Optimasi Waktu Perendaman dan Pemanasan Berulang Larutan Gula pada Pembuatan Manisan Semi Basah Pepaya (Carica papaya L.)

(1)

OPTIMASI WAKT LARUTAN GU

FA

SKRIPSI

KTU PERENDAMAN DAN PEMANASAN ULA PADA PEMBUATAN MANISAN SEM

PEPAYA (Carica papaya L.)

Oleh

LARAS ARYANDINI F24063017

2010

AKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

N BERULANG EMI BASAH


(2)

OPTIMASI WAKTU PERENDAMAN DAN PEMANASAN BERULANG LARUTAN GULA PADA PEMBUATAN MANISAN SEMI BASAH

PEPAYA (Carica papaya L.)

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar

SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN

Pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian

Institut Pertanian Bogor

Oleh:

LARAS ARYANDINI F24063017

2010

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(3)

Judul skripsi : Optimasi Waktu Perendaman dan Pemanasan Berulang Larutan Gula pada Pembuatan Manisan Semi Basah Pepaya (Carica papaya L.)

Nama : Laras Aryandini

NIM : F24063017

Menyetujui: Dosen Pembimbing,

Dr. Ir. Slamet Budijanto, M.Agr NIP:19610502.198603.1.002

Mengetahui: Ketua Departemen,

Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc NIP: 19650814.199002.1.001


(4)

Laras Aryandini. F24063017. Optimasi Waktu Perendaman dan Pemanasan Berulang Larutan Gula pada Pembuatan Manisan Semi Basah Pepaya (Carica papaya L.)

RINGKASAN

Pepaya merupakan salah satu komoditas hortikultura yang mudah rusak sehingga penanganan pasca panen menjadi hal penting dalam peningkatan pro-duksi.Salah satu teknologi pengolahan yang bisa dikembangkan untuk memper-panjang umur simpan buah pepaya adalah mengolah pepaya menjadi manisan semi basah pepaya. Pepaya dapat menjadi bahan baku potensial pembuatan ma-nisan karena Indonesia menempati urutan kelima sebagai penghasil pepaya ter-besar di dunia (FAO 2010) pada tahun 2007 dengan tingkat produksi seter-besar 621 juta ton/tahun. Lama perendaman dalam larutan gula sangat memengaruhi mutu akhir manisan semi basah pepaya. Apabila lama perendaman terlalu singkat, laju pengeringan osmotik belum optimal sehingga mutu akhir manisan yang diharap-kan tidak terpenuhi, sedangdiharap-kan apabila waktu perendaman terlalu lama adiharap-kan menyebabkan inefisiensi energi dan menyebabkan semakin besar peluang terkon-taminasinya larutan gula sebagai osmotic agent.

Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui lama perendaman optimum masing-masing konsentrasi larutan gula dengan perbandingan antara berat buah dan volume larutan gula 1:1, 1:2, dan 1:3 pada pembuatan manisan semi basah pepaya, mengetahui konsentrasi gula invert yang menyebabkan penampakan ba-sah pada manisan semi baba-sah pepaya, dan mengetahui potensi pemakaian beru-lang larutan gula dalam kaitannya dengan penampakan basah pada manisan semi basah pepaya.

Metode penelitian terbagi menjadi dua tahap yaitu: (1) penentuan lama perendaman optimum masing-masing konsentrasi larutan gula, dan (2) penentuan konsentrasi gula invert yang menyebabkan penampakan basah pada manisan semi basah pepaya. Formula manisan semi basah pepaya yang akan diteliti adalah manisan yang direndam oleh larutan gula dengan perbandingan antara berat buah dan volume larutan gula 1:1, 1:2, dan 1:3. Penentuan lama perendaman optimum dilakukan dengan menggunakan analisis statistika rancangan acak lengkap (RAL) in time dengan uji lanjut Duncan. Penentuan konsentrasi gula invert yang menye-babkan penampakan basah pada manisan semi basah pepaya dilakukan dengan menggunakan uji pembedaan salah satu atribut yaitu tingkat kekeringan. Data konsentrasi gula invert tersebut dikorelasikan dengan persamaan Silin (1958) dan orde reaksi ke-1 sehingga didapatkan informasi mengenai lama pemanasan pada berbagai suhu dan pH yang menyebabkan penampakan basah pada manisan semi basah pepaya.

Lama perendaman optimum konsentrasi larutan gula 20°brix, 30°brix, 40°brix, 50°brix, 60°brix, dan 70°brix pada pembuatan manisan semi basah pepaya dengan perbandingan antara berat buah dan volume larutan gula perendam 1:1 adalah 2 jam, 5 jam, 5 jam, 5 jam, 5 jam, dan 5 jam, sedangkan untuk perbandingan 1:2 adalah 1 jam, 4 jam, 4 jam, 4 jam, 4 jam, dan 4 jam, dan untuk perbandingan 1:3 adalah 1 jam, 2 jam, 3 jam, 3 jam, 3 jam, dan 3 jam. Walaupun total lama perendaman optimum ketiga formula manisan ber-beda, namun kadar


(5)

air dan nilai Aw ketiga formula tidak berbeda nyata, yaitu sekitar 18% (BB) untuk kadar air dan 0.72 untuk nilai Aw.

Manisan semi basah pepaya yang direndam oleh larutan gula invert 6% memiliki tingkat kekeringan yang berbeda nyata dengan manisan semi basah pepaya yang direndam gula pasir. Pemanasan berulang larutan gula 20°brix, 30°brix, 40°brix, dan 50°brix sebaiknya dilakukan pada suhu 65°C selama ± 5 menit dengan pH larutan gula 5, sedangkan pemanasan berulang larutan gula 60°brix dan 70°brix sebaiknya dilakukan pada suhu 90°C selama ± 1 menit dengan pH larutan gula 6. Waktu yang dibutuhkan sukrosa pH 2 untuk berubah struktur menjadi gula invert pada suhu ruang cenderung lambat dan di atas lama perendaman optimum masing-masing konsentrasi larutan gula.


(6)

BIODATA PENULIS

Penulis merupakan anak pertama dari tiga bersaudara pasangan keluarga Slamet Riadi dan Anna Riana. Penulis lahir di Jakarta pada tanggal 19 Januari 1989. Penulis telah menempuh pendidikan selama 6 tahun (1994-2000) di SDI Al-Istiqomah Tangerang, selama 3 tahun (2000-2003) di SMPN 9 Tangerang, dan selama 3 tahun (2003-3006) di SMAN 1 Tangerang. Pada tahun 2006, penulis diterima sebagai mahasiswa Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI).

Selama pendidikan di Institut Pertanian Bogor, penulis aktif di organisasi kemahasiswaaan dan kegiatan kemahasiswaan. Penulis pernah menjadi pengurus Himitepa IPB selama 2 tahun. Selain itu, penulis juga aktif mengikuti Program Kreativitas Mahasiswa (PKM) dan KPKM. Pada bulan Juli 2010, penulis menjadi 2nd winner of Developing Solutions for Developing Countries competition yang diadakan oleh Institute of Food Technologists Student Association di Chicago, Amerika Serikat bersama dengan Tim Zuper T. Penulis juga pernah menjadi asisten praktikum Analisis Pangan dan pengajar Kimia TPB.


(7)

PRAKATA

Alhamdulillahi robbil’alamin, puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala limpahan rahmat, karunia, dan kasih sayang-Nya penulis bisa menyelesai-kan tugas akhir yang berjudul “Optimasi Waktu Perendaman dan Pemanasan Berulang Larutan Gula pada Pembuatan Manisan Semi Basah Pepaya (Carica papaya L.)”.

Selama penyusunan tugas akhir ini penulis tidak terlepas dari dukungan berbagai pihak, baik secara langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu, penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: 1. Ayah, Ibu, Nenek, dan adik-adik tercinta (Herlambang Wibowo dan Rizki Tri

Hantoro) atas dukungan moril yang tidak ternilai harganya, kasih sayang, cinta yang begitu besar, semangat, dan doa sehingga membuat penulis bersemangat untuk menyelesaikan tugas akhir,

2. Dr. Ir. Slamet Budijanto, M. Agr, selaku dosen pembimbing akademik atas pengarahan, masukan, serta kesabarannya untuk membimbing penulis selama kuliah hingga penyelesaian tugas akhir,

3. Ir. Sutrisno Koswara, Msi dan Dra. Suliantari, MS selaku dosen penguji yang telah meluangkan waktu dan bersedia menguji penulis,

4. Yoga Adi Pamungkas yang telah memberikan dukungan, semangat, waktu, dan kesabarannya dari awal penelitian hingga tugas akhir selesai,

5. Lala Iffah Fadhilah, Any Septiani, dan mega 2 ceria atas keceriaannya,

6. Mas Ubet, Henni, dan Hasti selaku teman satu bimbingan atas kerja sama dan masukan yang sangat berharga,

7. tim Techno Park (Pak Zainal, Mang Ujang, Pak Hendra, Mang Asep, Teh Tita, Mas Aji, Mas Ari, dan pegawai Rozelt) atas bantuannya kepada penulis selama penelitian,

8. sahabat-sahabat terbaik di ITP 43 (Henni, Yua, Eri, Helen, Sadek, Della, Idham, Yogi, Aan, Bernand, Dzikri, Iyus, Abdi) yang mewarnai hidup penulis, 9. tim IFTSA-DSDC (Henni, Zulfahnur, Eri, Helen, Aan, Stefanus, Margaret,


(8)

tim Arrice (Danial, Fathy, dan Anugerah) atas pertemanan yang menyenangkan selama di Chicago, dan

10. seluruh pihak yang telah membantu penyelesaian tugas akhir penulis.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, saran dan kritik yang membangun sangat diharapkan oleh penulis. Semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat untuk memperkaya ilmu pengeta-huan dan informasi bagi seluruh pihak yang membutuhkan.

Bogor, Agustus 2010


(9)

i

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... iii

DAFTAR GAMBAR ... iv

DAFTAR LAMPIRAN ... v

I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Tujuan ... 3

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 4

A. Pepaya ... 4

B. Teknologi Pengeringan Osmotik Bertingkat pada Pembuatan Manisan ... 6

C. Pengukuran Total Padatan Terlarut dengan Refraktometer ... 8

D. Pengeringan ... 10

1. Teori Pengeringan ... 10

2. Jenis-jenis Pengeringan ... 12

E. Pangan Semi Basah ... 13

F. Gula Invert ... 14

III. METODOLOGI PENELITIAN ... 17

A. Bahan dan Alat ... 17

B. Metode Penelitian ... 17

1. Penentuan Lama Perendaman Optimum Masing-masing Konsentrasi Larutan Gula ... 17

a. Analisis Produk ... 19

2. Penentuan Konsentrasi Gula Invert yang Menyebabkan Penampakan Basah pada Manisan Semi Basah Pepaya ... 20

a. Pengkorelasian Data Konsentrasi Gula Invert dengan Persamaan Silin (1958) ... 21

b. Pengkorelasian Data Konsentrasi Gula Invert dengan Orde Reaksi ke-1 ... 22

C. Prosedur Analisis ... 23

1. Analisis Kadar Air ... 23

2. Analisis Nilai aw ... 23

3. Persiapan Sampel Gula ... 23

4. Analisis Gula Invert ... 24

5. Analisis Sukrosa ... 25

D. Rancangan Percobaan ... 26

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 27

A. Penentuan Lama Perendaman Optimum Masing-masing Konsentrasi Larutan Gula ... 27

1. Analisis Produk ... 31

B. Penentuan Konsentrasi Gula Invert yang Menyebabkan Penampakan Basah pada Manisan Semi Basah Pepaya ... 33


(10)

ii 1. Pengkorelasian Data Konsentrasi Gula Invert dengan

Persamaan Silin (1958) ... 35

2. Pengkorelasian Data Konsentrasi Gula Invert dengan Orde Reaksi ke-1 ... 38

V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 40

A. Kesimpulan ... 40

B. Saran ... 40

DAFTAR PUSTAKA ... 41


(11)

iii

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Kandungan vitamin buah pepaya per 100 g ... 5

2 Kandungan gizi buah pepaya per 100 g ... 5

3 Nilai aw beberapa jenis pangan semi basah ... 13

4 Daya inversi berbagai jenis asam ... 15

5 Nilai K0 pada berbagai suhu ... 22

6 Lama pemanasan pada berbagai suhu dan pH larutan gula untuk mencapai konsentrasi gula invert 6% ... 36


(12)

iv

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Visualisasi pohon pepaya ... 4

