
C. Mengetahui hubungan antara konformitas dengan perilaku konsumtif pada siswi kelas XI SMA Negeri 7 Surakarta.
D. Manfaat Penelitian
Manfaat dari hasil penelitian ini ada dua, yaitu: 1. Manfaat Teoretis
Secara teoretis, diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan sumbangan pemikiran pada berbagai bidang psikologi, terutama bidang psikologi sosial, psikologi industri, dan psikologi perkembangan, yakni memberikan sumbangan tentang pentingnya body image yang positif dan konformitas yang sesuai untuk mencegah perilaku konsumtif pada remaja putri, terutama siswi sekolah menengah atas.
2. Manfaat Praktis
1. Bagi siswi, penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan masukan agar dapat mensyukuri pertumbuhan dan penampilan fisiknya serta menyesuaikan tingkat konformitas yang tepat terhadap lingkungan, agar tidak terjerumus dalam perilaku konsumtif.
2. Bagi orang tua, penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan masukan dalam membentuk pola pikir anak untuk membeli barang-barang yang
(32)
commit to user
dibutuhkan daripada yang diinginkan dalam upaya mencegah perilaku konsumtif dan tidak membiasakan membelikan barang atau hal yang diinginkan anak. 3. Bagi guru, penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan dalam mengontrol dan
memberikan intervensi atau pencegahan peningkatan perilaku konsumtif di kalangan remaja, khususnya siswi sekolah menengah atas.
4. Bagi peneliti lain, penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai referensi dalam penelitian lain yang relevan dan berkaitan dengan body image, konformitas, dan/atau perilaku konsumtif pada remaja putri, terutama siswi sekolah menengah atas.
(33)
commit to user
14 BAB II
LANDASAN TEORI
A. Perilaku Konsumtif 1. Pengertian Perilaku Konsumtif
Tambunan (2001) mendefinisikan perilaku konsumtif sebagai keinginan untuk mengkonsumsi barang-barang yang sebenarnya kurang diperlukan secara berlebihan untuk mencapai kepuasan yang maksimal. Menurut Zebua dan Nurdjayadi (2001), perilaku konsumtif menggambarkan suatu tindakan yang tidak rasional dan bersifat kompulsif sehingga secara ekonomis menimbulkan pemborosan dan inefisiensi biaya. Individu dengan tindakan tidak rasional dan kompulsif selalu merasa belum lengkap dan mencari kepuasan dengan membeli barang-barang yang baru.
Mengacu pada pendapat dari Engel, dkk. (2008) yang menyatakan bahwa gaya hidup merupakan suatu refleksi dari aktivitas, minat, dan opini individu, maka perilaku konsumtif sering dikaitkan dengan gaya hidup individu. Dapat dikatakan individu dengan gaya hidup yang menghabiskan banyak waktu dan uang untuk hal-hal tidak berguna, berlebihan, atau tidak sesuai dengan kebutuhan, dapat dikategorikan sebagai perilaku konsumtif.
Fransisca dan Suyasa (2005) memberi pengertian perilaku konsumtif sebagai tindakan membeli barang bukan untuk mencukupi kebutuhan tetapi untuk memenuhi keinginan, yang dilakukan secara berlebihan sehingga menimbulkan pemborosan dan inefisiensi biaya. Anggasari (dalam Fransisca
(34)
commit to user
dan Suyasa, 2005) berpendapat perilaku konsumtif adalah tindakan membeli dan mengkonsumsi barang yang tidak bermanfaat secara berlebihan untuk memenuhi keinginannya.
Pada umumnya, manusia akan memenuhi kebutuhan primer sebelum memenuhi kebutuhan sekunder dan keinginannya. Maslow (dalam Sobur, 2003) menyatakan bahwa kebutuhan dasar manusia adalah kebutuhan fisiologis seperti makanan, pakaian, dan tempat berteduh. Ia akan menahan kebutuhan dan keinginan lain, sebelum kebutuhan primer terpenuhi. Tetapi, individu dengan perilaku konsumtif dapat menekan kebutuhannya hanya sekedar untuk memenuhi hasrat dan keinginannya semata.
Pembelian barang individu tidak lagi dilihat dari nilai pakainya yaitu untuk mencukupi kebutuhan tetapi digunakan untuk memenuhi keinginannya. Individu tidak lagi mengenali kebutuhan sesungguhnya, namun justru selalu tergoda untuk memuaskan keinginan sesaatnya.
Remaja yang sedang berada dalam masa peralihan dari masa kanak-kanak dengan suasana hidup penuh ketergantungan pada orang tua menuju masa dewasa yang bebas, mandiri dan matang (Santrock, 2003). Termasuk bagaimana remaja terutama remaja putri berusaha menampilkan diri secara fisik, hal ini agar sesuai dengan komunitas mereka. Atau bisa juga dengan pengaruh iklan, karena akan timbul keinginan untuk berbelanja seperti halnya iklan yang ditayangkan di televisi. Keinginan ini mendorong remaja untuk cenderung berperilaku konsumtif.
(35)
commit to user
Berdasarkan beberapa pengertian di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa perilaku konsumtif merupakan tindakan individu untuk membeli atau mengkonsumsi barang atau jasa secara berlebihan yang bukan merupakan prioritas kebutuhannya dan tanpa pertimbangan yang rasional, demi kepuasan fisik dan dorongan untuk memuaskan hasrat kesenangan.
2. Karakteristik-karakteristik Perilaku Konsumtif
Menurut Sumartono (dalam Fransisca dan Suyasa, 2005) terdapat delapan karakteristik perilaku konsumtif. Seperti halnya aspek, karakteristik dapat dijadikan sebagai dasar perumusan indikator perilaku yang operasional (Azwar, 2009). Karakteristik-karakteristik perilaku konsumtif tersebut, yaitu:
a. Membeli karena ingin mendapatkan hadiah menarik.
Pembelian tidak lagi melihat manfaatnya akan tetapi tujuannya hanya untuk mendapatkan hadiah yang ditawarkan.
b. Membeli karena kemasan produk menarik.
Individu tertarik untuk membeli suatu produk karena kemasannya yang berbeda dari yang lain. Kemasan produk yang menarik dan unik dapat membuat individu tertarik untuk membeli produk tersebut.
c. Membeli karena ingin menjaga penampilan diri dan gengsi.
Gengsi membuat individu lebih membeli produk yang dianggap dapat menjaga penampilan diri, dibandingkan membeli barang lain yang lebih dibutuhkan.
(36)
commit to user
d. Membeli karena program potongan harga.Pembelian suatu produk bukan atas dasar manfaat atau kegunaannya, akan tetapi produk dibeli karena harga yang ditawarkan menarik.
e. Membeli produk demi menjaga status sosial.
Individu menganggap produk yang digunakan adalah suatu simbol dari status sosialnya.
f. Memakai produk karena pengaruh model yang mengiklankan produk. Individu membeli produk karena tertarik untuk bisa mirip seperti model iklan tersebut, ataupun karena model yang diiklankan adalah seorang idola dari pembeli.
g. Penilaian bahwa membeli produk dengan harga mahal akan menimbulkan rasa percaya diri yang tinggi.
Individu membeli produk bukan berdasarkan kebutuhan tetapi karena memiliki harga yang mahal sehingga dapat menambah kepercayaan dirinya.
h. Membeli lebih dari dua produk sejenis dengan merek yang berbeda.
Membeli produk sejenis dengan merek berbeda akan menimbulkan pemborosan karena sebenarnya individu sudah cukup dengan memiliki satu produk saja.
