1
BAB 1 PENDAHULUAN
Dalam bab ini dijelaskan tentang latar belakang dilakukan penelitian ini, pembatasan dan rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, serta
sistematika penulisan.
1.1 Latar Belakang Masalah
Dalam era global saat ini, ketika beberapa aspek kehidupan semakin meningkat,
seperti teknologi,
pendidikan, serta
gaya hidup
masyarakat, mengakibatkan meningkat pula kebutuhan individu untuk tetap bertahan hidup.
Kemajuan yang ditampilkan ternyata tidak sebanding dengan kemajuan pada tingkat kesejahteraan masyarakat. Kita ketahui bahwa pada akhir tahun 2010
dalam berbagai media, memberitakan tingkat kemiskinan rakyat Indonesia berdasarkan hasil penelitian dari Badan Pusat Statistik BPS. BPS menyebutkan
angka kemiskinan Indonesia hingga tahun 2010 berada dalam angka yang memprihatinkan yakni 13,33 persen atau 31,02 juta orang dalam taraf kemiskinan
Berita Resmi Statistik No. 4507Th. XIII, 1 Juli 2010. Angka ini tentunya tidak menggembirakan. Ditambah lagi dengan
tingginya angka kemiskinan dibarengi dengan angka kejahatan dan kriminalitas yang semakin tinggi pula. BPS mencatat dalam kurun waktu lima tahun jumlah
tindak pidana di Indonesia yakni mencapai 344.942 kasus dari 196.931 kasus, dan Jakarta memberikan sumbangan tertinggi yakni sebanyak 57.041 kasus Markas
Besar Kepolisian Negara Republik Indonesia, 2010.
2
Memang, banyak faktor yang menyebabkan tingginya angka kriminalitas saat ini. Tekanan ekonomi yang sulit merupakan salah satu faktor yang
menyebabkannya, yakni tingginya kebutuhan hidup yang tidak seimbang dengan tingkat kesejahteraan, sehingga untuk memenuhi kebutuhan tersebut, segala cara
pun dilakukan termasuk mencuri, merampok, mengedarkan narkoba, bahkan membunuh.
Jencks dan Mayer 1990 dalam Khamdan, 2010 menjelaskan bahwa terdapat korelasi sangat erat antara tindak kriminalitas dengan lingkungan fisik
yang buruk atau kumuh karena menyangkut penurunan tingkat kesehatan mental bahwa tidak ada kebermaknaan hidup yang dirasakan. Keterbatasan berinteraksi
dengan lingkungan sosial dan lingkungan fisik yang kiranya memiliki peran menjadikan adanya perubahan potensi seseorang menjadi buruk.
Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh BPS yang menyatakan tingginya angka kemiskinan dibarengi pula dengan tingginya angka tindak pidana
di Indonesia. Kondisi ini cukup memprihatinkan, sehingga pemerintah dan masyarakat harus bergerak cepat untuk meminimalisir permasalahan tingginya
angka tindak pidana di Indonesia. Karena ketika meningkatnya jumlah kriminalitas,
maka akan
berimbas pula
pada daya
tampung lembaga
pemasyarakatan atau Lapas, dimana Lapas memegang peranan yang cukup penting dalam proses pembinaan para narapidana sehingga mereka tidak
melakukan kesalahannya dan dapat diterima kembali dimasyarakat. Salah
satu upaya
yang dilakukan
pemerintah ialah
dengan mengoptimalkan kerja Lapas, yakni Lembaga pemasyarakatan yang berperan
membantu dan membentuk narapidana yang lebih baik, bertobat, tidak melakukan
3
tindak pidana lagi, dan melindungi masyarakat dari tindak kejahatan, serta dapat diterima kembali oleh masyarakat.
Dalam Undang-undang Republik Indonesia No.12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan Pasal 1 ayat 1, menerangkan pemasyarakatan adalah kegiatan
untuk melakukan pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan berdasarkan sistem, kelembagaan, dan cara pembinaan yang merupakan bagian akhir dari sistem
pembinaan dalam tata cara peradilan pidana. Sistem Pemasyarakatan dinyatakan sebagai suatu tatanan mengenai arah dan batas serta cara pembinaan Warga
Binaan Pemasyarakatan berdasarkan Pancasila yang dilaksanakan secara terpadu antara pembina, yang dibina, dan masyarakat untuk meningkatkan kualitas Warga
Binaan Pemasyarakatan agar menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan
masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan, dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab.
Fungsi dan peran Lembaga Pemasyarakatan yang selanjutnya disebut Lapas, dalam mengayomi serta memasyarakatkan warga binaan cukup penting
karena sebelumnya warga binaan dianggap sebagai sampah masyarakat, oleh lembaga ini diupayakan kembali menjadi orang yang berguna bagi nusa dan
bangsa serta dapat diharapkan berperan aktif dan produktif dalam pembangunan dan bagi dirinya ia dapat berbahagia di dunia dan akhirat.
Berlin 2002 mengemukakan bentuk-bentuk pembinaan yang diberikan kepada narapidana saat ini antara lain adalah pembinaan mental, pembinaan ini
merupakan dasar untuk membina seseorang yang telah terjerumus terhadap perbuatan jahat, sebab pada umumnya orang menjadi jahat itu karena mentalnya
4
yang terganggu, sehingga untuk memulihkan kembali mental seseorang seperti sebelum melakukan tindak pidana, maka pembinaan mental harus benar-benar
diberikan sesuai dengan porsinya, misalnya dengan pembinaan keagamaan dan konseling.
Kedua, pembinaan sosial, pembinaan sosial ini diberikan kepada narapidana dalam kaitannya warga binaan yang sudah sempat disingkirkan dari
kelompoknya sehingga diupayakan bagaimana memulihkan kembali kesatuan hubungan antara narapidana dengan masyarakat sekitarnya. Ketiga, pembinaan
keterampilan, dalam pembinaan ini diupayakan untuk memberikan berbagai bentuk pengetahuan mengenai keterampilan misalnya bentuk pengetahuan
mengenai keterampilan berupa pendidikan menjahit, pertukangan, bercocok tanam dan lain sebagainya.
Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan pada tanggal 28 Desember 2010 dengan salah satu petugas Lapas Kelas IIA Pemuda Tangerang, program
pembinaan di Lapas tersebut juga mengacu pada tiga bentuk pola pembinaan tersebut. Pembinaan dapat diaplikasikan dalam berbagai kegiatan seperti halnya
yang dilakukan oleh Lapas Kelas IIA Pemuda Tangerang, misalnya 1 pembinaan narkoba dan HIVAIDS dengan melakukan konseling dan terapi
kepada warga binaan kasus narkoba, 2 pembinaan kemandirian seperti diajarkan berbagai ketrampilan, pengerjaan tegel kayu, pertanian sayur, penjahitan, bengkel
elektronik, dan bengkel las, 3 pembinaan kepribadian, seperti pembinaan keagamaan, pesantren, dan berbagai macam olahraga.
Konsep pembinaan yang diterapkan di Lapas sejalan dengan yang dikemukakan oleh Peterson Seligman 2004 yang mencoba untuk menemukan
5
kekuatan tidak hanya kelemahan individu agar dapat mencapai hidup berarti dan tegar menghadapi stressor. Konsep ini tumbuh dari ketidakpuasan terhadap
kriteria-kriteria The Diagnostics and Statistical Manual of Mental Disorder atau DSM yang lebih banyak menyoroti kelemahan-kelemahan individu dibandingkan
kekuatan yang dapat dimanfaatkan. Untuk dapat menenemukan kekuatan tersebut, konsep ini memfokuskan
pada tiga topik utama, yaitu studi mengenai emosi positif seperti kegembiraan saat ini dan harapan-harapan di masa yang akan datang, studi mengenai sifat-sifat
positif dari individu, dan studi mengenai institusi yang memungkinkan berkembangnya emosi dan sifat positif, seperti lingkungan yang menghadirkan
pola asuh, kerjasama kelompok, demokrasi, dan toleransi Seligman dan Csikszentmihalyi dalam Seligman Peterson, 2004.
Oleh karena itu, beberapa peneliti mencoba menemukan cara untuk mengembangkan dan mengukur karakter-karaker positif individu sehingga dapat
menjadi kekuatannya. Manuel D dan Rhoda Mayerson Foundation dalam Peterson Seligman, 2004 telah melakukan sebuah studi mengenai karakter-
karakter positif dari individu. Mereka telah mengembangkan suatu alat ukur yang mampu melihat profil kekuatan karakter individu. Alat ukur tersebut diberi nama
Values in Action Inventory of Strengths VIA-IS. Pengembangan alat ukur ini didasari oleh pemikiran bahwa masalah dalam kehidupan selalu terjadi dan
membutuhkan solusi psikologis yang tepat dengan menitikberatkan pada potensi- potensi individu, salah satunya adalah kekuatan karakter.
Allport 1951 berpendapat bahwa karakter adalah sekumpulan kode dari tingkah laku yang ditampilkannya pada saat individu atau perilakunya dinilai oleh
6
orang lain. Untuk itu, penggolongan baik dan buruk selalu digunakan dalam menilai karakter seseorang. Lebih lanjut dikatakan bahwa karakter adalah konsep
etis dan didefinisikan sebagai kepribadian yang dievaluasi “We prefer to define character as personality evaluated and personality devaluated” Suryabrata,
2005. Berdasarkan penilaian baik dan buruk yang melekat pada karakter, maka
penelitian ini akan membahas lebih lanjut mengenai karakter yang dinilai baik atau positif. Peterson dan Seligman 2004 berpendapat bahwa karakteristik
positif dibagi ke dalam tiga level, yakni virtues keutamaan yang bersifat universal pada berbagai budaya dan agama serta merupakan aspek yang penting
bagi makhluk hidup untuk dapat bertahan dalam proses evolusi, character strengths unsur, proses, dan mekanisme psikologi yang mengarahkan pada
pencapian virtues, dan situational themes kebiasaan spesifik yang mengarahkan individu untuk menampilkan character strengths.
Untuk dapat dikatakan kekuatan karakter, sifat-sifat tersebut harus memenuhi sepuluh kriteria, maka ditemukanlah enam virtues dan 24 karakter
yang termasuk dalam character strengths Peterson Seligman, 2004, yaitu Wisdom and Knowledge Creativity, Curiosity, Open-mindedness, Love of
learning, Perspective. Courage Bravery, Persistence, Integrity, Vitality. HumanityLove Love, Kindness, Social Intelligence. Justice Citizenship,
Fairness, Leadership. Temperance Forgiveness and mercy, HumilityModesty, Prudence,
Self-regulation. Transcendence
Appreciation of
beauty and
excellence, Gratitude, Hope, Humor, Spirituality.
7
Selanjutnya, karakter dan lingkungan merupakan dua hal yang saling timbal balik Peterson Seligman, 2004. Dengan kata lain individu dan
karakter-karakter yang dimiliki harus dipandang sebagai sebuah pusat jika ingin memahami good life. Skinner 1974 dalam Koswara,1991 juga mengemukakan
bahwa seluruh tingkah laku ditentukan oleh aturan-aturan, bisa diramalkan, dan bisa dibawa ke dalam kontrol lingkungan atau bisa dikendalikan. Ia juga
menjelaskan bahwa faktor-faktor lingkungan dan bawaan yang khas secara bersama menghasilkan tingkah laku yang khas pula pada individu tersebut.
Sebagian individu menilai dan percaya bahwa karakter adalah kualitas yang penting dalam kehidupan. Seringkali pelaku dari pelanggar hukum dinilai
memiliki karakter yang buruk. Di dalam keseharian tak jarang seseorang memberi penilaian kepada orang lain apakah orang tersebut memiliki karakter yang baik
atau tidak. Individu yang memiliki karakter yang kuat biasanya dinilai lebih mampu dibandingkan dengan individu dengan karakter yang lemah. Dengan kata
lain kekuatan karakter adalah ujung tombak dari kondisi individu yang dapat mengarahkan individu pada kehidupan yang lebih baik.
Pada narapidana, virtues dan kekuatan karakter memiliki peranan yang cukup penting dalam proses bertahannya narapidana di dalam Lapas. Dimana
virtues sangat mempengaruhi potensi karakter positif disaat seseorang mengalami tekanan. Virtues dibentuk dari kekuatan karakter pada individu tersebut. Virtues
yang dipengaruhi oleh latar belakang budaya juga agama, memungkinkan adanya perbedaan pada masing-masing jenis narapidana yang berbeda pula. Dimana
narapidana kriminal dan narkotika memiliki latar belakang yang berbeda. Misalnya pada narapidana kriminal yang biasanya berasal dari kalangan
8
masyarakat ekonomi menengah dan ke atas, sedangkan narapidana kriminal berasal dari ekonomi ke bawah, dimana membuat narapidana kriminal memiliki
potensi keberanian bravery yang lebih tinggi untuk melakukan tindak pidana seperti mencuri, merampok atau membunuh. Kemudian tingkat pendidikan
narapidana narkotika yang biasanya lebih tinggi dari narapidana kriminal, membuat narapidana narkotika memiliki potensi rasa ingin tahu curiosity yang
lebih tinggi untuk mencoba hal-baru seperti mencoba memakai narkotika. Latar belakang tersebut memungkinkan adanya potensi bahwa antara narapidana
kriminal dan narkotika memiliki perbedaan virtues dan kekuatan karakter. Namun kenyataan menunjukkan bahwa Lapas belum sepenuhnya mampu
menunjukkan fungsi yang ideal. Sehingga potensi perbedaan tersebut kurang tergali dengan benar pada hal yang positif. Suaeb 2007 mengemukakan berbagai
aspek dan kondisi dalam Lapas sangat potensial menimbulkan pelanggaran hak asasi manusia antara lain over kapasitas, kualitas penghuni yang berubah dari
kejahatan konvensional menjadi kejahatan transnasional, terbatasnya kualitas dan kuantitas sumber daya.
Selain itu, berbagai kasus yang mendera Lapas terkait istana di dalam Lapas, pungutan liar terhadap narapidana, sekaligus kasus joki narapidana oleh
kejaksaan, menunjukkan adanya karakter petugas yang telah roboh. Kenyataan ini pada akhirnya menjadi pintu tabir tentang buruknya keadaan di hampir semua
Lapas dan Rutan di Indonesia. Tekanan lingkungan setidaknya menjadi hal yang sangat mempengaruhi munculnya simbiosis mutualisme kejahatan karena tidak
adanya penguatan karakter, baik pada petugas maupun narapidana itu sendiri.
9
Sehingga dengan kondisi Lapas yang kurang mendukung ini membuat peranan dan fungsi lapas dalam membina para narapidana menjadi kurang tepat
sasaran. Dan dalam beberapa penelitian sebelumnya lebih memfokuskan pada kondisi negatif pada narapidana saja, seperti ditemukannya lima jenis gangguan
kepribadian dengan klasifikasi tinggi pada narapidana, yaitu somatisasi, kecemasan, depresi, skizofrenia dan paranoia Indiyah, 2005. Namun, sangat
jarang penelitian yang memfokuskan pada potensi positif yang dimiliki oleh narapidana.
Narapidana tetap merupakan insan dan sumber daya manusia yang harus diperlakukan dengan baik dan manusiawi dalam satu sistem pembinaan yang
terpadu. Dan pola pembinaan narapidana tetap berusaha dan mengacu untuk membentuk narapidana yang sehat secara fisik dan psikis, serta diharapkan pula
pembinaan tersebut dapat membentuk karakter-karakter positif pada narapidana, yang dimulai dengan menumbuhkan kebiasan-kebiasaan spesifik yang positif
situational themes di Lapas. Dengan kompleksnya kondisi dan tekanan serta sisi lain dalam Lapas, maka dengan pola pembinaan dan pengayoman yang diterapkan
di Lapas, seorang narapidana diharapkan memiliki inner resources atau kualitas- kualitas dalam diri yang positif agar dapat berfungsi secara efektif.
Pola pembinaan yang diterapkan di dalam sistem pemasyarakatan mengacu pada pembinaan narapidana untuk menjadi individu dan kehidupan yang
lebih baik. Narapidana merupakan manusia biasa yang mendapat hukuman berdasarkan putusan hakim sesuai dengan tindak pidana yang dilakukannya.
Lama tidaknya masa tahanan, berat atau ringan keputusan pidana, sesuai dengan
10
tindak pidana yang dilakukannya. Hal inilah salah satu penyebab heterogenitas narapidana yang terjadi di dalam Lapas.
Selanjutnya, terkait dengan kekuatan karakter yang merupakan salah satu bagian dalam program pembinaan untuk narapidana, dalam Undang-undang
No.12 Tahun 1995 pasal 12 ayat 1, menerangkan bahwa suatu pembinaan di Lapas digolongkan berdasarkan usia, jenis kelamin, lama pidana yang dijatuhkan,
jenis kejahatan, dan kriteria lainnya sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan di Lapas. Dengan demikian, pembinaan serta perlakuan untuk para narapidana
selayaknya dibedakan. Misalnya pada narapidana narkotika yang merupakan pemakai, seharusnya mendapatkan pembinaan dan treatment yang berbeda pula.
Namun dengan fakta di lapangan, secara umum, heterogenitas pada narapidana tidak terlalu terlihat secara kasat mata. Mungkin salah satu
penyebabnya karena narapidana kriminal dan narapidana narkotika tidak dipisah dan tidak dibedakan perlakuannya. Oleh karena itu, pola pembinaan akan berjalan
maksimal jika para petugas Lapas mengetahui secara jeli tentang potensi karakter positif yang dimiliki oleh masing-masing jenis narapidana. Maka peneliti merasa
perlu untuk mencoba mengakaji lebih dalam tentang gambaran karakter-karakter yang muncul secara dominan pada narapidana narkotika dan kriminal yang
merupakan penghuni mayoritas di Lapas ini. Dari permasalahan dan fenomena yang telah dipaparkan di atas, peneliti
ingin mengkaji lebih lanjut tentang karakter-karakter positif yang muncul pada narapidana. Maka timbul pertanyaan, dengan ketidakoptimalan fungsi Lapas
bagaimana pembinaan moral dan karakter bagi narapidana? Bagaimana karakter yang muncul pada narapidana yang berada di dalam Lapas Kelas IIA Pemuda
11
Tangerang? Bagaimana profil narapidana yang baik yang dapat diterima kembali kepada masyarakat? Apakah perbedaan tindak pidana dapat mempengaruhi
perbedaan karakter narapidana? Apa karakter yang paling menonjol yang dimiliki oleh narapidana kriminal di Lapas Kelas IIA Pemuda Tangerang? Apa karakter
yang paling dominan pada narapidana narkotika di Lapas Kelas IIA Pemuda Tangerang? Apakah ada perbedaan kekuatan karakter pada narapidana di Lapas
Kelas IIA Pemuda Tangerang? Dan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, maka peneliti
bermaksud melakukan penelitian tentang perbedaan kekuatan karakter antara para
narapidana. Maka, peneliti mengambil judul penelitian yakni “Perbedaan Kekuatan Karakter
Character Strengths Narapidana pada Tindak Pidana Kriminal dan Narkotika di Lapas Kelas IIA Pemuda Tangerang.”
1.2 Pembatasan dan Rumusan Masalah