Komposisi Bahan Baku Crude Palm Oil CPO Pengaruh penambahan DES pada fasa metanol-minyak

22

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Komposisi Bahan Baku Crude Palm Oil CPO

Bahan baku yang digunakan dalam penelitian ini adalah Crude Palm Oil CPO. Komposisi asam lemak CPO yang dipakai diketahui dari analisis GCMS. Tabel 4.1 menunjukkan komposisi asam lemak dari CPO. Tabel 4.1 Komposisi Asam Lemak dari CPO Crude Palm Oil No. Puncak Retention Time menit Komponen Penyusun Komposisi bb 1 10,357 Asam Laurat C 12:0 0,08 2 12,794 Asam Miristat C 14:0 0,61 3 15,213 Asam Palmitat C 16:0 36,37 4 15,464 Asam Palmitoleat C 16:1 0,11 5 17,568 Asam Stearat C 18:0 4,78 6 17,764 Asam Oleat C 18:1 43,01 7 18,194 Asam Linoleat C 18:2 14,49 8 18,760 Asam Linolenat C 18:3 0,19 9 19,826 Asam Arakidat C 20:0 0,28 10 20,023 Asam Eikosenoat C 20:1 0,08 Dari hasil analisis GC, komposisi asam lemak jenuh CPO diketahui sebesar 42,2 , sedangkan asam lemak tidak jenuhnya sebesar 57,8 . Berdasarkan data komposisi asam lemak CPO, maka dapat dihitung berat molekul FFA CPO yaitu sebesar 271,8016 grmol, dan berat molekul CPO dalam bentuk trigliserida sebesar 853,4571 grmol.

4.2 Proses Degumming

Trigliserida merupakan material yang paling penting dalam proses transesterifikasi biodiesel. Komponen utama trigliserida adalah asam lemak, namun biasanya juga terdiri dari komponen-komponen minor misalnya gula, wax, mono dan di-gliserida, asam lemak bebas, dan fosfolipida. Komponen-komponen minor ini sebisa mungkin dihilangkan dari trigliserida sebelum digunakan untuk tujuan tertentu [29]. Kandungan fosfolipida pada minyak dapat mengganggu performa katalis dan mengganggu kestabilan katalis untuk digunakan kembali [30]. Universitas Sumatera Utara 23 Degumming adalah proses pemisahan getah yang tidak diinginkan, yang biasanya dapat mengganggu stabilitas minyak pada tahap selanjutnya. Degumming dapat dilakukan dengan menambahkan asam fosfat atau asam sitrat pada konsentrasi tertentu pada CPO [31]. Komponen utama yang harus dipisahkan dari trigliserida adalah fosfatida karena ia memiliki kemampuan mengemulsi yang kuat dan cenderung lebih kompleks dengan logam pro-oksidan serta berperan penting dalam mengganggu kestabilan oksidatif minyak [29,32,33].

4.2.1 Komposisi Kandungan Asam Lemak Bebas ALB

Kadar asam lemak bebas ALB pada bahan baku CPO sebelum degumming adalah 4,71 dan setelah degumming DPO adalah 5,44 . Gambar 4.1 menunjukkan kadar ALB pada CPO sebelum dan setelah proses degumming. Gambar 4.1 Kadar ALB CPO Sebelum dan Setelah Degumming. Gambar 4.1 menunjukkan peningkatan kadar asam lemak bebas sebesar 0,73 dari CPO menjadi DPO. Degumming dapat meningkatkan sedikit kadar asam lemak bebas karena sifat asam fosfat yang ditambahkan dapat menghidrolisis trigliserida dengan pemanasan. Kandungan ALB dalam minyak akan bereaksi dengan katalis dan membentuk sabun, mengurangi konversi, meningkatkan viskositas dan emulsi sehingga reaksi ini tidak diinginkan. Kadar asam lemak bebas yang digunakan untuk proses transesterifikasi katalis basa sebaiknya serendah mungkin 0,5-2 . Jika minyak yang digunakan memiliki kadar ALB lebih dari 6 , maka transesterifikasi katalis basa tidak dapat dijalankan [34, 31]. 1 2 3 4 5 CPO DPO AL B , Universitas Sumatera Utara 24