Konsumtif menjelaskan keinginan untuk mengkonsumsi barang-barang secara berlebihan yang sebenarnya kurang diperlukan untuk mencapai kepuasan yang maksimal. Berdasarkan definisi tersebut, maka Tambunan
(37)
commit to user
(2001) mengemukakan bahwa terdapat dua aspek mendasar dalam perilaku konsumtif, yaitu:
1. Adanya suatu keinginan mengkonsumsi secara berlebihan.
Hal ini akan menimbulkan pemborosan dan bahkan inefisiensi biaya, apalagi bagi remaja yang belum mempunyai penghasilan sendiri.
a. Pemborosan
Perilaku konsumtif yang memanfaatkan nilai uang lebih besar dari nilai produknya untuk barang dan jasa yang bukan menjadi kebutuhan pokok. Perilaku ini hanya berdasarkan pada keinginan untuk mengkonsumsi barang-barang yang sebenarnya kurang diperlukan secara berlebihan untuk mencapai kepuasan yang maksimal.
b. Inefisiensi biaya
Pola konsumsi seseorang terbentuk pada usia remaja yang biasanya mudah terbujuk rayuan iklan, suka ikut-ikutan teman, tidak realistis, dan cenderung boros dalam menggunakan uangnya sehingga menimbulkan inefisiensi biaya.
2. Perilaku tersebut dilakukan bertujuan untuk mencapai kepuasan semata. Kebutuhan yang dipenuhi bukan merupakan kebutuhan yang utama melainkan kebutuhan yang dipenuhi hanya sekedar mengikuti arus mode, ingin mencoba produk baru, ingin memperoleh pengakuan sosial tanpa memperdulikan apakah memang dibutuhkan atau tidak. Padahal hal ini justru akan menimbulkan kecemasan. Rasa cemas di sini timbul karena
(38)
commit to user
merasa harus tetap mengikuti perkembangan dan tidak ingin dibilang ketinggalan mode.
a. Mengikuti mode
Pada kalangan remaja yang memiliki orang tua dengan kelas ekonomi yang cukup berada, terutama di kota-kota besar, pusat-pusat perbelanjaan seperti mall sudah menjadi rumah kedua. Mereka ingin menunjukkan bahwa mereka juga dapat mengikuti mode yang sedang beredar. Padahal mode itu sendiri selalu berubah sehingga para remaja tidak pernah puas dengan apa yang dimilikinya.
b. Memperoleh pengakuan sosial
Perilaku konsumtif pada remaja sebenarnya dapat dimengerti bila melihat usia remaja sebagai usia peralihan dalam mencari identitas diri. Remaja ingin diakui eksistensinya oleh lingkungan dengan berusaha menjadi bagian dari lingkungan itu. Kebutuhan untuk diterima dan menjadi sama dengan orang lain yang sebaya itu menyebabkan remaja berusaha untuk mengikuti berbagai atribut yang sedang trend.
Berdasarkan karakteristik-karakteristik perilaku konsumtif yang dikemukakan Sumartono (dalam Fransisca dan Suyasa, 2005) yang bersifat penjelasan terhadap tindakan individu yang melakukan pembelian karena keinginan dan bukan karena kebutuhan, peneliti menggunakan karakteristik-karakteristik dari Sumartono untuk pengukuran skala perilaku konsumtif dalam penelitian ini.
(39)
commit to user
Karakteristik-karakteristik perilaku konsumtif dari Sumartono (dalam Fransisca dan Suyasa, 2005) yang digunakan sebagai landasan dalam penyusunan skala perilaku konsumtif dalam penelitian ini, meliputi: a. membeli karena ingin mendapatkan hadiah menarik, b. membeli karena kemasan produk menarik, c. membeli untuk menjaga penampilan diri dan gengsi, d. membeli karena potongan harga, e. membeli demi menjaga status sosial, f. memakai produk karena pengaruh model yang mengiklankan produk, g. penilaian bahwa membeli produk dengan harga mahal akan menimbulkan rasa percaya diri yang tinggi, serta h. membeli lebih dari dua produk sejenis dengan merek berbeda.
3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perilaku Konsumtif
Menurut Kotler (2000), faktor-faktor yang dapat mempengaruhi perilaku membeli yang memiliki andil dalam pembentukan perilaku konsumtif ada dua, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor-faktor tersebut terdiri dari beberapa sub-faktor, antara lain:
a. Faktor Internal
Faktor internal terdiri dari dua faktor yaitu faktor pribadi dan faktor psikologis. Faktor-faktor tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut:
1) Faktor pribadi
Keputusan untuk membeli sangat dipengaruhi oleh karakteristik pribadi, yaitu:
(40)
commit to user
a) UsiaOrang-orang membeli barang dan jasa yang berbeda sepanjang hidupnya. Remaja yang berada pada usia yang rentan dalam mencari identitas diri, dapat lebih mudah berperilaku konsumtif. Remaja biasanya mudah terbujuk rayuan iklan, suka ikut-ikutan teman, tidak realistis, dan cenderung boros dalam menggunakan uangnya (Tambunan, 2001).
b) Pekerjaan
Pekerjaan yang dilakukan oleh individu sangat mempengaruhi gaya hidup dan merupakan basis penting untuk menyampaikan prestise, kehormatan, dan respek (Engel, dkk., 2008). Individu dengan pekerjaan yang berbeda akan mempunyai kebutuhan yang berbeda pula. Hal ini dapat menyebabkan individu berperilaku konsumtif untuk menyesuaikan diri dengan pekerjaannya.
c) Keadaan ekonomi
Pilihan produk sangat dipengaruhi oleh keadaan ekonomi. Penghasilan yang dapat dibelanjakan, tabungan, dan kemampuan untuk meminjam dapat mempengaruhi perilaku konsumsi individu (Kotler dan Keller, 2008). Orang dengan tingkat ekonomi yang tinggi akan cenderung lebih sering membelanjakan uangnya untuk membeli barang-barang, sedangkan orang dengan tingkat ekonomi rendah akan cenderung lebih hemat.
(41)
commit to user
Kotler (2000) menyatakan bahwa gaya hidup adalah pola hidup individu di dunia yang diungkapkan dalam kegiatan, minat, dan pendapat. Robbins (dalam Santoso, 2006) berpendapat bahwa kebiasaan melakukan pembelian telah bertransformasi dan produksi barang-barang mewah meningkat sehingga dianggap menjadi sebuah kebutuhan oleh masyarakat. Hal tersebut dapat meningkatkan gaya hidup konsumtif pada masyarakat.
e) Kepribadian
Kepribadian merupakan sesuatu yang unik atau khas pada diri setiap orang (Sobur, 2003). Kepribadian dapat menentukan pola hidup individu, demikian pula perilaku konsumtif pada individu dapat dilihat dari tipe kepribadiannya.
2) Faktor psikologis
Faktor psikologis yang mempengaruhi perilaku konsumtif, antara lain: a) Motivasi
Sobur (2003) berpendapat bahwa motivasi berarti membangkitkan motif, meningkatkan daya gerak, atau menggerakkan individu untuk berbuat sesuatu dalam rangka mencapai suatu kepuasan atau tujuan. Motivasi yang tinggi untuk membeli suatu produk akan membuat individu cenderung membeli barang tanpa berpikir secara matang apakah mereka memang membutuhkan barang tersebut atau hanya menginginkannya untuk kepuasan.
