A. Perlindungan Hukum Atas Merek Secara Preventif
Perlindungan hukum preventif merupakan sebuah bentuk perlindungan yang mengarah pada tindakan yang bersifat pencegahan. Tujuannya adalah
meminimalisasi peluang terjadinya pelanggaran merek dagang. Langkah ini difokuskan pada pengawasan pemakaian merek, perlindungan terhadap hak
eksklusif pemegang hak atas merek dagang terkenal asing, dan anjuran-anjuran kepada pemilik merek untuk mendaftarkan mereknya agar haknya terlindungi.
Menurut Hery Firmansyah, faktor-faktor yang dapat diperhatikan dalam upaya preventif adalah:
97
1. Faktor hukum
UUM Tahun 2001 bertujuan untuk lebih memberikan perlindungan hukum bagi pemegang hak atas merek dagang terkenal asing. Sehubungan dengan hal
tersebut, Pasal 5 UUM Tahun 2001 menentukan merek tidak dapat didaftar apabila merek tersebut mengandung salah satu unsur di bawah ini :
a. Bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, moralitas
agama, kesusilaan, atau ketertiban umum. b.
Tidak memiliki daya pembeda c.
Telah menjadi milik umum d.
Merupakan keterangan atau berkaitan dengan barang atau jasa yang dimohonkan pendaftarannya.
Selain itu Pasal 6 ayat 1 huruf b UUM Tahun 2001 menambahkan, bahwa permohonan harus ditolak apabila merek tersebut mempunyai persamaan
97
Hery Firmansyah, Op. Cit, hlm. 67-68.
pada pokoknya atau keseluruhannya dengan merek yang sudah terkenal milik pihak lain untuk barang danatau jasa sejenis. Ketentuan tersebut juga dapat
diberlakukan untuk barang danatau jasa yang tidak sejenis. 2.
Faktor Aparat Direktorat Merek Aparat Direktorat Merek, Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual
bertugas untuk memeriksa permohonan pendaftaran merek. Hal yang paling mendasar yang perlu dicermati oleh aparat Direktorat Merek adalah:
98
a. Terjadinya pendaftaran suatu merek tertentu yang sama dan menyerupai
dengan merek terkenal milik pihak lain dapat terjadi, salah satunya disebabkan kelemahan dari aparat Direktorat Jenderal Merek dalam melakukan proses
filtrisasi di awal pengajuan merek tersebut oleh masyarakat. Dalam hal ini diperlukan peningkatan kualitas sumber daya manusia di Derektorat Merek
khususnya pemeriksa merek. Langkah yang dapat ditempuh untuk mengatasi hal tersebut adalah dengan memperbaiki serta meningkatkan kualitas sumber
daya manusia di lingkungan Direktorat Merek agar lebih profesional di bidangnya melalui program pelatihan, seminar, dan mendorong aparat di
lingkungan Direktorat Merek untuk melanjutkan pendidikan ke strata dua. b.
Penguasaan bahasa asing di lingkungan Direktorat Merek perlu terus ditingkatkan, persoalan ini menjadi problematika tersendiri ketika dilakukan
pemeriksaan merek, penguasaan teknologi di era sekarang ini juga harus menjadi bahan perhatian serius Direktorat Merek seperti penggunaan internet
online kepada masyarakat tentunya sangat memudahkan bagi pihak-pihak
98
Ibid, hlm. 68-69.
yang ingin melakukan pendaftaran merek untuk segera dapat mengetahui apakah merek yang akan didaftarkannya tersebut telah dimiliki oleh pihak lain
atau belum. Hal ini dilakukan untuk menghindari adanya merek yang sama terdaftar dua kali di Daftar Umum Merek, serta dapat memudahkan kerja
Direktorat Merek dalam mempertimbangkan adanya merek-merek terkenal asing yang belum didaftarkan di Indonesia.
Sedangkan menurut Gatot Ismono, hak atas merek yang diberikan oleh
negara sebagai hak eksklusif perlu mendapat perlindungan hukum yang dapat dilakukan melalui 4 empat perangkat yaitu:
99
peraturan perundang-undangan tentang merek, pengadilan dan yurisprudensi, aparat penegak hukum dan kantor
Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual. a.
Peraturan perundang-undangan tentang merek Hukum merek sebagai lembaga pengaturan di bidang merek akan mampu
memberikan kepastian hukum atas karya intelektual merek dengan cara mendaftarkan hak atas merek sesuai prosedur yang ditetapkan secara normatif
dalam undang-undang merek, sehingga kepada pihak yang melanggar hak- haknya dapat dituntut. Pemberian hak kepada pemilik merek memungkinkan
untuk mengeksploitasinya. G.W. Paton melihat bahwa dalam hak terkandung unsur perlindungan, kepentingan dan sekaligus juga kehendak pemilik merek.
Hukum memberikan hak kepada pemilik merek berarti merek tersebut mendapat perlindungan. Perlindungan ini tidak hanya kepada pemilik merek
melainkan juga kehendak untuk mewariskan, mengalihkan, melisensikan, dan
99
Gatot Ismono, Perlindungan Hak atas Merek Terdaftar dalam Persaingan Usaha Tidak Sehat, Magister Ilmu Hukum Universitas Diponegoro, 2005, hlm. 85.
sebagainya. Jadi bukan hanya kepentingan pemilik merek yang memperoleh perlindungan tetapi juga kehendak pemilik merek.
