PEMBAHASAN Hubungan Pengetahuan Dan Kemampuan Perawat Dengan Penerapan Standar Joint Commission International Tentang Keselamatan Pasien Di Instalasi Gawat Darurat RSUP. H. Adam Malik Medan

BAB 5 PEMBAHASAN

5.1 Hubungan Pengetahuan dengan Penerapan Standar JCI tentang Keselamatan Pasien di IGD RSUP. H. Adam Malik Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa responden yang mempunyai pengetahuan standar JCI tentang keselamatan pasien pada lebih banyak pada kategori kurang yaitu 31 orang 50,8, sedangkan kategori baik hanya 30 orang 49,2. Hasil analisis hubungan pengetahuan dengan penerapan standar JCI tentang keselamatan pasien diperoleh p=0,001 0,05, artinya bahwa ada hubungan yang signifikan antara faktor pengetahuan dengan standar JCI tentang keselamatan pasien di IGD RSUP. H. Adam Malik. Pengetahuan perawat tentang standar JCI terkait dengan keselamatan pasien jika ditelaah dari jawaban masing-masing aspek dari 6 standar keselamatan pasien dapat dijelaskan bahwa standar tentang pengurangan risiko infeksi terkait pelayanan kesehatan standar kelima merupakan hal yang paling dipahami oleh perawat, sedangkan standar lainnya relatif sama. Pemahaman yang baik tentang hal ini karena program cuci tangan pada perawat yang dilakukan di RSUP. H. Adam Malik sudah cukup disosialisasikan dengan baik. Sesuai penelitian Karolus 2012 di RSUD Bandung menemukan bahwa pengetahuan perawat tentang keselamatan pasien pada kategori kurang 84,8. Berdasarkan hasil penelitian tersebut, pihak rumah sakit dapat menambah, memperbaiki dan memperbaharui sistem pelatihan, pendidikan, dan bentuk-bentuk Universitas Sumatera Utara sosialiasi untuk meningkatkan pengetahuan perawat tentang standar keselamatan pasien rumah sakit. Penerapan standar JCI tentang keselamatan pasien merupakan suatu budaya kerja yang dilakukan perawat di rumah sakit. Sehubungan standar JCI tersebut merupakan hal baru yang diterapkan di rumah sakit terkait dengan akreditasi rumah sakit menuju akreditasi internasional, maka dukungan aspek kepemimpinan yang efektif, kesadaran diri dan penentuan tujuan memiliki hubungan dengan penerapan budaya keselamatan pasien. Artinya komponen kesadaran diri dan penentuan tujuan berperan dalam penerapan budaya keselamatan pasien. Untuk itu pihak manajemen RSUP. H. Adam Malik agar lebih meningkatkan pelatihan yang efektif, mengintenskan diskusi keselamatan pasien, meningkatkan pengawasan serta evaluasi berkelanjutan terkait keselamatan pasien untuk mematangkan budaya keselamatan pasien yang telah ada. Hasil penelitian Bawelle dkk, 2013 di RSUD Lin Kendage Tahuna Makassar menemukan bahwa ada hubungan pengetahuan perawat dengan pelaksanaan keselamatan pasien patient safety di Ruang Rawat Inap RSUD Liun Kendage Tahuna. Penelitian tersebut menyarankan bagi rumah sakit dapat lebih meningkatkan mutu pelayanan keperawatan yang berkaitan dengan keselamatan pasien patient safety Isu keselamatan pasien merupakan salah satu isu utama dalam pelayanan kesehatan. Patient safety merupakan sesuatu yang jauh lebih penting daripada sesuai dengan panduan nasional keselamatan pasien rumah sakit. Universitas Sumatera Utara sekedar efisiensi pelayanan. Berbagai resiko akibat tindakan medik dapat terjadi sebagai bagian dari pelayanan kepada pasien Pinzon 2008. Demikian juga halnya di IGD RSUP. H. Adam Malik Medan perlu dikembangkan pelayanan kesehatan yang berorientasi kepada keselamatan pasien sehingga mutu pelayanan kesehatan dapat ditingkatkan Hasil penelitian Rachmawati 2011 tentang pengukuran iklim keselamatan pasien menemukan bahwa di Rumah Sakit Muhammadiyah Aisyiyah RSMA diperoleh 4 faktor yang saling berhubungan secara bermakna untuk model pengukuran iklim keselamatan pasien, yaitu kepemimpinan transformasional di tingkat direksi RS dengan 4 indikator, kesadaran