2 Simulasi peristiwa pengeringan osmotic bertingkat ... 7

3 Reaksi hidrolisis sukrosa ... 15

4 Diagram alir pembuatan manisan semi basah pepaya ... 18

5 Diagram alir pembuatan gula invert ... 21

6 Grafik penurunan total padatan terlarut pada masing- masing konsentrasi larutan gula perendam ... 28

7 Lama perendaman optimum masing-masing konsentrasi larutan gula ... 30

8 Nilai kadar air produk akhir (% BB) ... 31

9 Nilai aw produk akhir ... 32

10 Gambar produk akhir manisan semi basah pepaya ... 33

11 Hasil organoleptik tahap pertama ... 34

12 Hasil organoleptik tahap kedua ... 34

13 Waktu yang dibutuhkan sukrosa untuk mencapai konsen- trasi gula invert 6% pada suhu ruang ... 39


(13)

v

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Standar prosedur operasional pengolahan manisan semi

basah pepaya ... 45

2 Kesetimbangan massa pembuatan manisan semi basah pepaya ... 50

3 Data penurunan total padatan terlarut pembuatan manisan semi basah pepaya ... 51

4 Hasil analisis RAL in time ... 57

5 Data kadar air manisan semi basah pepaya ... 69

6 Data nilai Aw manisan semi basah pepaya ... 70

7 Analisis sidik ragam kadar air manisan semi basah pepaya ... 71

8 Analisis sidik ragam nilai aw manisan semi basah pepaya ... 72

9 Kuisioner uji organoleptik tahap pertama ... 73

10 Hasil uji organoleptik tahap pertama ... 74

11 Analisis sidik ragam uji organoleptik tahap pertama ... 75

12 Hasil uji Dunnet pada uji organoleptik tahap pertama ... 77

13 Kuisioner hasil uji organoleptik tahap kedua ... 78

14 Hasil uji organoleptik tahap kedua ... 79

15 Analisis sidik ragam uji organoleptik tahap kedua ... 80

16 Hasil uji Dunnet pada uji organoleptik tahap kedua ... 82

17 Contoh perhitungan lama pemanasan dengan mengguna- kan persamaan Silin (1958) ... 83

18 Data gula invert ... 84

19 Data kadar gula invert setelah inversi ... 85

20 Data sukrosa dan ln [sukrosa] terhadap waktu ... 86

21 Kurva hubungan waktu dan ln [sukrosa] ... 87

22 Spesifikasi manisan ... 89

23 Data penurunan total padatan terlarut pada pembuatan ma- nisan semi basah mangga ... 90

24 Data penurunan total padatan terlarut pada pembuatan ma- nisan semi basah nanas ... 97


(14)

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pepaya merupakan salah satu komoditas hortikultura yang mudah ru-sak sehingga penanganan pasca panen menjadi hal penting dalam peningkatan produksi. Penyebab utama kerusakan buah-buahan adalah aktivitas pernapasan dan penguapan yang masih berlangsung setelah panen (Tabil & Sokhansanj 2001), produksi etilen (Ell et al. 2003), dan lain-lain. Kehilangan setelah masa pemanenan pepaya dapat diminimumkan dengan menggunakan teknologi pe-ngolahan pangan dan penanganan pasca-panen yang tepat. Kunci keberhasilan proses pengolahan pangan atau pengawetan adalah merubah jenis pangan yang mudah rusak seperti buah-buahan menjadi produk pangan yang stabil selama proses penyimpanan. Beberapa teknologi pengawetan pada buah-buahan lah pengalengan, pendinginan, dan pengeringan. Teknologi pengeringan ada-lah teknologi yang cocok untuk dikembangkan oleh negara berkembang kare-na perkembangan teknologi proses termal dan proses dingin pada negara ini belum sepesat negara maju (Jayaraman & Gupta 2006).

Salah satu hasil teknologi pengeringan yang bisa dikembangkan dari buah pepaya adalah manisan semi basah. Manisan yang umumnya dijumpai di Indonesia adalah jenis manisan kering seperti manisan pala. Namun, mutu organoleptik manisan kering tidak sebaik manisan semi basah. Manisan semi basah menggunakan teknologi pengeringan osmotik bertingkat. Produk yang dihasilkan dengan menggunakan teknologi ini memiliki karakter chewiness, softness, elasticity, dan plasticity karena kadar airnya cenderung tinggi yaitu sekitar 10-40% (basis basah) dan nilai aw-nya sekitar 0.72-0.8 (Lewicki & Lenart 1995). Nilai aw yang cenderung rendah dapat memperpanjang umur simpan manisan.

Pepaya dapat menjadi bahan baku potensial pembuatan manisan karena Indonesia menempati urutan kelima sebagai penghasil pepaya terbesar di dunia (FAO 2010) pada tahun 2007 dengan tingkat produksi sebesar 621 juta ton/tahun. Teknologi pembuatan manisan semi basah mudah dilakukan


(15)

2 oleh industri rumah tangga maupun industri komersial. Menurut Lewicki dan Lenart (1995), kombinasi teknologi ini dapat mengurangi pemakaian energi dibandingkan dengan teknologi pengeringan konveksi biasa karena sebagian besar air yang terdapat dalam jaringan buah hilang selama proses pengeringan osmotik. Manisan semi basah ini dapat dijadikan alternatif pengolahan buah pepaya sehingga menjadi produk olahan yang memiliki daya saing pasar yang baik.

Lama perendaman dalam larutan gula sangat memengaruhi mutu akhir manisan semi basah pepaya. Apabila lama perendaman terlalu singkat, laju pe-ngeringan osmotik belum optimal sehingga mutu akhir manisan yang diharap-kan tidak terpenuhi, sedangdiharap-kan apabila waktu perendaman terlalu lama adiharap-kan menyebabkan inefisiensi energi dan menyebabkan semakin besar peluang ter-kontaminasinya larutan gula sebagai osmotic agent. Mikroba yang umumnya tumbuh pada produk berkarbohidrat tinggi seperti larutan gula adalah jenis khamir seperti Zygosaccharomyces bisporus, Zygosaccharomyces mellis, dan Zygosaccharomyces rouxii (Deák 2008).

Sisi ekonomis pada pembuatan manisan semi basah pepaya adalah apabila larutan gula yang digunakan sebagai osmotic agent dapat dipakai ber-ulang kali. Namun, nilai pH larutan gula dapat turun akibat kandungan asam pada buah pepaya. Ketika larutan gula dengan nilai pH < 7 dipanaskan kemba-li, sukrosa yang terdapat dalam larutan gula tersebut berubah menjadi gula in-vert. Gula invert pada larutan gula dapat menyebabkan penampakan basah pada manisan yang tidak diharapkan oleh konsumen karena sukrosa sulit mengkristal. Sukrosa sulit mengkristal karena kehadiran gula invert dapat menurunkan konstanta titik jenuh sukrosa (Asadi 2007). Konsentrasi gula invert yang dapat menyebabkan penampakan basah dapat diketahui dengan menggunakan uji organoleptik. Hasil dari uji organoleptik kemudian dikore-lasikan dengan persamaan Silin (1958) sehingga dapat diketahui lama pema-nasan pada berbagai suhu dan pH yang dapat menyebabkan penampakan ba-sah pada manisan semi baba-sah pepaya.


(16)

3

B. Tujuan

Tujuan dari penelitian ini adalah mengoptimalkan waktu perendaman dan pemakaian berulang larutan gula pada pembuatan manisan semi basah pepaya dengan cara:

1. mengetahui lama perendaman optimum dari masing-masing konsentrasi larutan gula dengan perbandingan antara berat buah dan volume larutan gula 1:1, 1:2, dan 1:3 pada pembuatan manisan semi basah pepaya,

2. mengetahui konsentrasi gula invert yang menyebabkan penampakan basah pada manisan semi basah pepaya, dan

3. mengetahui potensi pemakaian berulang larutan gula dalam kaitannya de-ngan penampakan basah pada manisan semi basah pepaya


(17)

4

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Pepaya

Pepaya adalah jenis buah-buahan yang diduga berasal dari negara Amerika Utara dan Selatan dan kini menyebar luas di daerah tropis, seperti di negara Indonesia. Buah pepaya tergolong ke dalam keluarga Caricacea dengan genus Carica dan terdapat 20 spesies yang tersebar di daerah tropis (Sidhu 2006). Berikut ini adalah klasifikasi ilmiah buah pepaya:

Kingdom : Plantae

Ordo : Brassicales

Famili : Caricaceae

Genus : Carica

Spesies : C. papaya

Nama binomial : Carica papaya L.

Pohon pepaya (Gambar 1) tergolong tanaman yang cepat tumbuh dan mampu mencapai ketinggian 10 m dengan kondisi pertumbuhan yang cocok. Arriola et al. (1980) menyatakan bahwa pohon pepaya memiliki bunga jantan dan bunga betina yang terpisah, namun ada juga pohon pepaya yang bersifat hemafrodit (bunga jantan dan bunga betina berada pada satu pohon yang sama). Daunnya menyirip lima dengan tangkai yang panjang dan berlubang di bagian tengah. Bentuk buah bulat hingga memanjang, dengan ujung biasanya meruncing. Warna buah ketika muda hijau gelap dan setelah masak hijau muda hingga kuning.


(18)

5 Buah pepaya tergolong ke dalam pangan yang memiliki kadar vitamin yang cukup tinggi. Selain itu, buah pepaya juga mengandung karbohidrat, protein, lemak, dan serat. Kandungan vitamin buah pepaya per 100 g dapat dilihat pada Tabel 1, sedangkan kandungan gizi buah pepaya per 100 g dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 1 Kandungan vitamin buah pepaya per 100 g

Vitamin Unit

C (mg) 61.800

E (mg) 0.730

A (µg RAE) 55.000

Thiamin (mg) 0.027

Riboflavin (mg) 0.032

Niacin (mg) 0.338

Pyridoxine (mg) 0.019

Folat (µg) 38.000

Sumber : USDA (2004) di dalam Moreno et al. (2006) Ket : RAE - retinol activity equivalent

Kebutuhan orang dewasa terhadap vitamin C sekitar 60 mg/hari. Berdasarkan Tabel 1, apabila orang dewasa mengonsumsi 100 g buah pepaya, kebutuhan vitamin C per hari akan terpenuhi. Vitamin C sangat dibutuhkan oleh tubuh, salah satunya sebagai antioksidan yang berfungsi untuk mencegah tekanan oksidatif.

Tabel 2 Kandungan gizi buah pepaya per 100 g

Kandungan gizi %

Air 89.00

Karbohidrat 9.80

Protein 0.60

Lemak 0.10

Serat 1.80

Sumber: Moreiras et al. (2001) di dalam Moreno et al. (2006)

Buah pepaya tergolong ke dalam buah klimakterik dimana laju transpirasi dan respirasi masih berlangsung setelah proses pemanenan dan mencapai titik maksimum saat awal pemanenan. Buah pepaya hanya mampu bertahan selama 7 hari pada suhu 30°C (Moreno et al. 2006), sedangkan apabila suhu penyimpanan diturunkan, umur simpan buah pepaya akan lebih panjang. Namun, batas suhu penyimpanan buah pepaya adalah 10°C sehingga apabila buah pepaya disimpan pada suhu yang lebih rendah dari 10°C, buah pepaya akan mengalami chilling injury (Moreno et al. 2006).


(19)

6 Buah pepaya tergolong ke dalam pangan mudah rusak karena kadar air dan nilai aw yang cukup tinggi sehingga diperlukan suatu teknologi untuk memperpanjang umur simpan buah pepaya. Beberapa teknologi yang dapat memperpanjang umur simpan buah pepaya adalah pelilinan, modified athmosphere packaging (MAS), irradiasi dan pengolahan pepaya menjadi produk lain seperti jam, jelly, dried pepaya, dan lain-lain (Arriola et al.1980; Moreno et al. 2006)

B. Teknologi Pengeringan Osmotik Bertingkatpada Pembuatan Manisan

Manisan adalah salah satu produk olahan buah yang diproses dengan menggunakan larutan gula. Manisan yang beredar di pasaran terbagi menjadi tiga, yaitu manisan kering, manisan semi basah, dan manisan basah.Hal yang membedakan ketiganya adalah cara pembuatan, keawetan, dan penampakan. Manisan kering dan manisan semi basah lebih awet daripada manisan basah karena kandungan air pada manisan kering dan manisan semi basah lebih rendah daripada manisan basah. Selain itu, proses pendistribusian dan pena-nganan manisan kering dan manisan semi basah lebih mudah dibandingkan manisan basah karena pembuatan manisan kering dan manisan semi basah bi-asanya disertai dengan proses pengeringan, sedangkan manisan basah disaji-kan dengan larutan gula.