4.2.2 Komposisi Kadar Air

Kadar air pada bahan baku CPO sebelum degumming adalah sebesar 2,36 , dan setelah degumming, kadar air naik menjadi 2,5 . Peningkatan kadar air pada CPO dan DPO seperti ditunjukkan pada Gambar 4.2. Gambar 4.2 Kadar Air CPO Sebelum dan Setelah Degumming. Air yang terdapat dalam minyak akan mempercepat terjadinya hidrolisis pada trigliserida dan meningkatkan kadar ALB dalam minyak, karena air bereaksi dengan trigliserida, asam lemak atau ester melalui reaksi hidrolisis. Kandungan air dan ALB dalam minyak mempengaruhi performa katalis basa atau asam yang digunakan. Pada transesterifikasi katalis basa, air dan ALB memberikan efek negatif diantaranya dapat membentuk sabun, mengkonsumsi katalis, mengurangi keefektifan katalisisnya sehingga akan menurunkan konversi trigliserida menjadi metil ester dan menghasilkan yield rendah. Kandungan air dalam bahan baku harus dijaga seminimal mungkin. Degumming dapat menaikkan kadar air karena adanya kadar air yang terdapat dalam asam fosfat yang ditambahkan kedalam minyak. Untuk menurunkan kadar air, dapat dilakukan bleaching menggunakan bleaching earth [31,35]. Kandungan air dalam minyak yang lebih dari 0,3 masih dapat dilakukan proses transesterifikasi katalis basa homogen, namun melalui proses ini akan diperoleh hasil yang lebih sedikit akibat adanya saponifikasi [36]. Dari hasil penelitian ini, kadar air setelah degumming mencapai 2,5 dan masih dapat dilakukan proses transesterifikasi. Penambahan DES pada transesterifikasi biodiesel dapat mengurangi potensi terjadinya reaksi samping saponifikasi. DES mampu meminimalkan kontak langsung antara metil ester dan NaOH [16]. 1 2 3 CPO DPO Ka da r Air , Universitas Sumatera Utara 25

4.3 Pengaruh DES pada Produksi Biodiesel

Deep Eutectic solvent DES adalah alternatif dari Ionic Liquid IL yang dibuat dari campuran quarternary ammonium salt dengan pendonor ikatan hidrogen HBD [9]. DES yang digunakan dalam penelitian ini dibuat dari campuran choline chloride sebagai quarternary ammonium salt dan gliserol sebagai HBD dengan rasio molar 1:2. DES yang disintesis memiliki densitas 1,1714 grcm 3 dan viskositas 185,8712 cP pada 30 ̊C.

4.3.1 Pengaruh Penggunaan Katalis pada Produksi Biodiesel

Salah satu jenis katalis yang umum digunakan dalam proses transesterifikasi biodiesel adalah katalis basa homogen. Katalis basa homogen yang digunakan biasanya natrium hidroksida atau kalium hidroksida dengan konsentrasi 0,4 sampai 2 dari berat minyak [37]. Percobaan transesterifikasi biodiesel dengan menggunakan dua katalis berbeda dilakukan dengan perbandingan yang ditunjukkan pada Gambar 4.3 dan Gambar 4.4. a b Gambar 4.3 Transesterifikasi biodiesel menggunakan Katalis NaOH a Tanpa DES b dengan penambahan DES. Gambar 4.3 menunjukkan proses transesterifikasi biodiesel menggunakan katalis NaOH yang dilakukan terhadap percobaan dengan dan tanpa penambahan DES. Transesterifikasi dengan penambahan DES tidak berhasil karena diperoleh hasil reaksi berupa padatan. Dengan demikian penelitian untuk variasi DES pada proses transesterifikasi biodiesel menggunakan katalis NaOH tidak dilanjutkan. Universitas Sumatera Utara 26 Penambahan DES dalam reaksi transesterifikasi dapat mempertahankan 2 fase yang terbentuk, yaitu fase metil ester dan gliserol. FAME tidak larut dalam campuran DESmetanol, sehingga kontak antara FAME dan NaOH secara signifikan akan berkurang dan FAME akan tetap menjadi fase tunggal. Hasil reaksi samping berupa saponifikasi dapat diminimalisir dan proses pemisahan serta pencucian lebih mudah dilakukan [16]. Akan tetapi pada penelitian yang dilakukan, penambahan DES pada reaksi transesterifikasi dengan menggunakan katalis NaOH tidak dapat mempertahankan 2 fase yang terbentuk. FAME dan NaOH larut ke dalam metanol dan membentuk saponifikasi sehingga mengurangi yield metil ester dan mempersulit proses pemisahan serta pencucian. i ii Gambar 4.4 Transesterifikasi biodiesel menggunakan Katalis KOH i Tanpa DES ii dengan penambahan DES. Gambar 4.4 menunjukkan proses transesterifikasi biodiesel menggunakan katalis KOH baik dengan maupun tanpa penambahan DES memperoleh hasil ester dan gliserol. Variasi DES yang diberikan pada transesterifikasi biodiesel menggunakan katalis KOH dilanjutkan sesuai dengan variabel yang telah ditentukan. Pemisahan ester hasil transesterifikasi lebih mudah dilakukan jika menggunakan katalis KOH dibandingkan katalis NaOH ataupun CH 3 ONa, karena sabun kalium yang terbentuk lebih lembut dan tidak tenggelam ke dalam fase gliserol. Oleh karena itu penggunaan katalis KOH lebih sering digunakan pada produksi biodiesel, terutama untuk bahan baku minyak bekas pakai [38]. Universitas Sumatera Utara 27

