Proses alih status hukum desa deli tua menjadi kelurahan deli tua
sebelum reformasi, dan telah di Perda kan, dan telah berubah statusnya menjadi kelurahan sampai sekarang. Sedangkan pada tahapan yang kedua mengalami
proses sampai pada terbitnya Surat Keputusan Gubernur, namun belum sampai di Perda kan di Kabupaten, lalu keburu masuk era reformasi.
Masyarakat desa yang diproses menjadi kelurahan ramai-ramai menolak desanya untuk diubah menjadi kelurahan, walaupun sebagian warga desa setempat
tetap menghendaki alih status tersebut. Akhirnya proses alih status desa menjadi kelurahan dibatalkan,dan desa-desa tersebut tetap menjadi desa melalui proses
jajak pendapat di desa masing-masing. Tahapan dalam proses alih status desa menjadi kelurahan di deli tua adalah
sebagai berikut: 1. Adanya prakarsa dan kesepakatan masyarakat untuk merubah status Desa
menjadi Kelurahan. 2. Masyarakat mengajukan usul perubahan status Desa menjadi Kelurahan kepada
BPD dan Sangadi; 3. BPD mengadakan rapat bersama Kepala Desa untuk membahas usulan
masyarakat tentang perubahan status Desa menjadi Kelurahan, dan kesimpulan rapat dituangkan dalam Berita Acara Hasil Rapat BPD tentang perubahan
status Desa menjadi Kelurahan; 4. Sangadi
mengajukan usul
perubahan status
menjadi Kelurahan
BupatiWalikota melalui Camat, disertai Berita Acara hasil rapat BPD; 5. Dengan memperhatikan dokumen usulan Sangadi, Walikota menugaskan Tim
Tingkat Kota bersama Tim Kecamatan untuk melakukan observasi dan
pengkajian ke desa yang akan diubah statusnya menjadi kelurahan, yang hasilnya menjadi bahan rekomendasi kepada Walikota;
6. Bila rekomendasi Tim Tingkat Kota menyatakan layak untuk mengubah status Desa menjadi Kelurahan, Walikota menyiapkan Rancangan Peraturan Daerah
tentang perubahan status desa menjadi kelurahan; 7. Walikota mengajukan rancangan Peraturan Daerah tentang perubahan status
Desa menjadi Kelurahan kepada DPRD dalam forum rapat paripurna DPRD; 8. DPRD bersama Walikota melakukan pembahasan atas rancangan Peraturan
Daerah tentang perubahan status Desa menjadi Kelurahan, dan bila diperlukan dapat mengikutsertakan Pemerintah Desa, BPD, dan unsur masyarakat desa;
9. Rancangan Peraturan Daerah tentang perubahan status Desa menjadi Kelurahan yang telah disetujui bersama oleh DPRD dan Walikota ditetapkan
menjadi Peraturan Daerah. Dalam proses alih status tersebut banyak permasalahan yang timbul,
seperti keberatan masyarakat terhadap perubahan status desa mereka menjadi kelurahan. Sedangkan keberatan mereka lebih disebabkan pada ketakutan
terhadap hilangnya aset desa yang akan menjadi aset kabupaten dari konsekwensi perubahan status tersebut. Walaupun secara faktual perubahan desa menjadi
kelurahan di kabupaten Sidoarjo hanya mengubah status aset desa menjadi aset kelurahanaset kabupaten secara administratif namun pengelolaan menjadi
wewenang kelurahan dan hasilnya tetap diperuntukkan bagi pengelolaan pemerintahan dan pembangunan masyarakat kelurahan setempat.
Sebagai tanda bahwa aset telah menjadi hak kabupaten, kelurahan diwajibkan menyetorkan dana atas hasil pengelolaan aset tersebut sebesar
Rp250.000,- per hektar per tahun. Pada internal pemerintahan desa, utamanya perangkat desa, permasalahan yang timbul lebih pada kecemburuan sosial antara
Lurah Kepala Kelurahan dengan perangkat desa, dimana Lurah berstatus PNS sedangkan Perangkat Kelurahan lainnya berstatus bukan PNS. Personil perangkat
kelurahan dari mantan perangkat desa semula, dan penghasilannya diperolah dari hasil kekayaan eks desa yang dikelola oleh kelurahan setempat.
Persoalan substansial yang belum disadari oleh mereka sebenarnya sangat besar, yakni hilangnya kemandirian dan otoritas pemerintahan desa menjadi
bagian dari otoritas kabupaten. Namun karena kesadaran akan hak demokrasi masyarakat serta pentingnya otoritas dalam pengelolaan desanya menjadikan
menjadikan masyarakat tidak banyak mempersoalkannya, dan persoalan tidak pernah muncul ke permukaan dalam proses alih status tersebut.
Persoalan-persoalan yang timbul lebih disebabkan oleh hal-hal sebagai berikut sampai dengan keraguan masyarakat akan jaminan kesejahteraan yang
ditimbulkan atas perubahan status tersebut. Disamping itu, banyak keberatan dari masyarakat desa terhadap beralihnya status pemilikan aset desa menjadi aset
daerah sebagai konsekwensi alih status desa menjadi kelurahan tersebut. Permasalahan juga timbul dari ketidak siapan berbagai pihak dari proses alih
status tersebut, seperti 1. Proses yang tidak partisipatif, karena hanya melibatkan Kepala Desa dan
LMD pada penyusunan keputusan desa untuk mengajukan proses alih desa
menjadi kelurahan.Sehingga ketika masyarakat mengetahui, terjadi protes keras dari masyarakat.Sedangkan untuk 3 tiga desa yang sudah terlanjur
berjalan menjadi kelurahan dan ditetapkan dengan Perda sebelum terjadinya reformasi tetap berjalan sebagai kelurahan, karena masyarakat pada saat itu
belum memiliki keberanian untuk menolak pada era orba. Proses perumusan Perda bagi Desa menjadi Kelurahan pun tidak diketahuitidak melibatkan
masyarakat,dimana masyarakat hanya menerima pemberitahuan bahwa desanya sudah beralih status menjadi kelurahan.
2. Belum siapnya pemerintah kabupaten dalam memproses alih status desa menjadi kelurahan secara tuntas yang mengakibatkan kesimpangsiuran disana
sini. Misal, Lurah sebagai Kepala Kelurahan diisi dari PNS, sedangkan perangkat lainnya masih dari perangkat desa yang lama, tanpa status yang
jelas. Belum adanya regulasi yang lebih jelas tentang alih status desa menjadi kelurahan, termasuk yang mengatur mekanismenya. Sedangkan mekanisme
yang ada masih bersifat kebijakan-kebijakan daerah yang belum di Perdakan. 3. Belum adanya status yang jelas tentang kekayaanaset desa menjadi aset
kelurahan, dimana aset masih dikelola oleh kelurahan hanya untuk masyarakat kelurahan setempat.Padahal status desa sudah berubah menjadi kelurahan,
yang tentunya aset beralih menjadi milik kabupaten dan seharusnya diperuntukkan
bagi kesejahteraan
masyarakat kabupaten.
Hal tersebut juga menyebabkan kaburnya pemahaman masyarakat terhadap sistem penyelenggaraan pemerintahan desa dan kelurahan.
4. Belum siapnya masyarakat desa untuk berinteraksi dengan pihak pemerintah kelurahan secara dinas, yang dirasa sangat berbeda dengan kondisi semula
ketika masih berstatus desa.Dimana kedekatan masyarakat desa dengan Kepala Desa semula lebih akrab, sedangkan terhadap Lurah mereka seperti
berhadapan dengan seorang birokrat kabupaten.