Perlakuan awal pada pembuatan manisan adalah perendaman dalam larutan CaCl2, perendaman dalam larutan sulfit, dan pemblansiran (Jayaraman & Gupta 2006). Perendaman dalam larutan CaCl2 bertujuan untuk memper-kuat jaringan buah. Pektin yang berasal dari buah akan bereaksi dengan kal-sium yang berasal dari kalkal-sium klorida hingga membentuk suatu kompleks yang akan memperkokoh tekstur produk (Buggenhout et al. 2009 di dalam Fraeye 2009). Perendaman dalam larutan sulfit bertujuan untuk mencegah reaksi pencoklatan enzimatis (Sapers et al. 2002). Blansir bertujuan untuk menginaktivasi enzim, mendenaturasi membran sel, dan mengurangi jumlah mikroba awal (Alzamora et al. 2003).

Setelah perlakuan awal dilakukan, buah direndam dengan larutan gula. Perendaman buah di dalam larutan gula menerapkan prinsip pengeringan


(20)

os-7 motik bertingkat dimana larutan gula tersebut bersifat hipertonik. Pengeringan osmotik bertingkat adalah peristiwa difusi counter-current yang terjadi secara simultan yaitu: difusi bahan terlarut dari larutan ke dalam bahan pangan dan difusi air dari dalam bahan pangan ke luar lingkungan (Lazarides 2001). Peris-tiwa difusi terjadi akibat adanya perbedaan antara konsentrasi buah dan kon-sentrasi larutan dimana konkon-sentrasi larutan lebih tinggi daripada konkon-sentrasi buah sehingga akan terjadi keseimbangan termodinamis antara dua sistem. Si-mulasi peristiwa pengeringan osmotik bertingkat dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2 Simulasi peristiwa pengeringan osmotik bertingkat (Lewicki & Lenart 2006).

Peristiwa pengeringan osmotik bertingkat memungkinkan terjadinya perpindahan masa apabila kedua sistem dipisahkan oleh lapisan semiperme-abel, yaitu suatu lapisan yang selektif terhadap bahan terlarut namun tidak se-lektif terhadap bahan pelarut. Lewicki dan Lenart (2006) menyatakan bahwa pengeringan osmotik bertingkat tidak hanya terjadi pada satu sel buah, namun pada potongan buah. Satu potong buah terdiri dari berbagai jenis sel dimana di antara masing-masing sel terdapat intercellular space. Intercellular space adalah bagian dari suatu jaringan tumbuhan yang pertama kali terpapar oleh larutan hipertonik dan kemudian terjadi peristiwa difusi osmotic agent ke dalam sel buah (Lewicki & Lenart 2006).

Difusi osmotic agent ke dalam sel buah menyebabkan cairan yang terdapat di dalam protoplast berdifusi ke luar lingkungan dan tergantikan


(21)

de-8 ngan bahan terlarut pada sistem larutan (Lewicki & Lenart 2006). Peristiwa tersebut dikenal dengan nama plasmolisis dimana plasmolisis akan mengubah struktur jaringan buah yang awalnya bersifat semipermeabel menjadi permea-bel terhadap bahan terlarut (Alzamora et al. 2003). Komponen sel buah yang bersifat semipermeabel adalah plasmalemma, sedangkan dinding sel bersifat permeabel terhadap air dan komponen dengan berat molekul rendah.

Terdapat dua parameter yang memengaruhi laju pengeringan osmotik bertingkat, yaitu parameter proses dan parameter produk. Parameter proses meliputi konsentrasi larutan, suhu larutan, lama perendaman, tekanan, dan ra-sio bahan terhadap larutan, sedangkan parameter produk meliputi bentuk dan ukuran, perlakuan awal, dan karakteristik bahan pangan (Lazarides 2001). Bentuk dan ukuran bahan pangan memengaruhi besar water loss (WL) dan sugar gain (SG). Bentuk kubus dan cincin akan mengalami WL dan SG yang lebih besar dibandingkan bentuk slice dan stick ((Lazarides 2001). Selain bentuk dan ukuran, perlakuan awal seperti perendaman buah di dalam larutan CaCl2 sebelum proses pengeringan osmotik bertingkat akan memperbaiki tekstur buah (Rodrigues et al. 2003).

Penggunaan teknologi akan mempercepat proses pengeringan karena sebagian air yang terdapat dalam buah sudah berkurang selama proses penge-ringan osmotik bertingkat berlangsung. Namun, fisibilitas ekonomi pembuatan manisan sangat tergantung oleh pemakaian berulang larutan gula sebagai os-motic agent. Semakin sering larutan gula dapat dipakai kembali, semakin eko-nomis pembuatan manisan tersebut.

C. Pengukuran Total Padatan Terlarut dengan Refraktometer

Total padatan terlarut adalah jumlah padatan yang terkandung dalam larutan (% m/m). Metode yang dapat digunakan untuk menentukan total pa-datan terlarut adalah refraktometri dan gravimetri (pengeringan oven) (Asadi 2007). Hasil dari kedua metode tidak terlalu berbeda namun waktu penger-jaannya berbeda. Metode refraktometri dapat dilakukan dalam waktu 3 menit, sedangkan metode gravimetri menghabiskan waktu 3 jam.


(22)

9 Total padatan terlarut merupakan istilah yang biasa digunakan untuk merepresentasikan total sukrosa dan non-sukrosa dalam 100 g larutan. Pada la-rutan sukrosa murni, total padatan terlarut merepresentrasikan total sukrosa dalam suatu larutan. Namun apabila larutan tidak mengandung sukrosa murni, total padatan terlarut merepresentasikan total sukrosa dan non-sukrosa dalam suatu larutan (Asadi 2007). Semakin tinggi total sukrosa dalam suatu larutan, semakin murni larutan tersebut.

Total padatan terlarut untuk masing-masing gula berbeda-beda. Berda-sarkan penelitian yang dilakukan oleh Imanda (2007), total padatan terlarut untuk gula cetak aren, kelapa, dan tebu berturut-turut adalah 83.8%, 89.7%, dan 87.4%. Total sukrosa untuk ketiga jenis gula tersebut juga berbeda yaitu 75.8% untuk gula aren, 84.3% untuk gula kelapa, dan 86% untuk gula tebu (Imanda 2007). Berdasarkan data tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa kemurnian gula dari yang tertinggi hingga terendah adalah gula kelapa, gula tebu, dan gula aren.

Refraktometer adalah suatu instrumen alat yang dapat mengukur indeks refraktif (RI) dari suatu larutan dan mengkonversinya ke dalam % total padatan terlarut. Hasil dari pengukuran refraktometer adalah % total padatan terlarut refraktometri atau biasa disebut derajat brix (°brix). Teknik pengukur-an dengpengukur-an menggunakpengukur-an refraktometer disebut refraktometri, dimpengukur-ana pengu-kuran berdasarkan sudut pembiasan suatu sinar jika mengenai suatu permu-kaan (Asadi 2007).

Nilai RI suatu larutan adalah rasio antara kecepatan cahaya suatu udara dan kecepatan cahaya suatu larutan. Nilai RI udara sekitar 1, sedangkan nilai RI air murni pada suhu 20°C pada panjang gelombang 589 nm adalah 1.333. Nilai RI pada larutan sukrosa murni 10% adalah 1.348. Nilai RI biasanya merepresentasikan besar total padatan terlarut suatu sampel. Nilai RI dipe-ngaruhi oleh suhu sampel, konsentrasi sampel, dan panjang gelombang refrak-tometer. Nilai RI suatu larutan sukrosa murni dapat merepresentasikan lang-sung besar total padatan terlarut, namun larutan yang terdiri dari campuran su-krosa dan non-susu-krosa dapat memengaruhi nilai RI. Gula invert dapat menu-runkan nilai RI, sedangkan rafinosa dan dekstran dapat meningkatkan nilai RI.


(23)

10 Namun, nilai derajat brix pada larutan yang terdiri dari campuran sukrosa dan non-sukrosa dapat merepresentasikan rata-rata total padatan terlarut (Asadi 2007).

Refraktometer biasanya dikalibrasi dengan larutan sukrosa murni pada suhu standar laboratorium yaitu 20°C. Apabila suhu sampel kurang atau lebih dari 20°C, perlu dilakukan konversi untuk mendapatkan data total padatan terlarut yang akurat. Apabila suhu sampel lebih dari 20°C, data total padatan terlarut ditambah dengan 0.08, sedangkan apabila suhu sampel kurang dari 20°C, data total padatan terlarut dikurangi dengan 0.08 (Asadi 2007).

Perkembangan alat refraktometer dimulai dari penemuan hydrometer untuk mengukur total padatan terlarut oleh ilmuwan A. Baume pada tahun 1768. Kemudian pada tahun 1840 terjadi penyempurnaan hydrometer menjadi Balling scale. Pada tahun 1854 ditemukan alat yang dinamakan brix hydro-meter dengan satuan derajat brix yang sesuai dengan nama penemunya, A. F. W. Brix. Awalnya pembacaan total padatan terlarut pada refraktometer meng-andalkan indera penglihatan untuk melihat meniskus derajat brix. Hal ini dapat meningkatkan human error sehingga diciptakan refraktometer modern yang dapat membaca nilai total padatan terlarut secara digital. Selain itu, refrak-tometer modern dilengkapi dengan display suhu sampel sehingga apabila suhu sampel tidak sama dengan suhu standar laboratorium, dapat dilakukan kon-versi nilai total padatan terlarut (Asadi 2007).

D. Pengeringan

1. Teori Pengeringan

Pengeringan adalah proses pindah panas dan pindah massa yang terjadi secara simultan (Earle & Earle 1983). Udara panas yang dikeluar-kan oleh mesin pengering adikeluar-kan menguapdikeluar-kan air dalam bahan pangan sam-pai terjadi kesetimbangan. Salah satu tujuan proses pengeringan adalah memperpanjang umur simpan produk pangan dengan cara menurunkan ni-lai aktivitas air (aw) (Fellows 2000). Hal ini dapat menghambat partum-buhan mikroba dan aktivitas enzimatis. Selain itu, proses pengeringan da-pat mengurangi berat dan volume bahan pangan sehingga mudah ditangani


(24)

11 dan mengurangi biaya produksi. Namun pengeringan dapat menurunkan nilai gizi produk pangan sehingga alat pengering yang akan digunakan ha-rus disesuaikan dengan karakteristik bahan pangan.

Proses pindah panas pada mesin pengering dapat dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu konduksi, konveksi, dan radiasi (Mujumdar 2006). Konduksi adalah pindah panas dengan menggunakan permukaan mesin pengering. Konveksi adalah pindah panas dengan menggunakan udara panas yang dikeluarkan oleh mesin pengering. Radiasi adalah pindah pa-nas dengan menggunakan gelombang elektromagnetik yang dikeluarkan o-leh mesin pengering.

Menurut Mujumdar (2006), faktor yang memengaruhi proses pe-ngeringan dibagi menjadi dua kelompok yaitu faktor eksternal dan faktor internal. Faktor eksternal meliputi suhu pengering, kelembaban udara, dan kecepatan aliran udara. Semakin besar perbedaan suhu antara media pemanas (suhu udara pengering) dengan bahan yang dikeringkan, semakin cepat perpindahan panas ke dalam bahan sehingga penguapan air dari ba-han yang dikeringkan akan lebih cepat. Kelembaban udara berbanding ter-balik dengan waktu pengeringan. Semakin tinggi kelembaban udara, pro-ses pengeringan (waktu pengeringan) akan berlangsung lebih lama. Kece-patan aliran udara berbanding lurus dengan waktu pengeringan. Semakin tinggi kecepatan aliran udara, proses pengeringan akan berjalan lebih ce-pat. Faktor internal yang memengaruhi proses pengeringan adalah karakte-ristik bahan pangan yang meliputi kadar air bahan pangan.

Earle dan Earle (1983) menyatakan bahwa proses pengeringan ter-bagi menjadi tiga kelompok. Pertama adalah panas ditransfer ke bahan pa-ngan melalui udara panas atau permukaan pemanas kemudian kandupa-ngan air dari bahan pangan akan menguap. Kedua, pengeringan vakum, proses penguapan air terjadi pada tekanan rendah dibandingkan tekanan atmosfir. Proses perpindahan panas yang terjadi secara konduksi dan iradiasi. Ke-tiga, pengeringan beku, kandungan air bahan pangan yang telah dibekukan akan tersublimasi. Bahan pangan yang dikeringkan dengan cara ini akan memiliki tekstur yang baik.