4.3.2 Pengaruh DES pada Yield Biodiesel

Analisis pengaruh DES sebagai co-solvent terhadap yield biodiesel dilakukan dengan mengaplikasikan berbagai jumlah DES dan membandingkannya dengan yield biodiesel tanpa co-solvent. Gambar 4.5 menunjukkan grafik yield biodiesel berdasarkan dosis DES yang diberikan. Gambar 4.5 Yield biodiesel vs jumlah DES Dari Gambar 4.5 dapat dilihat bahwa yield biodiesel yang dihasilkan tanpa penambahan DES adalah sebesar 78,05 kemudian pada penambahan DES 1:2 sebanyak 0,5 bb terjadi penurunan yield secara drastis dibandingkan dengan tanpa penambahan DES. Kemudian terjadi peningkatan yield pada penambahan DES 1 dan 1,5 bb. Akan tetapi yield terus menurun setelah penambahan DES sebanyak 2 hingga 2,5 bb. Hasil penelitian yang dilakukan menunjukkan bahwa penambahan DES dalam proses metanolisis DPO tidak memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan tanpa penambahan DES. Diantara keenam variasi penambahan DES diperoleh yield tertinggi 85,00 pada penambahan DES sebanyak 1,5 bb. Hasil yield biodiesel dari proses etanolisis minyak sawit dalam sistem DES berbasis ChCl:gliserol yang dilakukan oleh Winarta 2016 diperoleh hasil yield tertinggi pada penambahan DES 1:2 sebanyak 2 . Hasil yield yang diperoleh adalah sebesar 83,67 [39]. Sifat fisika dari suatu DES berbeda dipengaruhi oleh pemilihan HBD, temperatur dan persentase. Panjang rantai alkil dan jumlah gugus hidroksil pada HBD menyebabkan perubahan dalam kepadatan, viskositas, dan konduktivitas ionik [13]. 15 30 45 60 75 90 0,00 0,50 0,10 1,50 2,00 2,25 2,50 Y ield B iodi ese l, Jumlah DES, bb Universitas Sumatera Utara 28 Perubahan dari garam organik rasio molar HBD berdampak signifikan terhadap viskositas DES dan juga mempengaruhi konduktivitas DES [9]. Konduktivitas ionik dari suatu DES mempengaruhi kemampuan transfer massa dari minyak dan alkohol dalam proses transesterifikasi biodiesel. Pada mekanisme reaksi transesterifikasi menggunakan katalis basa, OH - dari katalis akan bereaksi dengan metanol untuk menghasilkan ion metoksida CH 3 O - yang bertindak sebagai nukleofil untuk reaksi transesterifikasi [16]. K + + OH - + CH 3 O - + H + CH 3 OK + H 2 O Dosis katalis dan rasio metanolminyak yang tepat sangat mempengaruhi reaksi pembentukan ion metoksida, dimana ketersediaan metoksida akan mempengaruhi yield FAME Fatty Acid Methyl Esters yang diperoleh. Dosis katalis yang rendah tidak akan menghasilkan cukup metoksida untuk menghasilkan yield FAME yang tinggi. Rasio molar metanolminyak yang rendah juga akan membatasi pasokan ion nukleofilik antara metoksida dan trigliserida karena akan terjadi peningkatan ikatan hidrogen dan penurunan molekul metanol bebas dalam campuran reaksi. Gugus hidroksil dalam DES mungkin akan bersaing dengan metanol untuk bereaksi dengan katalis KOH pada reaksi pembentukan metoksida, sehingga menurunkan metoksida yang terbentuk dan juga menurunkan yield FAME yang diperoleh [16]. Oleh sebab itu rendahnya yield yang diperoleh pada penambahan co-solvent DES di bawah 1,5 dalam sintesis biodiesel diperkirakan karena adanya persaingan antara gugus hidroksil dalam DES dan metanol. Gugus hidroksil dalam DES dan metanol bersaing untuk bereaksi dengan katalis KOH pada reaksi pembentukan metoksida. Penambahan DES di atas 1,5 juga dapat mengurangi yield ester yang dihasilkan. Hal ini karena gliserol berlebih pada DES cenderung mengikat metanol sehingga mengganggu reaksi transesterifikasi. Co-solvent yang ditambahkan harus tepat dosisnya agar alkohol, asam lemak, trigliserida dan co-solvent dapat membentuk larutan single phase. Asam lemak jenuh, tak jenuh dan sifat polaritas dari jenis asam lemak dan trigliserida menentukan jumlah co-solvent yang dibutuhkan [16,40]. Selain itu, metanol yang mengandung gugus hidroksil OH - juga mungkin akan mengikat anion halida ChCl dalam DES sehingga menghasilkan beberapa molekul metanol bebas dalam reaksi, dengan demikian akan menghambat reaksi dan menurunkan yield biodiesel yang diperoleh. Jumlah metanol yang tersedia untuk reaksi Universitas Sumatera Utara 29 20 40 60 80 100 0,00 0,50 1,00 1,50 2,00 2,25 2,50 Ke murnian Ester , Jumlah DES, bb transesterifikasi sintesis biodiesel juga akan berkurang dan menyebabkan menurunnya yield biodiesel. Ilustrasi mekanisme reaksi transesterifikasi trigliserida dengan penambahan co-solvent DES ditunjukkan dalam Gambar 4.6 [41]. Gambar 4.6 Reaksi Transesterifikasi sintesis Biodiesel dengan penambahan DES sebagai co-solvent [41]

