6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Potensi Minyak Kelapa Sawit sebagai Bahan Baku Industri
Indonesia adalah penghasil kelapa sawit terbesar di dunia, dan kemudian peringkat kedua diduduki oleh Malaysia sebagai penghasil serta pengekspor kelapa
sawit dunia [18]. Produksi kelapa sawit di Indonesia mengalami peningkatan dari tahun 2013 hingga 2014. Dimana pada tahun 2013 jumlah produksi kelapa sawit
sebesar 27,7 ton dan meningkat pada tahun 2014 menjadi sebesar 29,4 ton [1]. Kelapa sawit merupakan bahan baku biodiesel yang paling prospektif
dibandingkan dengan minyak nabati lainnya. Minyak kelapa sawit memiliki nilai produksi yang paling tinggi, namun kebutuhan pupuk dan pestisida yang dibutuhkan
perkebunan tergolong rendah. jumlah CPO yang diperoleh dari minyak sawit tergantung pada pohon sawit dan juga usia pohon.
Dari semua minyak nabati yang ada dipasaran dunia saat ini, CPO dan RPO Refined Palm Oil menduduki urutan pertama. Telah terbukti bahwa minyak kelapa
sawit memiliki nutrisi yang baik sebagai minyak goreng yang digunakan sehari hari. Selain digunakan sebagai minyak untuk memasak, CPO juga sangat berpotensi
digunakan sebagai bahan baku biodiesel. Biodiesel yang berasal dari palm oil dan jatropha oil adalah sumber energi terbarukan yang paling potensial untuk masa
depan [19]. Biodiesel merupakan bahan bakar yang atraktif, terbarukan, dan biodegradable
digunakan untuk mesin diesel dan sistem pemanas. Sebagai salah satu alternatif bahan bakar mesin diesel, biodiesel dapat diperoleh dari minyak nabati, lemak
hewani atau minyak mikroalga melalui proses transesterifikasi trigliserida dan metanol dengan bantuan katalis basa, asam atau enzim [16].
2.2 Proses Produksi Biodiesel
Untuk memperoleh yield maksimum dari biodiesel ditentukan oleh beberapa faktor, yaitu : jenis bahan baku, tipe dan konsentrasi katalis, kemurnian reaktan,
kadar FFA bahan baku, temperatur, waktu reaksi, serta rasio molar alkohol dan minyak [20]. Selain itu, ada beberapa metode yang dapat dilakukan untuk
Universitas Sumatera Utara
7 menghasilkan biodiesel dari bahan baku yang telah tersedia, diantaranya adalah
pencampuran, microemulsion, pirolisis thermal cracking, dan transesterifikasi [21]. Namun, sejauh ini metode transesterifikasi adalah yang paling umum digunakan [2].
Transesterifikasi didefinisikan sebagai suatu proses dimana ester dan trigliserida bereaksi dengan alkohol dengan bantuan katalis dan menghasilkan Fatty Acid Metil
Ester FAME sebagai produk utama dan gliserol sebagai produk samping [21]. Penelitian terdahulu juga telah membandingkan metode transesterifikasi
konvensional 600 rpm dengan ultrasonication assisted method 40 kHz pada proses transesterifikasi minyak biji Silybum marianum menjadi biodiesel.
Ultrasonication assisted method dengan menggunakan metanol mendapatkan yield tertinggi sebesar 95,75 setelah 20 menit. Sedangkan proses transesterifikasi
konvensional mendapatkan yield di bawah 95,75 untuk bahan yang sama. Dan dari penelitian tersebut disimpulkan bahwa ultrasonication assisted method memberikan
yield yang lebih tinggi dibandingkan dengan metode konvensional [22].
2.2.1 Sintesis Biodiesel menggunakan katalis homogen dan heterogen
Sistem produksi biodiesel secara konvensional yaitu penggunaan katalis homogen pada saat sintesis biodiesel, misalnya menggunakan larutan NaOHKOH
sebagai katalis untuk mempercepat waktu reaksi. Namun, permasalahan yang muncul pada penggunaan katalis ini adalah tercemarnya air sehingga tidak ramah
lingkungan. Penggunaan katalis heterogen dianggap sebagai solusi yang mungkin dilakukan untuk masalah ini. Katalis heterogen yang sesuai untuk proses
transesterfifikasi dapat dibagi atas 2 tipe yaitu : Katalis alkali padat dan katalis alkali pendukung [23].
Sebuah percobaan transesterifikasi minyak kedelai menggunakan katalis heterogen yaitu kalsium oksida dan mesoporous silika dilaporkan memperoleh yield
sebesar 95 pada kondisi maksimum 60 ᵒC dan waktu reaksi selama 8 jam dengan
katalis kalsium oksida sebanyak 15 wt ditambah mesoporous silika sebanyak 5 wt minyak kedelai [23].
Universitas Sumatera Utara
8
2.2.2 Sintesis Biodiesel menggunakan katalis enzim
Proses konversi minyak sebagai bahan baku hingga menjadi biodiesel secara enzimatik dipercaya lebih ramah lingkungan dibandingkan dengan cara
konvensional. Penggunaan enzim lipase sebagai katalis pada proses sintesis biodiesel mampu menghasilkan kualitas biodiesel yang lebih murni dan tidak menghasilkan
limbah perairan. Dan dapat disimpulkan, proses sintesis biodiesel secara enzimatik dapat menggantikan sintesis biodiesel yang menggunakan katalis asam atau basa
karena lebih ramah lingkungan [20].
