BAB 1 PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Anak adalah karunia yang terbesar bagi keluarga, agama, bangsa, dan negara. Anak merupakan cikal bakal lahirnya generasi baru yang merupakan
penerus cita-cita perjuangan bangsa dan sumber daya manusia bagi pembangunan Nasional. Masa depan bangsa dan Negara dimasa yang akan
datang berada ditangan anak sekarang. Anak adalah tunas, potensi dan generasi muda penerus cita-cita perjuangan bangsa, memiliki peran strategis dan
mempunyai ciri dan sifat khusus yang menjamin kelangsungan eksistensi bangsa dan negara pada masa depan.
1
Pembicaraan mengenai anak tidak akan pernah berhenti sepanjang sejarah kehidupan, karena anak adalah generasi penerus bangsa dan penerus
pembangunan, yaitu generasi yang dipersiapkan sebagai subjek pelaksana pembangunan yang berkelanjutan dan pemegang kendali masa depan suatu
negara, tidak terkecuali Indonesia.
2
Oleh karena itu diharapkan agar setiap anak kelak mampu memikul tanggung jawab tersebut, maka ia perlu mendapat
kesempatan yang seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang secara optimal, baik fisik, mental maupun sosial, dan berakhlak mulia.
Dalam konteks Indonesia, anak adalah penerus cita-cita perjuangan suatu bangsa. Selain itu, anak merupakan harapan orang tua, harapan bangsa dan
1
Mukaddimah Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak
2
Nashriana, Perlindungan Hukum Pidana Bagi Anak Di Indonesia, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2011, Hal.1.
Universitas Sumatera Utara
negara yang akan melanjutkan tongkat estafet pembangunan serta memiliki peran strategis, mempunyai ciri atau sifat khusus yang akan menjamin
kelangsungan eksistensi bangsa dan negara pada masa depan. Setiap anak harus mendapatkan pembinaan sejak dini, anak perlu mendapat kesempatan yang
seluas-luasnya untuk dapat tumbuh dan berkembang secara optimal, baik fisik, mental maupun sosial. Terlebih lagi bahwa masa kanak-kanak merupakan
periode pembentukan watak, kepribadian dan karakter diri seorang manusia, agar kehidupan mereka memiliki kekuatan dan kemampuan serta berdiri tegar
dalam meniti kehidupan.
3
Berkaitan dengan hal diatas, Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia MPR RI melalui ketetapannya No. II1993, tentang Garis-Garis
Besar Haluan Negara, Bab IV PELITA VI, bagian Kesejahteraan Rakyat, Pendidikan dan Kebudayaan angka 7 huruf a, khusus Masalah Anak dan
Remaja ditegaskan : “Pembinaan anak dan remaja dilaksanakan melalui
peningkatan mutu gizi, pembinaan perilaku kehidupan beragama dan budi pekerti luhur, penumbuhan minat belajar, peningkatan daya cipta dan daya nalar
serta kreativitas, penumbuhan kesadaran akan hidup sehat, serta penumbuhan idealisme dan patriotisme dalam pembangunan nasional sebagai pengamalan
pancasila dan peningkatan kemampuan menyesuaikan diri dengan lingkungan dan masyarakat”.
4
3
Maidin Gultom, Perlindungan Hukum Terhadap Anak dalam Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia, Bandung: Refika Aditama, 2008, Hal. 1.
4
Bunadi Hidayat, Pemidanaan Anak Dibawah Umur, Bandung: PT Alumni, 2010, Hal.1.
Universitas Sumatera Utara
Anak dalam perkembangannya menuju kedewasaan, ada kalanya melakukan perbuatan yang lepas kontrol, yaitu melakukan perbuatan yang tidak
baik sehingga dapat merugikan dirinya sendiri, bahkan dapat merugikan orang lain. Tingkah laku yang demikian disebabkan karena dalam masa pertumbuhan
sikap dan mental anak belum stabil, dan juga tidak terlepas dari lingkungan tempat ia bergaul. Sudah banyak terjadi karena lepas kendali, kenakalan anak
berubah menjadi tindak pidana atau kejahatan, sehingga perbuatan tersebut tidak dapat ditolerir lagi. Anak yang melakukan tindak pidana harus berhadapan
dengan aparat penegak hukum untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya.
5
Kenakalan anak setiap tahun selalu meningkat. Apabila dicermati perkembangan tindak pidana yang dilakukan anak selama ini, baik dari kualitas
maupun modus operandi, pelanggaran yang dilakukan anak tersebut dirasakan telah meresahkan semua pihak khusunya para orang tua. Fenomena
meningkatnya perilaku tindak pidana yang dilakukan oleh anak seolah-olah tidak berbanding lurus dengan usia pelaku.