4.3.3 Pengaruh DES pada Kemurnian Ester

Metil ester yang diperoleh setelah proses pemisahan dianalisis dengan GCMS Gas Cromatography Mass Spectometry dan diperoleh hasil seperti ditunjukkan pada Gambar 4.7. Gambar 4.7 Kemurnian Ester vs Jumlah DES Universitas Sumatera Utara 30 Dari Gambar 4.7 dapat dilihat bahwa kemurnian ester yang dihasilkan tanpa penambahan DES adalah sebesar 99,03 kemudian pada penambahan DES sebanyak 0,5 bb terjadi penurunan kemurnian ester, kemudian meningkat pada penambahan DES 1 dan 1,5 bb. Akan tetapi kemurnian ester terus menurun setelah penambahan DES sebanyak 2 hingga 2,5 bb. Dari keseluruhan percobaan, diperoleh kemurnian ester tertinggi 99,03 yaitu pada biodiesel tanpa penambahan DES. Penelitian yang dilakukan menunjukkan bahwa penambahan DES dalam jumlah kurang dari 1,5 bb hanya menghasilkan kemurnian ester yang rendah, kemudian jika ditambahkan lebih dari 1,5 bb dapat menginhibisi reaksi sehingga mengurangi kemurnian ester. Hasil penelitian lain yang dilakukan dengan penambahan co-solvent DES berbasis ChClgliserol pada rasio molar 1:2 sebanyak 9,27 bb mampu meningkatkan FAME dengan kemurnian hingga 98 dimana nilai ini lebih tinggi dari FAME tanpa penambahan co-solvent DES, yaitu hanya berkisar 81 [16]. Karakteristik DES dipengaruhi oleh jenis dan rasio molar garam dan donor ikatan hidrogen, sehingga dapat mempengaruhi DES sebagai co-solvent dalam sintesis kimia [14]. Pada proses etanolisis minyak sawit dalam sistem DES berbasis ChCl:gliserol yang dilakukan oleh Winarta 2016, diperoleh hasil kemurnian ester tertinggi pada penambahan DES 1:2 sebanyak 2 . Hasil kemurnian ester tertinggi yang diperoleh adalah sebesar 99,72 [39]. Jika dibandingkan dengan hasil penelitian yang dilakukan, dapat disimpulkan bahwa penggunaan DES lebih baik digunakan dalam proses etanolisis daripada proses metanolisis biodiesel.