(25)

12

2. Jenis-jenis Pengering

Mesin pengering yang digunakan dalam industri pangan berma-cam-macam jenisnya. Pemilihan jenis pengering didasarkan pada karakte-ristik bahan baku pangan, karaktekarakte-ristik produk pangan yang diinginkan, proses produksi, dan biaya produksi. Menurut Jayaraman dan Gupta (2006), mesin pengering yang biasa digunakan untuk mengeringkan buah-buahan dan sayuran-sayuran terbagi menjadi tiga kelompok yaitu penge-ringan matahari, pengepenge-ringan atmosfer (batch drying dan continuous dry-ing) dan pengeringan subatmosfer.

1. Pengeringan matahari

Jenis pengeringan ini menggunakan bantuan sinar matahari untuk mengurangi kadar air bahan pangan. Jenis pengeringan ini adalah jenis yang paling murah dan mudah dilakukan. Namun jenis pengeringan ini mempunyai resiko paling tinggi karena panas yang dialirkan sinar mata-hari memiliki intensitas yang tidak menentu dan higienisitas produk ku-rang terjaga.

2. Pengering tray

Bahan pangan berbentuk solid disebarkan secara merata di atas nampan dan diletakkan di dalam rak pengering kemudian udara panas dialirkan ke dalam pengering. Proses pindah panas yang terjadi pada pe-ngering ini adalah konduksi dan radiasi.

3. Pengering tunnel

Pengering jenis ini merupakan pengembangan dari pengering tray. Bahan pangan berbentuk solid yang telah disebarkan di atas nampan akan berputar sehingga proses pengeringan akan lebih efisien. Kandungan air bahan pangan akan berkurang seiring dengan udara panas yang dihembus-kan oleh pengering.

4. Pengering drum

Bahan pangan berbentuk cair atau pasta disebarkan di atas rol pe-ngering. Udara panas dihembuskan di atas rol selama rol berputar secara berlawanan arah sehingga kandungan air dalam bahan pangan akan me-nguap dan bahan pangan yang telah kering akan membentuk kerak. Pisau


(26)

13 pengering yang berada di ujung putaran rol akan membuat bahan yang telah kering terkelupas secara otomatis.

5. Fluidized bed dryer

Udara panas dihembuskan ke atas bahan pangan yang memiliki densitas rendah sehingga bahan pangan akan melayang di dalam penge-ring. Proses pindah panas yang terjadi pada pengering ini adalah konveksi. 6. Pengering semprot

Bahan pangan berbentuk cair atau pasta dimasukkan ke dalam corong pengering dan udara panas dialirkan secara berlawanan arah. Pro-ses pengeringan ini berlangsung sangat cepat sehingga cocok untuk produk pangan yang tidak tahan panas. Produk yang dihasilkan akan berbentuk granula atau bubuk.

7. Pengering beku

Bahan pangan yang akan dikeringkan dibekukan terlebih dahulu kemudian kandungan air akan dikondensasi dengan udara panas yang di-hantarkan secara konduksi atau radiasi. Produk pangan yang dihasilkan akan memiliki tekstur yang paling bagus dibandingkan dengan jenis pe-ngeringan lain, namun investasi mesin ini sangat mahal.

E. Pangan Semi Basah

Pangan semi basah adalah jenis pangan yang memiliki kadar air sekitar 10-50% (basis basah) dan aw sekitar 0.6-0.9 (Roos 2001). Beberapa contoh pangan semi basah adalah manisan, jam dan jelly, madu, sirup, marshmallow, soft candies, candied fruits, dan lain-lain. Nilai aw pada beberapa jenis pangan semi basah dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3 Nilai aw beberapa jenis pangan semi basah

Jenis pangan aw

Salami 0.82-0.85

Sosis ‘Landjager’ 0.79

Buah kering 0.72-0.80

Jam dan jelly 0.82-0.94

Madu 0.75

Bahan pengisi pada produk pastry 0.65-0.71 Sumber: Karel (1976)


(27)

14 Pangan semi basah adalah salah satu hasil dari teknik pengolahan pangan. Pada pembuatan pangan semi basah, nilai aw diturunkan dengan menggunakan humektan, antimikroba, dan perlakuan osmotik. Beberapa hu-mektan yang biasa digunakan pada pembuatan pangan semi basah adalah garam, gula, gliserol, dan NaCl, sedangkan antimikroba yang biasa digunakan pada pembuatan pangan semi basah adalah potassium sorbat, kalsium pro-pionat, dan lain-lain (Karel 1976). Perlakuan osmotik pada pembuatan pangan semi basah dengan cara merendam bahan pangan seperti buah dan sayuran ke dalam larutan osmotic agent yang memiliki konsentrasi lebih tinggi daripada bahan pangan tersebut. Perbedaan konsentrasi akan menyebabkan terjadinya aliran counter-current secara simultan yaitu: difusi bahan terlarut dari larutan ke dalam bahan pangan dan difusi air dari dalam bahan pangan ke luar lingkungan. Difusi bahan terlarut dari larutan ke dalam bahan pangan akan menurunkan nilai aw, sedangkan difusi air dari dalam bahan pangan ke luar lingkungan akan menurunkan kadar air. Pangan semi basah yang menggu-nakan teknologi ini akan memiliki karakter chewiness, softness, elasticity, dan plasticity (Lewicki & Lenart 1995).

Salah satu penurunan mutu yang terjadi pada pangan semi basah adalah pencoklatan enzimatis (Robson 1976). Reaksi pencoklatan non-enzimates terjadi pada aw 0.6-0.7 sehingga pangan semi basah yang memiliki nilai aw sekitar 0.6-0.7 rentan mengalami pencoklatan non-enzimatis. Selain pencoklatan non-enzimatis, penurunan mutu pada pangan semi basah dapat disebabkan oleh pertumbuhan mikroorganisme dan oksidasi (Robson 1976). Mikroba yang mungkin tumbuh pada pangan semi basah adalah kapang xerofilik, bakteri halofilik, dan khamir osmofilik (Mosell 1975 di dalam Karel 1976). Pertumbuhan mikroorganisme ini dipengaruhi oleh suhu dan kelembab-an tempat penyimpkelembab-ankelembab-an.

F. Gula Invert

Gula invert adalah hasil hidrolisis sukrosa yaitu glukosa dan fruktosa dengan perbandingan 1:1 yang terjadi akibat proses pemanasan dan pH asam. Laju inversi sukrosa dipengaruhi oleh lama pemanasan, suhu pemanasan, dan


(28)

15 pH. Samakin lama pemanasan, semakin tinggi suhu pemanasaan, dan semakin kecil nilai pH larutan gula akan meningkatkan laju inversi sukrosa (Asadi 2007). Reaksi tersebut dikatakan inversi karena dapat mengubah rotasi optikal. Inversi sukrosa dapat terjadi pada pH asam dan suhu ruang yaitu mengikuti laju reaksi orde ke-I (Asadi 2007). Reaksi yang terjadi adalah reaksi oksidasi-reduksi dimana satu reaksi tidak akan terjadi tanpa ada reaksi sebelumnya. Reaksi hidrolisis sukrosa pada pH asam dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3 Reaksi hidrolisis sukrosa.

Laju inversi sukrosa dipengaruhi oleh jenis asam. Jenis asam yang sering digunakan untuk inversi sukrosa adalah HCl karena mempunyai daya inversi paling besar yaitu 100% (Pancoast & Junk, 1979). Daya inversi berba-gai jenis asam dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4 Daya inversi berbagai jenis asam

Jenis asam Daya inversi (%)

HCl 100.00

H2SO4 53.60

H3PO4 6.21

Asam tartarat 3.00

Asam sitrat 1.72

Asam laktat 1.07

Sumber: Pancoast dan Junk (1979)

Selain inversi pada pH asam, salah satu faktor terbentuknya gula invert adalah enzim invertase. Derajat keasaman (pH) optimum dan suhu optimum enzim invertase adalah 4.0-5.5 dan 50°C (Pancoast & Junk 1979). Beberapa jenis khamir yang dapat menghasilkan enzim invertase adalah Saccharomyces cerevisiae dan S. carlsbergensis (Kruckeberg & Dickison 2004). Enzim ini dapat menghidrolisis sukrosa menjadi glukosa dan fruktosa.


(29)

16 Gula invert dapat menahan laju kristalisasi sukrosa karena kehadiran gula invert dapat menurunkan koefisien titik jenuh sukrosa (Asadi 2007) sehingga gula invert banyak diaplikasikan di industri pangan confectionery seperti hard candy, jelly, dan karamel dan industri brewing. Namun, penggunaan gula invert sudah banyak terganti oleh sirup glukosa karena harga sirup glukosa yang lebih murah dibandingkan gula invert. Sirup glukosa yang mempunyai karakteristik yang hampir sama, yaitu nilai aw, dengan gula invert adalah sirup glukosa 68 DE (Edwards 2000).


(30)

17

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pepaya Bangkok, air, gula pasir, gula invert, CaCl2, garam, potassium sorbat, dan bahan kimia untuk analisis.

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah refraktometer, tim-bangan digital kasar, pisau, kompor, panci, baskom, batang pengaduk, cabinet dryer, aw-meter, oven vakum, dan alat-alat gelas untuk analisis.

B. Metode Penelitian

Metode penelitian terbagi menjadi dua tahap yaitu: (1) penentuan lama perendaman optimum masing-masing konsentrasi larutan gula, dan (2) pe-nentuan konsentrasi gula invert yang menyebabkan penampakan basah pada manisan semi basah pepaya.

1. Penentuan Lama Perendaman Optimum Masing-masing Konsentrasi Larutan Gula

Penentuan lama perendaman optimum masing-masing konsentrasi larutan gula yang dilakukan pada penelitian ini ditujukan untuk pembuatan manisan semi basah pepaya. Pembuatan manisan semi basah pepaya dila-kukan dengan menggunakan pendekatan pembuatan manisan kering pada umumnya. Manisan semi basah yang akan diteliti memiliki bentuk kubus dengan panjang sisi sekitar 1 cm. Pemilihan bentuk tersebut bertujuan un-tuk menyeragamkan laju pengeringan osmotik bertingkat.

Beberapa modifikasi dilakukan pada pembuatan manisan kering untuk mendapatkan manisan semi basah yang diinginkan. Modifikasi yang dilakukan pada pembuatan manisan semi basah pepaya ini adalah tahapan perendaman bertingkat dalam konsentrasi larutan gula. Perendaman pepa-ya dalam larutan gula dimulai dari konsentrasi larutan gula 20°brix, kemu-dian dilanjutkan dengan konsentrasi larutan gula 30°brix, 40°brix, 50°brix, 60°brix, sampai 70°brix. Konsentrasi larutan gula 20°brix yang telah


(31)

dipa-18 kai tidak digunakan untuk pembuatan konsentrasi larutan gula 30°brix, be-gitu pula dengan konsentrasi larutan gula 30°brix yang telah dipakai tidak digunakan untuk pembuatan konsentrasi larutan gula 40°brix, dan sete-rusnya. Diagram alir pembuatan manisan semi basah pepaya dapat dilihat pada Gambar 4, sedangkan standar prosedur operasional pengolahan mani-san semi basah pepaya dan kesetimbangan massa pembuatan manimani-san semi basah pepaya berturut-turut dapat dilihat pada Lampiran 1 dan Lampiran 2.


(32)

19 Formula manisan semi basah pepaya yang akan diteliti dibedakan berdasarkan perbandingan antara berat buah dan volume larutan gula. Formula A, formula B, dan formula C berturut-turut adalah manisan yang direndam larutan gula dengan perbandingan antara berat buah dan volume larutan gula 1:1, 1:2, dan 1:3. Formula ini bertujuan untuk melihat kece-patan laju pengeringan osmotik bertingkat pada ketiga formula.