(42)
commit to user
Persepsi merupakan proses bagaimana individu menyeleksi, mengatur, dan menginterpretasi masukan-masukan informasi untuk menciptakan gambaran keseluruhan yang berarti (Kotler, 2000). Banyaknya stimuli-stimuli fisik dan lingkungan sekitar yang berkaitan dengan barang, dapat mempengaruhi persepsi individu untuk membeli barang tersebut.
c) Pengetahuan
Sebagian besar perilaku manusia dipelajari. Pengetahuan menjelaskan perubahan dalam perilaku suatu individu yang berasal dari pengalaman (Kotler dan Keller, 2008). Individu akan cenderung kembali membeli suatu barang, jika sudah pernah membeli barang yang sama dan merasa puas akan kualitas barang tersebut. Hal tersebut dapat membuat individu untuk terus membeli sehingga menjadi konsumtif.
d) Kepercayaan dan sikap pendirian
Melalui bertindak dan belajar, individu akan memperoleh kepercayaan dan pendirian (Kotler, 2000). Kepercayaan pada penjual yang berlebihan dan dengan pendirian yang tidak stabil, dapat mengakibatkan timbulnya perilaku konsumtif.
(43)
commit to user
b. Faktor EksternalFaktor eksternal terdiri dari dua faktor yaitu faktor budaya dan faktor sosial. Faktor-faktor eksternal yang mempengaruhi perilaku konsumtif, antara lain:
1) Faktor budaya
Faktor budaya mempunyai pengaruh yang paling besar dalam pembentukan perilaku konsumtif individu. Faktor-faktor tersebut, antara lain:
a) Kebudayaan
Menurut Santrock (2003), budaya didefinisikan sebagai tingkah laku, pola-pola, keyakinan, dan semua produk dari kelompok manusia tertentu yang diturunkan dari generasi ke generasi. Budaya merupakan determinan paling fundamental dari keinginan dan perilaku individu (Kotler, 2000). Jika individu tumbuh pada kebudayaan dimana sebagian besar masyarakatnya berperilaku konsumtif, maka dapat terbentuk perilaku konsumtif pada individu tersebut.
b) Kelas sosial
Menurut Mangkunegara (2005), pada dasarnya kelas sosial masyarakat dapat dikelompokkan dalam tiga golongan yaitu golongan atas, golongan menengah, dan golongan bawah. Dalam hubungannya dengan perilaku konsumtif, kelas sosial dapat dikategorikan sebagai berikut:
(44)
commit to user
1) Kelas sosial golongan atas memiliki kecenderungan membeli barang-barang yang mahal, membeli pada toko yang berkualitas dan lengkap (supermarket atau mall), konservatif dalam konsumsinya, barang-barang yang dibeli cenderung untuk dapat menjadi warisan bagi keluarganya.
2) Kelas sosial golongan menengah cenderung membeli barang untuk menampakkan kekayaannya, membeli barang dengan jumlah banyak dan kualitasnya cukup memadai. Mereka berkeinginan membeli barang yang mahal dengan sistem kredit, misalnya membeli kendaraan, rumah mewah, dan perabot rumah tangga.
3) Kelas sosial golongan rendah cenderung membeli dengan mementingkan kuantitas daripada kualitasnya. Pada umumnya mereka membeli barang-barang yang diobral atau penjualan dengan harga promosi.
2) Faktor sosial
Perilaku konsumtif juga dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor sosial seperti kelompok acuan, keluarga, serta peran dan status sosial.
a) Kelompok acuan
Solomon (2007) mendefinisikan kelompok acuan sebagai individu atau sekelompok orang yang dianggap memiliki relevansi yang signifikan pada individu dalam hal mengevaluasi, memberikan aspirasi, atau dalam berperilaku. Kelompok acuan dapat
(45)
commit to user
mempengaruhi dan konsep diri individu karena biasanya individu berhasrat untuk sesuai dengan kelompok tersebut. Individu yang berada dalam kelompok acuan yang konsumtif, dapat terpengaruh menjadi berperilaku konsumtif agar dapat diterima oleh kelompok acuannya.
b) Keluarga
Prasetijo dan Ihalauw (2005) menjelaskan bahwa keluarga sangat menentukan perilaku, termasuk dalam pemilihan produk dan aktivitas pembelian individu. Dari keluargalah, individu belajar dan bersosialisasi untuk menjadi konsumen. Orang tua yang konsumtif, secara langsung maupun tidak langsung dapat mendidik anaknya untuk berperilaku konsumtif.
c) Peran dan status
Suatu peran terdiri dari kegiatan-kegiatan yang diharapkan dilakukan oleh individu, dan kemudian peran tersebut membawa suatu status (Kotler, 2000). Orang-orang memilih produk yang mengkomunikasikan peran dan status mereka dalam masyarakat. Menurut Engel, dkk. (2008), perilaku konsumen merupakan hal yang tidak dapat dipisahkan dengan perilaku konsumtif. Oleh karena itu, faktor-faktor perilaku konsumen juga berkaitan dengan faktor-faktor-faktor-faktor perilaku konsumen. Faktor-faktor tersebut dapat dikelompokkan dalam tiga kategori yaitu pengaruh lingkungan, perbedaan dan pengaruh individual, serta proses psikologis.
(46)
commit to user
a. Faktor LingkunganFaktor lingkungan yang dapat mempengaruhi perilaku pembelian konsumtif, antara lain:
1) Budaya
Budaya mengacu pada nilai, gagasan, artefak, dan simbol-simbol lain yang bermakna yang membantu individu untuk berkomunikasi, melakukan penafsiran dan evaluasi sebagai anggota masyarakat (Engel, dkk., 2008). Budaya dapat mempengaruhi penggerak yang memotivasi individu untuk mengambil tindakan lebih jauh termasuk berperilaku konsumtif.
2) Kelas sosial
Kelas sosial merupakan pembagian di dalam masyarakat yang terdiri dari individu-individu yang berbagi nilai, minat, dan perilaku yang sama. Kelas sosial mengacu pada pengelompokan orang yang sama dalam perilaku mereka berdasarkan posisi ekonomi mereka di dalam pasar (Engel, dkk., 2008). Pekerjaan, pendapatan, dan kekayaan yang menentukan kelas sosial dapat mempengaruhi berapa banyak yang harus dibelanjakan oleh individu, tidak hanya untuk kebutuhan melainkan juga untuk mendapatkan kehormatan.
3) Pengaruh pribadi
Sebagai konsumen, perilaku individu kerap dipengaruhi oleh individu atau kelompok lain yang berhubungan erat dengannya (Engel, dkk., 2008). Individu berusaha merespons tekanan dari lingkungan untuk
(47)
commit to user
menyesuaikan diri dengan norma dan harapan yang diharapkan. Pengaruh pribadi merupakan subjek penting dalam menentukan perilaku konsumtif individu.
4) Keluarga
Menurut Kotler dan Keller (2008), keluarga merupakan organisasi pembelian konsumen yang paling penting dalam masyarakat dan para anggota keluarga menjadi kelompok acuan primer yang paling berpengaruh. Dapat dibedakan dua jenis keluarga dalam kehidupan konsumen, yaitu keluarga orientasi dan keluarga prokreasi. Keluarga orientasi terdiri dari orang tua dan saudara kandung. Keluarga prokreasi terdiri dari pasangan dan anak. Perilaku konsumtif individu kerap disebabkan oleh pengaruh didikan dari keluarga.
5) Situasi
Perilaku berubah ketika situasi berubah. Pengaruh situasi dapat dipandang sebagai pengaruh yang timbul dari faktor yang khusus untuk waktu dan tempat yang spesifik yang lepas dari karakteristik konsumen dan karakteristik objek (Engel, dkk., 2008). Situasi yang dapat berpengaruh pada perilaku konsumtif dapat dibagi menjadi tiga jenis utama yaitu situasi komunikasi, situasi pembelian, dan situasi pemakaian.
