Kajian Yuridis Terhadap Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 28 Tahun 2006 Tentang Perubahan Status Desa Menjadi Kelurahan (Studi Kasus Kelurahan Deli Tua)

(1)

PEMERINTATI KABUPATEN

DELI

SERDANG

KELURAHANDELI

TUA

KECAMATAIY

DELI TUA

Jln.

Iiakti No.

112

A

Kode Pos 20355

Nomor Lampiran Psrihal

:579

/aa8

t2014

,

lrio

Riset

-Deli Tua, 14

Maret

2016

Kepada Yth

A/u Dekan Wakil Dekan

I

Universitas Sumatera Utara

di-Medan

FAI}ILLAH

RAHN/il TANJT,NG 120200396

Hukum Administrasi

Negara

(

Kajian Yuridis

Terhadap Peraturan Menteri

1. sehubungan dengan surat dari

Dekan I Nomor

579.

/tlN5.2.l.zlppMtz0l6

Tanggal25 Februari 2016 Perihal Riset.

Perlu kami

jelaskan bahwa

yang

bersangkutan

telah

menyelesaikan Risetnya dan menyetujui Mahasiswa yang bernama :

a. Nama

b.

NIM

c.

d.

Departemen / PK

Judul

3.

Dalam Negeri No.28 Tahun

2006 Tentang

perubahan status

Desa

Menjadi Kelurahan (Studi

Kasus Kelurahan Deli Tua)

"

e. Dan hasilnya bermanfaat bagi

batran penyusunan Laporan.

Demikian kami sampaikan untuk

dimaklumi

.

KELURAHAN DELI

TU.A,


(2)

82 Rajagrafindo, 2003.

HAW Wijaya. Otonomi Desa merupakan Otonomi yang asli, bulat dan utuh.

Jakarta: Rajagrafindo, 2003.

HR, Ridwan, Hukum Adimidtrasi Negara, Jakarta, RajaGrafindo Persada, 2007. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 1995.

Khudzaifah Dimyati & Kelik Wardiono, Metode Penelitian Hukum, Surakarta: Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2004. Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif,

Malang: UMM Press, 2007.

M.Hadjon, Philipus, Pengantar Hukum Administrasi Negara,

Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 2004.

Marzuki, Peter Mahmud, Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana Prenada Media, 2010.

Nurcholis Hanif. Teori dan Praktek: Pemerintah dan Otonomi Daerah. Jakarta: Rajawali Press, 2005.

Rahardjo, Pengentar Sosiologi Pedesaan dan Pertanian. Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1999.

Sunardjo, Unang RH. Tinjauan sepintas tentang Pemerintahan Desa dan Kelurahan.Bandung: Tarsito, 1984.


(3)

83

Sunggono Bambang. Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta: PT Grafindo Persada,2003.

Soekanto, Soejono dan Sri Mamadji, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat, Jakarta: RajaGrafindo Persada,2013.

Utrecht, E, Pengantar Administrasi Negara Indonesia, Jakarta, Ichtiar Baru, 1990.

B. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa.

Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 Tentang Desa.

Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 2005 Tentang Kelurahan.

Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 28 Tahun 2006 Tentang pembentukan, penghapusan , penggabungan desa dan perubahan status desa menjadi kelurahan.

Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 Tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa.


(4)

37

A. Pengertian Desa dan Ruang Lingkup Desa 1. Pengertian Desa

Menurut Sunarjo, desa adalah kesatuan masyarakat berdasarkan adat dan hukum adat yang menetap dalam suatu wilayah yang tertentu batas-batasnya, memiliki ikatan lahir dan batin yang sangat kuat, baik karena keturunan maupun karena sama-sama memiliki kepentingan politik, ekonomi, sosiail dan keamanan memiliki susunan pengurus yang dipilih bersama, memiliki kekayaan dalam jumlah tertentu dan berhak menyelenggarakan urusan rumah tangganya sendiri.11

Sedangkan pengertian Desa menurut Berger yang dikutip dari bukunya Rahardjo yang berjudul Pengantar Sosiologi Pedesaaan dan Pertanian, yaitu: “Desa adalah setiap permukiman para petani (peasant) sebenarnya faktor pertanian bukanlah ciri yang harus terlekatpada setiap desa.12 Ciri utama yang terlekat pada desa ditandai oleh keterkaitan warganya terhadap suatu wilayah tertentu. Keterkaitan terhadap wilayah ini di samping terutama untuktempat tinggal, juga untuk menyangga kehidupan mereka.13

11

RH. Unang Sunardjo, Tinjauan sepintas tentang Pemerintahan Desa dan Kelurahan

(Bandung: Tarsito, 1984), hlm. 11.

12

Rahardjo, Pengentar Sosiologi Pedesaan dan Pertanian (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1999), hlm. 121.

13


(5)

38

Menurut Widjaja desa adalah suatu kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai susunan asli berdasarkan hak asal-usul yang bersifat istimewa. Oleh karena itu, desa dibentuk atas prakarsa masyarakat dengan memperhatikan asal-usul desa dan kondisi sosial budaya masyarakat setempat. Pembentukan desa dapat berupa penggabungan beberapa desa, atau bagian desa yang bersandingan, atau pemekaran dari satu desa menjadi dua desa atau lebih, atau pembentukan desa di luar desa yang telah ada.14

Desa dapat diubah atau disesuaikan statusnya menjadi kelurahan berdasarkan prakarsa Pemerintah Desa bersama BPD dengan memperhatikan saran dan pendapat masyarakat setempat. Desa yang berubah menjadi kelurahan, Lurah dan perangkatnya diisi dari pegawai negeri sipil. Desa yang berubah statusnya menjadi kelurahan, kekayaannya menjadi kekayaan daerah dan dikelola oleh kelurahan yang bersangkutan untuk kepentingan masyarakat setempat.

Pasca reformasi pengertian Desa mengalami redefinisi, karena sifat dari UU No. 23 Tahun 2014 yang mengatur mengenai Pemerintahan Daerah mempunyai perbedaan yang signifikan dengan Undang-Undang yang berlaku sebelumnya tentang Pemerintahan Desa dan Kelurahan yakni Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014. Kawasan perdesaan adalah kawasan yang mempunyai kegiatan utama pertanian termasuk pengelolaan sumber daya alam, dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman, perdesaan, pelayanan, jasa pemerintahan, pelayanan sosial dan kegiatan ekonomi.

14

Wijaya,HAW, Otonomi Desa merupakan Otonomi yang asli, bulat dan utuh(Jakarta: Rajagrafindo, 2003), hlm. 3.


(6)

Desa dibentuk atas prakarsa masyarakat dengan memperhatikan asal-usul desa dan kondisi sosial budaya masyarakat setempat. Pembentukan desa dapat berupa penggabungan beberapa desa, atau bagian desa yang bersandingan, atau pemekaran dari satu desa menjadi dua desa atau lebih, atau pembentukan desa di luar desa yang telah ada. Desa dapat diubah atau disesuaikan statusnya menjadi kelurahan berdasarkan prakarsa Pemerintah Desa bersama BPD dengan memperhatikan saran dan pendapat masyarakat setempat. Desa yang berubah menjadi kelurahan, Lurah dan perangkatnya diisi dari pegawai negeri sipil. Desa yang berubah statusnya menjadi kelurahan, kekayaannya menjadi kekayaan daerah dan dikelola oleh kelurahan yang bersangkutan untuk kepentingan masyarakat setempat. Desa mempunyai ciri budaya khas atau adat istiadat lokal yang sangat urgen.

Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa, disebut bahwa Desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.15

a. Ruang Lingkup Desa

Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Pasal 1 angka 12 dan PP No. 72 Tahun 2005 Pasal 1 angka 5, desa bukanlah bawahan kecamatan, karena kecamatan merupakan bagian dari perangkat daerah kabupaten/kota, dan desa bukan merupakan bagian dari perangkat daerah. Berbeda dengan Kelurahan, Desa

15


(7)

40

memiliki hak mengatur wilayahnya lebih luas. Namun dalam perkembangannya, sebuah desa dapat dirubah statusnya menjadi kelurahan. Desa merupakan organisasi komunitas lokal yang mempunyai batas-batas wilayah, dihuni oleh sejumlah penduduk, dan mempunyai adat-istiadat untuk mengelola dirinya sendiri. Inilah yang disebut dengan self-governing community. Desa menyerupai republik kecil, dimana pemerintahan desa dibangun atas dasar prinsip kedaulatan rakyat. Trias politika yang diterapkan dalam negara-bangsa modern juga diterapkan secara tradisional dalam pemerintahan desa. Desa-desa di Jawa, mengenal Lurah (Kepala Desa) beserta perangkatnya sebagai badan eksekutif, Badan Permusyawaratan Desa (BPD) sebagai badan legislatif yang memegang kekuasaan tertinggi, serta rembug desa (sidang desa) sebagai badan yudikatif yang bertugas dalam bidang peradilan dan terkadang memainkan peran sebagai badan pertimbangan bagi eksekutif. Proses politik di desa ditentukan oleh rapat desa secara demokratis

berdasarkan prinsip musyawarah untuk mufakat.

B. Susunan Organisasi dan Tata Kerja Pemerintahan Desa dan Perangkat Desa

Setiap lembaga atau organisasi disadari atau tidak berjalan menuju kearah tertentu. Pernyataan yang luas mengenai arah yang disadari (dikehendaki) disebut tujuan (goal). Untuk mencapai tujuan diperlukan kekuasaan atau power. Setiap orang yang bertanggung jawab dalam hal penggunaan (exerasing power) disebut government. Dalam kamus Bahasa Indonesia istilah government dapat diartikan


(8)

pemerintah dan dapat pula diartikan pemerintahan.16 Istilah pemerintahan berasal dari kata perintah berarti perkataan yang bermaksud menyuruh atau melakukan sesuatu yang harus dilakukan. Pemerintah adalah orang, badan atau aparat yang mengeluarkan atau memberi perintah. Istilah pemerintah di dalam undang-undang 1945 tercantum didalam alinea ke empat pembukaan.

Kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu pemerintahan negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.17

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dinyatakan, pemerintah desa adalah sistem menjalankan dan kekuasaan mengatur kehidupan sosial, ekonomi, dan politik suatu negara atau bagian-bagiannya, atau sekelompok orang secara bersama-sama memikul tanggung jawab terbatas untuk menggunakan kekuasaan. 18

Pemerintah desa sebagai suatu badan dalam organisasi desa yang memiliki fungsi dan tugas pokok menyelenggarakan pemerintahan dengan dilengkapi oleh sistem administrasi dan manajemen yang sudah ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan serta menyelenggarakan masyarakat desa untuk dapat berpartisipasi semaksimal mungkin untuk membangun warganya, maupun membangun bangsa dan negara.

16

Kamus Besar Bahasa Indonesia,(Jakarta: Balai Pustaka, 1988).

17

Undang-Undang Dasar 1945 Alinea ke-4

18


(9)

42

Pemerintah desa adalah pemimpin masyarakat terdekat, mempunyai hak, wewenang dan kewajiban pimpinan pemerintah Desa, yaitu menyelenggarakan rumah tangganya sendiri dan merupakan penyelenggarakan dan penanggung jawab utama di bidang pemerintah. Pembangunan dan kemasyarakatan dalam rangka penyelanggaraan urusan pemerintah desa, urusan pemerintah termasuk pembinaan ketentraman dan ketertiban sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan menumbuhkan dan mengembangkan jiwa gotong-royong masyarakat sebagai sendi utama pelaksanaan pemerintahan desa.