individual di tingkat individu dengan 5 indikator, kerjasama tim di tingkat unit kerja dengan 3 indikator, serta budaya keselamatan pasien di tingkat organisasi atau rumah sakit. Dengan model ini dapat ditunjukkan variasi kondisi budaya keselamatan pasien di RSMA. Kepemimpinan Transformasional paling berpengaruh positif langsung terhadap budaya keselamatan pasien dibanding kerjasama tim dan kesadaran individual. Semua variabel berhubungan secara bermakna secara statistik. Instrumen pengukuran budaya keselamatan pasien di RSMA mempunyai karakteristik psikometrik yang baik dan dapat mengukur serta membandingkan kondisi budaya keselamatan pasien RSMA. Model ini dapat mendeteksi awal perhatian di setiap tingkatan yang ada di RS tentang keselamatan pasien sehingga dapat dikembangkan menjadi rencana intervensi yang lebih komprehensif untuk memperbaiki budaya keselamatan pasien. Universitas Sumatera Utara Untuk kelompok layanan keperawatan proporsi terbesar SDM di RS, maka nilai-nilai kesadaran individu akan berubah juga sesuai dengan lapangan pelayanan keperawatan yang berubah. Seorang perawat harus selalu memperbaharui pengetahuan dan kemampuan teknisnya, berpikir kritis dan kemampuan hubungan interpersonalnya dalam membangun komunikasi yang baik di dalam tim. Selain itu memiliki keyakinan akan kompetensi rekan kerja dalam satu tim sebagai salah satu indikator adanya rasa saling percayatrust dalam suatu tim Perbedaan pengetahuan perawat pelaksana dibandingkan kepala ruangan tentang keselamatan pasien seperti ditemukan penelitian Wardhani dkk 2013 bahwa hasil uji hubungan antara pengetahuan dengan penerapan budaya keselamatan pasien menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan antara pengetahuan yang dimiliki oleh kepala ruangan dengan penerapan budaya keselamatan pasien. Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian Marpaung 2005 yang menyatakan bahwa tidak terdapat hubungan bermakna tentang pengetahuan perawat pelaksana dengan budaya kerja. Mulyadi 2005 pun menyatakan tidak terdapat hubungan pengetahuan dengan kinerja perawat pelaksana dalam mengendalikan mutu pelayanan keperawatan di ruang rawat inap rumah sakit. Berdasarakan hasil tersebut di atas dapat dijelaskan bahwa ujung tombak penerapan standar JCI tentang keselamatan pasien adalah perawat yang berinteraksi langsung dengan pasien, namun perawat yang menjabat dalam komite keperawatan maupun yang menjabat dalam struktur manajemen RSUP. H. Adam Malik juga Universitas Sumatera Utara penting untuk memahami standar JCI tersebut sehingga dalam implementasinya ada kesinambungan dari aspek perencanaan sampai pelaksanaan kepada pasien. Jawaban perawat di IGD RSUP. H. Adam Malik Medan tentang pengetahuan standar JCI tentang keselamatan pasien menunjukkan bahwa aspek pengurangan risiko infeksi terkait pelayanan kesehatan merupakan hal yang paling tinggi diketahui oleh perawat, khususnya melakukan cuci tangan sebelum dan sesudah membuang wadah sputum, secret ataupun darah yang dijawab dengan benar oleh 65,6 responden. Hal ini merupakan hasil dari program cuci tangan yang telah disosialisasikan oleh manajemen RSUP. H. Adam Malik Medan. 5.2 Hubungan Kemampuan dengan Penerapan Standar JCI tentang Keselamatan Pasien di IGD RSUP. H. Adam Malik Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa responden yang mempunyai kemampuan pada kategori kurang 32 orang 52,5, persentase ini lebih banyak dibandingkan responden dengan kemampuan kategori baik. Hasil analisis hubungan kemampuan dengan penerapan standar JCI tentang keselamatan pasien diperoleh p = 0,000 0,05, artinya bahwa ada hubungan yang signifikan antara faktor kemampuan dengan penerapan standar JCI tentang keselamatan pasien di IGD RSUP. H. Adam Malik. Dukungan secara hukum dalam bentuk peraturan perundang-undangan