100
Sejak zaman Belanda peraturan yang melindungi merek sudah ada yakni Reglement Industriele Eigendom Stb. 1912 No. 545 aturan tentang hak milik
perindustrian. Sitem yang digunakan untuk melindungi hak atas merek adalah first use principle atau sistem deklaratif yaitu pemakai merek pertama kali
yang mendapat perlindungan utama. Sistem deklaratif ini dianut terus sampai dengan munculnya Undang-Undang No. 21 Tahun 1961. Bahkan menurut
Sudargo Gautama, Undang-Undang No. 21 Tahun 1961 merupakan pengoperan dari ketentuan-ketentuan dalam peraturan milik perindustrian
dalam tahun 1912.
101
Sistem perlindungan deklaratif ini tidak mutlak memberi jaminan perlindungan atas kepemilikan merek karena sistem perolehan hak atas merek
dianggap masih lemah. Sistem deklaratif yang mengutamakan pemakai pertama merek dianggap sebagai yang berhak atas merek, dipandang kurang
menjamin kepastian hukum. Pemilik merek yang mendaftarkan mereknya dapat dikalahkan dengan merek yang tidak terdaftar, karena pendaftaran
merek bukan untuk mendapatkan hak atas merek. Pada sistem ini, dimungkinkan adanya pembatalan dari pihak lain yang mampu membuktikan
bahwa dia sebagai pemilik pertama atas merek tersebut. Kemudian sistem deklaratif ini diganti dengan sistem pendaftaran konstitutif dengan
berlakunya Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1992 hingga akhirnya sistem
100
Satjipto Rahardjo, Op. Cit., hlm. 95.
101
Sudargo Gautama. Op. Cit., hlm. 10.
tersebut masih tetap dipertahankan dengan UUM No. 15 Tahun 2001. Penerapan sistem konstitutif dipandang menjamin kepastian hukum, karena
hak atas merek diberikan oleh negara dengan cara melakukan pendaftaran merek. Siapa yang sebagai pendaftar pertama merek, dialah yang berhak atas
merek. Sedangkan merek yang tidak didaftarkan tidak memperoleh perlindungan hukum.
102
UUM No. 15 Tahun 2001 ini juga memberikan perlindungan hukum untuk jangka waktu selama 10 sepuluh tahun sejak
tanggal pengajuan permohonan dan dapat diperpanjang untuk jangka waktu yang sama.
UUM No. 15 Tahun 2001 menyediakan 2 dua cara untuk mengefektifkan jaminan perlindungan hukum yaitu pertanggungjawaban perdata dan
pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku pelanggaran maupun kejahatan atas merek.
Bunyi Pasal 76 UUM No. 15 Tahun 2001: 1
Pemilik Merek terdaftar dapat mengajukan gugatan terhadap pihak lain yang secara tanpa hak menggunakan Merek yang mempunyai persamaan
pada pokoknya atau keseluruhannya untuk barang atau jasa yang sejenis berupa:
a.
gugatan ganti rugi, danatau b. penghentian semua perbuatan yang berkaitan dengan penggunaan
Merek tersebut. 2 Gugatan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 diajukan kepada Pengadilan
Niaga.
Berdasarkan bunyi Pasal 76 UUM No. 15 Tahun 2001, maka Pasal 76 inilah yang merupakan dasar bagi pemilik merek untuk mengajukan gugatan
berdasar pertanggungjawaban perdata yang berupa ganti rugi atau penghentian
102
Gatot Supramono, Op.Cit., hlm. 218.
semua perbuatan yang berkaitan dengan penggunaan merek. Tuntutan pidana juga dapat dilakukan oleh pemilik merek melalui polisi atau PPNS Penyidik
Pegawai Negeri Sipil di bidang hak kekayaan intelektual, terhadap seseorang yang tanpa hak menggunakan merek yang sama keseluruhannya dengan
merek terdaftar milik pihak lain untuk barang dan atau jasa yang sejenis yang diproduksi atau diperdagangkan, hanya saja dalam penulisan skripsi ini hanya
akan dijelaskan mengenai gugatan berdasarkan pada pertanggungjawaban perdata.
Pasal 1365 KUH Perdata sebagai Lex Generalis, juga dapat digunakan untuk melindungi hak atas merek. Ini berarti dalam penyelesaian sengketa merek,
gugatan berdasar pada Pasal 1365 KUH Perdata tidak bisa dilakukan sebelum adanya tuntutan berdasarkan undang-undang merek, konsep perbuatan hukum
yanga terdapat dalam Pasal 1365 telah diperluas pengertiannya sejak tahun 1919 dalam yurisprudensi Belanda yang diikuti oleh yurisprudensi di
Indonesia, bahwa yang dimaksud dengan perbuatan melawan hukum adalah suatu perbuatan atau kelalaian yang atau melanggar hak orang lain atau
bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku, atau bertentangan dengan kesusilaan, atau bertentangan dengan sikap hati-hati yanga perlu diperhatikan
di dalam pergaulan masyarakat terhadap kepentingan lahiriah maupun milik orang
lain.
