45
System keadilan seperti ini merupakan lembaga pertama yang didirikan oleh Islam. Hal ini bukan saja disebut di dalam Al Qur‟an dan As Sunnah, namun juga
dilukiskan dalam banyak karya kepustakaan Arab. “Celakalah suatu umat bila yang melakukan kejahatan itu orang bangsawan, tidak
berlaku baginya hukum. Dengarlah, sekiranya Fatimah anak kandungku melakukan pencurian, akan diberlakukan hukum potong tangan akibat perbuatannya”. Hadits
Nabi Muhammad Sholallahu „Alaihi wa Sallam.
41
Disebut keadilan bukan hukum karena keadilan selalu menjadi hukum. Sedangkan hukum belum tentu menjadi keadilan. Untuk tidak member peluang
penyalanggunaan dalam pemakaian sehari-hari digabungkan dua istilah itu, sehingga bunyinya hukum dan keadilan.
B. Hal - hal Yang Mempengaruhi Vonis Hakim
Dalam melaksanakan dan memimpin jalannya proses persidangan, pada prinsipnya majelis Hakim tidak diperkenankan menunda-nunda persidangan tersebut.
Dalam melaksanakan dan memimpin jalannya proses persidangan, pada prinsipnya majelis hakim tidak berkenan menunda-nunda persidangan tersebut, pasal 159 ayat 4
HIR atau pasal 186 ayat 4 RBG menyebutkan : “Pengunduran penundaan tidak boleh diberikan atas permintaan kedua belah
pihak dan tidak boleh diperintahkan pengadilan negeri karena jabatannya, melainkan
41
Muhammad Al Buraey, h. 87
46
dalam hal yang teramat perlu. Dalam praktek hakim terkada selalu lunak sikapnya terhadap permohonan sidang dari para pihak atas kuasanya.”
Proses pengadilan
yang lambat
mengenai penentuan
kemampuan bertanggungjawab seseorang yang dituduh melakukan kejahatan pelanggaran itu
mengurangi kewibawaan peradilan dijaman modern sekarang, bahkan dapat berakibat luas diluar peradilan. Namun dalam perkembangannya juga para pelaku kejahatan
tersebut cenderung semakin lama tidak mengindahkan mengenai sanksi atau aturan hukumnya dalam proses pengungkapan suatu perkara agar dapat diselesaikan dengan
baik. Dalam menentukan keadaan jiwa seseorang yang tidak sehat diperlukan
keterangan dari seorang dokter ahli jiwa. Kewajiban untuk menentukan keadaan jiwa yang tidak sehat melalui ahli kedokteran jiwa tersebut pernah dituangkan dalam
konsep rumusan KUHP tahun 1968, tetapi kemudian rumusan tersebut dihapuskan.
42
Mengenai keterangan ahli secara tertulis atau lisan untuk kepentingan peradilan dahulu didasarkan pada pasal 306 HIR yang letaknya menyisip diantara ketentuan
pasal-pasal tentang surat bukti, adapun kewajiban ahli atau dokter untuk membantu petugas hukum yang berwenang diatur dalam pasal 70 HIR. Sedangkan pasal-pasal
lainnya mengatur bantuan ahli kedokteran kehakiman, sehingga dianggap tidak termasuk bantuan kedokteran jiwa.
42
Bambang Purnomo, Operasi Pemberantasan Kejahatan dan Kemanfaatan Ahli Kedokteran Jiwa, Yogyakarta: Bina Aksara, 1984. Hal : 24
47
Ketentuan dalam HIR tersebut sekarang sudah tidak berlaku secara formal, oleh karena itu ketentuan di dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana No. 8
Tahun 1981 diharapkan untuk menjadi dasar bantuan ahli kedokteran jiwa. Peraturan bantuan ahli di dalam KUHAP yang menyangkut peranan ahli kedokteran jiwa tidak
begitu jelas pasal- pasalnya, karena ungkapan dan istilah yang tercantum …”ahli
kedokteran kehakiman atau dokter atau ahli lainnya”…masih meragukan untuk ditafsirkan termasuk bantuan ahli kedokteran jiwa mengingat makna rumusan pasal
dan susunan kronologis pasal yang bersangkutan dengan bantuan ahli tersebut.