tentang keselamatan pasien di rumah sakit sebenarnya telah dirumuskan dalam Pasal Universitas Sumatera Utara 43 UU Kesehatan No. 36 tahun 2009, dalam undang-undang tersebut dinyatakan bahwa keselamatan pasien adalah proses dalam suatu rumah sakit yang memberikan pelayanan pasien yang lebih aman. Termasuk didalamnya asesmen resiko, identifikasi, dan manajemen resiko terhadap pasien, pelaporan dan analisis insiden, kemampuan untuk belajar dan menindaklanjuti insiden, dan menerapkan solusi untuk mengurangi serta meminimalisir timbulnya risiko. Kemampuan perawat dalam penerapan keselamatan pasien juga terkait dengan karakteristik perawat, seperti dinyatakan Menurut Martini 2007 bahwa semakin lama masa kerja maka kecakapan akan lebih baik karena sudah menyesuaikan diri dengan pekerjaannya. Masa kerja akan memberikan pengalaman kerja yang lebih banyak pada seseorang Setiowati, 2010. Dengan adanya pengalaman kerja dan penyesuaian diri dengan rutinitas pekerjaan yang dimiliki membuat individu lebih mudah untuk menyelesaikan pekerjaan dengan baik, serta terhindar dari kesalahan- kesalahan yang tidak diharapkan. Selain itu, pengalaman kerja dan penyesuaian diri dengan lingkungan pekerjaan juga akan memberikan kesiapan bagi individu dalam memberikan pelayanan kesehatan terutama yang berkaitan dengan keselamatan pasien. Menurut The Comission on Patient Safety and Quality Assurance of Irlandia, 2008, salah satu faktor yang mendukung keselamatan pasien di rumah sakit adalah kepemimpinan yang diakui sebagai hal penting dalam menentukan arah organisasi, mengembangkan budaya, memastikan pelayanan dan mempertahankan organisasi Universitas Sumatera Utara yang efektif. Pemimpin mengubah keadaan dengan terlebih dahulu memeriksa situasi saat ini, melihat ke depan untuk kemungkinan masa depan dan mengenali area untuk perbaikan. Mereka kemudian menciptakan sistem baru atau mengubah sistem dalam hal perbaikan. Kebanyakan sistem yang sistematis membahas masalah keselamatan pasien dan peningkatan kualitas telah mengidentifikasi peran penting bagi kepemimpinan di bidang keselamatan pasien dan kualitas pelayanan. Kunci peran kepemimpinan di tingkat nasional untuk keselamatan pasien adalah pengetahuan, pengembangan dan pembelajaran dan promosi praktek yang baik yang telah ditugaskan, baik dalam lembaga nasional atau sebuah rumah sakit. Hal ini didukung pendapat Hasil penerapan keselamatan pasien di IGD RSUP. H. Adam Malik sesuai dengan penelitian Wardhani dkk 2013 di Rumah Sakit Universitas Hasanuddin bahwa Proses akreditasi JCI yang sedang dilaksanakan mengharuskan rumah sakit untuk menerapkan budaya keselamatan pasien sebagai upaya peningkatan mutu pelayanan. Namun, penerapan program keselamatan pasien masih belum optimal, Bates, Gandhi Frankel 2003, dasar dari perubahan organisasi untuk budaya patient safety, komitmen pemimpin merupakan elemen yang sangat penting dalam usaha untuk meningkatkan mutu dan safety. Pemimpin harus mempromosikan patient safety sebagai inti dari partisipasi pada aktivitas patient safety. Pemimpin harus melakukan perubahan seperti melakukan perubahan seperti kebijakan melaporkan tindakan kesalahan tanpa hukuman dan merahasiakan pelapor. Universitas Sumatera Utara yang ditandai dengan angka kejadian infeksi nosokomial yang jauh melebihi standar 1,5, yaitu 7,62 pada tahun 2012 dan masih adanya kejadian pasien jatuh yang berakibat kecacatankematian. Data keluhan pasien menunjukkan bahwa masih ada ketidakprofesionalan perawat dalam proses pengambilan darah sehingga menyebabkan tangan pasien bengkak, keterlambatan penanganan pelayanan, waktu tunggu yang lama untuk pelayanan, kesulitan perawat dalam memasang infus, dan obat yang terlambat diberikan kepada pasien, hal ini dapat terjadi ketika implementasi budaya keselamatan pasien masih belum