Pemerintah desa sebagai unsur pemimpin pemerintah yang terendah yaitu desa, merupakan pos terdepan yang berlangsung berhubungan dengan masyarakat sebagai ujung tombak dan penyelenggaraan pemerintah dan pembangunan secara nasional. Untuk itu seorang pemerintah desa harus memiliki kualitas kepemimpinan pancasila, yang secara formal dan mempunyai prinsip utama dalam kepemimpinan pancasila yang harus dihayati dan dijalankan sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku.

Susunan Organisasi Pemerintahan Desa terdiri dari: 1. Kepala Desa

Kepala Desa adalah orang yang mengepalai desa. Kepala Desa dalam organisasi pemerintahan desa mempunyai kedudukan sebagai pemimpin pemerintahan”. Dalam kedudukan ini, kepala desa mempunyai tugas pokok sebagai berikut, memimpin, mengkoordinasikan dan mengendalikan pemerintahan desa, urusan pemerintahan umum, pembangunan dan pembinaan masyarakat serta menjalankan tugas pembantuan dari pemerintah, pemerintah provinsi dan atau


(10)

kabupaten/kota. “Kepala desa adalah kepala pemerintahan desa. Kepala desa mempunyai tugas pokok memimpin dan mengkoordinasikan pemerintah desa dalam melaksanakan sebagian urusan rumah tangga desa, urusan pemerintahan umum, pembinaan dan pembangunan masyarakat serta menjalankan tugas pembantuan dari pemerintah atasnya”.19

Kepala Desa berkedudukan sebagai alat Pemerintahan, alat Pemerintah Daerah dan alat Pemerintah Desa yang memimpin penyelenggaraan pemerintahan Desa.

Tugas Kepala Desa dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 1981 yaitu sebagai berikut :

a. Menjalankan urusan rumah tangga sendiri

b. Menjalankan urusan pemerintahan, pembangunan baik dari Pemerintah maupun Pemerintah Daerah dan kemasyarakatan dalam rangka penyelanggaraan Desa termasuk pembinaan ketentraman dan ketertiban di wilayah desanya

c. Menumbuhkan serta mengembangkan semangat gotong-royong masyarakat sebagai sendi utama pelaksaan pemerintahan dan pembangunan Desa

Untuk melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) Kepala Desa mempunyai fungsi yaitu sebagai berikut:

a. Melaksanakan kegiatan dalam rangka penyelenggaraan urusan rumah tangga desanya sendiri

b. Menggerakkan partisipasi masyarakat dalam wilayah desanya

19

Hanif Nurcholis, Teori dan Praktek: Pemerintah dan Otonomi Daerah ( Jakarta: Rajawali Press, 2005), hlm. 139.


(11)

44

c. Melaksanakan tugas dari Pemerintah dan Pemerintah Daerah

d. Melaksanakan tugas dalam rangka pembinaan ketenteraman dan ketertiban masyarakat desa

e. Melaksanakan koodinasi jalannya pemerintahan, pembangunan dan pembinaan kehidupan masyarakat desa

f. Melaksanakan urusan pemerintahan lainnya yang tidak termasuk dalam tugas sesuatu instansi dan tidak termasuk urusan rumah tangga desanya sendiri.

Pasal 14 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa, Kepala Desa selaku Kepala Pemerintah Desa memiliki tugas dan kewajiban sebagai berikut: Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala Desa mempunyai wewenang:

a. Memimpin penyelenggaraan pemerintahan desa berdasarkan kebijakan yang ditetapkan bersama Badan Permusyawaratan Desa (BPD);

b. Mengajukan rancangan Peraturan Desa;

c. Menetapkan Peraturan Desa yang telah mendapatkan persetujuan bersama Badan Permusyawaratan Desa (BPD);

d. Menyusun dan mengajukan rancangan Peraturan Desa mengenai APBDesa untuk dibahas dan ditetapkan bersama Badan Permusyawaratan Desa (BPD);

e. Membina kehidupan masyarakat desa; f. Membina perekonomian desa;


(12)

h. Mewakili desanya di dalam dan di luar pengadilan dan dapat menunjuk kuasa hukum untuk mewakilinya sesuai dengan peraturan perundang-undangan; dan

i. Melaksanakan wewenang lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

2. Lembaga Musyawarah Desa

Lembaga musyawarah desa dalam susunan organisasi pemerintahan desa adalah sebagai wadah permusyawaratan/permufakatan pemuka-pemuka masyarakat yang ada di desa. Lembaga musyawarah desa mempunyai tugas untuk menyalurkan pendapat masyarakat di desa dengan memusyawaratkan setiap rencana yang diajukan oleh kepala desa sebelum ditetapkan menjadi keputusan desa. Untuk menjalankan tugas sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), lembaga musyawarah desa mempunyai fungsi melaksanakan kegiatan musyawarah /mufakat dalam rangka penyusunan keputusan desa.

Susunan organisasi lembaga musyawarah desa sebagaimana ddimaksud dalam ayat (1) huruf b terdiri dari:

a. Ketua

Ketua lembaga musyawarah desa dijabat oleh kepala desa karena jabatannya dan berkedudukan sebagai pimpinan lembaga musyawarah desa mempunyai tugas mempin musyawarah/mufakat dan mempunyai tugas membina kelancaran dan memperhatikan sungguh-sungguh kenyataan yang hidup dan berkembang dalam masyarakat desa yang bersangkutan.


(13)

46

b. Sekretaris

Sekretaris lembaga musywarah desa dijabat oleh sekretaris desa karena jabatannya dan berkedudukan sebagai alat pelaksanaan administrasi, mempunyai tugas menyiapkan segala kegiatan musyawarah/mufakat dan berfungsi melakukan pencatatan dan penyimpanan administrasi yang berhubungan dengan kegiatan lembaga musyawarah desa.

c. Anggota

Anggota lembaga musywarah desa yang terdiri dari pemuka-pemuka masyarakat di desa bertugas untuk memperhatikan sungguh-sungguh kenyataan yang hidup dan berkembang dalam masyarakat desa serta mempunyai fungsi menyalurkannya dalam rapat lembaga musyawarah desa.

3. Perangkat Desa

Perangkat desa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf c terdiri dari: a. Sekretaris desa

Sekretaris desa adalah staf yang memimpin Sekretariat Desa. Sekretaris desa bertugas membantu kepala desa dibidang pembinaan administrasi dan memberikan pelayanan teknis administrasi kepada seluruh perangkat pemerintah desa. Pasal 25 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa, Sekretaris Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2) diisi dari Pegawai Negeri Sipil yang memenuhi persyaratan, yaitu:

1) berpendidikan paling rendah lulusan SMU atau sederajat; 2) mempunyai pengetahuan tentang teknis pemerintahan; 3) mempunyai kemampuan di bidang administrasi perkantoran;


(14)

4) mempunyai pengalaman di bidang administrasi keuangan dan di bidang perencanaan;

5) memahami sosial budaya masyarakat setempat; dan 6) bersedia tinggal di desa yang bersangkutan.

b. Kepala Dusun

Kepala dusun mempunyai tugas menjalankan kegiatan kepala desa dalam kepemimpinan kepala desa di wilayah kerjanya. Untuk dapat menjalankan tugas sebagaimana dimaksud, kepala dusun mempunyai fungsi:

1). Melaksanakan kegiatan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan serta ketentraman dan ketertiban dan ketertiban diwilayah kerjanya.

2). Melaksanakan keputusan desa di wilayah kerjanya 3). Melaksanakan kebijaksanaan kepala desa.

Dalam organisasi pemerintahan desa, terdapat tata kerja yang jelas seperti berikut:

1. Kepala desa, sekretaris desa, kepala urusan, kepala pelaksana dan unsur kewilayahan wajib menerapkan prinsip koordinasi, integrasi dan sinkronisasi baik dalam lingkungan masing-masing maupun antara satuan organisasi desa sesuai dengan tugasnya masing-masing.

2. Kepala desa dalam melaksanakan tugasnya bertanggung jawab kepada rakyat melalui BPD serta menyampaikan laporan mengenai pelaksanaan tugasnya kepada bupati dengan tembusan kepada camat.


(15)

48

3. Sekretaris desa, unsur pelaksana dan unsur wilayah dalam menjalankan tugasnya berada di bawah dan bertanggung jawab kepada kepala desa serta melaporkan tugasnya kepada kepala desa.

4. Kepala urusan dalam melaksanakan tugasnya berada di bawah dan bertanggung jawab kepada sekretaris desa. (Amin Suprihatini, 2011: 24)

C. Pembentukan, Pemecahan, Penyatuan dan Penghapusan Kelurahan Berdasarkan Undang-Undang tentang Pemerintahan Desa (Undang-Undang No.23 Tahun 2014) pada Pasal 1 huruf b, maka yang dimaksudkan dengan Kelurahan adalah Suatu wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk yang mempunyai organisasi pemerintahan terendah langsung di bawah Camat yang tidak berhak menyelenggarakan rumahtangganya sendiri.20

Kelurahan yang dimaksud dalam ayat (1) dibentuk dengan memperhatikan syarat-syarat luas wilayah, jumlah penduduk dan syarat-syarat lain yang akan ditentukan oleh lanjut dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri.

Pembentukan, nama dan batas Kelurahan diatur dengan Peraturan daerah sesuai dengan pedoman yang ditetapkan oleh Menteri Dalam Neger. Peraturan Daerah yang dimaksud baru berlaku sesudah ada pengesahan dari pejabat yang berwenang. Ketentuan tentang pemecahan, penyatuan dan penghapusan Kelurahan diatur dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri.

Berdasarkan Pasal 2 ayat (1) Peraturan Menteri Dalam Negeri No 28 Tahun 2006, tujuan pembentukan Kelurahan adalah untuk meningkatkan kegiatan

20


(16)

penyelenggaraan pemerintahan secara berdaya guna dan berhasil guna serta mneingkatkan pelayanan terhadap masyarakat kota sesuai dengan tingkat perkembangan pembangunan.21

Sebagaimana telah diterangkan di atas bahwa pada masa lampau di kota-kota terdapat Desa-desa (para pejabat pemerintah dan masyarakat sering menyebut “Desa-desa Kota” yang memiliki berbagai hak sebagaimana Desa-desa di luar kota. Tetapi setelah keluarnya Undang-Undang No.23 Tahun 2014 tentang Peraturan Menteri Dalam Negeri No.28 Tahun 2006 tentang Pedoman Pembentukan, Pemecahan, Penyatuan dan Penghapusan Kelurahan, maka secara yuridis formal desa Kota” tersebut hapus dan di atas “puing-puing” “Desa-desa Kota” tersebut berdirilah Kelurahan-kelurahan.

Tetapi berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri No.5 Tahun 1982 tentang kota-kota lain di luar wilayah Ibukota Negara, Ibukota Provinsi, Ibukota Kabupaten, Kotamadya, dan Kota Administratif dapat dibentuk Kelurahan. Hal itu berarti bahwa pembentukan Kelurahan-kelurahan baru di luar wilayah Kelurahan-kelurahan yang sudah ada diperbolehkan bila beberapa persyaratan dapat terpenuhi.

Pembentukan Kelurahan-kelurahan baru itu terutama di kota-kota di mana Desa-desa yang telah ada sebelumnya sudah kurang selaras dan serasi dengan perkembangan masyarakatnya yang telah nyata mempunyai cirri dan sifat “Masyarakat Kota/Urban”. Sebagai contoh Desa-desa yang berada di Kota Kecataman yang telah sedemikian rupa berkembang karena banyaknya Industri

21


(17)

50

dengan menggunakan teknologi tinggi di wilayah Kecamatan tersebut, atau karena menjadi simpul lalu lintas perdagangan yang cukup padat dan lain sebagainya.