43
Dalam KUHAP sendiri pada Pasal 186 hanya dikatakan didalamya bahwa “Keterangan ahli adalah apa yang seorang ahli nyatakan disidang pengadilan”.
Sehingga untuk medapatkan ketentuan mengenai keberadaan psychiatry forensik tidak akan dapat ditemukan.
Dahulu menurut “Reglement Der Kranzinningenwezen Tahun 1887” diatur mengenai cara-cara atau syarat-syarat untuk memasukkan penderita penyakit jiwa ke
Rumah Sakit Jiwa, cara-cara meminta Psychiatry Attest, dan siapa-siapa saja yang berhak menerimanya serta kepada siapa harus memintanya. Dan menurut “Reglement
Der Kranzinningenwezen Tahun 1887” tersebut diatas hanya Jaksa atau hakim ketua yang berhak mengirimkan seorang tertuduh yang disangka terganggu jiwanya
43
Bambang Purnomo, Operasi Pemberantasan Kejahatan dan Kemanfaatan Ahli Kedokteran Jiwa, Yogyakarta : Bina Aksara, 1984. Hal : 25
48
untuk di Observasi di fasilitas Psychiatry.
44
Dengan tidak adanya ketentuan secara jelas dalam KUHAP mengenai keberadaan ahli jiwa ini secara yuridis tidak akan
terjadi apa-apa, akan tetapi apabila dalam perkembangannya secara sosiologis meributkan siapa yang berhak untuk melakukan pemeriksaan tersebut terkadang
untuk satu ahli psychiatry dengan satunya tentunya akan membawa hasil yang maksimal untuk perkara-perkara yang telah dikemukakan diatas. Secara kenyataan
dapat kita sadari bahwa hasil pemeriksaan kedokteran jiwa bagi seseorang yang menjadi obyek pemeriksaan atau keluarganya mempunyai nilai yang sangat pribadi
untuk nama baik dan dapat menyangkut hak asasi manusia. Adakalanya norma hukum publik mengandung aturan yang bersifat perintah atau keharusan dengan
akibat mengurangi atau menghilangkan hak pribadi seseorang demi penegakkan hukum mungkin sekali membebankan kewajiban hukum yang menurut kelaziman
dokter ada pertentangan. Oleh karena itu perlu diperhatikan hubungan antar etika kedokteran jiwa dengan tanggung jawab yuridis seorang dokter jiwa akan terwujud
keseimbangan. Pada dasarnya pengadaan visum et repertum psychiatricum diperuntukan sebagai
rangkaian hukum pembuktian tentang kualitas tersangka pada waktu melakukan perbuatan pidana dan penentuan kemampuan bertanggungjawab bagi tersangka.
Kebutuhan bantuan kedokteran jiwa dalam kenyataanya berkembang bukan sebagai rangkaian hukum pembuktian akan tetapi untuk kepentingan kesehatan
44
R. Atang Ranoemihardja, Ilmu Kedokteran Kehakiman, Bandung : Tarsito, 1991. Hal : 81
49
tersangka dalam rangka penyelesaian proses pemeriksaan perkara pidana. Bantuan kesehatan jiwa bagi si tersangka ini sangat diperlukan selain menyangkut
perlindungan hak azasi manusia, juga untuk menghindarkan hal-hal yang tidak diinginkan bagi jiwa dan raga manusia.