baik. Keselamatan pasien harus dilihat dari sudut pandang risiko klinis. Sekalipun staf medis rumah sakit sesuai kompetensinya memberikan pelayanan berdasarkan standar profesi dan standar pelayanan, namun potensi risiko tetap ada, sehingga pasien tetap berpotensi mengalami cedera. UU Rumah Sakit No. 44 tahun 2009 bertujuan memberikan perlindungan kepada pasien, masyarakat, dan sumber daya manusia, mempertahankan dan meningkatkan mutu pelayanan rumah sakit, serta memberi kepastian hukum kepada masyarakat dan rumah sakit. The Joint Commission on Accreditation of Healthcare Organizations 2011 memberikan pengertian manajemen risiko sebagai aktivitas klinik dan administratif yang dilakukan oleh rumah sakit untuk melakukan identifikasi, evaluasi dan pengurangan risiko terjadinya cedera atau kerugian pada pasien, personil, pengunjung dan rumah sakit itu sendiri. Kegiatan tersebut meliputi identifikasi risiko hukum legal risk, memprioritaskan risiko yang teridentifikasi, menentukan respons rumah sakit Universitas Sumatera Utara terhadap risiko, mengelola suatu kasus risiko dengan tujuan meminimalkan kerugian risk control, membangun upaya pencegahan risiko yang efektif, dan mengelola pembiayaan risiko yang adekuat risk financing. Manajemen risiko yang komprehensif meliputi seluruh aktivitas rumah sakit, baik operasional maupun klinikal, oleh karena risiko dapat muncul dari kedua bidang tersebut. Bahkan akhir-akhir ini meliputi pula risiko yang berkaitan dengan managed care dan risiko kapitasi, merger dan akuisisi, risiko kompensasi ketenagakerjaan, corporate compliance dan etik organisasi. Manajemen risiko klinik merupakan upaya yang cenderung proaktif, meskipun sebagian besarnya merupakan hasil belajar dari pengalaman dan menerapkannya kembali untuk mengurangi atau mencegah masalah yang serupa di kemudian hari. Pada dasarnya manajemen risiko merupakan suatu proses siklik yang terus menerus, yang terdiri dari empat tahap, yaitu: 1. Risk Awareness. Pada tahap ini diharapkan seluruh pihak yang terlibat dalam sistem bedah sentral memahami situasi yang berisiko tinggi di bidangnya masing- masing dan aktivitas yang harus dilakukan dalam upaya mengidentifikasi risiko. Risiko tersebut tidak hanya yang bersifat medis, melainkan juga yang non medis, sehingga upaya ini melibatkan manajemen, komite medis, dokter, perawat bedah, perawat anestesi, pengendali gas sentral, pelaksana pemeliharaan ruang bedah dan instrument, dan lain-lain. Self-assessment, sistem pelaporan kejadian yang berpotensi menimbulkan risiko incidence report dan audit klinis dalam budaya Universitas Sumatera Utara non-blaming merupakan sebagian metode yang dapat digunakan untuk mengenali risiko. 2. Risk control and or Risk Prevention. Manajemen merencanakan langkah-langkah praktis dalam menghindari dan atau meminimalkan risiko dan melaksanakannya dengan tepat. Dalam bidang medis, manajemen harus bekerjasama erat dan saling mendukung dengan komite medis. Langkah-langkah tersebut ditujukan kepada seluruh komponen sistem, baik perangkat keras, perangkat lunak maupun sumber daya manusianya. Langkah dimulai dengan penilaian risiko risk assessment tentang derajat dan probabilitas kejadiannya, dilanjutkan dengan upaya mencari jalan untuk menghilangkan risiko engineering solution, atau bila tidak mungkin maka dicari upaya menguranginya control solution baik terhadap probabilitasnya maupun terhadap derajat keparahannya, atau apabila hal itu juga tidak mungkin maka dicari jalan untuk mengurangi dampaknya. Tindakan dapat berupa pengadaan, perbaikan dan pemeliharaan bangunan dan instrumen yang sesuai dengan persyaratan; pengadaan bahan habis pakai sesuai dengan prosedur dan persyaratan; pembuatan dan pembaruan prosedur, standar dan check-list; pelatihan penyegaran bagi personil, seminar, pembahasan kasus, poster, stiker, dan lain-lain. 3. Risk containment. Dalam hal telah terjadi suatu insiden, baik akibat suatu tindakan atau kelalaian ataupun akibat dari suatu kecelakaan yang tidak terprediksikan sebelumnya, maka sikap yang terpenting adalah mengurangi besarnya risiko dengan melakukan langkah-langkah yang tepat dalam mengelola pasien dan Universitas Sumatera Utara insidennya. Unsur utamanya biasanya adalah respons yang cepat dan tepat terhadap setiap kepentingan pasien, dengan didasari oleh komunikasi yang efektif. 