Kelurahan dibentuk dengan Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I berdasarkan atas usul Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II setelah mendapat persetujuan dari Menteri Dalam Negeri. Usul Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) disampaikan Kepada Gubernur Kepala Daerah Tingkat I setelah mendengar pertimbangan pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Tingkat II. Keluarahan sebagaimana dimaksud di dalam ayat (1) dan ayat (2) dapat dibentuk di Ibukota Negara, Ibukota Provinsi, Ibukota Kabupaten, Kotamadya, Kota Administratif dan Kota-kota lain.

Dalam Pasal 3 ayat (1) Peraturan Menteri Dalam Negeri No.28 Tahun 2006 tentang Pedoman Pembentukan, Pemecahan, Penyatuan, dan Penghapusan Kelurahan telah diperinci beberapa factor yang harus dipenuhi sebagai syarat pembentukan Kelurahan yaitu sebagai berikut :22

1. Faktor Penduduk : sekurang-kurangnya 2500 jiwa atau 500 Kepala Keluarga, dan sebanyak-banyaknya 20.000 jiwa atau 400 Kepala Keluarga.

2. Faktor Luas Wilayah : harus dapat terjangkau secara efektif dalam melaksanakan pelayanan kepada masyarakat.

3. Faktor Letak : berkaitan dengan aspek komuniaksi, transportasi dan jarak dengan pusat kegiatan pemerintahan dan pusat-pusat pengembangan harus sedemikian rupa sehingga dapat memudahkan pelayanan kepada masyarakat.

22


(18)

4. Faktor Prasarana : berkaitan dengan prasarana perhubungan, pemasaran, sosial dan fisik pemerintah akan dapat memenuhi berbagai kebutuhan masyarkat sebagaimana layaknya.

5. Faktor Sosial Budaya, Agama dan Adat akan dapat berkembang dengan baik. 6. Faktor Kehidupan Masyarakat : baik mata pencaharian dan cirri-ciri Kehidupan

lainnya akan dapat meningkat lebih baik.

Kelurahan dibentuk dengan memperhatikan cirri-ciri sifat masyarakat antara lain :

1. Majemuk, 2. Lebih dinamis, 3. Sensitif dan kritis

4. Dukungan sosial ekonominya mayoritas sudah terpengaruh oleh kehidupan kota.

Usul pembentukan Kelurahan dibuat oleh Bupati/Walikotamadya setelah mendegar pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Tingkat II bersangkutan, kemudian disampaikan kepada Gubernur Kepala Daerah Tingkat I, untuk seterusnya oleh Gubernur disampaikan kepada Menteri Dalam Negeri. Setelah mendapat persetujuan Menteri Dalam Negeri maka Gubernur Kepala Daerah Tingkat I menerbitkan Surat Keputusan Pembentukan Kelurahan yang diusulkan oleh Bupati/Walikotamadya bersangkutan.

Dalam rangka peningkatan kelancaran penyelenggaraan pemerinta dan pembangunan secara berdaya guna dan berhasil guna, dan sebagai pelaksanaan UU No. 23 Tahun 2014 tentang pemerintahan desa, Menteri Dalam Negeri No. 28


(19)

52

Tahun 2006 Tentang Pembentukan, pemecahan, penyatuan dan penghapusan kelurahan dan lingkungan adalah pengertian-pengertian dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Desa.

Didalam surat keputusan pembentukan kelurahan harus dicabut nama, luas wilayah dan batas kelurahan yang dibentuk. Untuk memperlancar jalannya pemerintahan kelurahan di dalam kelurahan dapat dibentuk beberapa lingkungan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 1. Jumlah lingkungan dalam suatu kelurahan disesuaikan dengan penduduk, kondisi wilayah dan jangkauan pelaksanaan pemerintahan.

Dalam Pasal 7 disebutkan bahwa kelurahan yang jumlah penduduknya melampaui jumlah penduduk maksimal dan dengan pertimbangan-pertimbangan teknis pemerintahan dan pelayanan terhadap masyakat kelurahan dimungkinkan untuk dapat dipecah. Kelurahan hasil pemecahan sebagaimana ayat (1) harus memenuhi syarat-syarat bagi terbentuknya suatu kelurahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3.

Pemecahan kelurahan dilakukan dengan keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I berdasarkan atas usul Bupati/Walikota- Kepala Daerah Tingkat II setelah mendapat persetujuan dari Menteri Dalam Negeri. Usul Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) disampaikan kepada Gubernur kepala Daerah Tingkat I setelah mendengar pertimbangan pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Tingkat II.

Menurut Pasal 7 ini kelurahan yang karena perkembangan keadaan tidak lagi memenuhi syarat sebagaimana dimaksud Pasal 3 ayat (1) dan (2)


(20)

dimungkinkan untuk dihapuskan atau disatukan. Penghapusan dan penyatuan kelurahan dilakukan dengan keputusan Gubernur kepala Daerah Tingkat II berdasarkan atas usul bupati/walikotamadya kepala daerah tingkat II. Usul Bupati/Walikotamadya kepala daerah Tingkat II sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) disampaikan kepada Gubernur kepala daerah tingkat I setelah mendengar pertimbangan pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Tingkat II.

Tata cara dan dasar hukum perubahan status desa menjadi kelurahan

Tata cara pembentukan / perubahan status menjadi Kelurahan di kabupaten yang dimulai dari prakarsa pemerintah Desa bersama BPD yang memperhatikan saran dan pendapat masyarakat setempat, dan melakukan musyawarah Desa yang dimana isi kesepakatan dalam permusyawarahan di setujui oleh pemerintah Desa dan BPD, setelah adanya persetujuan pembentukan/perubahan setatus Kelurahan di wilayah kabupaten.

Lalu kepala Desa menyampaikan maksud dan tujuan pembentukan/perubahan setatus menjadi Kelurahan ke pemerintah daerah, yang kemudian pemerintah daerah sebelum mengajukan maksud dan tujuan terbentuknya Kelurahan pemerintah daerah melakukan survey apakah layak suatu desa berubah statusnya menjadi Kelurahan dan apakah Kelurahan dapat membentuk pemekaran Kelurahan yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan serta pearaturan pemerintah dengan disesuaikan peratuan menteri dalam negeri.

Setelah melakukan survey oleh pemerintah daerah dan menyatakan layak menjadi Kelurahan, maka pemerintah daerah mengajukan peraturan daerah


(21)

54

tentang pembentukan yang diajukan ke dewan perwakilan rakyat untuk menyetujui terbentuknya Kelurahan yang dimana persetujuan tersebut menjadi peraturan daerah yang sah.

Sesuai dengan Undang-Undang No 6 Tahun 2014 Pasal 14 yang menjelaskan bahwa: pembentukan, penggabungan, penghapusan/ perubahan status Desa menjadi menjadi Kelurahan sesuai dengan pasal 8, pasal 9, pasal 10 dan pasal 11 atau Kelurahan menjadi Desa sebagaimana dimaksud dalam pasal 12 ditetapkan dalam peraturan daerah.

Di samping itu, tata cara dalam penetapan peraturan daerah tentang pembentukan, penggabungan, penghapusan/ perubahan setatus Desa menjadi Kelurahan dan/atau perubahan Kelurahan menjadi Desa dapat melalui beberapa tahap yang dimana menurut Undang-Undang No 6 Tahun 2014 Pasal 15, Pasal 16, dan Pasal 17 yang mejelaskan bahwa sebagai berikut:

1. Rancangan peraturan daerah tentang pembentukan , penghapusan, penggabungan dan/atau perubahan setatus Desa menjadi Kelurahan / perubahan Kelurahan menjadi Desa yang telah mendapat persetujuan bersama bupati/walikota dengan dewan perwakilan rakyat daerah diajukan ke gubernur. 2. Gubernur melakukan evaluasi dalam rancangan peraturan daerah tentang

pembentukan, penghapusan, penggabungan dan/atau perubahan setatus Desa menjadi Kelurahan atau perubahan Kelurahan menjadi Desa berdasarkan urgensi, kepentingan nasional, kepentingan daerah, kepentingan masyarakat Desa, dan/ atau peraturan perundang-undangan.


(22)

3. Gubernur menyatakan persetujuan terhadap rancangan peraturan daerah paling lama 20 (dua puluh) hari setelah menerima rancangan peraturan daerah.

4. Dalam hal gebernur memberikan persetujuan atas rancangan peraturan daerah tersebut pemerintah daerah kabupaten/kota melakukan penyempurnaan dan penetapan menjadi peraturan daerah paling lama 20 (dua puluh) hari.

5. Dalam hal gubernur menolak rancangan peraturan daerah tersebut rancangan peraturan daerah tidak dapat disahkan dan tidak dapat diajukan kembali dalam 5 (lima) tahun setelah penolakan oleh gubernur.

6. Dalam hal gubernur menolak persetujuan atau tidak memberikan penolakan perancanagan peraturan daerah tersebut dalam jangka waktu yang telah ditentukan, bupati/ walikota dapat mengesahkan rancangan peraturan daerah tersebut sekretaris daerah mengundangkan dalam lembaran daerah.

7. Dalam hal bupati/walikota tidak menetapkan rancangan peraturan daerah yang telah disetujui oleh gubernur, rancangan peraturan daerah tersebut dalam jangka waktu 20 (dua puluh) hari setelah tanggal persetujuan gubernur dinyatakan berlaku dengan sendirinya.

8. Peraturan daerah kabupaten/kota tentang pembentukan, penghapusan, penggabungan dan perubahan setatus Desa menjadi Kelurahan atau perubahan setatus Kelurahan menjadi Desa diundangkan setelah mendapatakan nomor registrasi dari gubernur dan kode Desa dari menteri.

9. Peraturan daerah kabupaten/kota tesebut disertai lampiran peta batas wilayah Desa.


(23)

56

Dasar hukum perubahan status desa menjadi kelurahan terdapat dalam Pasal 9 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 28 Tahun 2006 Tentang pembentukan, penghapusan, penggabungan desa dan perubahan status desa menjadi kelurahan disebutkan sebagai berikut:23

1. Desa dapat diubah atau disesuaikan statusnya menjadi Kelurahan berdasarkan prakarsa Pemerintah Desa bersama BPD dengan memperhatikan aspirasi masyarakat setempat.

2. Aspirasi masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disetujui paling sedikit 2/3 (dua per tiga) penduduk Desa yang mempunyai hak pilih.

3. Perubahan status Desa menjadi Kelurahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi syarat:

a. luas wilayah tidak berubah;

b. jumlah penduduk paling sedikit 4500 jiwa atau 900 KK untuk wilayah Jawa dan Bali serta paling sedikit 2000 jiwa atau 400 KK untuk diluar wilayah Jawa dan Bali;

c. prasarana dan sarana pemerintahan yang memadai bagi terselenggaranya pemerintahan Kelurahan;

d. potensi ekonomi berupa jenis, jumlah usaha jasa dan produksi serta keanekaragaman mata pencaharian.

e. kondisi sosial budaya masyarakat berupa keanekaragaman status penduduk dan perubahan nilai agraris ke jasa dan industri; dan

f. meningkatnya volume pelayanan.

23

Pasal 9 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 28 Tahun 2006 Tentang pembentukan, penghapusan, penggabungan desa dan perubahan status desa menjadi kelurahan.


(24)

Dalam Pasal 10 disebutkan Desa yang berubah status menjadi Kelurahan, Lurah dan Perangkatnya diisi dari Pegawai Negeri Sipil yang tersedia di Kabupaten/Kota bersangkutan. Kepala Desa dan Perangkat Desa serta anggota BPD dari Desa yang diubah statusnya menjadi Kelurahan, diberhentikan dengan hormat dari jabatannya dan diberikan penghargaan sesuai dengan nilai-nilai sosial budaya masyarakat setempat.