2.2.3 Sintesis Biodiesel menggunakan Pelarut Organik
Pelarut organik dan pelarut anorganik umumnya digunakan dalam sintesis biodiesel sebagai katalis, pelarut enzimatik untuk proses transesterifikasi, maupun
sebagai agen ekstraksi untuk mengekstraksi lipid sebelum dikonversi menjadi biodiesel. Meskipun banyak pelarut tersedia dan dapat diperoleh dengan harga
terjangkau, isu-isu mengenai volatilitas, toksisitas, bahaya fisik dan pencemaran lingkungan kemungkinan dapat mengurangi penggunaan pelarut konvensional di
masa depan [21]. Pelarut organik yang umum digunakan dalam sintesis biodiesel yaitu metanol
dan n-heksana [22,23]. Walaupun pelarut ini sangat penting dalam proses industri, namun banyak pelarut yang bersifat mudah terbakar, dan sangat berpotensi
menyebabkan gangguan kesehatan, terutama VOC Volatile Organic Compound. Paparan VOC dapat menyebabkan efek kesehatan, tergantung pada jenis VOC,
konsentrasi VOC dan panjang eksposur. Dan dengan adanya sinar matahari
,
VOC dapat bereaksi dengan nitrogen oksida dan kimia lainnya untuk menghasilkan ozon,
yang merupakan komponen utama dari asap. Paparan asap dapat menyebabkan gangguan kesehatan terutama yang berkaitan dengan masalah pernapasan.
Oleh karena meningkatnya kesadaran tentang resiko dari penggunaan pelarut ini, proses pencarian pelarut alternatif menjadi prioritas utama. Hingga akhirnya
ditemukan Ionic Liquids ILs sebagai pelarut yang ramah lingkungan [21].
Universitas Sumatera Utara
9
2.2.3.1 Sintesis Biodiesel menggunakan ILs
Ionic Liquids merupakan garam organik yang terbentuk dari senyawa anion dan kation yang memiliki titik didih dan tekanan uap rendah [19]. ILs dikenal
sebagai garam yang cair pada temperatur dibawah 100
°C.
Sintesis biodiesel yang menggunakan ILs sebagai pelarut akan menghasilkan yield yang tinggi dan waktu
reaksi yang lebih singkat [2]. ILs diketahui sebagai pelarut organik dengan karakteristik-karakteristik yang
dimilikinya sehingga dapat menggantikan pelarut organik konvensional pada sintesis biodiesel [21]. Diantara sifat sifat yang dimiliki ILs yaitu bertekanan uap rendah,
tidak mudah menguap, konduktivitas tinggi dan potensi untuk digunakan kembali cukup baik [7].
Selain berfungsi sebagai pelarut dalam sintesis biodiesel, ILs juga dapat bertindak sebagai katalis menggantikan katalis basa, asam maupun katalis enzim
dalam proses transesterifikasi biodiesel. Akan tetapi, harga ILs yang sangat mahal menjadi salah satu kendala bagi industri untuk menggunakannya [21].
2.2.3.2 Sintesis Biodiesel menggunakan DES
Dibandingkan dengan ILs konvensional, ternyata ILs dan DES memiliki banyak kesamaan manfaat dan sifat kimia bahkan DES memiliki kelebihan yaitu
tidak bersifat toksik dan harganya relatif murah [11]. DES tersedia dalam keadaan yang lebih murni dan tidak reaktif terhadap air, sehingga sifat toksik dari DES dapat
diminimalisir [5]. Penambahan DES dalam jumlah yang tepat pada transesterifikasi biodiesel
dapat meningkatkan yield yang dihasilkan. Selain itu, juga dapat meminimalkan terjadinya reaksi samping saponifikasi dan memudahkan proses pemisahan serta
pemurnian biodiesel. Penambahan DES dapat mempertahankan dua fase yang ada. Ketika FAME Fatty Acid Methyl Esters tidak larut dalam fase DESmetanol, maka
kontak langsung antara FAME dan NaOH secara signifikan berkurang dan menjadikan FAME sebagai fase tunggal. Oleh karena itu, reaksi samping
saponifikasi dapat berkurang [16].
Universitas Sumatera Utara
10
2.3 Deep Eutectic Solvent DES
DES memiliki daya tarik di dunia industri sebagai pelarut ramah lingkungan atau sebagai katalis untuk suatu reaksi [24]. DES pada umumnya dibentuk dari suatu
campuran hydrogen bond donor HBDdonor ikatan hidrogen dengan garam halida dan akan menghasilkan cairan dalam suhu kamar yang memiliki titik leleh lebih
rendah dari masing-masing komponen penyusunnya [11]. Dikatakan Deep Eutetic Solvent karena ketika dua komponen dicampur dengan rasio yang sesuai, maka titik
eutektik akan terbentuk [25]. DES yang berwujud cairan bening terbentuk dengan cara mencampur garam dan
HBD pada rasio molar tertentu. Pada rasio molar tersebut HBD memiliki kemampuan yang kuat untuk membentuk interaksi ikatan hidrogen dengan ChCl.
Cairan bening atau fasa baru DES ini menunjukkan adanya penurunan nilai titik beku dan umumnya ditandai dengan titik beku yang lebih rendah dari kedua padatan
penyusunnya [9].
Gambar 2.1 Diagram Representasi Teori Titik Eutektik Campuran [26] Sama seperti ILs, DES memiliki titik leleh yang dekat dengan suhu ruangan,
volatilitas rendah dan stabilitas yang tinggi. Akan tetapi, DES tidak seperti kebanyakan ILs karena DES bersifat mudah terurai, murah dan sangat mudah untuk
disintesis. Oleh karena itu, dalam beberapa tahun terakhir, jumlah publikasi yang didedikasikan untuk penggunaan DES telah jauh meningkat [27].
Universitas Sumatera Utara
11
2.4 Sintesis DES