Lama perendaman optimum masing-masing konsentrasi larutan gu-la ditentukan berdasarkan gu-laju pengeringan osmotik bertingkat. Setiap satu jam sekali dari jam ke-0 sampai jam ke-10 dilakukan pengambilan sampel larutan gula pada masing-masing konsentrasi larutan gula ketiga formula. Konsentrasi larutan gula yang diambil sampelnya adalah larutan gula 20°brix, 30°brix, 40°brix, 50°brix, 60°brix, dan 70°brix. Sampel larutan gula tersebut dianalisis total padatan terlarutnya dengan menggunakan alat refraktometer. Data total padatan terlarut tersebut kemudian diolah dengan menggunakan analisis statistika rancangan acak lengkap (ral) in time. Uji lanjut Duncan dilakukan apabila terdapat interaksi yang nyata antara waktu dan faktor. Pengambilan keputusan lama perendaman optimum pada masing-masing konsentrasi larutan gula berdasarkan penurunan total padatan terlarut yang tidak signifikan. Pengambilan keputusan ini berda-sarkan asumsi bahwa keseimbangan termodinamis antara dua sistem ditan-dai dengan penurunan total padatan terlarut yang tidak signifikan.

a) Analisis Produk

Data lama perendaman optimum ketiga formula tersebut kemudian digunakan untuk pembuatan manisan semi basah pepaya. Produk akhir manisan semi basah pepaya kemudian dianalisis kadar air dan nilai aw-nya. Analisis kadar air menggunakan metode oven vakum (AOAC 925.45 1999), sedangkan analisis nilai aw menggunakan instrumen alat aw-meter.


(33)

20

2. Penentuan Konsentrasi Gula Invert yang Menyebabkan Penampakan Basah pada Manisan Semi Basah Pepaya

Konsentrasi gula invert yang menyebabkan penampakan basah pada manisan semi basah pepaya dapat diketahui dengan menggunakan uji organoleptik. Uji organoleptik yang dilakukan adalah uji pembedaan salah satu atribut yaitu tingkat kekeringan produk manisan semi basah pepaya. Uji pembedaan yang dilakukan adalah uji beda dari kontrol dengan meng-gunakan 30 orang panelis tidak terlatih. Kontrol yang dimeng-gunakan pada pe-nelitian ini adalah manisan semi basah pepaya yang direndam larutan gula pasir.

Uji organoleptik ini dilakukan secara bertahap. Tahap pertama ber-tujuan untuk mendapatkan rentang konsentrasi gula invert yang menye-babkan penampakan basah pada manisan semi basah pepaya. Kombinasi sampel yang akan diuji adalah manisan semi basah pepaya yang direndam oleh larutan gula invert 12%, 24%, 36%, 48%, 60%, dan blind control yaitu sampel kontrol yang dijadikan sebagai salah satu sampel uji. Dia-gram alir pembuatan gula invert dapat dilihat pada Gambar 5. Tahap kedua bertujuan untuk mengetahui konsentrasi gula invert yang memberikan tingkat kekeringan manisan semi basah pepaya yang berbeda nyata dengan kontrol. Tahap kedua dilakukan dengan memperkecil jarak antar rentang konsentrasi gula invert yang telah didapat pada tahap pertama. Jarak antar rentang konsentrasi gula invert yang digunakan pada tahap kedua adalah sekitar 3%.


(34)

21 Gambar 5 Diagram alir pembuatan gula invert (Pancoast dan Junk 1980

dengan modifikasi).

Uji pembedaan salah satu atribut dilakukan dengan menggunakan skala rating yaitu tidak berbeda/sama (1), sedikit berbeda (2), agak berbeda (3), moderat (4), cukup besar (5), besar (6), dan sangat besar (7). Analisa uji beda dari kontrol menggunakan analisa ragam ANOVA (Meilgaard et al. 1999) kemudian dilanjutkan dengan uji lanjut Dunnet apabila terdapat perbedaan signifikan pada perlakuan yang berbeda.

a) Pengkorelasian Data Konsentrasi Gula Invert dengan Persamaan Silin (1958)

Data konsentrasi gula invert yang telah didapat pada tahap sebelumnya kemudian dikorelasikan dengan persamaan Silin (1958). Pengkorelasian ini bertujuan untuk mengetahui lama pemanasan larut-an gula pada berbagai pH dlarut-an suhu untuk mencapai nilai konsentrasi gula invert yang menyebabkan penampakan basah pada manisan semi basah pepaya yaitu 6%. Bentuk persamaan Silin (1958) dapat ditulis-kan sebagai berikut:

I = KC0t K = K0[H+]


(35)

22 Keterangan:

I = kadar gula invert (%)

C0 = konsentrasi sukrosa awal (%)

t = waktu (menit)

K = konstanta inversi [H+] = konsentrasi pH

Nilai K0 pada berbagai suhu dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5 Nilai K0 pada berbagai suhu

Suhu (ºC) K0

50 0.12

60 0.38

70 1.18

80 3.30

90 8.92

100 26.80

b) Pengkorelasian Data Konsentrasi Gula Invert dengan Orde Reaksi ke-1

Selain suhu tinggi dan pH asam, Asadi (2007) menyatakan bahwa sukrosa mengalami hidrolisis pada suhu ruang dan pH asam. Reaksi hidrolisis sukrosa pada suhu ruang mengikuti orde reaksi ke-1 dengan nilai konstanta laju reaksi (k) = 0.208 pada suhu 25°C (Asadi 2007). Namun, Asadi (2007) tidak menyatakan pada pH berapa nilai k=0.208 sehingga perlu dilakukan penentuan nilai k larutan gula pada berbagai pH asam. Sampel yang akan dicari nilai k-nya adalah larutan gula pH 1, larutan gula pH 2, larutan gula pH 3, dan larutan gula pH 4. Penentuan nilai k dilakukan dengan menganalisis konsentrasi sukrosa pada jam ke-0, jam ke-2, jam ke-4, dan jam ke-6 dan mengkorelasi-kannya dengan persamaan orde reaksi ke-1. Data k kemudian diguna-kan untuk mengetahui waktu yang dibutuhdiguna-kan larutan gula untuk men-capai konsentrasi gula invert tertentu yang menyebabkan penampakan basah pada manisan semi basah pepaya Selain nilai k, suatu reaksi yang mengikuti orde reaksi ke-1 juga mempunyai waktu paruh (t1/2). Bentuk umum persamaan reaksi orde ke-1 adalah:


(36)

23 ln [A]t = -kt + ln [A]0, dimana t1/2 = 0.693/k

Keterangan:

[A]0 = konsentrasi awal sukrosa (%)

[A]t = konsentrasi sukrosa pada waktu t(%) k = konstanta laju reaksi (%/jam)

t = waktu (jam)

t1/2 = waktu paruh (jam)

C. Prosedur Analisis

1. Analisis Kadar Air (AOAC 925.45 1999)

Cawan aluminium kosong dikeringkan dalam oven selama 15 menit. Cawan kemudian didinginkan dalam desikator dan ditimbang sete-lah cawan dingin. Sebanyak 1-2 g contoh ditimbang di dalam cawan terse-but kemudian dikeringkan dalam oven vakum suhu 70 °C, 25 mmHg selama 3 jam. Setelah itu, cawan didinginkan di dalam desikator dan di-timbang. Penimbangan dilakukan berulang sehingga diperoleh bobot penurunan ( 0.0005 g).

2. Analisis Nilai aw (aw-meter)

Alat aw-meter dihidupkan dengan menekan tombol power. Setelah tanda ready muncul, larutan NaCl jenuh dimasukkan dalam chamber tempat pengukuran alat untuk mengkalibrasi aw-meter. Setelah itu, tombol start ditekan dan ditunggu sampai nilai aw yang terbaca 0.750-0.752. Jika belum terbaca sekitar 0.750-0.720, knop tahanan kalibrasi diatur sehingga kalibrasi tercapai kemudian tombol start ditekan kembali. Sebanyak 1 g contoh dimasukkan dalam chamber contoh dan tombol start ditekan. Setelah itu, nilai aw ditunggu hingga terbaca oleh alat.

3. Persiapan Sampel Gula

Sebanyak 25 g contoh dimasukkan dalam gelas piala 300 ml lalu ditambahkan dengan 2 g CaCO3 dan 100 ml air destilata. Contoh dididih-kan selama 30 menit dan didingindididih-kan. Setelah itu, contoh dipindahdididih-kan ke dalam labu takar 250 ml dan ditambahkan dengan 1.5-2.5 ml Pb asetat


(37)

24 jenuh. Kemudian contoh ditepatkan dengan air destilata. Contoh dikocok dan disaring dengan kertas saring. Sebanyak 100 ml filtrat diambil dan dimasukkan dalam gelas piala lain kemudian ditambahkan dengan 1.5 g Na-oksalat kering ke dalam filtrat contoh untuk mengendapkan Pb. Contoh disaring kembali dengan kertas saring. Sebanyak 10 ml filtrat digunakan untuk analisis gula invert dan 50 ml filtrat digunakan untuk analisis sukrosa.

4. Analisis Gula Invert (AOAC 923.09 1999) Standarisasi larutan Fehling

Sebanyak 10 ml campuran Fehling A dan Fehling B (reagensia Soxhlet) dimasukkan ke dalam erlenmeyer 100 ml dan ditambahkan de-ngan 19.2 ml larutan gula invert standar. Volume larutan gula invert stan-dar yang ditambahkan didapatkan stan-dari 50.5 mg/2.5 mg/ml = 20.2 ml sehingga volume larutan gula invert yang ditambahkan adalah 20.2-1 ml = 19.2 ml. Larutan tersebut didihkan selama 2 menit kemudian ditambahkan dengan 3-4 tetes indikator metilen biru. Teteskan larutan gula invert standar yang berfungsi sebagai titran sampai titrat berubah warna menjadi tidak berwarna.

Analisis contoh (incremental method)

Sebanyak 10 ml reagensia Soxhlet dan 10 ml larutan dari hasil persiapan contoh dimasukkan ke dalam erlenmeyer 100 ml. Panaskan larutan sampai mendidih selama 15 detik kemudian segera tambahkan larutan gula invert standar sampai warna biru hampir hilang. Setelah itu tambahkan 3-4 tetes indikator metilen biru dan teteskan larutan gula invert standar sampai titrat menjadi tidak berwarna.

Analisis contoh (standard method)

Apabila volume larutan gula invert standar yang digunakan adalah 20 ml, maka volume larutan gula invert standar yang ditambahkan pada reagensia Soxhlet adalah 20-1 ml = 19 ml. Sebanyak 10 ml reagensia Soxhlet, 10 ml larutan dari hasil persiapan contoh, dan 19 ml larutan gula invert standar dimasukkan ke dalam erlenmeyer 100 ml. Lakukan seperti


(38)

25 pada tahap incremental method. Kadar gula invert dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut:

Gula invert (%) = Keterangan:

Vo = volume gula invert standar untuk titrasi reagensia Soxhlet (ml) Vs = volume gula invert standar untuk titrasi larutan contoh (ml) [G] = konsentrasi gula invert standar (g/ml)

Ts = volume contoh total dari persiapan contoh (ml) T = volume contoh yang diperlukan untuk titrasi (ml) W = berat contoh (g)

F = faktor pengenceran

5. Analisis Sukrosa

Sebanyak 50 ml sampel gula bebas Pb dimasukkan ke dalam labu takar 100 ml kemudian ditambahkan dengan 20 ml akuades dan 10 ml larutan HCl 25%. Larutan tersebut dikocok dan diinversi. Inversi gula dapat dilakukan dengan memilih satu dari dua cara, yaitu menyimpan labu takat pada suhu 20-25°C selama 24 jam atau pada suhu ruangan selama 10 jam dan memasukkan labu takat ke dalam penangas air suhu 60°C sambil digoyang-goyang selama 3 menit dan selanjutnya tetap dibiarkan dalam penangas air selama 7 menit. Sampel kemudian didinginkan cepat sampai suhu 20°C. Tambahkan beberapa tetes larutan indikator phenolphthalein 1%. Netralkan dengan larutan NaOH 20% sampai timbul warna merah. Tambahkan tetes demi tetes larutan 0.5 N HCl sampai warna merah tepat hilang. Encerkan dengan akuades sampai tanda tera. Penentuan kadar sukrosa dilakukan seperti pada analisis gula invert. Total gula invert yang didapat pada tahap ini adalah gula invert sesudah inversi atau total gula. Kadar sukrosa dapat dihitung dengan menggunakan persamaan kadar sukrosa = (selisih antara total gula dan sebelum inversi) x 0.95.