6
Kesejahteraan terhadap anak dalam hal ini juga sangatlah perlu diperhatikan, tidak sedikit alasan anak yang melakukan tindak pidana adalah
dikarenakan kehidupan sosial nya yang tidak sejahtera. Hal ini membuat anak terkadang tidak dapat berfikir secara baik dan matang dalam mengambil
keputusan apakah tindakan yang akan dilakukannya dapat berdampak hukum atau tidak bagi dirinya sendiri.
5
Gatot Supramono, Hukum Acara Pengadilan Anak, Jakarta: Djambatan, 2000, Hal. ix.
6
Nandang Sambas, Pembaharuan Sistem Pemidanaan Anak di Indonesia, Yogyakarta: Graha Ilmu, 2010, Hal. 2013
Universitas Sumatera Utara
Anak yang melakukan tindak pidana tersebut tidak terlepas dari pertanggungjawaban hukum positif terhadap perbuatan yang dilakukannya
sehingga timbul tugas yang mulia bagi hakim untuk menjatuhkan sanksi yang sesuai dan tepat bagi anak mengingat anak tersebut masih memiliki masa depan
yang panjang. Anak sebagai sosok yang lemah dan tidak berdaya tentu belum memahami apa yang baik dan buruk untuk dilakukan.
Perilaku anak dibawah umur yang berkaitan dengan pencabulan tidak cukup hanya dipandang sebagai kenakalan biasa. Anak yang melakukan tindak pidana
pencabulan ini bisa karena beberapa faktor, diantaranya adalah adanya rasa ingin tahu yang besar yang dimiliki oleh anak, banyaknya peredaran video porno, gaya pacaran
anak zaman sekarang yang kurang terkontrol, perkembangan teknologi, faktor keluarga, faktor meniru perilaku orang-orang disekitarnya, nilai-nilai keagamaan yang semakin
hilang di masyarakat, tayangan televisi dan jaringan internet yang kian menyediakan situs-situs tidak baik bagi anak-anak.
7
Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk mencegah meningkatnya tindak pidana yang dilakukan anak adalah dengan diterapkannya sanksi hukum
pidana bagi anak yang melakukan kejahatan. Dalam hal ini peranan hakim yang menangani perkara pidana anak sangatlah penting. Hakim mempunyai
wewenang untuk melaksanakan peradilan. Hakim wajib menggali dan memahami faktor-faktor yang menjadi penyebab seorang anak melakukan
tindak pidana. Hakim sebagai aparat pemerintah, mempunyai tugas memeriksa, menyelesaikan, dan memutus setiap perkara yang diajukan kepadanya.
7
Yenni Widyaastuti, “Tinjauan Yuridis Terhadap Tindak Pidana Yang Dilakukan
Oleh Anak Studi Kasus Putusan No.49Pid.B2013PN.Sungguminasa Skripsi Ilmu Hukum- Universitas Hasanuddin, 2014, Hal. 3.
Universitas Sumatera Utara
Hakim harus dapat memberikan putusan yang seadil-adilnya, yang dapat dipertanggungjawabkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, dan
masyarakat. Dalam
menjatuhkan putusan
pidana, hakim
harus mempertimbangkan tujuan dari pemidanaan itu sendiri, yaitu membuat pelaku
tindak pidana jera dan tidak akan mengulangi perbuatannya lagi. Hakim tidak boleh hanya memperhatikan kepentingan anak sebagai pelaku tindak pidana.
Berbagai pihak yang harus bertanggung jawab dalam menghadapi masalah anak adalah sekolah, orang tua, masyarakat sekitar, penegak hukum, dan pemerintah.
Pihak-pihak tersebut harus lebih memberikan perhatian dan penanganan secara khusus dengan melakukan pembinaan, pendidikan, dan pengembangan perilaku
anak tersebut. Dalam penegakan hukum, ada beberapa hal yang harus diperhatikan yaitu kepastian hukum, kemanfaatan, dan keadilan.
8
Maraknya kasus yang sampai dipengadilan terkait dengan anak sebagai pelaku tindak pidana yang dalam hal ini tindak pidana pencabulan membuat
perlu dijadikan suatu pembahasan yang serius. Perlu diingat bahwa sejak diberlakukannya Undang-Undang Pengadilan Anak yang saat ini belum secara
efektif diterapkan, membuat pelaksanaan hukum pidana anak di pengadilan menjadi tidak menentu baik dilihat dari visi penjatuhan pidana maupun dari misi
mekanismenya.