4.3.4 Pengaruh DES pada proses pemisahan biodiesel

Gambar 4.8 menunjukkan proses pemisahan gliserol dengan metil ester tanpa menggunakan co-solvent DES dan dengan co-solvent DES. Universitas Sumatera Utara 31 Gambar 4.8 Proses Pemisahan a Tanpa DES b Dengan DES Gambar 4.8 diambil setelah 1 menit hasil transesterifikasi dimasukkan ke dalam corong pisah. Dapat dilihat bahwa setelah 1 menit, hasil reaksi transesterifikasi tanpa co-solvent DES membentuk 3 lapisan. Lapisan paling atas adalah lapisan ester, kemudian lapisan kedua adalah emulsi antara ester, gliserol, dan sabun, selanjutnya lapisan paling bawah adalah lapisan gliserol. Sedangkan hasil reaksi transesterifikasi dengan co-solvent DES, membentuk dua lapisan dengan cepat. Hanya dalam hitungan detik hasil reaksi membentuk 2 lapisan. Lapisan atas adalah ester dan lapisan bawah merupakan fasa gliserol. Dari hasil pengamatan pemisahan fasa antara reaksi dengan DES dan tanpa DES, dapat dilihat bahwa waktu pemisahan yang dibutuhkan untuk reaksi dengan DES lebih cepat dibanding tanpa DES, dan lapisan atas tidak lagi mengandung gliserol, sehingga penambahan DES dapat digunakan untuk mempermudah proses pemisahan ester dan gliserol. Pemisahan gliserol dan metil ester dari hasil transesterifikasi dengan co- solvent DES sangat jelas berlangsung cepat dan sempurna, sehingga pemurnian tambahan untuk fasa FAME dianggap tidak perlu dilakukan [16].

4.4 Pengaruh penambahan DES pada fasa metanol-minyak

Salah satu faktor yang mempengaruhi transfer massa dalam proses transesterifikasi biodiesel adalah kelarutan dua zat berbeda. Metanol dan minyak tidak larut pada suhu ruangan jika tidak diberikan perlakuan pengadukan. Pengadukan mekanik diberikan pada saat proses transesterifikasi biodiesel. Universitas Sumatera Utara 32 Gambar 4.9 Perbandingan Fasa Metanol Minyak tanpa dan dengan Penambahan DES Gambar 4.9 merupakan hasil observasi kondisi dari minyak dan metanol yang dilakukan dalam tabung reaksi. Dari hasil pengamatan yang dilakukan, dapat dilihat pada penambahan DES dan tanpa penambahan DES setelah pengadukan, antara minyak dan metanol tidak terlihat adanya meniscus pada interfacial area. Meniscus adalah kelengkungan permukaan suatu zat cair di dalam tabung reaksi. Meniscus terjadi karena besarnya gaya adhesi atau kohesi pada zat. DES yang ditambahkan akan bekerja pada interfacial area antara minyak dan etanol, membentuk meniscus dan capillary bridge, membuat gaya tarik-menarik antar molekul minyak dan etanol sehingga mengurangi surface tension dan mempercepat transfer massa dan dapat menjadi media reaksi antara etanol dan minyak [39]. Sedangkan pada penelitian yang dilakukan, baik dengan penambahan DES dan tanpa DES tidak terdapat meniscus, sehingga hal ini mungkin menjadi salah satu penghambat transfer massa dalam transesterifikasi biodiesel.

4.5 Karakteristik Biodiesel