45
Dengan melihat pasal-pasal dalam KUHAP yang tidak mengatur mengenai keberadaan psychiatri forensik dengan jelas maka di sini dapat disimpulkan agar
dapat dicantumkannya ketentuan yang mengatur keberadaan psychiatri forensik ini kepada pembuat perundang-undangan untuk mengamandemen isi dari beberapa
ketentuan KUHAP tersebut. sehingga baik secara yuridis maupun sosiologis nantinya dalam perkembangan praktek sebagai salah satu sarana untuk menyelesaikan adanya
suatu tindak pidana atau perkara kejahatan dapat terwujud dengan baik dan mendapatkan hasil yang optimal. Walaupun dalam Undang-undang kesehatan
mungkin terdapat ketentuan untuk praktis orang yang sakit jiwa saja. Sebagai salah satu pilar untuk menegakkan hukum dan keadilan, hakim
mempunyai peranan menentukan sehingga kedudukannya dijamin undang-undang. Dengan demikian, diharapkan tidak adanyacampur tangan dari pihak manapun
terhadap para hakim ketika sedang menangani perkara. Sebaliknya, dilain sisi begitu pula untuk para hakim dalam penanganan perkara hendaklah dapat bertindak arif dan
bijaksana, ketangguhan mentalitas, menjunjung tinggi nilai keadilan dan kebenaran materiil, bersifat aktif dan dinamis, berlandaskan kepada perangkat hukum positif,
45
Bambang Purnomo, Operasi Pemberantasan Kejahatan dan Kemanfaatan Ahli Kedokteran Jiwa, Yogyakarta : Bina Aksara,1984. Hal : 28-29
50
melakukan penalaran logis sesuai dan selaras dengan teori dan praktek, sehingga kesemuanya itu bermuara kepada putusan yang akan dijatuhkannya harus dapat
dipertanggung jawabkan dari aspek ilmu hukum itu sendiri, hak asasi terdakwa, masyarakat dan negaara, diri sendiri, serta Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa. Konkretnya, dalam menerapkan hukum acara dan hukum materiil hendaklah hakim tidak memihak dan bertindak adil sesuai pandangan yang objektif
guna menjatuhkan putusan secara konkret.
46
Kekuasaan kehakiman dalam lingkungan peradilan pidana umum dilaksanakan oleh Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, dan Mahkamah Agung yang masing-
masing mempunyai kekusasaannya sendiri. Hakim diangkat dan diberhentikan okeh kepala negara hal ini ada dalam KUHAP Kitab Undang-undang Hukum Acara
Pidana No 8 Tahun 1981. Dengan demikian kebebasan kedudukannya diharapkan terjamin, tidak dapat dipengaruhi oleh lembaga-lembaga lain, sehingga diharapkan
nantinya akan mengadili dengan seadil-adilnya tanpa takut oleh pihak siapapun.
47
Dengan demikian menurut hemat kami, keadilan harus ditegakkan dan menjadi titik tekan dalam penegakan hukum tanpa mengabaikan kepastian hukum itu sendiri.
Begitu pentingnya peran dan tugas Hakim dalam penegakan hukum, maka dalam hukum acara Hakim dianggap mengetahui semua persoalan hukumnya ius curia
novit, di mana pada saatnya nanti akan menentukan „hitam putihnya” hukum melalui
46
Lilik Mulyadi, Hukum Acara Pidana, Bandung : PT. Alumni, 2007
47
M. Nur Said, Hukum Acara Perdata, Jakarta : Sinar Grafika, 2005, hal. 15
51
putusan-putusannya. Tidak mengherankan, Hakim sering menjadi tumpuan harapan bagi tegaknya hukum dan keadilan di tanah air ini, meskipun harapan tersebut tidak
selalu menjadi kenyataan.
48
Untuk mengantisipasi hal tersebut maka, diperlukan peranan hakim yang aktif terutama dalam mengatasi hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya peradilan
yang cepat. Perlu ketegasan hakim untuk menolak permononan penundaan sidang dari para pihak, kalau ia beranggapan hal itu tidak perlu. Berlarut-larutnya atu
ditunda-tundanya jalannya akan mengurangi kepercayaan masyarakat kepada peradilan yang mengakibatkan berkurangnya kewibawaan pengadilan justice delayed
is justice deniyed.
49
Eksistensi putusan Hakim atau lazim disebut dengan istilah putusan pengadilan, sangat diperlukan untuk penyelesaian perkara pidana.
Asbab raf‟i al-uqubah atau sebab hapusnya hukuman,tidak mengakibatkan perbuatan yang dilakukan itu dibolehkan, melainkan tetap pada asalnya yaitu
dilarang. Hanya saja oleh karena keadaan pelaku tidak memungkinkan dilaksanakannya hukuman, ia dibebaskan dari hukuman. Sebab-sebab hapusnya
hukuman ini ada empat macam, yaitu:
48
http:masyos.wordpress.com20081126penafsiran-hukum-penegak-hukum.