Tatacara pengajuan dan penetapan perubahan status Desa menjadi Kelurahan adalah sebagai berikut:

a. Adanya prakarsa dan kesepakatan masyarakat untuk merubah status Desa menjadi Kelurahan;

b. Masyarakat mengajukan usul perubahan status Desa menjadi Kelurahan kepada BPD dan Kepala Desa;

c. BPD mengadakan rapat bersama Kepala Desa untuk membahas usul masyarakat tentang perubahan status Desa menjadi Kelurahan, dan kesepakatan rapat dituangkan dalam Berita Acara Hasil Rapat BPD tentang Perubahan Status Desa Menjadi Kelurahan;

d. Kepala Desa mengajukan usul perubahan status Desa menjadi Kelurahan kepada Bupati/Walikota melalui Camat, disertai Berita Acara Hasil Rapat BPD;

e. Dengan memperhatikan dokumen usulan Kepala Desa, Bupati/Walikota menugaskan Tim Kabupaten/Kota bersama Tim Kecamatan untuk melakukan observasi ke Desa yang akan diubah statusnya menjadi


(25)

58

Kelurahan, yang hasilnya menjadi bahan rekomendasi kepada Bupati /Walikota;

f. Bila rekomendasi Tim Observasi menyatakan layak untuk merubah status Desa menjadi Kelurahan, Bupati/Walikota menyiapkan Rancangan Peraturan Daerah tentang Perubahan Status Desa Menjadi Kelurahan;

g. Bupati/Walikota mengajukan Rancangan Peraturan Daerah tentang Perubahan Status Desa Menjadi Kelurahan kepada DPRD dalam forum rapat Paripurna DPRD;

h. DPRD bersama Bupati/Walikota melakukan pembahasan atas Rancangan Peraturan Daerah tentang Perubahan Status Desa Menjadi Kelurahan, dan bila diperlukan dapat mengikutsertakan Pemerintah Desa, BPD, dan unsur masyarakat desa;

i. Rancangan Peraturan Daerah tentang Perubahan Status Desa Menjadi Kelurahan yang telah disetujui bersama oleh DPRD dan Bupati/Walikota disampaikan oleh Pimpinan DPRD kepada Bupati/Walikota untuk ditetapkan menjadi Peraturan Daerah;

j. Penyampaian Rancangan Peraturan Daerah tentang Perubahan Status Desa Menjadi Kelurahan sebagaimana dimaksud pada huruf i, disampaikan oleh Pimpinan DPRD paling lambat 7 (tujuh) hari terhitung sejak tanggal persetujuan bersama;

k. Rancangan Peraturan Daerah tentang Perubahan Status Desa Menjadi Kelurahan sebagaimana dimaksud pada huruf j, ditetapkan oleh


(26)

Bupati/Walikota paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak rancangan tersebut disetujui bersama; dan

l. Dalam hal sahnya Rancangan Peraturan Daerah tentang Perubahan Status Desa Menjadi Kelurahan yang telah ditetapkan oleh Bupati/Walikota sebagaimana dimaksud pada huruf k , Sekretaris Daerah mengundangkan Peraturan Daerah tersebut di dalam Lembaran Daerah.

Berubahnya status Desa menjadi Kelurahan, seluruh kekayaan dan sumber-sumber pendapatan Desa menjadi kekayaan Dacrah Kabupaten/ Kota. Kekayaan dan sumber-sumber psendapatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikelola oleh Kelurahan bersangkutan untuk kepentingan masyarakat setempat.

Perubahan status Desa menjadi Kelurahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang-kurangnya memuat materi (sesuaikan):

a. tujuan; b. syarat; c. mekanisme;

d. tata cara pengalihan kekayaan Desa menjadi kekayaan Daerah; e. tata cara pengalihan administrasi pemerintahan;

f. pengaturan prasarana dan sarana; dan g. pembiayaan.


(27)

60

BAB IV

PERUBAHAN STATUS DESA MENJADI KELURAHAN (STUDI KASUS KELURAHAN DELI TUA)

A. Proses alih status hukum desa deli tua menjadi kelurahan deli tua

Menurut Permendagri Nomor 28 Tahun 2006, proses alih status desa menjadi kelurahan dapat dilaksanakan berdasarkan prakarsa Pemerintah Desa bersama BPD dengan memperhatikan aspirasi masyarakat. Aspirasi masyarakat tersebut disetujui paling sedikit 2/3 (dua per tiga) penduduk desa yang mempunyai hak pilih, yang teknis pelaksanaannya diatur lebih lanjut dalam peraturan desa. Namun berdasarkan pengamatan peneliti di lokasi penelitian, Pemerintah Desa dan BPD Deli Tua belum pernah menerbitkan sebuah peraturan desa yang mengatur tentang penjaringan aspirasi masyarakat untuk mendapat persetujuan 2/3 (dua per tiga) penduduk Desa Deli Tua.

Proses alih status desa menjadi kelurahan di kabupaten Deli Serdang terjadi dalam 2 (dua) kali tahapan, yang semuanya dimulai prosesnya sebelum era reformasi (awal tahun 1990 an). Dan antara ke dua tahapan itu satu sama lain berbeda waktu proses maupun hasil-hasilnya. Desa-desa pada tahapan pertama yang terdiri dari 3 (tiga) desa yang semuanya berada di kecamatan Deli Tua, telah berubah statusnya menjadi kelurahan, berdasarkan SK Gubernur (pada saat


(28)

sebelum reformasi), dan telah di Perda kan, dan telah berubah statusnya menjadi kelurahan sampai sekarang. Sedangkan pada tahapan yang kedua mengalami proses sampai pada terbitnya Surat Keputusan Gubernur, namun belum sampai di Perda kan di Kabupaten, lalu keburu masuk era reformasi.

Masyarakat desa (yang diproses menjadi kelurahan) ramai-ramai menolak desanya untuk diubah menjadi kelurahan, walaupun sebagian warga desa setempat tetap menghendaki alih status tersebut. Akhirnya proses alih status desa menjadi kelurahan dibatalkan,dan desa-desa tersebut tetap menjadi desa melalui proses jajak pendapat di desa masing-masing.

Tahapan dalam proses alih status desa menjadi kelurahan di deli tua adalah sebagai berikut:

1. Adanya prakarsa dan kesepakatan masyarakat untuk merubah status Desa menjadi Kelurahan.

2. Masyarakat mengajukan usul perubahan status Desa menjadi Kelurahan kepada BPD dan Sangadi;

3. BPD mengadakan rapat bersama Kepala Desa untuk membahas usulan masyarakat tentang perubahan status Desa menjadi Kelurahan, dan kesimpulan rapat dituangkan dalam Berita Acara Hasil Rapat BPD tentang perubahan status Desa menjadi Kelurahan;

4. Sangadi mengajukan usul perubahan status menjadi Kelurahan Bupati/Walikota melalui Camat, disertai Berita Acara hasil rapat BPD;

5. Dengan memperhatikan dokumen usulan Sangadi, Walikota menugaskan Tim Tingkat Kota bersama Tim Kecamatan untuk melakukan observasi dan


(29)

62

pengkajian ke desa yang akan diubah statusnya menjadi kelurahan, yang hasilnya menjadi bahan rekomendasi kepada Walikota;

6. Bila rekomendasi Tim Tingkat Kota menyatakan layak untuk mengubah status Desa menjadi Kelurahan, Walikota menyiapkan Rancangan Peraturan Daerah tentang perubahan status desa menjadi kelurahan;

7. Walikota mengajukan rancangan Peraturan Daerah tentang perubahan status Desa menjadi Kelurahan kepada DPRD dalam forum rapat paripurna DPRD; 8. DPRD bersama Walikota melakukan pembahasan atas rancangan Peraturan

Daerah tentang perubahan status Desa menjadi Kelurahan, dan bila diperlukan dapat mengikutsertakan Pemerintah Desa, BPD, dan unsur masyarakat desa; 9. Rancangan Peraturan Daerah tentang perubahan status Desa menjadi

Kelurahan yang telah disetujui bersama oleh DPRD dan Walikota ditetapkan menjadi Peraturan Daerah.

Dalam proses alih status tersebut banyak permasalahan yang timbul, seperti keberatan masyarakat terhadap perubahan status desa mereka menjadi kelurahan. Sedangkan keberatan mereka lebih disebabkan pada ketakutan terhadap hilangnya aset desa yang akan menjadi aset kabupaten dari konsekwensi perubahan status tersebut. Walaupun secara faktual perubahan desa menjadi kelurahan di kabupaten Sidoarjo hanya mengubah status aset desa menjadi aset kelurahan/aset kabupaten secara administratif namun pengelolaan menjadi wewenang kelurahan dan hasilnya tetap diperuntukkan bagi pengelolaan pemerintahan dan pembangunan masyarakat kelurahan setempat.


(30)

Sebagai tanda bahwa aset telah menjadi hak kabupaten, kelurahan diwajibkan menyetorkan dana atas hasil pengelolaan aset tersebut sebesar Rp250.000,- per hektar per tahun. Pada internal pemerintahan desa, utamanya perangkat desa, permasalahan yang timbul lebih pada kecemburuan sosial antara Lurah (Kepala Kelurahan) dengan perangkat desa, dimana Lurah berstatus PNS sedangkan Perangkat Kelurahan lainnya berstatus bukan PNS. Personil perangkat kelurahan dari mantan perangkat desa semula, dan penghasilannya diperolah dari hasil kekayaan eks desa yang dikelola oleh kelurahan setempat.

Persoalan substansial yang belum disadari oleh mereka sebenarnya sangat besar, yakni hilangnya kemandirian dan otoritas pemerintahan desa menjadi bagian dari otoritas kabupaten. Namun karena kesadaran akan hak demokrasi masyarakat serta pentingnya otoritas dalam pengelolaan desanya menjadikan menjadikan masyarakat tidak banyak mempersoalkannya, dan persoalan tidak pernah muncul ke permukaan dalam proses alih status tersebut.

Persoalan-persoalan yang timbul lebih disebabkan oleh hal-hal sebagai berikut sampai dengan keraguan masyarakat akan jaminan kesejahteraan yang ditimbulkan atas perubahan status tersebut. Disamping itu, banyak keberatan dari masyarakat desa terhadap beralihnya status pemilikan aset desa menjadi aset daerah sebagai konsekwensi alih status desa menjadi kelurahan tersebut. Permasalahan juga timbul dari ketidak siapan berbagai pihak dari proses alih status tersebut, seperti

1. Proses yang tidak partisipatif, karena hanya melibatkan Kepala Desa dan LMD pada penyusunan keputusan desa untuk mengajukan proses alih desa


(31)

64

menjadi kelurahan.Sehingga ketika masyarakat mengetahui, terjadi protes keras dari masyarakat.Sedangkan untuk 3 (tiga) desa yang sudah terlanjur berjalan menjadi kelurahan dan ditetapkan dengan Perda sebelum terjadinya reformasi tetap berjalan sebagai kelurahan, karena masyarakat pada saat itu belum memiliki keberanian untuk menolak (pada era orba). Proses perumusan Perda bagi Desa menjadi Kelurahan pun tidak diketahui/tidak melibatkan masyarakat,dimana masyarakat hanya menerima pemberitahuan bahwa desanya sudah beralih status menjadi kelurahan.