(39)

26

D. Rancangan Percobaan

Rancangan percobaan yang digunakan untuk menentukan lama peren-daman optimum padapembuatan manisan semi basah pepaya adalah ranca-ngan percobaan pengamatan berulang (ral in time). Bentuk umum dari model ral in time dapat dituliskan sebagai berikut:

Yikl = µ + i + ik + l + kl + il + ikl Keterangan:

Yikl = nilai respon pada faktor A taraf ke-i, ulangan ke-k, waktu pengamatan ke-l

µ = rataan umum (total padatan terlarut) i = pengaruh faktor A taraf ke-i

ik = komponen acak perlakuan

l = pengaruh waktu pengamatan ke-l k = komponen acak waktu pengamatan

il = pengaruh interaksi waktu dengan faktor A

Penelitian ini menggunakan satu faktor dengan tiga taraf yaitu perban-dingan berat buah dengan volume larutan gula. Taraf penelitian ini adalah for-mula A, forfor-mula B, dan forfor-mula C. Waktu pengamatan dilakukan sebanyak 11 kali yaitu dari jam ke-0 sampai jam ke-10.


(40)

27

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Penentuan Lama Perendaman Optimum Masing-masing Konsentrasi Larutan Gula

Proses pembuatan manisan semi basah pepaya yang dilakukan pada penelitian ini mengikuti formulasi terbaik pembuatan manisan kering pepaya yang dilakukan oleh Pratiwi (2007) dengan beberapa modifikasi. Bentuk yang dipilih pada pembuatan manisan ini adalah kubus dengan panjang sisi 1 cm. Pemilihan ini bertujuan untuk menyeragamkan laju pengeringan osmotik bertingkat. Selain bentuk, modifikasi yang dilakukan adalah tahapan perendaman pepaya pada berbagai konsentrasi larutan gula. Perendaman pepaya di dalam larutan gula dimulai dari konsentrasi 20°brix, 30°brix, 40°brix, 50°brix, 60°brix, sampai 70°brix. Perendaman secara bertahap diha-rapkan mampu memaksimalkan difusi antara total solid dari lingkungan ke ja-ringan buah dan air dari jaja-ringan buah ke lingkungan sehingga mampu mem-bentuk karakter manisan yang diinginkan. Potassium sorbat ditambahkan pada konsentrasi gula 70°brix untuk memperpanjang umur simpan manisan semi basah pepaya. Potassium sorbat adalah jenis antimikroba yang biasa dipakai pada produk manisan dan konsentrasi yang digunakan pada pembuatan manisan adalah sebesar 200-250 ppm (Davidson et al. 2001). Batas peng-gunaan potassium sorbat pada produk olahan buah berdasarkan Codex Allimentarius adalah 1000 mg/kg.

Secara konvensional, perendaman buah di dalam larutan gula pada pembuatan manisan dilakukan lebih dari 12 jam. Perendaman buah di dalam larutan gula yang dilakukan dalam jangka waktu panjang akan menyebabkan inefisiensi waktu dan biaya, sedangkan perendaman buah di dalam larutan gula yang dilakukan dalam jangka waktu singkat belum tentu menghasilkan manisan yang memiliki testur yang diharapkan.

Penentuan lama waktu perendaman optimum masing-masing konsen-trasi larutan gula pada pembuatan manisan semi basah pepaya menggunakan pendekatan penurunan total padatan terlarut. Penurunan total padatan terlarut


(41)

28 merupakan penyederhanaan model difusi gula ke dalam jaringan buah dan di-fusi air dari dalam jaringan buah ke lingkungan. Penurunan total padatan terla-rut laterla-rutan gula dianalisis dengan menggunakan refraktometer.

Pada penentuan lama perendaman optimum masing-masing konsentra-si larutan gula, larutan gula pada ketiga formula diambil sampelnya tiap satu jam sekali selama 10 jam. Konsentrasi larutan gula yang diambil sampelnya adalah 20°brix, 30°brix, 40°brix, 50°brix, 60°brix, dan 70°brix. Besar total padatan terlarut tiap jam kemudian diplotkan ke dalam grafik untuk melihat laju penurunan total padatan terlarut (Lampiran 3). Grafik penurunan total padatan terlarut pada masing-masing konsentrasi larutan gula dapat dilihat pada Gambar 6.

Gambar 6 Grafik penurunan total padatan terlarut pada masing-masing konsentrasi larutan gula perendam.

10,0 20,0 30,0 40,0 50,0 60,0 70,0

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

to

ta

l

p

a

d

a

ta

n

t

e

rl

a

ru

t

b

ri

x

)

waktu perendaman (jam)

formula A formula B formula C


(42)

29 Gambar 6 memperlihatkan bahwa terjadi penurunan total padatan ter-larut pada masing-masing konsentrasi ter-larutan gula tiap jam. Fenomena penurunan total padatan terlarut juga terjadi pada pembuatan manisan semi basah mangga (Lampiran 23) dan manisan semi basah nanas (Lampiran 24). Penurunan total padatan terlarut merepresentasikan difusi gula ke dalam jaringan buah atau difusi air dari dalam jaringan buah ke lingkungan. Total padatan terlarut adalah jumlah padatan gula yang terkandung dalam 100 g larutan (%m/m) sehingga apabila terjadi pengurangan jumlah gula dalam suatu larutan dan penambahan massa larutan akibat difusi, total padatan terlarut akan berkurang. Penurunan total padatan terlarut disebabkan oleh larutan gula yang digunakan sebagai osmotic agent memiliki konsentrasi yang lebih tinggi daripada total padatan terlarut buah sehingga akan terjadi keseimbangan termodinamis antar kedua sistem. Keseimbangan termodinamis dicapai dengan cara difusi bahan terlarut dari larutan ke dalam bahan pangan dan difusi air dari dalam bahan pangan ke luar lingkungan sehingga akan terjadi penurunan berat bahan, penurunan jumlah air bahan, dan penambahan total padatan bahan (Torezan et al. 2004; Azoubel & Murr 2004; Aouar et al. 2006).

Gambar 6 memperlihatkan bahwa penurunan total padatan terlarut dari yang terbesar hingga yang terkecil berturut-turut adalah formula A, formula B, dan formula C. Hal ini disebabkan volume formula C lebih besar dibanding-kan volume formula B dan volume formula B lebih besar dibandingdibanding-kan volu-me formula A. Total padatan terlarut adalah jumlah padatan gula yang terkan-dung dalam 100 g larutan (%m/m) sehingga total padatan terlarut berbanding terbalik dengan massa larutan. Semakin besar massa larutan yang digunakan, semakin kecil penurunan total padatan terlarutnya.

Data total padatan terlarut pada masing-masing konsentrasi larutan gula kemudian diolah secara statistika menggunakan analisis ragam rancangan blok acak lengkap atau ANOVA untuk melihat perbedaan antar perlakuan. Rancangan yang digunakan pada penelitian ini adalah rancangan acak lengkap (ral) in time. Pemilihan rancangan ini karena pengamatan dilakukan secara berulang (Mattjik & Sumertajaya 2000). Berdasarkan analisis ragam dengan


(43)

taraf 0.5%, terdap sehingga perlu di dilakukan untuk m melihat waktu pe larut yang signifi yang signifikan, d Uji ini digunakan ing-masing konse sing konsentrasi la

Gambar 7 Lama gula. Berdasarka perendaman optim dalah formula C, besar volume osm dengan persamaa adalah tekanan os kan bahwa semak ubahan struktur se Perubahan struktu ringan buah akan semakin cepat pul

0 1 2 3 4 5 20 la m a p e re n d a m a n o p ti m u m ( ja m )

apat pengaruh yang nyata pada interaksi fakto dilakukan uji lanjut Duncan (Lampiran 4). Uj k masing-masing konsentrasi larutan gula dan perendaman yang menyebabkan penurunan to ifikan. Apabila tidak terjadi penurunan total , diasumsikan bahwa telah terjadi keseimbanga an untuk mengambil keputusan lama perendama

sentrasi larutan gula. Lama perendaman optim i larutan gula dapat dilihat pada Gambar 7.

a perendaman optimum masing-masing kon

rkan grafik di atas dapat ditarik kesimpulan ba timum dari yang tercepat hingga yang terlama , formula B, dan formula A. Hal ini disebabk smotic agent, semakin besar tekanan osmotik aan = - RT ln aw/V (Lewicki & Lenart 20

osmotik dan V adalah volume. Rastogi et al. ( akin besar tekanan osmotik suatu larutan, sem sel yang awalnya bersifat semipermeabel men tur sel yang semakin cepat membuat difusi gu an semakin cepat sehingga waktu perendaman

ula.

20 30 40 50 60 70

konsentrasi larutan gula (°brix)

30 tor dengan waktu Uji lanjut Duncan n bertujuan untuk total padatan ter-al padatan terlarut

gan termodinamis. man optimum ma-imum

masing-ma-onsentrasi larutan

bahwa total waktu a berturut-turut a-bkan oleh semakin

tik. Hal ini sesuai 2006), dimana

(2000) menyata-emakin cepat per-enjadi permeabel. gula ke dalam

ja-an optimum akja-an A

B


(44)

Lama pere kat di antara kon dinding membran pada awal perend langsung lama. L buah yang bersifa da konsentrasi 30 bih lama.

1) Analisis Prod

Setelah trasi gula dida semi basah pe kemudian dia merupakan h memengaruhi mikrobiologi, an mikroba, re (Rahman & L 6) ketiga form

G Analis (Lampiran 8) 10 12 14 16 18 20 k a d a r a ir ( % B B )

rendaman optimum pada konsentrasi gula 20°b onsentrasi larutan gula perendam lainnya. Hal an sel buah masih bersifat semipermeabel (Ras ndaman sehingga difusi gula ke dalam jaringan Larutan gula yang hipertonik membuat strukt ifat semipermeabel menjadi permeabel sehingg 30°brix, 40°brix, 50°brix, 60°brix, dan 70°brix

oduk

lah data lama perendaman optimum masing-dapat, data ini kemudian digunakan untuk pem pepaya selanjutnya. Produk akhir manisan sem

ianalisis kadar air dan nilai aw-nya. Kadar a hal penting dalam suatu bahan pangan ka hi kestabilan bahan pangan baik dari segi fi i, sedangkan nilai aw merupakan faktor kunci b , reaksi enzimatis, oksidasi lipid, dan mutu org

Labuza 1999). Nilai kadar air (Lampiran 5) da rmula dapat dilihat pada Gambar 8 dan Gambar

Gambar 8 Nilai kadar air ketiga formula (% B lisis ragam pada Gambar 8 (Lampiran 7)

) menunjukkan bahwa perbedaan perlakuan tid

17.78a 18.90a 18.83

0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20

A B C

formula

31 0°brix paling

sing-al ini disebabkan astogi et al. 2000) an buah tidak

ber-ktur membran sel gga difusi gula

pa-ix berlangsung

le--masing konsen-embuatan manisan

emi basah pepaya r air dan nilai aw

karena kadar air fisik, kimia, dan i bagi pertumbuh-rganoleptik bahan dan aw (Lampiran

ar 9.

BB).

) dan Gambar 9 tidak berpengaruh 8.83a


(45)

nyata terhadap data tersebut, larut untuk me penelitian ini dan nilai aw k ke dalam jarin dak berbeda n

Penuru (Rodrigues et pengeringan (Fernandes et 0.9 menjadi s selama proses but menyebab menjadi berku hidrogen deng Berdas dihasilkan pad karena suatu p miliki aw sek Spesifikasi m produk akhir 0,000 0,100 0,200 0,300 0,400 0,500 0,600 0,700 0,800 n il a i a w

ap kadar air dan nilai aw ketiga formula (p<0.0 t, dapat dikatakan bahwa metode penurunan to menentukan lama perendaman optimum yang ni berhasil. Asumsi yang digunakan adalah a ketiga formula tidak berbeda nyata, total gula ringan buah dan total air yang berdifusi ke lua

nyata pula.