49
Jimmly Asshidiqqie, Aspek-aspek Perkembangan Kekuasaan Kehakiman di Indonesia. Yogyakarta, UI Press, hal. 125-127
52
1. Paksaan
Dalam uraian yang pertama menjelaskan paksaan menurut Muhammad Al-Khudhari banyak memberikan definisi paksaan sebagai berikut. Paksaan
adalah mendorong orang lain atau sesuatu yang tidak diridhainya, baik berupa ucapan atau perbuatan. Sebagai fuqaha sebagaimana dikutip oleh Abdul Qadir
Audah, memberikan definisi sebagai berikut. Paksaan adalah suatu perbuatan yang dilakukan oleh seseorang karena orang lain, dan oleh karena itu hilanglah
kerelaannya atau tidak sempurna pilihannya. Atau paksaan adalah suatu perbuatan yang timbul dari orang yang memaksa dan menimbulkan pada diri orang yang
dipaksa suatu keadaan yang mendorong dirinya untuk mengerjakan perbuatan yang dimintakan kepadanya. Atau paksaan adalah ancaman oleh seseorang atas
orang lain dengan sesuatu yang tidak disenangi untuk mengerjakan sehingga karenanya hilang kerelaannya.
50
Macam-macam paksaan dapat dibagi kepada dua bagian, yaitu sebagai berikut.
a Paksaan yang menghilangkan kerelaan dan merusak pilihan, yaitu
paksaan yang dikhawatirkan akan menghilangkan nyawa. Paksaan ini disebut paksaan absolut. Daya paksa absolut absolute overmacht
adalah paksaan dimana orang yang dipaksa tidak bisa memilih, kecuali apa yang diminta oleh yang memaksa. Contohnya, seperti orang yang
50
Abdul Qadir Audhah, At- Tasyri‟ Al-Jina‟iy Al-Islamy, Beirut: Dar Al-Kitab Al-Araby.
Hal. 563
53
fisiknya lebih kuat menangkap tangan seseorang dan menyuruhnya untuk membubuhkan tanda tangan pada suatu surat penting yang telah
disediakan. b
Paksaan yang menghilangkan kerelaan tetapi tidak sampai merusak pilihan, yaitu paksaan yang menurut kebiasaan tidak dikhawatirkan
akan mengakibatkan hilangnya nyawa seperti dipenjarakan atau dipukuli dengan pukulan yang ringan. Paksaan ini disebut paksaan
relatif. Daya paksa relatif relative overmacht adalah paksaan dimana orang yang dipaksa masih memiliki kesempatan untuk memilih
perbuatan lain, akan tetapi menurut perhitungan yang layak tidak mungkin dapat dielakkan. Contohnya, seorang kasir bank dengan
ancama senjata api harus menyerahkan uang kas yang berada di bawah pengawasannya.
Syarat-syarat adanya paksaan, untuk terwujudnya suatu paksaan diperlukan beberapa syarat. Apabila syarat-syarat tersebut tidak dipenuhi, paksaan dianggap
tidak ada dan dengan demikian seseorang yang melakukan tindak pidana tidak dianggap sebagai orang yang dipaksa. Syarat-syarat tersebut adalah sebagai berikut.