9
Beberapa kasus mengenai tindak pidana pencabulan yang dilakukan oleh anak yang sempat menjadi sorotan adalah Kasus Moch Yusuf Bin Haryono
8
Fajar Deni Kusumawati, “Analisis Terhadap Putusan Hakim Berupa Pemidanaan Terhadap Perkara Tindak Pidana Anak
”, Skripsi Ilmu Hukum--Universitas Sebelas Maret Surakarta, 2008, Hal.3.
9
Bunadi Hidayat, Op.Cit, Hal. 87.
Universitas Sumatera Utara
berumur 16 tahun, yang terbukti secara sah melakukan perbuatan cabul dengan seorang perempuan yang berumur 4 tahun. Akibat perbuatannya Moch. Yusuf
dijatuhi pidana oleh hakim 1 tahun potong masa tahanan di Pengadilan Negeri Bojonegoro. Berbeda dengan Kasus Budi Santoso yang berumur 15 tahun, yang
terbukti secara sah melakukan perbuatan cabul dengan seorng perempuan berumur 7 tahun. Akibat perbuatannya Budi Santoso dijatuhi hukuman pidana 2
bulan potong masa tahanan oleh Pengadilan Negeri Malang. Pada
Putusan Pengadilan
Negeri Pontianak
Nomor: IPid.Sus.Anak2014PN.PTK dengan Terdakwa bernama Ghumantar als Patih
Ghumantar als Tatar yang terbukti secara sah melakukan pencabulan dengan perempuan berumur 4 tahun, dimana putusan hakimnya yaitu tindakan
pengembalian kepada orang tua dan pidana pelatihan kerja selama 3 bulan. Berbeda lagi dengan Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor: 2Pid.Sus-
Anak2014PN.Mdn dengan terdakwa yaitu Muhammad Lutfi Efriadi yang terbukti secara sah melakukan perbuatan dengan sengaja membujuk untuk
melakukan persetubuhan dengan perempuan berumur 15 tahun yang dimana hukuman yang dijatuhi oleh hakimnya yaitu pidana penjara selama 2 tahun dan
denda sebesar Rp. 60.000.000 enam puluh juta rupiah. Berdasarkan penjelasan beberapa contoh diatas, terlihat adanya perbedaan
putusan pidana yang diberikan oleh hakim bagi anak pelaku tindak pidana pencabulan. Dalam dunia hukum terjadinya perbedaan mencolok dalam proses
Universitas Sumatera Utara
penjatuhan putusan pidana terhadap pelaku dalam perkara yang sama atau berkarakter sama sering disebut dengan disparitas pidana.
10
Disparitas pidana ini pun membawa problematika tersendiri dalam penegakan hukum di Indonesia. Di satu sisi pemidanaan yang berbeda
disparitas pidana merupakan bentuk dari diskresi hakim dalam menjatuhkan putusan, tapi di sisi lain pemidanaan yang berbedadisparitas pidana ini pun
membawa ketidakpuasan bagi terpidana bahkan masyarakat pada umumnya. Muncul pula kecemburuan sosial dan juga pandangan negatif oleh masyarakat
pada institusi peradilan, yang kemudian diwujudkan dalam bentuk ketidakpedulian pada penegakan hukum dalam masyarakat. Kepercayaan
masyarakat pun semakin lama semakin menurun pada peradilan, sehingga terjadilah kondisi dimana peradilan tidak lagi dipercaya atau dianggap sebagai
rumah keadilan bagi mereka atau dengan kata lain terjadi kegagalan dari sistem peradilan pidana. Keadaan ini tentu menimbulkan inkonsistensi putusan
peradilan dan juga bertentangan dengan konsep rule of law yang dianut oleh Negara kita, dimana pemerintahan diselenggarakan berdasarkan hukum dan
didukung dengan adanya lembaga yudikatif yakni institusi peradilan untuk menegakkan hukum.
11
Perbedaan pertimbangan yang digunakan oleh hakim yang menyebabkan perbedaan terhadap penjatuhan pidana bagi anak sebagai
pelaku tindak pidana pencabulan menjadi sangat menarik untuk diteliti lebih dalam.
10
SanthosWachjoe,DisparitasPutusanHakim,http:santhoshakim.blogspot.com20 1311disparitas-putusan-hakim.html, Diakses Tanggal 23 April 2015, Pukul 13.22
Wib.
11
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka penulis tertarik untuk mengangkat masalah tersebut menjadi sebuah skripsi yang
berjudul
“Analisis Pertimbangan Hakim Terhadap Penjatuhan Hukuman Kepada Anak Pelaku Tindak Pidana Pencabulan Studi Putusan
Pengadilan Negeri Pontianak Nomor: IPid.Sus.Anak2014PN.PTK; Putusan
Pengadilan Negeri
Medan Nomor:
2Pid.Sus- Anak2014PN.Mdn”
B. Rumusan Masalah