4. Risk transfer. Akhirnya apabila risiko itu terjadi juga dan menimbulkan kerugian, maka diperlukan pengalihan penanganan risiko tersebut kepada pihak yang sesuai, misalnya menyerahkannya kepada sistem asuransi. Pemahaman manajemen risiko sangat bergantung kepada sudut pandangnya. Dari segi bisnis dan industri asuransi, manajemen risiko cenderung untuk diartikan sepihak, yaitu untuk tujuan meningkatkan keuntungan bisnis dan pemegang sahamnya. Dalam bidang kesehatan dan keselamatan lebih diartikan sebagai pengendalian risiko salah satu pihak pasien atau masyarakat oleh pihak yang lain pemberi layanan. Sementara di dalam suatu komunitas pemberi layanan kesehatan itu sendiri, yaitu pengelola rumah sakit dan para dokternya, harus diartikan sebagai suatu upaya kerjasama berbagai pihak untuk mengendalikan risiko bersama. Dari sisi sumber daya manusia, manajemen risiko dimulai dari pembuatan standar set standards, patuhi standar tersebut comply with them, kenali bahaya identify hazards, dan cari pemecahannya resolve them. Menurut Agency for Healthcare Research and Quality 2013, dalam rangka memaksimalkan patient safety, menyatakan bahwa terdapat beberapa elemen yang harus dilakukan oleh rumah sakit untuk mencegah medical errors. Elemen-elemen tersebut diterapkan bersama-sama dengan menerapkan manajemen risiko yang bertujuan mengurangi Universitas Sumatera Utara atau menyingkirkan risiko. Elemen-elemen untuk mencegah medical errors tersebut, adalah: 1. Mengubah budaya organisasi ke arah budaya yang berorientasi kepada keselamatan pasien. Perubahan ini terutama ditujukan kepada seluruh sistem sumber daya manusia dari sejak perekrutan kredensial, supervisi dan disiplin. Rasa malu dalam melaporkan suatu kesalahan dan kebiasaan menghukum “pelakunya” harus dikikis habis agar staf rumah sakit dengan sukarela melaporkan kesalahan kepada manajemen dan atau komite medis, sehingga pada akhirnya dapat diambil langkah-langkah pencegahan kejadian serupa di kemudian hari. 2. Melibatkan pimpinan kunci di dalam program keselamatan pasien, dalam hal ini manajemen dan komite medik. Komitmen pimpinan dibutuhkan dalam menjalankan program-program manajemen risiko, termasuk ronde rutin bersama ke unit-unit klinik. 3. Mendidik para profesional di rumah sakit di bidang pemahamannya tentang keselamatan pasien dan bagaimana mengidentifikasi errors, serta upaya-upaya meningkatkan keselamatan pasien. 4. Mendirikan Komisi Keselamatan Pasien di rumah sakit yang beranggotakan staf interdisiplin dan bertugas mengevaluasi laporan-laporan yang masuk, mengidentifikasi petunjuk adanya kesalahan, mengidentifikasi dan mengembangkan langkah koreksinya. 5. Mengembangkan dan mengadopsi ketentuan dan prosedur yang aman. Universitas Sumatera Utara 6. Memantau dengan hati-hati penggunaan alat-alat medis agar tidak menimbulkan kesalahan baru. Pendekatan keselamatan pasien dengan upaya menurunkan kejadian dan penanganan Kejadian yang Tidak Dinginkan KTD atau Error Menurut Reason 2000 dalam Human error management : models and management dikatakan ada dua pendekatan dalam penanganan error atau KTD adalah dengan : 1. Pendekatan personal. Pendekatan ini memfokuskan pada tindakan yang tidak aman, melakukan pelanggaran prosedur, dari orang-orang yang menjadi ujung tombak pelayanan kesehatan dokter, perawat, ahli bedah, ahli anestesi, farmasis dll. Tindakan tidak aman ini dianggap berasal dari proses mental yang menyimpang seperti mudah lupa, kurang perhatian, motivasi yang buruk, tidak hati-hati, dan sembrono. Sehingga bila terjadi suatu KTD akan dicari siapa yang berbuat salah. 