8
ngan bahan terlarut pada sistem larutan Lewicki Lenart 2006. Peristiwa tersebut dikenal dengan nama plasmolisis dimana plasmolisis akan mengubah
struktur jaringan buah yang awalnya bersifat semipermeabel menjadi permea- bel terhadap bahan terlarut Alzamora et al. 2003. Komponen sel buah yang
bersifat semipermeabel adalah plasmalemma, sedangkan dinding sel bersifat permeabel terhadap air dan komponen dengan berat molekul rendah.
Terdapat dua parameter yang memengaruhi laju pengeringan osmotik bertingkat, yaitu parameter proses dan parameter produk. Parameter proses
meliputi konsentrasi larutan, suhu larutan, lama perendaman, tekanan, dan ra- sio bahan terhadap larutan, sedangkan parameter produk meliputi bentuk dan
ukuran, perlakuan awal, dan karakteristik bahan pangan Lazarides 2001. Bentuk dan ukuran bahan pangan memengaruhi besar water loss WL dan
sugar gain SG. Bentuk kubus dan cincin akan mengalami WL dan SG yang
lebih besar dibandingkan bentuk slice dan stick Lazarides 2001. Selain bentuk dan ukuran, perlakuan awal seperti perendaman buah di dalam larutan
CaCl
2
sebelum proses pengeringan osmotik bertingkat akan memperbaiki tekstur buah Rodrigues et al. 2003.
Penggunaan teknologi akan mempercepat proses pengeringan karena sebagian air yang terdapat dalam buah sudah berkurang selama proses penge-
ringan osmotik bertingkat berlangsung. Namun, fisibilitas ekonomi pembuatan manisan sangat tergantung oleh pemakaian berulang larutan gula sebagai os-
motic agent . Semakin sering larutan gula dapat dipakai kembali, semakin eko-
nomis pembuatan manisan tersebut.
C. Pengukuran Total Padatan Terlarut dengan Refraktometer
Total padatan terlarut adalah jumlah padatan yang terkandung dalam larutan mm. Metode yang dapat digunakan untuk menentukan total pa-
datan terlarut adalah refraktometri dan gravimetri pengeringan oven Asadi 2007. Hasil dari kedua metode tidak terlalu berbeda namun waktu penger-
jaannya berbeda. Metode refraktometri dapat dilakukan dalam waktu 3 menit, sedangkan metode gravimetri menghabiskan waktu 3 jam.
9
Total padatan terlarut merupakan istilah yang biasa digunakan untuk merepresentasikan total sukrosa dan non-sukrosa dalam 100 g larutan. Pada la-
rutan sukrosa murni, total padatan terlarut merepresentrasikan total sukrosa dalam suatu larutan. Namun apabila larutan tidak mengandung sukrosa murni,
total padatan terlarut merepresentasikan total sukrosa dan non-sukrosa dalam suatu larutan Asadi 2007. Semakin tinggi total sukrosa dalam suatu larutan,
semakin murni larutan tersebut. Total padatan terlarut untuk masing-masing gula berbeda-beda. Berda-
sarkan penelitian yang dilakukan oleh Imanda 2007, total padatan terlarut untuk gula cetak aren, kelapa, dan tebu berturut-turut adalah 83.8, 89.7,
dan 87.4. Total sukrosa untuk ketiga jenis gula tersebut juga berbeda yaitu 75.8 untuk gula aren, 84.3 untuk gula kelapa, dan 86 untuk gula tebu
Imanda 2007. Berdasarkan data tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa kemurnian gula dari yang tertinggi hingga terendah adalah gula kelapa, gula
tebu, dan gula aren. Refraktometer adalah suatu instrumen alat yang dapat mengukur
indeks refraktif RI dari suatu larutan dan mengkonversinya ke dalam total padatan terlarut. Hasil dari pengukuran refraktometer adalah total padatan
terlarut refraktometri atau biasa disebut derajat brix °brix. Teknik pengukur- an dengan menggunakan refraktometer disebut refraktometri, dimana pengu-
kuran berdasarkan sudut pembiasan suatu sinar jika mengenai suatu permu- kaan Asadi 2007.
Nilai RI suatu larutan adalah rasio antara kecepatan cahaya suatu udara dan kecepatan cahaya suatu larutan. Nilai RI udara sekitar 1, sedangkan nilai
RI air murni pada suhu 20°C pada panjang gelombang 589 nm adalah 1.333. Nilai RI pada larutan sukrosa murni 10 adalah 1.348. Nilai RI biasanya
merepresentasikan besar total padatan terlarut suatu sampel. Nilai RI dipe- ngaruhi oleh suhu sampel, konsentrasi sampel, dan panjang gelombang refrak-
tometer. Nilai RI suatu larutan sukrosa murni dapat merepresentasikan lang- sung besar total padatan terlarut, namun larutan yang terdiri dari campuran su-
krosa dan non-sukrosa dapat memengaruhi nilai RI. Gula invert dapat menu- runkan nilai RI, sedangkan rafinosa dan dekstran dapat meningkatkan nilai RI.
10
Namun, nilai derajat brix pada larutan yang terdiri dari campuran sukrosa dan non-sukrosa dapat merepresentasikan rata-rata total padatan terlarut Asadi
2007. Refraktometer biasanya dikalibrasi dengan larutan sukrosa murni pada
suhu standar laboratorium yaitu 20°C. Apabila suhu sampel kurang atau lebih dari 20°C, perlu dilakukan konversi untuk mendapatkan data total padatan
terlarut yang akurat. Apabila suhu sampel lebih dari 20°C, data total padatan terlarut ditambah dengan 0.08, sedangkan apabila suhu sampel kurang dari
20°C, data total padatan terlarut dikurangi dengan 0.08 Asadi 2007. Perkembangan alat refraktometer dimulai dari penemuan hydrometer
untuk mengukur total padatan terlarut oleh ilmuwan A. Baume pada tahun 1768. Kemudian pada tahun 1840 terjadi penyempurnaan hydrometer menjadi
Balling scale. Pada tahun 1854 ditemukan alat yang dinamakan brix hydro-
meter dengan satuan derajat brix yang sesuai dengan nama penemunya, A. F.
W. Brix. Awalnya pembacaan total padatan terlarut pada refraktometer meng- andalkan indera penglihatan untuk melihat meniskus derajat brix. Hal ini dapat
meningkatkan human error sehingga diciptakan refraktometer modern yang dapat membaca nilai total padatan terlarut secara digital. Selain itu, refrak-
tometer modern dilengkapi dengan display suhu sampel sehingga apabila suhu sampel tidak sama dengan suhu standar laboratorium, dapat dilakukan kon-
versi nilai total padatan terlarut Asadi 2007.
D. Pengeringan