2. Belum siapnya pemerintah kabupaten dalam memproses alih status desa menjadi kelurahan secara tuntas yang mengakibatkan kesimpangsiuran disana sini. Misal, Lurah (sebagai Kepala Kelurahan) diisi dari PNS, sedangkan perangkat lainnya masih dari perangkat desa yang lama, tanpa status yang jelas. Belum adanya regulasi yang lebih jelas tentang alih status desa menjadi kelurahan, termasuk yang mengatur mekanismenya. Sedangkan mekanisme yang ada masih bersifat kebijakan-kebijakan daerah yang belum di Perdakan. 3. Belum adanya status yang jelas tentang kekayaan/aset desa menjadi aset

kelurahan, dimana aset masih dikelola oleh kelurahan hanya untuk masyarakat kelurahan setempat.Padahal status desa sudah berubah menjadi kelurahan, yang tentunya aset beralih menjadi milik kabupaten dan seharusnya

diperuntukkan bagi kesejahteraan masyarakat kabupaten. Hal tersebut juga menyebabkan kaburnya pemahaman masyarakat terhadap


(32)

4. Belum siapnya masyarakat desa untuk berinteraksi dengan pihak pemerintah kelurahan (secara dinas), yang dirasa sangat berbeda dengan kondisi semula (ketika masih berstatus desa).Dimana kedekatan masyarakat desa dengan Kepala Desa semula lebih akrab, sedangkan terhadap Lurah mereka seperti berhadapan dengan seorang birokrat kabupaten.

B. Syarat-syarat dan tata cara pembentukan, penggabungan dan perubahan status desa menjadi kelurahan berdasarkan Peraturan Menteri Nomor 28 Tahun 2006.

Desa atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut Desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Pembentukan Desa adalah penggabungan beberapa desa, atau bagian desa yang bersandingan, atau pemekaran dari satu desa menjadi dua desa atau lebih, atau pembentukan desa di luar desa yang telah ada. Sedangkan Penghapusan Desa adalah tindakan meniadakan desa yang ada sebagai akibat tidak lagi memenuhi persyaratan. Pembentukan desa bertujuan untuk meningkatkan pelayanan publik guna mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat.

Dalam Pasal 9 disebutkan Desa dapat diubah atau disesuaikan statusnya menjadi Kelurahan berdasarkan prakarsa Pemerintah Desa bersama BPD dengan memperhatikan aspirasi masyarakat setempat, aspirasi masyarakat sebagaimana


(33)

66

dimaksud pada ayat (1) disetujui paling sedikit 2/3 (dua per tiga) penduduk Desa yang mempunyai hak pilih. Perubahan status Desa menjadi Kelurahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi syarat:

Syarat-syarat Pembentukan desa menjadi Kelurahan adalah sebagai berikut:

1. Faktor Penduduk

Faktor pertama yang menjadi persyaratan pembentukan kelurahan adalah faktor jumlah penduduk. Berdasarkan peraturan daerah tersebut ditetapkan bahwa untuk dapat diubah status desa menjadi kelurahan penduduk desa tersebut harus berjumlah minimal 3.000 jiwa atau 6.00

kepala keluarga (KK). Untuk wilayah Jawa dan Bali paling sedikit 1500 jiwa atau 300 KK, wilayah Sumatera dan Sulawesi paling sedikit 1000 jiwa atau 200 KK, wilayah Kalimantan, NTB, NTT, Maluku, Papua paling sedikit 750 jiwa atau 75 KK.

luas wilayah dapat dijangkau dalam meningkatkan pelayanan dan pembinaan masyarakat, wilayah kerja memiliki jaringan perhubungan atau komunikasi antar dusun, sosial budaya yang dapat menciptakan kerukunan antar umat beragama dan kehidupan bermasyarakat sesuai dengan adat istiadat setempat, potensi desa yang meliputi sumber daya alam dan sumber daya manusia, batas desa yang dinyatakan dalam bentuk peta desa yang ditetapkan dengan peraturan daerah dan sarana dan prasarana yaitu tersedianya potensi infrastruktur pemerintahan desa dan perhubungan.


(34)

2. Faktor Prasarana

Prasarana yang dimiliki oleh Kelurahan Deli Tua sudah cukup memadai untuk menunjang kehidupan masyarakatnya, hal ini dikarenakan di Kelurahan Deli Tua terdapat fasilitas-fasilitas umum, yakni tersedianya sarana kesehatan berupa puskesmas dan posyandu, sarana peribadatan seperti masjid dan mushola, sarana komunikasi berupa kantor pos, sarana pendidikan berupa taman pendidikan Alquran, taman kanak-kanak, sekolah dasar dan pesantren, sarana olahraga berupa lapangan tempat berolahraga. Keberadaan fasilitas umum tersebut dapat mendukung kegiatan-kegiatan mayarakat di Kelurahan Deli Tua.

3. Faktor Sosial Budaya

Jika ditinjau dari segi faktor sosial dan budaya, di Kelurahan Deli Tua memiliki berbagai keragaman. Keragaman ini dapat dilihat dari adanya berbagai suku yang terdapat di kelurahan ini dan hidup secara berdampingan. Kehidupan sosial yang berkembang di masyarakat KelurahanDeli Tua juga berjalan dengan baik, ditandai dengan tidak pernah terjadi konflik antar suku di dalam kehidupan bermasayarakat. Di Kelurahan Deli Tua juga masyarakatnya mengembangkan kegiatan-kegiatan yang bersifat sosial dan budaya, berupa pengembangan kelompok kesenian. Kelompok kesenian berupa pengembangan tari-tarian tradisional dan kesenian daerah lainnya.

Berlakunya peraturan daerah tersebut maka telah terjadi perubahan yang sangat mendasar pada satuan unit kerja terbawah yaitu kelurahan serta pada struktur organisasi dan tata kerja pemerintahan. Ditetapkannya status desa menjadi kelurahan maka kewenangan desa sebagai suatu kesatuan masyarakat


(35)

68

hukum yang berhak mengatur kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat-istiadat setempat telah berubah menjadi wilayah kerja lurah sebagai perangkat daerah kabupaten di bawah kecamatan. Kebijakan untuk merubah status desa menjadi kelurahan tersebut pasti akan menimbulkan dampak yang bersifat positif atau negatif, artinya dampak yang diharapkan dan dampak yang tidak diharapkan. Dampak yang terjadi dapat dinilai dengan membandingkan antara kondisi sebelum perubahan dan setelah perubahan status tersebut.

3. Faktor Kehidupan, Sosial Budaya, Mata Pencarian dan Karakter Masyarakat. Pada desa yang berada diwilayah kota secara bertahap telah menunjukan karakter perkotaan. Walaupun prosentase desa yang wilayahnya bersifat agraris cukup tinggi, namun kehidupan sosial budaya sudah bersifat majemuk, karena pada wilayah desa tersebut peruntukan lahan secara bertahap dan pasti berubah dari daerah pertanian menjadi daerah pemukiman dan industri.

Mata pencarian masyarakat desa tidak hanya terdiri dari petani atau buruh tani, tetapi sudah beraneka ragam, misalanya karyawan atau tenaga kerja/pegawai pabrik, jasa, pegawai kantor swasta atau kantor pemerintahan, pedagang dan secara bertahap pula fasilitas umum, fasilitas sosial budaya berkembangsejalan dengan perkembangan kegiatan industri, perdagangan dan perkembangan pemukiman.

Selanjutnya dengan pekembangan masyarakat yang lebih berciri perkotaan (tenaga kerja industri, perdangan, jasa, karyawan swasta atau pegawai negeri) akan menimbulkan tuntutan pelayanan yang lebih dinamis. Kebutuhan pelayanan oleh aparatur pemerintah akan lebih meningkat karena mobilitas masyarakat yang


(36)

semakin tinggi, misalnya kebutuhan akan layanan administrasi bidang perekonomian atau perdaganan dan industri, pariwisata serta lain-lain sebagainya. Hal tersebut sesuai denga pendapat Dukheim, bahwa perluasan kehidupan sosial, perkembangan kualitas dan kuantitas penduduk akan membawa perubahan dalam mekanisme dan bentuk organisasi masyarakat/pemerintahan yang melingkupinya.

Tatacara pengajuan dan penetapan perubahan status Desa menjadi Kelurahan diatur dalam Pasal 11 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 26 Tahun 2008, yakni sebagai berikut:

1. Adanya prakarsa dan kesepakatan masyarakat untuk merubah status Desa menjadi Kelurahan;

2. Masyarakat mengajukan usul perubahan status Desa menjadi Kelurahan kepada BPD dan Kepala Desa;

3. BPD mengadakan rapat bersama Kepala Desa untuk membahas usul masyarakat tentang perubahan status Desa menjadi Kelurahan, dan kesepakatan rapat dituangkan dalam Berita Acara Hasil Rapat BPD tentang Perubahan Status Desa Menjadi Kelurahan;

4. Kepala Desa mengajukan usul perubahan status Desa menjadi Kelurahan kepada Bupati/Walikota melalui Camat, disertai Berita Acara Hasil Rapat BPD;

5. Dengan memperhatikan dokumen usulan Kepala Desa, Bupati/Walikota menugaskan Tim Kabupaten/Kota bersama Tim Kecamatan untuk melakukan observasi ke Desa yang akan diubah statusnya menjadi Kelurahan, yang hasilnya menjadi bahan rekomendasi kepada Bupati /Walikota;


(37)

70

6. Bila rekomendasi Tim Observasi menyatakan layak untuk merubah status Desa menjadi Kelurahan, Bupati/Walikota menyiapkan Rancangan Peraturan Daerah tentang Perubahan Status Desa Menjadi Kelurahan;

7. Bupati/Walikota mengajukan Rancangan Peraturan Daerah tentang Perubahan Status Desa Menjadi Kelurahan kepada DPRD dalam forum rapat Paripurna DPRD;

8. DPRD bersama Bupati/Walikota melakukan pembahasan atas Rancangan Peraturan Daerah tentang Perubahan Status Desa Menjadi Kelurahan, dan bila diperlukan dapat mengikutsertakan Pemerintah Desa, BPD, dan unsur masyarakat desa;

9. Rancangan Peraturan Daerah tentang Perubahan Status Desa Menjadi Kelurahan yang telah disetujui bersama oleh DPRD dan Bupati/Walikota disampaikan oleh Pimpinan DPRD kepada Bupati/Walikota untuk ditetapkan menjadi Peraturan Daerah;

10. Penyampaian Rancangan Peraturan Daerah tentang Perubahan Status Desa Menjadi Kelurahan sebagaimana dimaksud pada huruf i, disampaikan oleh Pimpinan DPRD paling lambat 7 (tujuh) hari terhitung sejak tanggal persetujuan bersama;

11. Rancangan Peraturan Daerah tentang Perubahan Status Desa Menjadi Kelurahan sebagaimana dimaksud pada huruf j, ditetapkan oleh Bupati/Walikota paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak rancangan tersebut disetujui bersama; dan


(38)

12. Dalam hal sahnya Rancangan Peraturan Daerah tentang Perubahan Status Desa Menjadi Kelurahan yang telah ditetapkan oleh Bupati/Walikota sebagaimana domaksud pada huruf

13. Sekretaris Daerah mengundangkan Peraturan Daerah tersebut di dalam Lembaran Daerah.

C. Dampak Pembentukan/Perubahan Status Desa Menjadi Kelurahan Di Kelurahan Deli Tua

Adanya perubahan dari desa menjadi kelurahan menuntut adanya penyesuaian perangkat dari perangkat desa menjadi perangkat kelurahan karena dalam kedua sistem pemerintahan itu walaupun setara tetapi komponen-komponen yang ada dalam birokrasinya berbeda. Satu masalah yang dapat muncul dalam pemberian pelayanan kepada masyarakat adalah kurang mampunya perangkat kelurahan yang baru untuk melayani masyarakat dengan baik. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peroses perubahan desa menjadi kelurahan dan dampak perubahan status desa di Kecamatan Deli Tua. Dalam melaksanakan penelitian ini penulis menggunakan metode survey dan metode analisis deskriptif, dimana metode survey tersebut merupakan penelitian dengan mengambil sampel dari suatu populasi dan observasi dan wawancara sebagai teknik pengambilan datanya. Informasi dari sebagian populasi, dalam hal ini sampel responden dikumpulkan langsung ditempat kejadian secara sistematis dengan tujuan untuk mengetahui dan meramalkan beberapa aspek tingkah laku dari populasi yang bersangkutan. Berdasarkan hasil penelitian diatas dapat


(39)

72

disimpulkan bahwa efesiensi waktu, efesiensi biaya, keterbukaan aparat, dan kondisi keamanan,kenyamanan pelayanan yang dilakukan aparat kelurahan Deli Tua telah dilakukan dengan baik. Walaupun masih banyak pelayanan yang belum dilaksanakan secara optimal. Sebaiknya untuk meningkatkan pelayanan di kelurahan Deli Tua, Lurah dan Masyarakat harus bekerja sama didalam: didalam menetapkan biaya administrasi maupun upah petugas didalam pengurusan surat-menyurat di Kelurahan, sebaiknya biaya disesuaikan dengan kemampuan masyarakat pada umumnya, agar masyarakat secara keseluruhan dapat menikmati pelayanan secara merata, mengajukan sarana dan prasarana kelurahan Deli Tua, baik gedung Kantor kelurahan, Puskesmas jalan sekolahan maupun prasarana lainnya, sehingga didengar oleh pemerintah dan pelayanan terhadap masyarakat dapat diberikan sebaik mungkin.

Masalah pelayanan publik yang menggejala dan terjadi di Indonesia adalah masalah krisis kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah sebagai birokrasi publik. Gejala ini mulai nampak sejak jatuhnya pemerintahan orde baru, yang kemudian diikuti dengan semakin rendahnya kepercayaan masyarakat terhadap birokrasi publik. Krisis kepercayaan masyarakat terhadap birokrasi publik ini ditandai dengan mengalirnya protes dan demonstrasi yang dilakukan oleh berbagai komponen masyarakat terhadap birokrasi publik, baik di tingkat pusat ataupun daerah.

Pendudukan kantor-kantor pemerintah, rumah dinas bupati dan kepala desa, dan perusakan berbagai fasilitas publik menjadi fenomena yang sering ditemui di berbagai daerah. Ini menunjukkan betapa besarnya akumulasi


(40)

kekecewaan masyarakat terhadap birokrasi publik. Karenanya, ketika pintu protes itu terbuka, maka mengalirlah semua bentuk keluhan, kecaman, bahkan hujatan terhadap birokrasi publik. Krisis kepercayaan terhadap birokrasi publik tersebut bisa dipahami mengingat birokrasi publik pada masa itu menjadi instrumen yang efektif bagi penguasa orde baru untuk mempertahankan kekuasaannya.

Birokrasi publik, baik sipil maupun militer, dalam rezim orde baru telah menempatkan dirinya lebih sebagai alat penguasa daripada pelayan masyarakatnya. Kepentingan penguasa cenderung menjadi sentral dari kehidupan dan perilaku birokrasi publik. Hal ini juga tercermin dalam proses kebijakan publik yang lebih mementingkan kepentingan penguasa dan seringkali menggusur kepentingan masyarakat banyak manakala keduanya tidak berjalan bersama-sama. Kesempatan dan ruang yang dimiliki oleh masyarakat untuk berpartisipasi dalam proses kebijakan publik juga amat terbatas. Akibatnya banyak kebijakan publik dan program-program pemerintah yang tidak responsif dan mengalami kegagalan karena tidak memperoleh dukungan dari masyar Peningkatan kualitas pelayanan ini antara lain dilakukan dengan melakukan perubahan status desa menjadi kelurahan sesuai dengan tuntutan Pasal 126 ayat (2) UU No. 22 Th. 1999 jo. UU No. 32 Th. 2004. Berdasarkan ketentuan tersebut maka desa-desa yang ada di wilayah kota dan kota administratif berdasarkan UU No. 5 Th. 1974 ditetapkan sebagai kelurahan. Hal ini berarti bahwa di daerah kota tidak ada lagi desa, yang ada hanya kelurahan. Dengan demikian desa-desa yang berada di daerah kota harus diubah statusnya menjadi kelurahan.


(41)

74

Menurut Pasal 1 huruf a UU No. 5 Tahun 1979 desa adalah suatu wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk sebagai kesatuan masyarakat termasuk di dalamnya kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai organisasi pemerintahan terendah langsung dibawah Camat dan berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia; sedangkan menurut Pasal 1 huruf b kelurahan adalah suatu wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk yang mempunyai organisasi pemerintahan terendah langsung di bawah Camat, yang tidak berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri.

Perubahan ini merupakan bentuk dari peningkatan status yang diharapkan akan mampu meningkatkan kualitas layanan kepada masyarakat perkotaan. Dengan ditetapkan status Desa menjadi Kelurahan kewenangan Desa sebagai suatu kesatuan masyarakat hukum yang berhak mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat-istiadat setempat berubah menjadi wilayah kerja Lurah sebagai Perangkat Daerah Kabupaten di bawah Kecamatan.

Dilihat dari latar belakang diubahnya bentuk pemerintahan desa menjadi kelurahan bukan disebabkan karena adanya kebutuhan, tetapi karena tuntutan perundang-undangan (Conditio Sine Qua Non/syarat mutlak sesuai dengan tuntutan perundang-undangan), maka mau tidak mau, siap tidak siap, semua pemerintahan desa yang berada di wilayah kota harus berubah menjadi kelurahan.Menindaklanjuti isi dari pasal tersebut, telah ditetapkan Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 65 Tahun 1999 tentang Pedoman Umum mengenai Pembentukan Kelurahan. Kepmendagri tersebut merupakan pedoman bagi daerah


(42)

kabupaten dan kota serta DPRD dalam menetapkan peraturan daerah kabupaten dan kota mengenai pembentukan kelurahan. Pembentukan kelurahan diartikan sebagai pembentukan kelurahan baru sebagai akibat pemecahan, penggabungan dan atau perubahan status desa menjadi kelurahan.

Perubahan status desa menjadi kelurahan sebagaimana ditegaskan dalam Kepmendagri No. 65 Tahun 1999, adalah merupakan kebijakan atau upaya yang ditempuh pemerintah dalam rangka membentuk kelurahan baru dengan tujuan tercapainya efektivitas dan efisiensi pelayanan kepada masyarakat.

Sebagaimana dipahami bahwa esensi pemerintahan adalah pelayanan kepada masyarakat oleh karena itu pemerintah tidak diadakan untuk dirinya sendiri tetapi untuk melayani masyarakat serta menciptakan kondisi yang memungkinkan setiap anggota masyarakat mengembangkan kemampuan dan kreativitasnya demi mencapai tujuan bersama.Pemerintah sebagai pelayan masyarakat (public service) sudah seharusnya memberikan pelayanan yang berkualitas kepada masyarakat. Pelayanan yang berkualitas selain bermanfaat bagi masyarakat juga bermanfaat terhadap citra aparat pemerintah itu sendiri.

Fungsi pelayanan dari Desa dan Kelurahan adalah memberikan pelayanan kepada masyarakat untuk mensejahterakan masyarakat. Pelayanan publik adalah pelayanan yang di berikan oleh pemerintah kepada publik, yaitu sejumlah orang yang mempunyai kebersamaan berfikir, perasaan, harapan, sikap, dan tindakan yang benar dan baik berdasarkan nilai-nilai dan norma yang mereka miliki. Dalam konteks pemerintahan Desa, publik disini maksudnya adalah jumlah penduduk atau rakyat yang tinggal dalam wilayah/Desa yang mempunyai pikiran, perasaan,


(43)

76

dan kepentingan yang sama terhadap keberadaan pemerintah Desa berdasarkan nilai-nilai yang mereka pegang.

BPD adalah badan permusyawaratan Desa yang dimana perannya sangat menentukan dalam penyelenggaraan pemrintahan Desa. BPD dalam hal ini anggota BPD berasal dari masyarakat Desa mulai dari tokoh agama, tokoh masyarakat dan masyarakat sedangkan dalam pemerintahan Kelurahan peran BPD dihapuskan dan tidak adanya peran masyarakat dalam pembangunan daerahnya sendiri melainkan pemerintah Kelurahan sendiri yang menetukan dalam ajuan anggaran dalam pembangunan Kelurahan.

Oleh karena itu masyarakat masih belum merasakan dampak dari terbentuknya Kelurahan di Kelurahan Deli Tua yang dimana dalam perubahan setatus Desa menjadi Kelurahan dan pemekaran Kelurahan yang di utamakan tersebut adalah:

1. Untuk meningkatkan kegiatan penyelenggaran pemerintah secara daya guna, berhasil guna dan meningkatkan pelayanan terhadap masyarakat kota sesuai dengan tingkat perkembangan pembangunan

2. Kelurahan dibentuk dengan keputusan gubernur kepala daerah tingkat 1 berdasarkan usul bupati/walikota kepala daerah tingkat ii setelah mendapt persetujuan dari menteri dalam negeri

3. Usul bupati/walikota kepala daerah tingkat II di sampaikan ke gubernur kepala daerah tingkat I setelah mendengar pertimbangan pimpinan dewan perwakilan rakyat daerah tingkat II


(44)

4. Kelurahan dapat di bentuk di ibukota Negara, ibukota provinsi, ibukota kabupaten, kotamadya, kota administratif dan kota-kota lainnya.


(45)

78

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Adapun kesimpulan dari penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut :

1. Peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang peralihan desa menjadi

kelurahan diantaranya yaitu Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 28 Tahun

2006, Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014, Undang-undang Nomor 32 Tahun

2004 dan undang-undang nomor 73 tahun 2005. Semua peraturan tersebut

sama-sama mengatur tentang peralihan status desa menjadi kelurahan. Peralihan desa

menjadi kelurahan harus mempunyai syarat-syarat yaitu batas usia desa induk

paling sedikit 5 (lima) tahun terhitung sejak pembentukan, jumlah penduduk,

wilayah kerja yang memiliki akses transportasi antarwilayah, sosial budaya yang

dapat menciptakan kerukunan hidup bermasyarakat sesuai dengan adat istiadat

Desa, memiliki potensi yang meliputi sumber daya alam, sumber daya manusia,

dan sumber daya ekonomi pendukung, batas wilayah Desa yang dinyatakan dalam

bentuk peta Desa yang telah ditetapkan dalam peraturan Bupati/Walikota, sarana

dan prasarana bagi Pemerintahan Desa dan pelayanan publik dan tersedianya dana

operasional, penghasilan tetap, dan tunjangan lainnya bagi perangkat Pemerintah

Desa sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


(46)

2.

Dalam proses perubahan status desa menjadi kelurahan ada beberapa tahapan

yang dilakukan dalam proses perubahan status desa di deli tua menjadi kelurahan

deli tua yaitu adanya prakarsa dan kesepakatan masyarakat untuk merubah status

Desa menjadi Kelurahan, Masyarakat mengajukan usul perubahan status Desa

menjadi Kelurahan kepada BPD dan Kepala Desa, BPD mengadakan rapat

bersama Kepala Desa untuk membahas usul masyarakat tentang perubahan status

Desa menjadi Kelurahan, dan kesepakatan rapat dituangkan dalam Berita Acara

Hasil Rapat BPD tentang Perubahan Status Desa Menjadi Kelurahan, Kepala

Desa mengajukan usul perubahan status Desa menjadi Kelurahan kepada

Bupati/Walikota melalui Camat, disertai Berita Acara Hasil Rapat BPD, Dengan

memperhatikan dokumen usulan Kepala Desa, Bupati/Walikota menugaskan Tim

Kabupaten/Kota bersama Tim Kecamatan untuk melakukan observasi ke Desa

yang akan diubah statusnya menjadi Kelurahan, yang hasilnya menjadi bahan

rekomendasi kepada Bupati /Walikota, Bila rekomendasi Tim Observasi

menyatakan layak untuk merubah status Desa menjadi Kelurahan,

Bupati/Walikota menyiapkan Rancangan Peraturan Daerah tentang Perubahan

Status Desa Menjadi Kelurahan, Bupati/Walikota mengajukan Rancangan

Peraturan Daerah tentang Perubahan Status Desa Menjadi Kelurahan kepada

DPRD dalam forum rapat Paripurna DPRD, DPRD bersama Bupati/Walikota

melakukan pembahasan atas Rancangan Peraturan Daerah tentang Perubahan

Status Desa Menjadi Kelurahan, dan bila diperlukan dapat mengikutsertakan

Pemerintah Desa, BPD, dan unsur masyarakat desa, Rancangan Peraturan Daerah


(47)

80

tentang Perubahan Status Desa Menjadi Kelurahan yang telah disetujui bersama

oleh DPRD dan Bupati/Walikota disampaikan oleh Pimpinan DPRD kepada

Bupati/Walikota untuk ditetapkan menjadi Peraturan Daerah, Penyampaian

Rancangan Peraturan Daerah tentang Perubahan Status Desa Menjadi Kelurahan

sebagaimana dimaksud pada huruf i, disampaikan oleh Pimpinan DPRD paling

lambat 7 (tujuh) hari terhitung sejak tanggal persetujuan bersama, Rancangan

Peraturan Daerah tentang Perubahan Status Desa Menjadi Kelurahan

sebagaimana dimaksud pada huruf j, ditetapkan oleh Bupati/Walikota paling

lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak rancangan tersebut disetujui bersama;

dan, Dalam hal sahnya Rancangan Peraturan Daerah tentang Perubahan Status

Desa Menjadi Kelurahan yang telah ditetapkan oleh Bupati/Walikota

sebagaimana dimaksud pada huruf k , Sekretaris Daerah mengundangkan

Peraturan Daerah tersebut di dalam Lembaran Daerah.

3.

Dalam hal desa berubah menjadi kelurahan yakni yang terjadi di daerah deli tua

harus mempunyai syarat-syarat sesuai yang diatur dalam Peraturan Menteri

Dalam Negeri Nomor 28 Tahun 2006. Dalam Pasal 9 disebutkan desa dapat

diubah atau disesuaikan statusnya menjadi kelurahan berdasarkan prakarsa

pemerintah desa bersama BPD dengan memperhatikan aspirasi masyarakat

setempat, aspirasi masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disetujui

paling sedikit 2/3(dua pertiga) penduduk desa yang mempunyai hak pilih.

Perubahan status desa menjadi kelurahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)


(48)

harus memenuhi syarat-syarat sesuai yang diatur dalam peraturan

perundang-undangan .

B. Saran

Adapun saran yang diperoleh dari penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:

1. Bagi Pemerintah Kelurahan Deli Tua, diharapkan dapat memberikan pemahaman

kepada unsur pemerintah desa tentang makna, hakekat, dan tujuan dari perubahan

status desa menjadi kelurahan sebagaimana yang dituangkan dalam pasal 126 ayat

2 Undang-undang Nomor 22 tahun1999 serta Peraturan Pemerintah Nomor 23

Tahun 2014 baik melalui sosialisasi maupun pengarahan atau melakukan

pembahasan bersama untuk memperjelas mengenai sistem mekanisme perubahan

status desa menjadi kelurahan tersebut.

2. Bagi masyarakat di Kelurahan Deli Tua, agar dapat memahami perubahan status

tersebut dan dapat mendukung peningkatan status tersebut sehingga proses transisi

dapat berjalan dengan lancar yang sesuai dengan Peraturan Perundangan dan

Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2014.

3. Pemerintah Kota dan Pemerintahn Desa perlu merencanakan langkah-langkah

dalam mensosialisasikan untung rugi alih status desa menjadi kelurahan, sehingga

terjadi persamaan persepsi antar masyarakat dan pemerintah. Selain itu, perlu

pemahaman yang sama dari pihak pemerintah terkait dengan tujuan alih status desa

menjadi kelurahan berdasarkan peraturan perundangan Nomor 6 Tahun 2014 dan

Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2014 yang berlaku.


(49)

19

BAB II

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN YANG MENGATUR PERALIHAN STATUS DESA MENJADI KELURAHAN

A. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa

Dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 disebutkan pengertian desa adalah, kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Dalam Pasal 4 Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 desa bertujuan yaitu sebagai berikut:

1. memberikan pengakuan dan penghormatan atas desa yang sudah ada dengan keberagamannya sebelum dan sesudah terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia.

2. memberikan kejelasan status dan kepastian hukum atas Desa dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia demi mewujudkan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia.

3. melestarikan dan memajukan adat, tradisi, dan budaya masyarakat Desa; 4. mendorong prakarsa, gerakan, dan partisipasi masyarakat Desa untuk


(50)

5. membentuk Pemerintahan Desa yang profesional, efisien dan efektif, terbuka, serta bertanggung jawab;

6. meningkatkan pelayanan publik bagi warga masyarakat Desa guna mempercepat perwujudan kesejahteraan umum;

7. meningkatkan ketahanan sosial budaya masyarakat Desa guna mewujudkan masyarakat Desa yang mampu memelihara kesatuan sosial sebagai bagian dari ketahanan nasional;

8. memajukan perekonomian masyarakat Desa serta mengatasi kesenjangan pembangunan nasional; dan

9. memperkuat masyarakat Desa sebagai subjek pembangunan.

Pembentukan Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (4) huruf a merupakan tindakan mengadakan Desa baru di luar Desa yang ada. Pembentukan Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota dengan mempertimbangkan prakarsa masyarakat Desa, asal usul, adat istiadat, kondisi sosial budaya masyarakat Desa, serta kemampuan dan potensi Desa. Pembentukan Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi syarat:

1. batas usia Desa induk paling sedikit 5 (lima) tahun terhitung sejak pembentukan;

2. jumlah penduduk, yaitu:

a. wilayah Jawa paling sedikit 6.000 (enam ribu) jiwa atau 1.200 (seribu dua ratus) kepala keluarga;


(51)

21

b. wilayah Bali paling sedikit 5.000 (lima ribu) jiwa atau 1.000 (seribu) kepala keluarga;

c. wilayah Sumatera paling sedikit 4.000 (empat ribu) jiwa atau 800 (delapan ratus) kepala keluarga;

d. wilayah Sulawesi Selatan dan Sulawesi Utara paling sedikit 3.000 (tiga ribu) jiwa atau 600 (enam ratus) kepala keluarga;

e. wilayah Nusa Tenggara Barat paling sedikit 2.500 (dua ribu lima ratus) jiwa atau 500 (lima ratus) kepala keluarga;

f. wilayah Sulawesi Tengah, Sulawesi Barat, Sulawesi Tenggara, Gorontalo, dan Kalimantan Selatan paling sedikit 2.000 (dua ribu) jiwa atau 400 (empat ratus) kepala keluarga;

g. wilayah Kalimantan Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Utara paling sedikit 1.500 (seribu lima ratus) jiwa atau 300 (tiga ratus) kepala keluarga;

h. wilayah Nusa Tenggara Timur, Maluku, dan Maluku Utara paling sedikit 1.000 (seribu) jiwa atau 200 (dua ratus) kepala keluarga; dan i. wilayah Papua dan Papua Barat paling sedikit 500 (lima ratus) jiwa

atau 100 (seratus) kepala keluarga.

3. wilayah kerja yang memiliki akses transportasi antarwilayah;

4. sosial budaya yang dapat menciptakan kerukunan hidup bermasyarakat sesuai dengan adat istiadat Desa;

5. memiliki potensi yang meliputi sumber daya alam, sumber daya manusia, dan sumber daya ekonomi pendukung;


(52)

6. batas wilayah Desa yang dinyatakan dalam bentuk peta Desa yang telah ditetapkan dalam peraturan Bupati/ Walikota;

7 sarana dan prasarana bagi Pemerintahan Desa dan pelayanan publik; dan 8 tersedianya dana operasional, penghasilan tetap, dan tunjangan lainnya bagi

perangkat Pemerintah Desa sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Dua Desa atau lebih yang berbatasan dapat digabung menjadi Desa baru berdasarkan kesepakatan Desa yang bersangkutan dengan memperhatikan persyaratan yang ditentukan dalam Undang-Undang ini.

Dalam Pasal 11 disebutkan Desa dapat berubah status menjadi kelurahan berdasarkan prakarsa Pemerintah Desa dan Badan Permusyawaratan Desa melalui Musyawarah Desa dengan memperhatikan saran dan pendapat masyarakat Desa. Seluruh barang milik Desa dan sumber pendapatan Desa yang berubah menjadi kelurahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi kekayaan/aset Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota yang digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat di kelurahan tersebut dan pendanaan kelurahan dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten/Kota.

Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dapat mengubah status kelurahan menjadi Desa berdasarkan prakarsa masyarakat dan memenuhi persyaratan yang ditentukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Kelurahan yang berubah status menjadi Desa, sarana dan prasarana menjadi milik Desa dan dikelola oleh Desa yang bersangkutan untuk kepentingan masyarakat Desa.


(53)

23

Pendanaan perubahan status kelurahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten/Kota.

Pembentukan, penghapusan, penggabungan, dan/atau perubahan status Desa menjadi kelurahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, dan Pasal 11 atau kelurahan menjadi Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ditetapkan dalam Peraturan Daerah.

Rancangan Peraturan Daerah tentang pembentukan, penghapusan, penggabungan, dan/atau perubahan status Desa menjadi kelurahan atau kelurahan menjadi Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 yang telah mendapatkan persetujuan bersama Bupati/Walikota dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah diajukan kepada Gubernur. Gubernur melakukan evaluasi Rancangan Peraturan Daerah tentang pembentukan, penghapusan, penggabungan, dan/atau perubahan status Desa menjadi kelurahan atau kelurahan menjadi Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan urgensi, kepentingan nasional, kepentingan daerah, kepentingan masyarakat Desa, dan/atau peraturan perundang-undangan.

Gubernur menyatakan persetujuan terhadap Rancangan Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 paling lama 20 (dua puluh) hari setelah menerima Rancangan Peraturan Daerah. Dalam hal Gubernur memberikan persetujuan atas Rancangan Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota melakukan penyempurnaan dan penetapan menjadi Peraturan Daerah paling lama 20 (dua puluh) hari. Dalam hal Gubernur menolak memberikan persetujuan terhadap Rancangan Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Rancangan Peraturan Daerah


(54)

tersebut tidak dapat disahkan dan tidak dapat diajukan kembali dalam waktu 5 (lima) tahun setelah penolakan oleh Gubernur.

Dalam hal Gubernur tidak memberikan persetujuan atau tidak memberikan penolakan terhadap Rancangan Peraturan Daerah yang dimaksud dalam Pasal 15 dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bupati/Walikota dapat mengesahkan Rancangan Peraturan Daerah tersebut serta sekretaris daerah mengundangkannya dalam Lembaran Daerah. Dalam hal Bupati/Walikota tidak menetapkan Rancangan Peraturan Daerah yang telah disetujui oleh Gubernur, Rancangan Peraturan Daerah tersebut dalam jangka waktu 20 (dua puluh) hari setelah tanggal persetujuan Gubernur dinyatakan berlaku dengan sendirinya.

Peraturan Daerah Kabupaten/Kota tentang pembentukan, penghapusan, penggabungan, dan perubahan status Desa menjadi kelurahan atau kelurahan menjadi Desa diundangkan setelah mendapat nomor registrasi dari Gubernur dan kode Desa dari Menteri. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disertai lampiran peta batas wilayah Desa.

B. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 28 Tahun 2006

Desa atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut Desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kelurahan adalah wilayah kerja lurah sebagai perangkat kabupaten/kota dalam wilayah kerja


(55)

25

Kecamatan.Pembentukan desa bertujuan untuk meningkatkan pelayanan publik guna mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat.

Dalam Pasal 3 disebutkan Syarat-syarat Pembentukan desa yaitu sebagai berikut:

1. jumlah penduduk, yaitu:

a. wilayah Jawa dan Bali paling sedikit 1500 jiwa atau 300 KK;

b. wilayah Sumatera dan Sulawesi paling sedikit 1000 jiwa atau 200 KK; dan

c. wilayah Kalimantan, NTB, NTT, Maluku, Papua paling sedikit 750 jiwa atau 75 KK.

2. luas wilayah dapat dijangkau dalam meningkatkan pelayanan dan pembinaan masyarakat;

3. wilayah kerja memiliki jaringan perhubungan atau komunikasi antar dusun; 4 sosial budaya yang dapat menciptakan kerukunan antar umat beragama dan

kehidupan bermasyarakat sesuai dengan adat istiadat setempat;

5 potensi desa yang meliputi sumber daya alam dan sumber daya manusia; 6 batas desa yang dinyatakan dalam bentuk peta desa yang ditetapkan dengan

peraturan daerah; dan

7 sarana dan prasarana yaitu tersedianya potensi infrastruktur pemerintahan desa dan perhubungan.


(1)

10. Seluruh Pegawai Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan pelayanan administrasi terbaik selama proses akademik penulis.

11. Seluruh Staf Pengajar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan wawasan keilmuan kepada penulis.

12. Orang tua tercinta, tersayang dan terkasih, Drs. Munar Tanjung dan Aminah Rangkuti,S.pd. Terima kasih atas cinta, kasih, dan doa, perhatian, nasihat, dan bantuan yang sangat berarti dan tak terhingga nilainya, serta dukungan baik moril maupun materil yang tidak pernah habis. Mudah-mudahan skripsi ini sebagai awal kesempatan untuk membahagiakan dan membalas atas pengabdian dan dedikasi orang tua selama ini.

13. Abangda tercinta Ahmad Rozi Tanjung, S.T dan adik-adik ku yang tersayang Ahmad Parabi Tanjung, Firza Akira Tanjung yang telah memberikan nasihat, saran dan motivasi dalam penyelesaian skripsi ini. 14. Emila Septy Melinda Nasution,S.H , Indah Maria Yosephin Sinaga, Tjahja

Widjaja,S.H , Putri Rahmadani, Firdayanti, Desi Rahayu Nasution , Namira Nazlah, Angela Diana Purba, Meylda Intan Rezky Sinaga, Chrissya Josepha Tarigan,S.H , Tri Yossyana Sembiring,S.H yang merupakan teman-teman stambuk 2012 dan sekaligus sahabat terdekat penulis yang telah memberikan banyak dukungan, bantuan dan motivasi selama penulis mengikuti perkuliahan di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.


(2)

15. Arnie Putri Rachmadhani, yang merupakan sahabat dari SMP yang banyak memberikan saran dan motivasi kepada penulis.

16. Mira Fitriyanti yang merupakan sahabat dari SMA yang telah memberikan dukungan yang sangat memotivasi penulis.

17. Fitri Handayani selaku sahabat sejak TK banyak memberikan dukungan serta motivasi kepada penulis.

18. Tjahja Widjaja,S.H , Emila Septy Melinda Nasution,S.H , Desi Rahayu Nasution, Echo Sinana Law, Swandhana Pradipta, Tommy Aditya Sinulingga,S.H, Jessica Rulina Sinaga, S.H. yang merupakan kelompok klinis penulis, mereka semua telah meluangkan waktu, tenaga, dan pikiran dalam menyelesaikan Pendidikan Klinis Hukum PTUN.

19. Emila Septy Melinda Nasution,S.H , Tjahja Widjaja,S.H , Putri Rahmadani , Firdayanti , Desi Rahayu Nasution, Echo Sinana Law, Swandhana Pradipta, Tommy Aditya Sinulingga,S.H yang merupakan kelompok klinis penulis, mereka semua telah meluangkan waktu, tenaga, dan pikiran dalam menyelesaikan Pendidikan Klinis Hukum Perdata. 20. Chrissya Josepha Tarigan,S.H , Indah Maria Yosephin Sinaga, Angela

Diana Purba, Arini Sulastiwi, Melisa Sitohang, Putri Khairani, Heru Sinaga, Andri Pindota, Andri Agasy yang merupakan kelompok klinis penulis, mereka semua telah meluangkan waktu, tenaga, dan pikiran dalam menyelesaikan Pendidikan Klinis Hukum Pidana.


(3)

21. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, yang telah memberikan dorongan dan bantuan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

Akhir kata, penulis memohon maaf kepada para Dosen Pembimbing dan Dosen Penguji atas sikap dan kata yang tidak berkenan selama penulisan skripsi ini, sembari mengucapkan puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas Rahmat dan Karunia-Nya, penulis berharap tulisan ini dapat bermanfaat bagi ilmu pengetahuan.

Medan, 29 Maret 2016 Penulis,

Fadillah Rahmi Tanjung Nim : 1202000396


(4)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... vii

ABSTRAK ... ix

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang... 1

B. Rumusan Masalah ... 5

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ... 5

D. Keaslian Penulisan ... 6

E. Tinjauan Pustaka... 7

F. Metode Penelitian ... 14

G. Sistematika Penulisan... 16

BAB II PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN YANG MENGATUR PERALIHAN DESA MENJADI KELURAHAN ... 19

A. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa .... 19

B. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 28 Tahun 2006 Tentang Perubahan Status Desa menjadi Kelurahan ... 24

C. Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 Tentang Desa ... 31


(5)

Tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang

Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa ... 33

BAB III PROSES PERUBAHAN STATUS DESA MENJADI KELURAHAN …... 37

A. Pengertian Desa dan Ruang Lingkup Desa ... 37

B. Susunan Organisasi dan Tata Kerja Pemerintah Desa dan Perangkat Desa ... 40

C. Pembentukan, Pemecahan, Penyatuan dan Penghapusan Kelurahan ... 48

BAB IV PERUBAHAN STATUS DESA MEJADI KELURAHAN (STUDI KASUS KELURAHAN DELI TUA) ... 60

A. Bagaimana Proses Alih Status Hukum Desa Deli Tua Menjadi Kelurahan Deli Tua ... 60

B. Syarat-syarat dan tata cara Pembentukan, Penggabungan, Perubahan Desa Menjadi Kelurahan ... 65

C. Dampak Pembentukan/Perubahan Status Desa Menjadi Kelurahan Di Wilayah Kabuapten Deli Serdang ... 71

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 78

A. Kesimpulan ... 78

B. Saran ... 80

DAFTAR PUSTAKA ... 81


(6)

ABSTRAK

KAJIAN YURIDIS TERHADAP PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 28 TAHUN 2006 TENTANG PERUBAHAN STATUS

DESA MENJADI KELURAHAN (STUDI KASUS KELURAHAN DELI TUA)

Fadillah Rahmi Tanjung* Jusmadi Sikumbang**

Surianingsih***

Dilihat dari latar belakang diubahnya bentuk pemerintahan desa menjadi kelurahan bukan disebabkan karena adanya kebutuhan, tetapi karena tuntutan perundang-undangan (Conditio Sine Qua Non/syarat mutlak sesuai dengan tuntutan perundang-undangan), maka mau tidak mau, siap tidak siap, semua pemerintahan desa yang berada di wilayah kota harus berubah menjadi kelurahan. Perubahan yang terjadi menuju pada perbaikan tata pemerintahan perlu mendapat dukungan baik dari pemerintah pusat maupun daerah guna meningkatkan pelayanan dalam rangka pelaksanaan amanat perundang-undangan. Hal tersebut memunculkan berbagai permasalahan seperti bagaimana peraturan perundang-undangan mengatur peralihan desa mejadi kelurahan, bagaimana proses perubahan status desa menjadi kelurahan, bagaimana status desa deli tua mejadi kelurahan deli tua.

Metode pendekatan yang digunakan adalah metode pendekatan perundang-undangan dengan menggunakan bahan hukum primer dan sekunder. Jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah penelitian hukum normatif dan bersifat deskriptif. Data-data yang diperlukan dikumpulkan dengan cara penelitian kepustakaan dan kemudian dianalisis dengan metode analisis kualitatif sehingga menghasilkan data yang bersifat deskriptif.

Perubahan status desa menjadi kelurahan merupakan kebijakan pemerintah untuk lebih dapat memberikan pelayanan kepada masyarakat. Pengoptimalisasian pelayanan merupakan salah satu tujuan dari perubahan status desa menjadi kelurahan, dengan pengangkatan PNS, diharapkan aparat memiliki kualitas yang baik. Seperti halnya potensi desa yang diambil olih oleh pemerintah kota, hal ini dilakukan karena dengan diolah oleh pemerintah kota potensi ini dapat lebih dioptimalkan lebih baik.

Kata Kunci : kajian yuridis, peraturan menteri dalam negeri, desa menjadi kelurahan

*


Dokumen yang terkait

IMPLEMENTASI PERSYARATAN PERUBAHAN DARI STATUS DESA MENJADI KELURAHAN Implementasi Persyaratan Perubahan Dari Status Desa Menjadi Kelurahan (Studi Kasus di Kelurahan Mojosongo, Kecamatan Mojosongo, Kabupaten Boyolali Berdasarkan Peraturan Menteri dalam N

0 2 15

PENDAHULUAN Implementasi Persyaratan Perubahan Dari Status Desa Menjadi Kelurahan (Studi Kasus di Kelurahan Mojosongo, Kecamatan Mojosongo, Kabupaten Boyolali Berdasarkan Peraturan Menteri dalam Negeri Nomor 28 Tahun 2006).

0 3 10

IMPLEMENTASI PERSYARATAN PERUBAHAN DARI STATUS DESA MENJADI KELURAHAN Implementasi Persyaratan Perubahan Dari Status Desa Menjadi Kelurahan (Studi Kasus di Kelurahan Mojosongo, Kecamatan Mojosongo, Kabupaten Boyolali Berdasarkan Peraturan Menteri dalam N

0 1 15

Perda Kabupaten OKU Nomor 23 Tahun 2006 tentang Perubahan Status 7 Desa menjadi Kelurahan Dalam K

0 0 18

Kajian Yuridis Terhadap Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 28 Tahun 2006 Tentang Perubahan Status Desa Menjadi Kelurahan (Studi Kasus Kelurahan Deli Tua)

0 0 11

Kajian Yuridis Terhadap Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 28 Tahun 2006 Tentang Perubahan Status Desa Menjadi Kelurahan (Studi Kasus Kelurahan Deli Tua)

0 0 1

Kajian Yuridis Terhadap Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 28 Tahun 2006 Tentang Perubahan Status Desa Menjadi Kelurahan (Studi Kasus Kelurahan Deli Tua)

0 0 18

Kajian Yuridis Terhadap Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 28 Tahun 2006 Tentang Perubahan Status Desa Menjadi Kelurahan (Studi Kasus Kelurahan Deli Tua)

0 0 18

Kajian Yuridis Terhadap Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 28 Tahun 2006 Tentang Perubahan Status Desa Menjadi Kelurahan (Studi Kasus Kelurahan Deli Tua)

0 0 2

Kajian Yuridis Terhadap Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 28 Tahun 2006 Tentang Perubahan Status Desa Menjadi Kelurahan (Studi Kasus Kelurahan Deli Tua)

0 0 1