Gambar 9 Nilai aw ketiga formula. runan kadar air pepaya yang awalnya 8 et al. 2003) menjadi sekitar 18 % (BB) dis (Karathanos 1999) dan pengeringan osm et al. 2006). Penurunan nilai aw pepaya yang i sekitar 0.72 disebabkan difusi counter-curre

es pengeringan osmotik bertingkat (Aouar 200 abkan sehingga ketersediaan air untuk pertum kurang akibat air yang terdapat dalam bahan p ngan gula.

asarkan data pada Gambar 8 dan Gambar 9 ada penelitian ini tergolong ke dalam jenis pan u pangan digolongkan sebagai pangan semi ba sekitar 0.6-0.9 dan kadar air 10-50% (BB) manisan dapat dilihat pada Lampiran 22, sed ir manisan semi basah pepaya dapat dilihat pa

0.721a 0.712a 0.723

,000 ,100 ,200 ,300 ,400 ,500 ,600 ,700 ,800

A B C

formula

32 .05). Berdasarkan total padatan ter-g diter-gunakan pada apabila kadar air ula yang berdifusi luar lingkungan

82.83 % (BB) disebabkan proses smotik bertingkat g awalnya sekitar rrent yang terjadi 006). Proses terse-umbuhan mikroba

pangan berikatan

9, manisan yang angan semi basah basah apabila

me-B) (Roos 2001). edangkan gambar pada Gambar 10. .723a


(46)

33 Mikroba yang dapat tumbuh pada produk jenis ini adalah kapang xerofilik (Roos 2001). Pitt dan Hocking (1997) menyatakan bahwa Xeromyces bisporus dan Chrysosporium xerophilum adalah jenis kapang xerofilik yang sering mengontaminasi manisan. Kedua spesies kapang tersebut da-pat bergerminasi pada aw di atas 0.7 dan suhu 25°C, 30°C, dan 37°C de-ngan waktu germinasi yang semakin cepat pada pH 4.5-5.5 (Gock et al. 2003).

Gambar 10 Gambar produk akhir manisan semi basah pepaya. Gambar 10 memperlihatkan bahwa permukaan luar manisan memiliki penampakan kering. Hal ini disebabkan konsentrasi larutan gula yang digunakan pada tahap perendaman terakhir cenderung jenuh yaitu 70°brix. Pada konsentrasi tersebut larutan gula mudah untuk mengkristal ketika dipanaskan.

B. Penentuan Konsentrasi Gula Invert yang Menyebabkan Penampakan Basah pada Manisan Semi Basah Pepaya

Pemakaian berulang larutan gula pada pembuatan manisan dapat mengakibatkan terbentuknya gula invert yang menyebabkan penampakan ba-sah pada manisan semi baba-sah pepaya. Konsentrasi gula invert yang menyebab-kan penampamenyebab-kan basah tersebut dapat diketahui dengan menggunamenyebab-kan uji or-ganoleptik. Uji organoleptik yang dilakukan pada penelitian ini adalah uji pembedaan salah satu atribut yaitu tingkat kekeringan (uji beda dari kontrol). Kontrol yang digunakan pada uji organoleptik adalah manisan semi basah pe-paya yang direndam dengan larutan gula pasir. Penampakan basah pada mani-san disebabkan kandungan gula invert sulit mengkristal saat dipanaskan.

Uji organoleptik dilakukan secara dua tahap. Tahap pertama bertujuan untuk mendapatkan rentang konsentrasi gula invert yang menyebabkan pe-nampakan basah pada manisan (Lampiran 9), sedangkan tahap kedua


(47)

ber-tujuan untuk men penampakan basa pertama (Lampira

G Analisis ra perbedaan perlaku (p<0.05) sehingga lanjut Dunnet men la invert memiliki nisan yang dirend da nyata dengan k ngan rentang kons uji organoleptik ta

Ga 0 0,51 1,52 2,53 3,54 4,55 5,56 6,57 manisan y direndam invert 12 sk o r p e n il a ia n 0 0,51 1,52 2,53 3,54 4,55 5,56 6,57 manisa direnda inver sk o r p e n il a ia n

endapatkan konsentrasi gula invert yang dapa sah pada manisan (Lampiran 13). Hasil uji org iran 10) dapat dilihat pada Gambar 11.

Gambar 11 Hasil organoleptik tahap pertama. ragam (Lampiran 11) pada Gambar 11 menu

kuan berpengaruh nyata terhadap tingkat keke ga dilanjutkan dengan uji lanjut Dunnet (La enunjukkan bahwa kelima sampel manisan yan iki tingkat kekeringan yang berbeda nyata deng ndam gula invert 12% memiliki tingkat kekerin n kontrol sehingga uji organoleptik tahap kedu

nsentrasi gula invert 12%, yaitu 3%, 6%, 9%, tahap kedua (Lampiran 14) dapat dilihat pada

Gambar 12 Hasil uji organoleptik tahap kedua

an yang am gula rt 12% manisan yang direndam gula invert 24% manisan yang direndam gula invert 36% manisan yang direndam gula invert 48% manisan yang direndam gula invert 60% sampel nisan yang endam gula nvert 3% manisan yang direndam gula invert 6% manisan yang direndam gula invert 9% manisan yang direndam gula invert 12% sampel 34 pat menyebabkan organoleptik tahap

a.

nunjukkan bahwa keringan manisan Lampiran 12). Uji yang direndam

gu-ngan kontrol. Ma-ringan yang berbe-dua dilakukan de-, dan 12%. Hasil a Gambar 12.

ua. yang gula 0% manisan yang direndam gula pasir (kontrol) manisan yang direndam gula pasir (kontrol)


(48)

35 Analisis ragam (Lampiran 15) pada Gambar 12 menunjukkan bahwa perbedaan perlakuan berpengaruh nyata terhadap tingkat kekeringan manisan (p<0.05) sehingga dilajutkan dengan uji lanjut Dunnet (Lampiran 16). Uji lanjut Dunnet menunjukkan bahwa sampel manisan yang direndam gula invert 6% memiliki tingkat kekeringan yang berbeda nyata dengan kontrol sehingga dapat disimpulkan bahwa konsentrasi gula invert yang menyebabkan penam-pakan basah pada manisan semi basah pepaya adalah 6%. Data ini memiliki manfaat pada pemakaian berulang larutan gula dalam pembuatan manisan semi basah pepaya karena apabila larutan gula telah mengandung gula invert sebesar 6%, larutan gula tersebut sudah tidak bisa dipakai kembali.

1) Pengkorelasian Data Konsentrasi Gula Invert dengan Persamaan Silin (1958)

Konsentrasi gula invert yang menyebabkan penampakan basah pada manisan semi basah pepaya adalah sekitar 6%. Data konsentrasi gula invert ini kemudian dikorelasikan dengan persamaan Silin (1958) sehingga lama pemanasan pada berbagai suhu dan pH larutan gula untuk mencapai konsentrasi gula invert 6% dapat diketahui. Contoh perhitungan lama pe-manasan dengan menggunakan persamaan Silin (1958) dapat dilihat pada Lampiran 17, sedangkan lama pemanasan pada berbagai suhu dan pH larutan gula untuk mencapai konsentrasi gula invert 6% dapat dilihat pada Tabel 6.

Data ini menjadi penting pada pembuatan manisan semi basah pe-paya karena larutan gula biasanya dipanaskan kembali sebelum digunakan untuk pemakaian selanjutnya untuk melarutkan gula dan mengurangi jum-lah mikroba yang mengontaminasi larutan gula pada pemakaian sebelum-nya. Namun, larutan gula yang telah dipakai sebagai osmotic agent pada pemakaian sebelumnya dapat menurun nilai pH-nya akibat kandungan asam pada buah pepaya dimana jenis asam yang banyak terdapat dalam buah pepaya adalah asam malat, asam -ketoglutarat, asam sitrat, dan asam askorbat (Arriola et al. 1980). Menurut Arriola et al. (1980), total asam yang direpresentasikan sebagai asam sitrat pada buah pepaya adalah 0.15 g/100 g.


(49)

36 Tabel 6 Lama pemanasan pada berbagai suhu dan pH larutan gula untuk

mencapai konsentrasi gula invert 6%

Kondisi asam larutan gula disertai proses pemanasan akan meng-akibatkan terbentuk gula invert (Imanda 2007) dimana suhu adalah katalis pada reaksi hidrolisis sukrosa, sedangkan pH rendah adalah suatu syarat kondisi terjadinya reaksi hidrolisis sukrosa. Semakin cepat penurunan pH akibat asam yang terdapat dalam buah pepaya dan semakin tinggi suhu yang digunakan pada pemanasan berulang larutan gula, semakin cepat waktu yang dibutuhkan untuk mencapai konsentrasi tertentu gula invert. Hal ini sesuai dengan data pada Tabel 6 dimana lama pemanasan yang dibutuhkan untuk mencapai konsentrasi gula invert 6% lebih cepat pada suhu 100°C dibandingkan dengan suhu 50°C pada pH yang lebih asam.

Pemanasan berulang larutan gula lebih efektif dilakukan pada suhu tinggi yaitu sekitar 65°C. Hal ini dimaksudkan untuk mengurangi jumlah mikroba yang mengontaminasi larutan gula pada pemakaian sebelumnya. Mikroba yang umumnya mengontaminasi adalah khamir. Pemanasan pada suhu 55°C-65°C dapat mengurangi jumlah khamir dimana nilai D pada suhu 55°C sekitar 5-10 menit, sedangkan nilai D pada suhu 65°C sekitar < 1 menit. (Engel 1994 di dalam Deák 2008). Namun, pemanasan pada suhu tersebut tidak bisa dilakukan pada larutan gula pH 4 karena waktu yang dibutuhkan untuk mencapai konsentrasi gula invert 6% sangat sebentar yaitu 5 menit. Pemanasan berulang larutan gula paling aman dilakukan pada suhu 65°C-80°C dengan pH 5 dan suhu 65°C-100°C pada pH > 5 karena waktu yang dibutuhkan larutan gula untuk mencapai konsentrasi gula invert sebesar 6% relatif lama yaitu 15 menit.

pH suhu (°C)

100 223.9 22.4 2.2 0.2 0.0 0.0 0.0

90 672.6 67.3 6.7 0.7 0.1 0.0 0.0

80 1818.2 181.8 18.2 1.8 0.2 0.0 0.0

70 5084.7 508.5 50.8 5.1 0.5 0.1 0.0

60 15789.5 1578.9 157.9 15.8 1.6 0.2 0.0

50 50000.0 5000.0 500.0 50.0 5.0 0.5 0.1

7 6 5 4 3 2 1


(1)

98

Formula A (lanjutan)

perendaman ke- jam

konsentrasi gula (°brix)

rata-rata SD ulangan 1 ulangan 2

1 2 3 1 2 3

4

0 50.0 50.0 50.0 50.0 50.0 50.0 50.0 0.000 1 45.0 44.8 45.0 44.2 44.0 44.0 44.5 0.486 2 44.0 43.8 43.8 42.8 42.6 42.6 43.3 0.665 3 43.1 43.0 43.0 42.2 42.2 42.2 42.6 0.458 4 42.6 42.6 42.5 41.6 41.5 41.6 42.1 0.550 5 42.2 42.0 42.0 41.0 41.0 41.1 41.6 0.572 6 41.8 41.8 41.6 41.0 40.8 40.6 41.3 0.532 7 41.4 41.5 41.6 40.7 40.7 40.6 41.1 0.462 8 41.4 41.4 41.4 40.6 40.4 40.5 41.0 0.497 9 41.4 41.4 41.2 40.4 40.3 40.4 40.9 0.536 10 41.2 41.2 41.3 40.3 40.3 40.2 40.8 0.532

5

0 60.0 60.0 60.0 60.0 60.0 60.0 60.0 0.000 1 56.4 56.4 56.3 55.5 55.4 55.4 55.9 0.514 2 55.4 55.2 55.3 54.4 54.3 54.3 54.8 0.534 3 54.5 54.4 54.5 53.4 53.5 53.5 54.0 0.550 4 53.8 53.7 53.6 52.8 52.8 52.8 53.3 0.497 5 53.2 53.1 53.1 52.4 52.3 52.3 52.7 0.441 6 52.8 52.8 52.8 52.0 52.0 52.0 52.4 0.438 7 52.5 52.5 52.5 51.8 51.7 51.7 52.1 0.422 8 52.4 52.4 52.3 51.6 51.5 51.6 52.0 0.441 9 52.4 52.3 52.3 51.4 51.4 51.3 51.9 0.532 10 52.3 52.3 52.3 51.3 51.3 51.2 51.8 0.567

6

0 70.0 70.0 70.0 70.0 70.0 70.0 70.0 0.000 1 66.4 66.4 66.2 65.6 65.6 65.6 66.0 0.408 2 65.0 65.0 65.0 64.3 64.3 64.3 64.7 0.383 3 64.4 64.6 64.7 63.8 63.8 64.0 64.2 0.402 4 64.0 64.0 64.0 63.4 63.2 63.2 63.6 0.408 5 63.8 63.7 63.6 63.0 62.9 63.0 63.3 0.408 6 63.4 63.4 63.6 62.8 62.8 62.8 63.1 0.372 7 63.2 63.3 63.3 62.6 62.6 62.6 62.9 0.367 8 63.1 63.0 63.0 62.4 62.4 62.5 62.7 0.333 9 62.8 62.8 62.7 62.2 62.2 62.2 62.5 0.313 10 62.8 62.7 62.8 62.2 62.2 62.2 62.5 0.313