2. Pendekatan sistem. Pemikiran dasar dari pendekatan ini yaitu bahwa manusia dapat berbuat salah dan karenanya dapat terjadi kesalahan. Disini kesalahan dianggap lebih sebagai konsekwensi daripada sebagai penyebab. Dalam pendekatan ini diasumsikan bahwa kita tidak akan dapat mengubah sifat alamiah manusia ini, tetapi kita harus mengubah kondisi dimana manusia itu bekerja. Sebagai panduan umum bagi perawat sesuai dengan pasal 12 Kepmenkes 148 tahun 2010 dalam melaksanakan praktik keperawatan sehingga dapat mendukung Universitas Sumatera Utara penerapan standar JCI tentang keselamatan pasien di rumah sakit, maka perawat wajib untuk: menghormati hak pasien, melakukan rujukan, menyimpan rahasia sesuai dengan peraturan perundang undangan, memberikan informasi tentang masalah kesehatan pasien atau klien dan pelayanan yang dibutuhkan, meminta persetujuan tindakan keperawatan yang akan dilakukan, melakukan pencatatan asuhan keperawatan secara sistematis dan mematuhi standar. Perawat dalam menjalankan praktik senantiasa meningkatkan mutu pelayanan profesinya, dengan mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi melalui pendidikan dan pelatihan sesuai dengan bidang tugasnya, yang diselenggarakan oleh pemerintah dan oraganisasi profesi serta dalam menjalankan praktik wajib membantu program pemerintah dalam meningkatkan derajat kesehatan masyarakat. Jawaban perawat di IGD RSUP. H. Adam Malik Medan tentang kemampuan melaksanakan standar JCI tentang keselamatan pasien menunjukkan bahwa aspek ketepatan identifikasi pasien merupakan hal yang paling mampu dilakukan oleh perawat, khususnya menanyakan identitas sebelum pemberian obat, darah atau produk darah yang dijawab selalu dilakukan oleh 68,9 responden. Proses identifikasi pasien merupakan hal yang sangat penting dilakukan oleh perawat, karena hal tersebut dilakukan pada saat pasien masuk di pelayanan rumah sakit, sehingga jika kesalahan dalam identifikasi pasien akan berdampak pada tahap pelayanan lanjutan maupun tindakan medik yang dilakukan terhadap pasien. Universitas Sumatera Utara Secara keseluruhan jawaban responden dari hasil wawancara tentang pengetahuan dan kemampuan dibandingkan dengan penerapan standar JCI tentang keselamatan pasien yang dilakukan melalui observasi menunjukkan adanya kesesuaian, karena perawat yang pengetahuan dan kemampuannya pada kategori baik secara umum persentase terbesar juga melakukan penerapan standar JCI dengan baik. Seperti pada hasil penelitian tentang tabel silang pengetahuan dengan penerapan, menunjukkan bahwa dari seluruh perawat yang mempunyai pengetahuan yang baik terdapat 70,0 yang melaksanakan penerapan standar JCI dengan baik, demikian juga dengan perawat yang mempunyai kemampuan yang baik terdapat 78,3 yang melaksanakan penerapan standar JCI dengan baik. Persyaratan tentang pelatihan pada saat dilakukan rekruitmen perawat di IGD RSUP. H. Adam Malik tidak ada dicantumkan tentang standar atau kualifikasi perawat yang memiliki pengetahuan dan kemampuan dalam pelayanan gawat darurat, oleh karena itu Bidang Pendidikan dan Pelatihan Diklat. RSUP. H. Adam Malik perlu membuat kebijakan tentang setiap perawat yang bekerja di IGD hendaknya diberikan pelatihan khusus tentang penanganan pasien gawat darurat, sedangkan pada rekruitmen perawat baru di IGD supaya dibuat persyaratan khusus yang sudah pernah mengikuti pelatihan tentang penanganan pasien gawat darurat. Universitas Sumatera Utara

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN