BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Perhatian terhadap penyakit tidak menular makin hari makin meningkat, karena semakin meningkatnya frekuensi kejadiannya pada masyarakat. Selama ini
epidemiologi kebanyakan berkecimpung dalam menangani masalah penyakit menular, namun perkembangan sosio ekonomi juga cultural bangsa dan dunia
kemudian menuntut epidemiologi untuk memberikan perhatian kepada penyakit tidak menular yang jumlahnya terus saja meningkat pada masyarakat, terutama terhadap
penyakit kanker yang saat ini menjadi penyebab kematian nomor 2 di dunia. Badan Kesehatan Dunia WHO menyatakan, saat ini penyakit kanker serviks
menempati peringkat teratas di antara berbagai jenis kanker yang menyebabkan kematian pada perempuan di dunia. Pada tahun 2000, dari 470 kasus baru kanker
serviks di seluruh dunia, dimana 370 kasus terjadi di negara berkembang Rahmat, 2001. Insiden kanker serviks di Amerika Serikat 2002 adalah 8 dari 100.000
perempuan, 4000 diantaranya meninggal karena penyakit tersebut. Kejadian kanker serviks di Amerika Serikat 2005 sebanyak 10.500 perempuan dimana 3900
perempuan diantaranya meninggal dengan Case Fatality Rate CFR=37,14 Tapan, 2005. Di Asia Pasifik 2000 ditemukan 270.000 kasus kanker serviks
terdeteksi setiap tahun, 140.000 kasus perempuan meninggal akibat penyakit tersebut CFR=52 Azis, 2000.
Bangsa Indonesia merupakan negara agraris yang sedang berkembang menuju masyarakat industri, membawa kecenderungan baru dalam pola penyakit di
Universitas Sumatera Utara
masyarakat. Perubahan pola struktur masyarakat agraris ke masyarakat industri banyak memberi andil terhadap pola fertilitas, gaya hidup, sosial ekonomi yang pada
gilirannya dapat memacu meningkatnya penyakit tidak menular disamping penyakit menular. Salah satunya penyakit yang tidak menular adalah kanker M.N.Bustan,
1996. Dari seluruh penderita kanker di Indonesia, sepertiganya adalah penderita
kanker serviks Kompas, 2009. Menurut data Globocan 2002, terdapat 40.000 kasus baru kanker serviks dengan sekitar 22.000 kematian pada perempuan di Asia
Tenggara. Indonesia di peringkat pertama dengan 15.050 kasus baru dan kematian 7.566 jiwa dalam setahun. Angka itu tak jauh berubah, bahkan meningkat
dibandingkan tahun sebelumnya. Dengan jumlah penderita yang terus bertambah, kasus kanker serviks terjadi seperti fenomena gunung es, sekitar 20 perempuan
Indonesia meninggal karena kanker serviks per hari Anonim, 2010. Data yang diperoleh dari Yayasan Kanker Indonesia tahun 2007
menyebutkan setiap tahunnya sekitar 500.000 perempuan didiagnosa menderita kanker serviks dan lebih dari 250.000 meninggal dunia. Total 2,2 juta perempuan di
dunia menderita kanker serviks. Sungguh betapa menakutkannya kanker ini Bertiani E. Sukaca, 2009. Angka kematian kanker serviks terbanyak di antara jenis kanker
lain di kalangan perempuan. Diperkirakan, 52 juta perempuan Indonesia berisiko terkena kanker serviks, sementara 36 persen perempuan dari seluruh penderita kanker
adalah pasien kanker serviks. Pada tahun 2004 jumlah pasien kanker yang berkunjung ke Rumah Sakit di Indonesia mencapai 6.511 dengan proporsi pasien kanker serviks
yang rawat jalan adalah 16,47 dan rawat inap adalah 10,9, selain itu lebih dari
Universitas Sumatera Utara
70 kasus kanker serviks datang ke rumah sakit dalam keadaan stadium lanjut Depkes RI ,2005.
Data Surveilans Terpadu Penyakit Berbasis Rumah Sakit Sentinel di Sumatera Utara STPRS.SEN 2005 proporsi penderita kanker serviks rawat inap
adalah 26,01 58 kasus dari 223 kasus kanker Dinkes Sumut, 2006. Data yang diperoleh dari Rumah Sakit Dr. Pirngadi Medan, selam kurun waktu 2003-2007,
jumlah penderita kanker serviks yang dirawat inap, yaitu tahun 2003 sebanyak 55 kasus, tahun 2004 sebanyak 61 kasus, tahun 2005 sebanyak 69 kasus, tahun 2006
sebanyak 84 kasus, dan tahun 2007 sebanyak 68 kasus. Sumarjati arjoso dalam Futri nasution menyatakan angka harapan hidup jika kanker ini diketahui dan diobati pada
stadium 1 adalah 70-75 , pada stadium 2 adalah 60 , pada stadium 3 tinggal 25 , dan pada stadium 4 penderita sulit diharapkan bertahan.
Budaya dan adat ketimuran di Indonesia telah membentuk sikap dan persepsi yang jadi penghalang bagi perempuan untuk membuka diri kepada profesional medis
dan berdaya diri melindungi kesehatan reproduksinya. Akibatnya, lebih dari 70 penderita kanker serviks datang untuk berobat ketika keadaan kesehatannya telah
kritis, dan penyakit ditemukan dalam stadium lanjut hingga sulit diobati Anonim, 2009. Seringnya terjadi keterlambatan dalam pengobatan mengakibatkan banyaknya
penderita kanker serviks meninggal dunia, padahal Kanker serviks dapat diobati jika belum mencapai stadium lanjut, tentunya dengan mengetahui terlebih dahulu apakah
sudah terinfeksi atau tidak dengan menggunakan beberapa metode deteksi dini, antara lain metode Pap Smear, IVA inspeksi visual dengan asam asetat, Thin Prep, dan
Kolposkopi.
Universitas Sumatera Utara
Kanker serviks tidaklah terjadi secara tiba-tiba, namun melalui beberapa tahapan awal sebagai prakanker, lalu akan berkembang menjadi kanker serviks.
Perjalanan kanker serviks dari infeksi HPV Human Papiloma Virus, tahap prakanker hingga menjadi kanker serviks memakan waktu 10 sampai 20 tahun.
Disinilah tujuan dari deteksi dini yaitu memutus perjalanan penyakit pada tahap prakanker dan mendapatkan pengobatan sesegera mungkin sehingga kanker serviks
diharapkan dapat sembuh sempurna Anonim, 2010. Salah satu metode skrining yang paling populer di dunia adalah pap smear.
Metode tes ini adalah dengan mengusap cairan dari leher rahim, kemudian diperiksa dibawah mikroskop untuk melihat perubahan-perubahan yang terjadi dari sel tersebut.
Namun metode ini menemui kendala dalam pelaksanaannya di Indonesia, karena luasnya wilayah dan jumlah sumber daya manusia sebagai pelaku skrining,
khususnya tenaga ahli patologisitologi beserta teknisi sitologi yang sangat terbatas. Idealnya, deteksi dini kelainan serviks harus dapat dilakukan oleh ujung tombak
pelayanan di masyarakat, dalam hal ini para bidan dan dokter umum di Puskesmas. Untuk itu dalam beberapa tahun terakhir ini sudah dikembangkan teknik deteksi dini
dengan metode IVA Inspeksi Visual dengan Asam asetat. Metode ini tergolong murah, sederhana, nyaman, praktis, dan tersedia di banyak sarana kesehatan. Dengan
mengoleskan asam cuka asam asetat 5 pada serviks dan melihat reaksi perubahan warna dalam 3 menit, kelainan prakanker dapat dideteksi. Jika terdapat kelainan,
maka akan tampak bercak berwarna putih yang disebut aceto white epithelium Erwin,2010
Universitas Sumatera Utara
Mengingat kelebihan metode IVA yang murah, mudah, sederhana, tersedia di tingkat puskesmas, dan interpretasi hasil yang dapat dilakukan oleh para bidan,
tenaga medis dan dokter umum, maka metode ini sangat cocok diterapkan di negara berkembang seperti Indonesia. Namun sampai saat ini masih ada saja masyarakat
yang belum mendapat informasinya, sehingga teknik ini belum berjalan optimal dan merata.
Berdasarkan survei terdahulu yang dilakukan oleh peneliti di Puskesmas Tanjung Morawa, Puskesmas tersebut merupakan salah satu dari delapan puskesmas
yang dijadikan sebagai percontohan pelayanan metode IVA untuk lima tahun ke depan dimulai dari tahun 2008, yang juga menjadi Puskesmas terbaik di Deli
Serdang. Namun, berdasarkan daftar kunjungan layanan IVA di delapan Puskesmas tersebut pada bulan Mei 2010, dari jumlah sasaran yang diharapkan memeriksakan
diri sebanyak 7.807 orang, tetapi yang datang hanya 378 orang 8,1, Dinkes Deli Serdang, 2010, hal ini menunjukkan masih sangat sedikitnya ibu yang mau
menggunakan layanan IVA tersebut, meskipun dari pihak puskesmas sudah sering melakukan sosialisasi berupa kunjungan ke rumah-rumah penduduk untuk
mengenalkan IVA. Padahal, dari jumlah ibu yang datang dinyatakan terdapat 4 orang yang menunjukkan IVA positif. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk melakukan
penelitian ini guna mengetahui bagaimana perilaku ibu tersebut dalam pemanfaatan metode IVA sebagai upaya deteksi dini kanker serviks.
1.2. Perumusan Masalah