(2)

99

Formula B

perendaman ke- jam

konsentrasi gula (°brix)

rata-rata SD ulangan 1 ulangan 2

1 2 3 1 2 3

1

0 20.0 20.0 20.0 20.0 20.0 20.0 20.0 0.000 1 17.0 17.0 17.1 17.0 17.1 17.0 17.0 0.052 2 17.0 17.0 17.1 17.1 17.0 17.0 17.0 0.052 3 17.0 17.0 17.0 17.0 17.0 17.0 17.0 0.000 4 16.9 16.9 17.0 16.9 16.9 16.9 16.9 0.041 5 16.8 16.9 16.9 16.8 16.9 16.9 16.9 0.052 6 16.8 16.7 16.8 16.8 16.8 16.8 16.8 0.041 7 16.8 16.7 16.7 16.8 16.8 16.7 16.8 0.055 8 16.8 16.7 16.7 16.7 16.7 16.7 16.7 0.041 9 16.7 16.7 16.6 16.7 16.7 16.6 16.7 0.052 10 16.7 16.7 16.6 16.6 16.7 16.7 16.7 0.052

2

0 30.0 30.0 30.0 30.0 30.0 30.0 30.0 0.000 1 27.7 27.7 27.7 27.8 27.7 27.7 27.7 0.041 2 27.3 27.3 27.3 27.3 27.3 27.4 27.3 0.041 3 27.0 27.0 27.1 27.0 27.0 27.1 27.0 0.052 4 26.9 26.9 27.0 27.0 27.0 27.0 27.0 0.052 5 26.9 26.9 26.8 26.9 26.8 26.9 26.9 0.052 6 26.8 26.8 26.8 26.9 26.8 26.8 26.8 0.041 7 26.7 26.7 26.7 26.7 26.7 26.7 26.7 0.000 8 26.6 26.7 26.7 26.7 26.7 26.6 26.7 0.052 9 26.6 26.7 26.7 26.7 26.6 26.6 26.7 0.055 10 26.6 26.7 26.6 26.6 26.6 26.6 26.6 0.041

3

0 40.0 40.0 40.0 40.0 40.0 40.0 40.0 0.000 1 37.6 37.6 37.6 37.6 37.6 37.6 37.6 0.000 2 37.3 37.3 37.3 37.3 37.2 37.3 37.3 0.041 3 37.0 37.0 37.1 37.0 37.0 36.9 37.0 0.063 4 36.7 36.7 36.7 36.7 36.7 36.8 36.7 0.041 5 36.6 36.6 36.6 36.6 36.5 36.6 36.6 0.041 6 36.5 36.5 36.5 36.5 36.5 36.4 36.5 0.041 7 36.3 36.4 36.4 36.3 36.4 36.4 36.4 0.052 8 36.2 36.3 36.3 36.3 36.3 36.3 36.3 0.041 9 36.2 36.2 36.1 36.2 36.2 36.1 36.2 0.052 10 36.0 36.0 36.0 36.0 36.0 36.0 36.0 0.000


(3)

100

Formula B (lanjutan)

perendaman ke- jam

konsentrasi gula (°brix)

rata-rata SD ulangan 1 ulangan 2

1 2 3 1 2 3

4

0 50.0 50.0 50.0 50.0 50.0 50.0 50.0 0.000 1 48.0 48.0 48.0 48.0 48.0 47.8 48.0 0.082 2 47.3 47.4 47.4 47.4 47.4 47.4 47.4 0.041 3 47.0 47.0 47.0 47.0 47.0 47.0 47.0 0.000 4 46.7 46.7 46.7 46.7 46.7 46.7 46.7 0.000 5 46.4 46.4 46.6 46.4 46.5 46.4 46.5 0.084 6 46.4 46.3 46.3 46.2 46.2 46.2 46.3 0.082 7 46.2 46.2 46.2 46.0 46.0 46.0 46.1 0.110 8 46.1 46.0 46.1 46.0 46.0 46.0 46.0 0.052 9 46.0 46.0 46.0 46.0 46.0 46.0 46.0 0.000 10 46.0 46.0 46.0 45.8 45.8 45.8 45.9 0.110

5

0 60.0 60.0 60.0 60.0 60.0 60.0 60.0 0.000 1 58.4 58.5 58.4 58.4 58.4 58.3 58.4 0.063 2 58.0 58.0 58.0 57.8 57.9 57.8 57.9 0.098 3 57.6 57.6 57.6 57.4 57.5 57.5 57.5 0.082 4 57.2 57.2 57.2 57.2 57.2 57.2 57.2 0.000 5 57.0 57.0 56.8 56.8 56.9 56.8 56.9 0.098 6 56.8 56.8 56.8 56.7 56.8 56.8 56.8 0.041 7 56.5 56.6 56.6 56.6 56.6 56.6 56.6 0.041 8 56.5 56.4 56.4 56.4 56.5 56.5 56.5 0.055 9 56.4 56.3 56.4 56.5 56.4 56.3 56.4 0.075 10 56.3 56.3 56.3 56.4 56.4 56.3 56.3 0.052

6

0 70.0 70.0 70.0 70.0 70.0 70.0 70.0 0.000 1 68.4 68.2 68.0 68.6 68.4 68.4 68.3 0.207 2 68.0 67.8 67.7 68.0 68.0 68.0 67.9 0.133 3 67.4 67.6 67.3 67.6 67.5 67.6 67.5 0.126 4 67.4 67.4 67.4 67.4 67.5 67.4 67.4 0.041 5 67.0 67.2 67.0 67.3 67.2 67.2 67.2 0.122 6 66.7 67.0 66.8 67.0 67.0 66.9 66.9 0.126 7 66.7 66.8 66.7 66.8 66.8 66.7 66.8 0.055 8 66.6 66.6 66.5 66.6 66.6 66.6 66.6 0.041 9 66.6 66.6 66.5 66.6 66.5 66.6 66.6 0.052 10 66.6 66.5 66.5 66.6 66.5 66.5 66.5 0.052


(4)

101

Formula C

perendaman ke- jam

konsentrasi gula (°brix)

rata-rata SD ulangan 1 ulangan 2

1 2 3 1 2 3

1

0 20.0 20.0 20.0 20.0 20.0 20.0 20.0 0.000 1 18.0 18.0 18.0 18.4 18.3 18.3 18.2 0.186 2 18.0 18.0 18.0 18.3 18.3 18.3 18.2 0.164 3 17.9 18.0 18.0 18.2 18.2 18.2 18.1 0.133 4 17.8 17.9 17.9 18.2 18.2 18.2 18.0 0.186 5 17.8 17.8 17.8 18.2 18.1 18.2 18.0 0.204 6 17.8 17.8 17.8 18.1 18.2 18.1 18.0 0.186 7 17.7 17.8 17.8 18.0 18.1 18.1 17.9 0.172 8 17.8 17.8 17.7 18.0 18.1 18.1 17.9 0.172 9 17.7 17.8 17.7 18.1 18.1 18.0 17.9 0.190 10 17.7 17.7 17.7 17.9 18.0 18.0 17.8 0.151

2

0 30.0 30.0 30.0 30.0 30.0 30.0 30.0 0.000 1 28.4 28.3 28.3 28.3 28.3 28.3 28.3 0.041 2 28.3 28.2 28.2 28.3 28.2 28.2 28.2 0.052 3 28.2 28.1 28.2 28.2 28.2 28.1 28.1 0.052 4 28.2 28.1 28.1 28.2 28.0 28.0 28.1 0.089 5 28.0 28.0 28.0 28.1 28.0 28.0 28.0 0.041 6 28.0 27.9 27.9 28.0 28.1 28.0 28.0 0.075 7 28.0 27.8 28.0 28.0 28.1 28.0 28.0 0.098 8 27.8 27.8 27.8 28.0 28.0 28.0 27.9 0.110 9 27.8 27.8 27.8 28.0 28.0 28.0 27.9 0.110 10 27.7 27.8 27.8 28.0 28.0 28.0 27.9 0.133

3

0 40.0 40.0 40.0 40.0 40.0 40.0 40.0 0.000 1 38.4 38.4 38.4 38.5 38.5 38.6 38.5 0.082 2 38.2 38.3 38.2 38.3 38.2 38.2 38.2 0.052 3 37.8 37.9 37.9 37.9 37.9 37.9 37.9 0.041 4 37.8 37.9 37.8 37.8 37.8 37.9 37.8 0.052 5 37.7 37.7 37.8 37.8 37.7 37.7 37.7 0.052 6 37.6 37.6 37.6 37.6 37.7 37.6 37.6 0.041 7 37.5 37.5 37.5 37.5 37.5 37.6 37.5 0.041 8 37.5 37.4 37.5 37.5 37.5 37.5 37.5 0.041 9 37.4 37.4 37.4 37.4 37.4 37.4 37.4 0.000 10 37.4 37.4 37.4 37.4 37.4 37.4 37.4 0.000


(5)

102

Formula C (lanjutan)

perendaman ke- jam

konsentrasi gula (°brix)

rata-rata SD ulangan 1 ulangan 2

1 2 3 1 2 3

4

0 50.0 50.0 50.0 50.0 50.0 50.0 50.0 0.000 1 48.6 48.6 48.6 48.6 48.6 48.4 48.6 0.082 2 48.3 48.2 48.3 48.2 48.3 48.3 48.3 0.052 3 48.0 48.0 48.0 48.0 48.0 48.0 48.0 0.000 4 47.9 47.9 48.0 47.8 47.8 47.8 47.9 0.082 5 47.6 47.6 47.6 47.6 47.6 47.6 47.6 0.000 6 47.6 47.6 47.6 47.4 47.6 47.6 47.6 0.082 7 47.5 47.5 47.5 47.5 47.5 47.6 47.5 0.041 8 47.4 47.4 47.4 47.4 47.4 47.4 47.4 0.000 9 47.4 47.4 47.4 47.4 47.4 47.4 47.4 0.000 10 47.3 47.3 47.3 47.2 47.2 47.3 47.3 0.052

5

0 60.0 60.0 60.0 60.0 60.0 60.0 60.0 0.000 1 58.9 59.0 59.0 58.9 58.8 58.9 58.9 0.075 2 58.7 58.8 58.7 58.6 58.5 58.6 58.7 0.105 3 58.4 58.4 58.5 58.3 58.3 58.4 58.4 0.075 4 58.4 58.3 58.4 58.2 58.2 58.2 58.3 0.098 5 58.1 58.1 58.1 58.0 58.0 58.0 58.1 0.055 6 58.0 58.0 58.0 57.9 57.9 58.0 58.0 0.052 7 57.9 57.9 57.9 57.8 57.7 57.8 57.8 0.082 8 57.9 57.8 57.8 57.7 57.6 57.7 57.8 0.105 9 57.8 57.7 57.8 56.5 57.6 57.6 57.5 0.498 10 57.8 57.7 57.7 56.5 57.5 57.6 57.5 0.484

6

0 70.0 70.0 70.0 70.0 70.0 70.0 70.0 0.000 1 68.6 68.6 68.6 68.6 68.6 69.0 68.7 0.163 2 68.4 68.4 68.4 68.4 68.2 68.4 68.4 0.082 3 68.0 68.4 68.2 68.3 68.4 68.4 68.3 0.160 4 68.2 68.2 68.2 68.4 68.0 68.3 68.2 0.133 5 68.0 68.0 68.0 68.0 68.0 68.2 68.0 0.082 6 67.8 68.0 67.8 68.0 68.0 68.0 67.9 0.103 7 67.6 67.6 67.6 67.8 67.9 67.8 67.7 0.133 8 67.6 67.6 67.6 68.0 67.8 67.8 67.7 0.163 9 67.4 67.4 67.5 68.0 67.8 67.7 67.6 0.242 10 67.4 67.3 67.4 68.0 67.9 67.8 67.6 0.301


(6)

103 10,0

20,0 30,0 40,0 50,0 60,0 70,0

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

to

ta

l

p

a

d

a

ta

n

t

e

rl

a

ru

t

(

°b

ri

x

)

waktu perendaman (jam)

Kurva Penurunan Total Padatan Terlarut pada

Pembuatan Manisan Semi Basah Nanas

formula A formula B formula C