103
Jadi sekalipun seseorang danatau badan hukum tidak melanggar hak orang lain, atau bersikap bertentangan dengan kesusilaan, akan tetapi
apabila ia tidak cukup menunjukkan sikap hati-hati dan tenggang rasa
103
Ibid, hlm. 161.
terhadap kepentingan orang lain di dalam masyarakat, maka ia telah dapat dianggap bersalah melakukan perbuatan melawan hukum.
104
b. Pengadilan dan Yurisprudensi
Selain undang-undang, pengadilan, termasuk Mahkamah Agung juga berperan dalam memberikan perlindungan hukum hak atas merek. Pengadilan pada saat
memeriksa gugatan merek dapat memerintahkan Tergugat, atas permintaan Penggugat untuk menghentikan perdagangan barang atau jasa yang
menggunakan merek tanpa hak dengan suatu penetapan sementara.
105
Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 85 UUM No. 15 Tahun 2001 yang berbunyi:
Berdasarkan bukti yang cukup pihak yang haknya dirugikan dapat meminta hakim Pengadilan Niaga untuk menerbitkan surat penetapan
sementara tentang: a. pencegahan masuknya barang yang berkaitan dengan pelanggaran hak
Merek; b. penyimpanan alat bukti yang berkaitan dengan pelanggaran Merek
tersebut. Permintaan dari Penggugat tersebut dikenal sebagai tuntutan provisi yang
diperbolehkan oleh Hukum Acara Perdata dalam Pasal 180 HIR dengan maksud agar tidak terjadi kerugian-kerugian yang lebih besar lagi dari hasil
perdagangan barang atau jasa yang menggunakan merek Penggugat. Sesuai Pasal 85 UUM Tahun 2001, pengadilan berwenang untuk memerintahkan
penetapan sementara mengenai pencegahan masuknya barang berkaitan
104
Sunaryati Hartono. Politik Hukum Menuju Sistem Hukum Nasional. Alumni. Bandung.. 1991. Hlm. 130.
105
Gatot Ismono, Op. Cit., hlm. 85.
dengan pelanggaran merek dan penyimpanan alat bukti yang berkaitan dengan pelanggaran merek tersebut.
106
Sedangkan hal penting lainnya dalam penyelesaian sengketa merek adalah yurisprudensi. Yurisprudensi sebagaimana yang dipahami oleh Kansil bahwa
yurisprudensi adalah sebagai keputusan hakim terdahulu yang sering diikuti dan dijadikan dasar keputusan oleh hakim kemudian mengenai masalah yang
sama. Berdasarkan pengetian inilah, Hakim Indonesia dapat menggunakan yurisprudensi dalam memberikan perlindungan hukum hak atas merek.
107
c. Aparat Penegak Hukum
Sementara yang perangkat yang terpenting di sini adalah aparat penegak hukum yang merupakan perangkat perlindungan hukum yang paling dominan
karena merupakan tulang punggung penegakan hukum hak kekayaan intelektual pada umumnya dan bidang merek khususnya.
108
Hakim sebagai benteng terakhir dalam sistem perlindungan hukum harus mampu memberikan putusan yang seadil-adilnya dengan pertimbangan
hukum yang seksama. Pemberian putusan yang maksimal oleh hakim juga akan memberikan efek jera terhadap para pelaku,
109
baik terhadap pelanggaran hak atas merek, maupun tindak pidana di bidang merek.
d. Kantor Ditjen HKI dan Aparat Penegak Hukum Berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 144 Tahun 1998 Direktorat Hak
Kekayaan Intelektual diberi wewenang untuk mengelola administrasi di
106
Ibid.
107
Ibid, hlm. 87.
108
Ibid, hlm. 87-88.
109
Ibid, hlm. 89.
bidang hak kekayaan intelektual. Sehubungan dengan perlindungan hukum hak atas merek, tindakan administratif dan kantor Direktorat Jenderal Hak
Kekayaan Intelektual merupakan salah satu perangkat. Tindakan administratif ini bisa dilakukan pada tahap proses permohonan pendaftaran merek yang
bertentangan dengan Pasal UUM No. 15 Tahun 2001 akan ditolak. Demikian juga Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual juga berwenang
menghapus merek terdaftar dari Daftar Umum Merek jika terbukti merek yang digunakan tidak sesuai dengan jenis barang atau jasa yang dimohonkan
pendaftaran, termasuk pemakaian merek yang tidak sesuai dengana jenis barang atau jasa yang dimohonkan pendaftaran, termasuk pemakaian merek
yang tidak sesuai dengan yang didaftar sesuai Pasal 61 ayat 2 UUM No. 15 Tahun 2001 yaitu tidak digunakan selama tiga tahun berturut-turut dan dalam
perdagangan barang danatau jasa.
110
B. Perlindungan Hukum Secara Represif terhadap Pelanggaran Hak atas