1. Situasi komunikasi, didefinisikan sebagai latar dimana individu dihadapkan pada komunikasi pribadi atau non-pribadi. Komunikasi pribadi mencakup percakapan yang mungkin dilakukan individu
(48)
commit to user
saat pembelian, seperti wiraniaga atau sesama konsumen. Komunikasi non-pribadi mencakup iklan dan program serta publikasi yang berorientasi konsumen.
2. Situasi pembelian, mengacu pada latar ketika individu melakukan pembelian produk atau jasa. Pengaruh situasi sangat lazim terjadi selama pembelian.
3. Situasi pemakaian, mengacu pada latar dimana konsumsi terjadi. Lingkungan sosial saat produk dipakai atau digunakan dan waktu dimana pemakaian terjadi dapat pula mempengaruhi perilaku konsumtif.
b. Faktor Perbedaan Individu
Faktor perbedaan individu dapat dibagi menjadi lima, yaitu: 1. Sumber daya konsumen
Kuantitas sumber daya ekonomi yang dimiliki individu dapat mempengaruhi perilaku konsumtifnya (Engel, dkk., 2008). Semakin tinggi sumber daya ekonomi yang dimiliki, dapat semakin meningkatkan perilaku konsumtif individu.
2. Motivasi dan keterlibatan
Perilaku yang termotivasi diprakarsai oleh pengaktifan kebutuhan. Kebutuhan atau motif diaktifkan ketika ada ketidakcocokan yang memadai antara keadaan aktual dengan keadaan yang diinginkan. Keterlibatan adalah tingkat kepentingan pribadi yang dirasakan dan atau minat yang dibangkitkan oleh stimulus di dalam situasi spesifik
(49)
commit to user
(Engel, dkk., 2008). Keterlibatan adalah faktor penting dalam mengerti motivasi. Keterlibatan mengacu pada tingkat relevansi yang disadari dalam tindakan pembelian dan konsumsi. Bila keterlibatan tinggi, ada motivasi untuk memperoleh dan mengolah informasi sehingga kemungkinan untuk timbulnya perilaku konsumtif semakin tinggi. 3. Pengetahuan
Pengetahuan konsumen terdiri dari informasi yang disimpan di dalam ingatan. Informasi yang dipegang oleh individu mengenai produk akan sangat mempengaruhi pola pembeliannya (Engel, dkk., 2008). Semakin banyak dan baik informasi yang didapat individu tentang suatu produk, maka individu akan semakin percaya pada produk tersebut dan mempengaruhi perilaku konsumtifnya.
4. Sikap
Engel, dkk. (2008) mengemukakan bahwa sikap pada umumnya memainkan peranan utama dalam membentuk perilaku. Dalam memutuskan produk apa yang akan dibeli, atau toko mana yang akan menjadi langganan, individu akan memilih produk dan toko yang dievaluasi paling menguntungkan baginya.
5. Kepribadian, gaya hidup, dan demografi
Kepribadian didefinisikan sebagai respons yang konsisten terhadap stimulus lingkungan. Kepribadian merupakan perluasan fokus untuk mencakupi gaya hidup yaitu pola yang digunakan orang untuk hidup dan menghabiskan waktu serta uang. Sasaran bidang demografi yang
(50)
commit to user
dapat mempengaruhi perilaku konsumtif antara lain usia, pendapatan, dan pendidikan (Engel, dkk., 2008).
c. Faktor Psikologis
Faktor-faktor psikologis yang dapat mempengaruhi perilaku konsumtif yaitu pengolahan informasi, pembelajaran, serta perubahan sikap dan perilaku. Ketiga faktor tersebut saling berkaitan dalam mempengaruhi perilaku konsumtif. Pengolahan informasi menyampaikan cara-cara dimana informasi ditransformasikan, dikurangi, dirinci, disimpan, didapatkan kembali, dan digunakan. Informasi yang didapatkan tersebut merupakan proses belajar individu. Kemudian, pembelajaran merupakan proses dimana pengalaman menyebabkan perubahan dalam pengetahuan, sikap, dan perilaku individu (Engel, dkk., 2008). Oleh karena itu, ketiga faktor tersebut dapat mempengaruhi timbulnya perilaku konsumtif.
Berdasarkan uraian para ahli di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa faktor-faktor yang dapat mempengaruhi perilaku konsumtif, yaitu usia, keadaan ekonomi, gaya hidup, kepribadian, motivasi, pengetahuan, kebudayaan, kelas sosial, keluarga, dan kelompok acuan.
B. Body Image
1. Pengertian Body Image
Schilder (dalam Cash dan Pruzinsky, 2002) mendefinisikan body image sebagai gambaran individu mengenai tubuhnya yang terbentuk dari pikiran individu itu sendiri. Body image merupakan suatu pengalaman individual
(51)
commit to user
seseorang tentang tubuhnya. Rosen (dalam Sukamto, 2006) mengemukakan bahwa body image individu dapat berubah walaupun penampilan fisiknya tidak berubah.
Menurut Thompson (2000), body image adalah evaluasi terhadap ukuran tubuh seseorang, berat ataupun aspek tubuh lainnya yang mengarah pada penampilan fisik. Lebih lanjut, Slade (dalam Sousa, 2008) mengemukakan bahwa body image merupakan gambaran seluruh tubuh yang terbentuk dari ilustrasi mental yang berhubungan dengan dimensi emosi individu mengenai ukuran, citra, dan bentuk tubuhnya.
Rice (dalam Sukamto, 2006) mengemukakan bahwa body image adalah gambaran mental yang dimiliki seseorang tentang tubuhnya yang meliputi pikiran-pikiran, perasaan-perasaan, penilaian-penilaian, sensasi-sensasi, kesadaran dan perilaku yang terkait dengan tubuhnya. Body image yang sehat atau positif ditandai oleh adanya gambaran mental yang akurat tentang tubuh dan perasaan, serta relasi dengan tubuh yang positif dan percaya diri.
Body image merupakan sebuah konsep psikologis yang bersifat subjektif, sehingga konsep ini sebenarnya tidak bergantung pada penampilan fisik individu. Individu yang telah berhasil menurunkan berat badannya atau menjadi lebih cantik mungkin saja masih memiliki body image negatif. Hal tersebut menurut Brehm (dalam Sukamto, 2006) disebabkan oleh adanya kesenjangan yang besar antara standar kecantikan yang berlaku dengan bentuk tubuh perempuan yang senyatanya.
(52)
commit to user
Freedman (dalam Sukamto, 2006) menambahkan bahwa tinggi rendahnya ketidakpuasan terhadap body image ditentukan oleh seberapa besarnya kesesuaian antara tubuh yang senyatanya dengan norma kecantikan yang berlaku di lingkungan sosialnya. Jika terdapat kesenjangan yang besar antara tubuh yang ideal dengan tubuh senyatanya, maka mayoritas perempuan akan memandang diri mereka sendiri sebagai orang yang tidak dapat menyesuaikan diri dan merasa dituntut untuk membentuk diri mereka agar sesuai dengan bentuk tubuh yang ideal (Sukamto, 2006).
Menurut Santrock (2003), salah satu aspek psikologis dari perubahan fisik di masa pubertas yaitu remaja menjadi amat memperhatikan tubuh mereka dan membangun image-nya sendiri mengenai bagaimana tubuh mereka tampak. Sesuai dengan pendapat Hamburg dan Wright (dalam Santrock, 2003) yang menyatakan bahwa perhatian yang berlebihan terhadap body image, menjadi amat kuat pada masa remaja, terutama amat mencolok selama pubertas, saat remaja lebih tidak puas akan keadaan tubuhnya dibandingkan dengan masa akhir remaja.
Lebih lanjut, Gross (dalam Santrock, 2003) berpendapat perbedaan gender menandai persepsi remaja mengenai tubuh mereka. Pada umumnya, remaja putri lebih kurang puas dengan keadaan tubuhnya dan memiliki tingkat body image negatif yang lebih tinggi dibandingkan dengan remaja putra. Hal tersebut diperkuat dengan penelitian Siegel, dkk. (dalam Sukamto, 2006) yang menemukan bahwa remaja putri lebih depresif terhadap body image daripada remaja putra.
(53)
commit to user
Remaja putri seringkali menjadi lebih tidak puas dengan keadaan tubuhnya karena massa lemak tubuh yang meningkat, sedangkan remaja putra menjadi lebih puas dengan memasuki masa pubertas karena massa otot yang meningkat. Menurut Gideon (dalam Suprapto dan Aditomo, 2007), remaja dengan body image negatif menganggap dirinya tidak menarik. Remaja merasa tidak memenuhi standar kecantikan masyarakat, merasa tidak berharga, dan merasa tidak menerima penerimaan positif dari dirinya serta orang lain.
Berdasarkan beberapa pengertian body image di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa body image merupakan gambaran mental, perasaan, dan persepsi individu yang berkaitan dengan ukuran tubuh, bentuk tubuh, dan berat tubuh yang mengarah pada kepuasan penampilan fisiknya.
2. Aspek-aspek Body Image
Cash dan Pruzinsky (2002) mengemukakan bahwa terdapat lima aspek pada body image, yaitu:
a. Appearance Evaluation (Evaluasi Penampilan)
Mengukur perasaan individu mengenai penampilannya, apakah merasa menarik atau tidak menarik, memuaskan atau tidak memuaskan, yang secara intrinsik terkait pada kebahagiaan atau kenyamanan individu terhadap evaluasi keseluruhan penampilannya.
(54)
commit to user
b. Appearance Orientation (Orientasi Penampilan)Merupakan tingkat perhatian individu terhadap penampilan dirinya serta usaha yang dilakukan untuk memperbaiki dan meningkatkan penampilan dirinya.
c. Body Area Satisfaction (Kepuasan Area Tubuh)
Merupakan cara individu untuk mengukur tingkat kepuasan terhadap bagian tubuh secara spesifik seperti wajah, rambut, tubuh bagian atas (bahu, dada, lengan), tubuh bagian tengah (pinggang, perut), tubuh bagian bawah (pantat, pinggul, paha, betis) dan penampilan tubuh secara keseluruhan.
d. Overweight Occupation (Kecemasan akan Kegemukan)
Menggambarkan kecemasan individu terhadap kegemukan dan kewaspadaannya terhadap berat badan yang dapat dilihat melalui perilaku individu dalam aktivitas sehari-hari seperti kecenderungan melakukan diet untuk menurunkan berat badan dan membatasi pola makan.
e. Self Classified Weight (Pengkategorian Ukuran Tubuh)
Mengukur bagaimana individu mempersepsi dan menilai berat badannya, dari sangat kurus sampai sangat gemuk.
Dalam penelitian ini, aspek-aspek body image menurut Cash dan Pruzinsky (2002) digunakan dalam penyusunan skala body image. Aspek-aspek body image tersebut yaitu appearance evaluation (evaluasi penampilan), appearance orientation (orientasi penampilan), body area satisfaction
(55)
commit to user
(kepuasan area tubuh), overweight occupation (kecemasan akan kegemukan), dan self classified weight (pengkategorian ukuran tubuh).
3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Body Image
Cash dan Pruzinsky (2002) mengemukakan bahwa terdapat tiga faktor yang dapat mempengaruhi pembentukan body image, yaitu:
a. Media Massa
Isi tayangan media sangat mempengaruhi perkembangan body image remaja putri (Cash dan Pruzinsky, 2002). Media sering menggambarkan standar kecantikan wanita yang memiliki tubuh yang ideal dengan wanita yang bertubuh kurus dan tinggi. Hal ini membuat banyak remaja putri semakin tersugesti bahwa tubuh yang kurus adalah tubuh yang ideal dan sehat. Pada umumnya, remaja putri sangat tertarik pada majalah-majalah fashion dan iklan yang selalu menyajikan gambar model yang bertubuh tinggi, kurus, dan berkulit mulus (Levin dan Smolak, dalam Cash dan Pruzinsky, 2002). Figur model yang ideal tersebut banyak menyebabkan remaja putri semakin tidak puas dengan penampilan fisiknya, terutama pada remaja yang telah memiliki body image negatif sebelumnya.
b. Keluarga
Body image remaja putri memiliki hubungan dengan sikap dan perilaku yang berkaitan dengan body image orang tuanya. Orang tua dengan body image yang positif dapat membentuk body image yang positif pula pada anak remajanya. Ejekan atau komentar yang negatif dari anggota keluarga
(56)
commit to user
mengenai tubuh remaja dapat membentuk body image yang negatif pada remaja (Cash dan Pruzinsky, 2002).
c. Hubungan Interpersonal
Remaja cenderung membandingkan diri sendiri dengan orang lain. Umpan balik yang diterima dari orang lain, dapat pula mempengaruhi konsep diri remaja, termasuk bagaimana perasaan diri terhadap penampilan fisiknya. Hal ini sering membuat remaja cemas terhadap penampilannya dan gugup ketika orang lain seperti teman sebayanya memberikan komentar tentang penampilan fisiknya. Oleh karena itu, terdapat hubungan yang kuat komentar negatif teman sebaya dengan ketidakpuasan remaja terhadap tubuhnya dan terbentuk body image negatif (Cash dan Pruzinsky, 2002).
Thompson (2000) mengemukakan pula bahwa terdapat tiga faktor yang mempengaruhi body image, yaitu:
a. Jenis Kelamin
Banyak penelitian yang membuktikan bahwa ketidakpuasan terhadap tubuh lebih banyak dialami oleh remaja putri daripada remaja putra (Thompson, 2000). Pada umumnya, remaja putri lebih kurang puas dengan keadaan fisiknya dan memiliki tingkat body image negatif yang lebih tinggi dibandingkan remaja putra selama masa pubertas. Hal tersebut disebabkan oleh peningkatan massa lemak remaja putri yang membuat tubuhnya semakin jauh dari bentuk ideal, sedangkan remaja putra merasa puas karena mengalami peningkatan massa otot (Santrock, 2003).
(57)
commit to user
b. Media MassaMedia massa memiliki pengaruh yang besar terhadap pembentukan body image individu. Mayoritas media massa menampilkan model yang berpenampilan menarik, yang secara tidak langsung mempersuasi kaum perempuan untuk meniru penampilan mereka. Akibatnya, semakin banyak perempuan yang ingin mengubah penampilan fisiknya agar sesuai dengan penampilan fisik ideal yang dibentuk media massa (Thompson, 2000). c. Perbandingan Sosial
Proses perbandingan sosial dapat mempengaruhi kepuasan remaja terhadap tubuhnya, yang pada akhirnya membentuk body image remaja (Thompson, 2000). Remaja putri akan cenderung membandingkan penampilan fisiknya dengan model atau teman sebaya yang penampilan fisiknya lebih menarik sehingga dianggap memiliki tubuh yang lebih ideal daripada mereka.
Berdasarkan uraian para ahli di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa faktor-faktor yang dapat mempengaruhi body image individu, yaitu media massa, keluarga, perbandingan sosial, dan jenis kelamin.
C. Konformitas 1. Pengertian Konformitas
Menurut Sears, dkk. (2006), konformitas merupakan istilah untuk menggambarkan keadaan dimana individu menampilkan suatu tindakan karena orang lain juga melakukannya. Konformitas bersifat adaptif karena individu
(58)
commit to user
perlu menyesuaikan diri terhadap orang lain dan tindakan orang lain bisa memberikan informasi mengenai cara yang paling baik untuk bertindak dalam keadaan tertentu.
Sarwono dan Meinarno (2009) mengemukakan bahwa melakukan tindakan yang sesuai dengan norma sosial dapat disebut sebagai konformitas. Norma sosial dapat berupa injunctive norms, yaitu hal apa yang seharusnya kita lakukan dan descriptive norms, yaitu apa yang kebanyakan orang lakukan. Dengan mengikuti norma-norma sosial yang berlaku di masyarakat, individu dapat mengkomunikasikan perasaan dengan jelas dan menghindari kesalahpahaman yang tidak menyenangkan atau memalukan.
Myers (2002) mendefinisikan konformitas sebagai perubahan perilaku atau keyakinan individu karena tekanan kelompok baik yang nyata ataupun yang dibayangkan individu. Pengertian tersebut didukung pula oleh Matsumoto (2004) yang menjelaskan konformitas mengacu pada sikap mengalah individu pada tekanan sosial, baik yang nyata maupun yang dibayangkan individu itu sendiri. Indria dan Nindyati (2007) mengemukakan konformitas sebagai kecenderungan individu untuk melakukan perubahan perilaku atau pandangannya dengan tujuan untuk menyesuaikan dengan perilaku atau pandangan kelompoknya.
Kiesler dan Kiesler (dalam Rakhmat, 2009) mendefinisikan konformitas sebagai perubahan perilaku atau kepercayaan menuju norma kelompok sebagai akibat tekanan kelompok. Tekanan yang ada dalam norma sosial sesungguhnya memiliki pengaruh yang besar. Hal tersebut sesuai dengan
(59)
commit to user
yang dikemukakan Baron, dkk. (dalam Sarwono dan Meinarno, 2009) bahwa tekanan-tekanan untuk melakukan konformitas sangat kuat, sehingga usaha untuk menghindari situasi yang menekan dapat menenggelamkan nilai-nilai personal individu.
Hurlock (2006) mengemukakan bahwa pada masa remaja, kelompok teman sebaya sangat mempengaruhi pola kepribadian remaja karena remaja lebih banyak berada di luar rumah bersama dengan teman-teman sebaya sebagai kelompok. Kelompok teman sebaya dapat mempengaruhi kepribadian remaja dalam dua cara. Pertama, konsep diri remaja merupakan cerminan dari anggapan kelompok teman sebaya tentang dirinya. Kedua, remaja berada dalam tekanan untuk mengembangkan ciri-ciri kepribadian yang diakui kelompok. Pengaruh kelompok terhadap sikap, pembicaraan, minat, penampilan, dan perilaku lebih besar dari pengaruh keluarga.
Banyak kelompok yang mempengaruhi perilaku remaja. Kelompok yang mempunyai pengaruh langsung atau tidak langsung terhadap pendirian atau perilaku individu disebut sebagai kelompok acuan (Kotler, 2000). Kelompok acuan menghubungkan individu dengan perilaku dan gaya hidup baru. Prasetijo dan Ihalauw (2005) mengemukakan bahwa kelompok acuan juga berpengaruh sepanjang proses pembelian, yang dimulai dari timbulnya kebutuhan, mencari informasi tentang produk, menentukan alternatif-alternatif, mengevaluasi tiap alternatif, menentukan, dan kemudian memutuskan melakukan kegiatan pembelian, bahkan sesudah pembelian.
(60)
commit to user
Berdasarkan pengertian yang dipaparkan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa konformitas merupakan perubahan sikap dan perilaku individu sebagai usaha untuk menyesuaikan diri dengan norma atau harapan yang dibentuk kelompok baik nyata ataupun hanya dibayangkan oleh individu sendiri, agar dapat diterima dalam kelompok dan sebagai bentuk interaksi di dalam kelompok.
2. Aspek-aspek Konformitas
Menurut Myers (2002), terdapat dua aspek konformitas, yaitu: a. Pengaruh Normatif
Pengaruh normatif merupakan penyesuaian diri individu berdasarkan harapan dan keinginan orang lain untuk mendapatkan penerimaan (Myers, 2002). Individu berusaha untuk mengikuti standar norma yang berlaku untuk memenuhi harapan orang lain. Apabila norma ini dilanggar maka individu akan mengalami penolakan atau pengucilan oleh kelompok. Hal tersebut senada dengan pendapat Baron dan Byrne (2005) yaitu individu melakukan konformitas agar disukai oleh kelompok atau paling tidak untuk menghindari penolakan dari kelompok.
b. Pengaruh Informasional
Pengaruh informasional merupakan penyesuaian diri individu dengan menerima petunjuk, opini, atau informasi kelompok sebagai pedoman bagi perilaku atau pendapat sendiri (Myers, 2002). Individu menerima asumsi kelompok karena beranggapan bahwa kelompok lebih kaya informasi
(61)
commit to user
dibandingkan dengan dirinya sendiri. Individu ingin merasa benar dan memiliki persepsi yang tepat tentang norma sosial.
Konformitas sebuah kelompok acuan dapat mudah terlihat dengan adanya karakteristik yang khas. Sears (2006) mengemukakan bahwa terdapat dua aspek pembentuk konformitas, yaitu:
1) Pengaruh Informasi
Orang lain atau kelompok dapat menjadi sumber informasi yang bermanfaat bagi individu. Oleh karena itu, informasi yang dimiliki individu dapat mempengaruhi konformitasnya. Menurut Sears (2006), tingkat konformitas yang didasarkan pada informasi ditentukan oleh dua aspek, yaitu:
a) Kepercayaan terhadap kelompok
Sears (2006) mengemukakan bahwa semakin besar kepercayaan individu terhadap kelompok sebagai sumber informasi yang benar, maka akan semakin besar konformitas individu terhadap kelompok. Demikian pula, bila kelompok memiliki informasi yang yang tidak diketahui individu, konformitas akan meningkat.
b) Kepercayaan terhadap penilaian sendiri
Tingkat keyakinan individu terhadap kemampuannya sendiri dapat mempengaruhi tingkat konformitasnya (Sears, 2006). Semakin individu percaya terhadap keyakinannya, maka tingkat konformitasnya akan menurun. Sebaliknya bila individu tidak yakin terhadap
(62)
commit to user
kemampuannya, maka kecenderungan untuk mengikuti penilaian kelompok akan semakin tinggi.
2) Rasa Takut terhadap Celaan Sosial
Individu merasa takut terhadap penyimpangan karena takut akan sanksi celaan sosial dari kelompok (Sears, 2006). Rasa takut akan dianggap berbeda dalam situasi sosial, membuat individu menyesuaikan diri dengan kelompoknya. Individu menginginkan agar kelompok menyukainya, diperlakukan dengan baik, dan diterima. Individu menyesuaikan diri untuk menghindari selisih paham dan tidak disukai oleh kelompoknya.
Berdasarkan uraian di atas, aspek-aspek konformitas yang dikemukakan oleh Myers (2002) dapat memrepresentasikan definisi konformitas secara lengkap. Oleh karena itu, aspek-aspek konformitas dari Myers yaitu pengaruh normatif dan pengaruh informasional, digunakan sebagai dasar penyusunan skala konformitas dalam penelitian ini.
3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Konformitas
Menurut Rakhmat (2009), konformitas adalah produk interaksi antara faktor-faktor situasional dan faktor-faktor personal. Faktor-faktor yang mempengaruhi konformitas tersebut, yaitu:
a) Faktor-faktor Situasional
Faktor-faktor situasional yang menentukan konformitas adalah kejelasan situasi, konteks situasi, cara menyampaikan penilaian, karakteristik sumber pengaruh, ukuran kelompok, dan tingkat kesepakatan kelompok.
(63)
commit to user
1) Kejelasan situasiPenelitian Sheriff (dalam Rakhmat, 2009) menyimpulkan bahwa semakin tidak jelas dan makin tak berstruktur situasi yang dihadapi, maka semakin besar kecenderungan individu untuk mengikuti kelompok.
2) Konteks situasi
Individu akan melakukan konformitas pada kelompok, bila individu tersebut sadar bahwa kelompok akan semakin menyukainya jika individu sepakat dengan pendapat dan keyakinan kelompoknya.
3) Cara menyampaikan penilaian
Cara individu menyatakan penilaian dan perilakunya juga berkaitan dengan konformitas. Umumnya, individu akan melakukan konformitas bila ia harus menyatakan responsnya secara terbuka dibandingkan dengan mengungkapkannya secara rahasia.
4) Karakteristik sumber pengaruh
Individu yang menyatakan pendapat atau keyakinan berpengaruh pula pada konformitas. Bila yang menyatakan pendapat adalah orang yang dihormati dalam kelompok, maka kecenderungan konformitas akan semakin tinggi.
5) Ukuran kelompok
Semakin besar ukuran kelompok, berarti semakin banyak orang yang berperilaku dengan cara-cara tertentu, sehingga semakin banyak orang yang mengikutinya (Sarwono dan Meinarno, 2009).
(64)
commit to user
6) Tingkat kesepakatan kelompokPengaruh norma kelompok pada konformitas anggota-anggotanya bergantung pada ukuran mayoritas anggota kelompok yang menyatakan penilaian. Semakin besar anggota yang setuju, maka semakin tinggi tingkat konformitasnya.
b) Faktor-faktor Personal
Faktor-faktor personal yang erat kaitannya dengan konformitas antara lain usia, jenis kelamin, stabilitas emosional, kecerdasan, motivasi, dan harga diri.
1) Usia. Pada umumnya, semakin tinggi usia individu, maka ia akan semakin mandiri, tidak bergantung pada orang lain, dan semakin mengurangi kecenderungan konformitasnya,
2) Jenis kelamin. Wanita biasanya lebih cenderung melakukan konformitas dibanding pria.
3) Stabilitas emosional. Individu yang emosinya kurang stabil, lebih mudah mengikuti kelompok daripada individu yang emosinya stabil. 4) Kecerdasan. Kecerdasan berkolerasi negatif dengan konformitas
(Rakhmat, 2009). Semakin tinggi kecerdasan individu, maka kecenderungan melakukan konformitas akan semakin rendah.
5) Motivasi. Menurut Rakhmat (2009), motivasi berprestasi, motivasi aktualisasi diri, dan konsep diri yang positif dapat menghambat konformitas. Makin tinggi hasrat berprestasi individu, akan diikuti
(1)
commit to user
kelompok pergaulan dan melakukan konformitas yang tepat terhadap teman bergaul dalam upaya mencegah perilaku konsumtif pada remaja putri.
2. Bagi orang tua
Orang tua perlu lebih meningkatkan hubungan interpersonal dengan anak remajanya untuk dapat mengajarkan kepada anak cara mengontrol perilakunya sendiri, membentuk body image yang positif, dan melakukan konformitas yang sesuai terhadap lingkungannya. Orang tua juga perlu membentuk pola pikir anak dalam mengkonsumsi barang atau jasa, dengan membeli barang atau jasa berdasarkan kebutuhan dan bukan karena keinginan semata.
3. Bagi guru
Para guru perlu lebih memperhatikan dan mengajarkan siswa-siswi cara-cara untuk dapat mengontrol perilakunya sendiri, membentuk body image
positif, dan konformitas yang sesuai dengan kelompok teman sebayanya. guna mencegah terjadinya perilaku konsumtif di kalangan remaja, terutama siswi sekolah menengah atas.
4. Bagi peneliti lain
Bagi peneliti lain khususnya ilmuwan psikologi yang tertarik meneliti topik yang sama, diharapkan penelitian ini dapat digunakan sebagai informasi dan bahan acuan dalam penelitian. Mengingat hasil sumbangan variabel body
(2)
image dan konformitas yang sebesar 20,3% dan masih banyak faktor lain yang mempengaruhi perilaku konsumtif, maka peneliti selanjutnya yang akan mengadakan penelitian serupa disarankan untuk meneliti faktor-faktor perilaku konsumtif yang lain yang seperti budaya, keluarga, tipe kepribadian, dan lokus kontrol.
Peneliti juga menyarankan peneliti selanjutnya dapat memperluas ruang lingkup penelitian lebih lanjut sehingga diharapkan dapat meningkatkan kualitas penelitian. Misalnya dengan memperluas populasi atau melakukan studi banding antara kelompok remaja putri dengan kelompok remaja putra.
Hal lain yang perlu diperhatikan adalah menggunakan data tambahan seperti observasi dan wawancara sebagai tambahan acuan dalam menganalisis data, agar hasil yang didapat lebih mendalam dan sempurna, karena tidak semua hal dapat diungkap dengan skala.
(3)
commit to user
111DAFTAR PUSTAKA
Adi, Pradana S. 2008. Membentuk Body Image Positif. Majalah Psikologi Plus.
Vol. II No. 12, Juni 2008, 61-66.
Ali, Mohammad dan Asrori, Mohammad. 2008. Psikologi Remaja:
Perkembangan Peserta Didik. Jakarta: P.T. Bumi Aksara.
Anin, Anastasia., Rasimin., dan Atamimi, Nuryati. 2007. Hubungan Self Monitoring dengan Impulsive Buying terhadap Produk Fashion pada Remaja. Jurnal Psikologi. Vol. 35 No. 2, 181-193.
Arikunto, Suharsimi. 2006. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: P.T. Rineka Cipta.
Armawi, Armaidy. 2007. Dari Konsumerisme ke Konsumtivisme: Dalam Perspektif Sejarah Filsafat Barat. Jurnal Filsafat Wisdom. Vol. 17 No. 3, 309-318.
Aryani, Gunita. 2006. Hubungan antara Konformitas dan Perilaku Konsumtif pada Remaja di SMA Negeri 1 Semarang. Skripsi. Semarang: Fakultas Psikologi Universitas Negeri Semarang.
Atkinson, Rita L., Atkinson, Richard C., Smith, Edward E., dan Bem, Darly J. 2002. Pengantar Psikologi. Jilid 1. Edisi Kesebelas. Alih Bahasa Widjaja Kusuma. Batam: Interaksara.
Azwar, Saifuddin. 1997. Reliabilitas dan Validitas. Jogjakarta: Pustaka Pelajar. ______________. 2009. Penyusunan Skala Psikologi. Jogjakarta: Pustaka Pelajar. ______________. 2010. Sikap Manusia. Jogjakarta: Pustaka Pelajar.
Baron, A. Robert dan Byrne, Donn. 2003. Psikologi Sosial. Jilid 1. Alih Bahasa Ratna Djuwita, dkk. Jakarta: Erlangga.
______________. 2005. Psikologi Sosial. Jilid 2. Alih Bahasa Ratna Djuwita, dkk. Jakarta: Erlangga.
Cash, Thomas F. dan Pruzinsky, Thomas. 2002. Body Image: A Handbook of
Theory, Research, and Clinical Practice. New York: The Guilford Press.
Djudiyah dan Hadipranata, Asip F. 2002. Hubungan antara Pemantauan Diri, Harga Diri, Materialisme, dan Uang Saku dengan Pembelian Impulsif pada Remaja. Jurnal Psikodinamik. Vol. 4 No. 2, 59-72.
(4)
Engel, James F., Blackwell, Roger D., dan Miniard, Paul W. 2008. Perilaku
Konsumen. Jilid 1. Alih Bahasa F.X. Budiyanto. Tangerang: Binarupa
Aksara.
Fransisca dan Suyasa, P. Tommy. 2005. Perbandingan Perilaku Konsumtif Berdasarkan Metode Pembayaran. Jurnal Phronesis. Vol. 7 No. 2, 172-198. Hadi, Sutrisno. 2004. Statistika. Jilid 2. Jogjakarta: Andi.
Hurlock, Elizabeth B. 2006. Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan
Sepanjang Rentang Kehidupan. Edisi Kelima. Jakarta: Erlangga.
Indria, Karina dan Nindyati, Ayu D. 2007. Kajian Konformitas dan Kreativitas Affective Remaja. Jurnal Provitae. Vol. 3 No.1, 85-104.
Kementerian Pendidikan Nasional. 2010. Mengejar Remaja Sampai ke Mall.
Internet. http://www.paudni.kemdiknas.go.id/dikmas/index.php/. Diakses 22
Mei 2011.
Kisawa, Wisnu. 2006. SMA Hollywood di Atas Kuburan. Internet. http://www.suaramerdeka.com/harian/0602/18/slo10.htm. Diakses 11 Juni 2011.
Kotler, Philip dan Keller, Kevin L. 2008. Manajemen Pemasaran. Jilid 1. Alih Bahasa Benyamin Molan. Jakarta: P.T. Indeks.
Kotler, Philip dan Susanto. 2000. Manajemen Pemasaran di Indonesia. Jilid 1. Alih Bahasa Ancella A. Hermawan. Jakarta: Salemba Empat.
Lury, Celia. 1998. Budaya Konsumen. Alih Bahasa Hasti T. Champion. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Mangkunegara, Anwar P. 2005. Perilaku Konsumen. Bandung: P.T. Refika Aditama.
Matsumoto, David. 2004. Pengantar Psikologi Lintas Budaya. Alih Bahasa Anindito Aditomo. Jogjakarta: Pustaka Pelajar.
Monks, F.J., Knoers, A.M., dan Haditono, Siti R. 2004. Psikologi Perkembangan:
Pengantar dalam Berbagai Bagiannya. Jogjakarta: Gadjah Mada University
Press.
Myers, David G. 2002. Social Psychology. Seventh Edition. New York: McGraw-Hill.
(5)
commit to user
113Oswalt, Sara B. dan Wyatt, Tammy J. 2007. Mirror, Mirror, Help Me Like My Body: Examining a Body Image Media Campaign. Californian Journal of
Health Promotion. Vol. 5, Issue 2, 135-147.
Prasetijo, Ristiayanti dan Ihalauw, John. 2005. Perilaku Konsumen. Jogjakarta: Andi.
Priyatno, Duwi. 2008. Mandiri Belajar SPSS: Untuk Analisis Data dan Uji
Statistik. Jogjakarta: MediaKom.
Purwanto. 2008. Metodologi Penelitian Kuantitatif: Untuk Psikologi dan
Pendidikan. Jogjakarta: Pustaka Pelajar.
Rahardjo, Wahyu dan Silalahi, Betty Y. 2007. Perilaku Konsumtif pada Pria Metroseksual serta Pendekatan dan Strategi yang Digunakan untuk Mempengaruhinya. Jurnal PESAT. Vol. 2, ISSN: 1858-2559, 33-37.
Rakhmat, Jalaluddin. 2009. Psikologi Komunikasi. Bandung: P.T. Remaja Rosdakarya.
Santoso, Benny. 2006. Bebas dari Konsumerisme. Jogjakarta: Andi.
Santrock, John W. 2003. Adolescence: Perkembangan Remaja. Alih Bahasa Shinto B. Adelar dan Sherly Saragih. Jakarta: Erlangga.
Sarwono, Sarlito W. 2004. Psikologi Remaja. Jakarta: P.T. RajaGrafindo Persada. Sarwono, Sarlito W. dan Meinarno, Eko A. 2009. Psikologi Sosial. Jakarta:
Salemba Humanika.
Sears, David O., Freedman, Jonathan L., Peplau., dan Letitia, Anne. 2006.
Psikologi Sosial. Jilid 2. Edisi Kelima. Alih Bahasa Michael Adryanto.
Jakarta: Erlangga.
Sembiring, Amstrong. 2009. Budaya Konsumerisme. Internet. http://indowarta.com/index.php?option=com_content&view=article&id=31 0:budaya-konsumerisme&catid=102:opini&Itemid=374. Diakses 30 April 2011.
Sobur, Alex. 2003. Psikologi Umum. Bandung: C.V. Pustaka Setia.
Solomon, Michael R. 2007. Consumer Behavior: Buying, Having, and Being. 7th Edition. New Jersey: Pearson Education, Inc.
(6)
Sousa, Pedro M.. 2008. Body Image and Obesity in Adolescence: A Comparative Study of Social Demographic, Psychological, and Behavioral Aspect. The
Spanish Journal of Psychology. Vol. 11 No. 2, 551-563.
Suharsono, M. dan Haryono, Andriana W. 2009. Sikap terhadap Demonstrasi Ditinjau dari Konformitas pada Kelompok Teman Sebaya. Jurnal
Psikodimensia. Vol. 8 No. 1, 59-67.
Sukamto, Monique E. 2006. Citra Tubuh Perempuan di Media Massa. Anima:
Indonesian Psychological Journal. Vol. 21 No. 3, 299-305.
Suprapto, Maria H. dan Aditomo, Anindito. 2007. Aku dan Dia, Cantik Mana? Perbandingan Sosial, Body Dissatisfaction dan Objektivikasi Diri. Anima
Indonesian Psychological Journal. Vol. 22 No. 2, 188-193.
Suryabrata, Sumadi. 2006. Metodologi Penelitian. Jakarta: P.T. RajaGrafindo Persada.
Tambunan, Raymond. 2001. Remaja dan Perilaku Konsumtif. Internet. http://e-psikologi.com. Diakses 17 Maret 2011.
Thompson, J. Kevin. 2000. Body Image, Eating Disorders, and Obesity: An
Integrative Guide for Assesment and Treatment. Washington DC: American
Psychological Association.
Usman, Husaini dan Akbar, Purnomo S. 2000. Metodologi Penelitian Sosial. Jakarta: P.T. Bumi Aksara.
Zebua, Albertina S. dan Nurdjayadi, Rostiana D. 2001. Hubungan antara Konformitas dan Konsep Diri dengan Perilaku Konsumtif pada Remaja Putri. Jurnal Phronesis. Vol. 3 No. 6, 72-82.