a Ancaman yang menyertai paksaan adalah berat sehingga dapat menghilangkan
kerelaan, seperti ancaman dibunuh, dipukul dengan pukulan yang berat, dikurung dalam waktu yang lama, dan sebagainya. Ukuran berat dan
ringannya suatu ancaman sifatnya subjektif, dan berbeda-beda menurut perbedaan orang dan cara.seseorang mungkin tidak merasa takut dan masih
54
dapat bertahan dengan beberapa kali pukulan atau cambukan, sementara orang yang lain sudah merasa ngeri dengan satu kali pukulan atau cambukan. Akan
tetapi, para ulama telah sepakat bahwa ancaman akan dimaki-maki atau difitnah dengan tuduhan berzina tidak termasuk paksaan. Perintah seorang
kepala negara pejabat meskipun tanpa disertai ancaman, sudah cukup dianggap sebagai paksaan, apabila dapat diambil kesan bahwa jika
perintahnya tidak dilaksanakan maka balasannya adalah adalah pembunuhan atas dirinya, atau penganiayaan berat atau dipenjarakan dalam waktu yang
lama. Perintah suami terhadap istrinya disamakan dengan perintah seorang atasan terhadap bawahannya, jika dikhawatirkan akan timbul cara-cara
pemaksaan dari suami apabila istri tersebut tidak taat. Para ulama juga telah sepakat bahwa ancaman dianggap sebagai paksaan,
apabila ditujukan kepada diri orang yang dipaksa. Apabila ancaman tersebut ditujukan kepada orang lain yang terdapat bersama-sama dengan orang yang
dipaksa maka para ulama berbeda pendapat. Menurut ulama Malikiyyah, ancaman sudah merupakan paksaan, meskipun ditujukan kepada orang lain
dan bukan keluarganya. Menurut sebagian ulama Hanafiah, ancaman tidak dianggap sebagai paksaan, apabila ditujukan kepada orang yang dipaksa.
Akan tetap, ulama Hanafiah yang lain berpendapat bahwa paksaan dianggap ada apabila ancama ditujukan kepada anaknya, atau orang tuanya, atau
keluarganya. Pendapat ini juga diikuti oleh ulama- ulama Syafi‟iyyah. Ulama
Hanabillah berpendapat bahwa paksaan dianggap ada apabila ancamannya
55
ditujukan kepada anak satu orang tuanya.
51
Ancaman juga di isyaratkan harus berupa pebuatan yang tidak sah. Apabila perkara yang diancamkan itu berupa
perbuatan yang sah atau dibenarkan oleh hukum maka tidak ada paksaan. b
Ancaman harus seketika yang diduga kuat terjadi,jika orang yang dipaksa tidak melaksanakan keinginan pemaksa. Apabila ancaman tidak seketika maka
tidak ada paksaan, karena orang yang dipaksa masih mempunyai kesempatan untuk melindungi dirinya dan pada saat itu tidak ada dorongan yang kuat
untuk segera melaksanakan perintah pemaksa. c
Orang yang memaksa mempunyai kemampuan untuk melaksanakan ancamannya, walaupun ia bukan penguasa atau petugas tertentu. Apabila
orang yang memaksa tidak memiliki kemampuan untuk mewujudkan ancamannya, dalam hal ini tidak ada paksaan.
d Ada dugaan yang kuat pada diri yang dipaksa, bahwa apabila ia tidak
memenuhi tuntutannya apa yang diancamkan itu benar-benar akan terjadi. Hukum paksaan dapat berbeda-beda menurut perbedaan perbuatan yang
terjadi. Dalam konteks ini perbuatan dibagi menjaditiga kelompok. Pertama, perbuatan yang tidak dipengaruhi oleh paksaan sama sekali, artinya perbuatan
tersebut tetap dianggap sebagai jarimah. Kedua, perbuatan yang diperbolehkan sama sekali karena adanya paksaan, artinya perbuatan tidak dianggap jarimah. Ketiga,
perbuatan yang dibolehkan sebagai pengecualian, artinya perbuatannya tetap dianggap sebagai jarimah, tetapi pelakunya tidak dikenakan hukuman.
51
Abdul Qadir Audhah, At- Tasyri‟ Al-Jina‟iy Al-Islamy, Beirut: Dar Al-Kitab Al-Araby.
Hal. 356-357
56
2. Mabuk
Syariat Islam melarang minuman keras, baik sampai mengakibatkan mabuk maupun tidak. Dalam kelompok jarimah, minuman keras syurbul khamar termasuk
jarimah hudud yang ancamannya adalah delapan puluh kali cambukan. Kecuali Imam Abu Hanifah dan murid-muridnya, para ulama telah sepakat semua
jenis minuman yang memabukkan, baik disebut khamar atau bukan, sedikit atau banyak, hukumnya tetap dilarang dan peminumnya dikenakan hukuman. Akan tetapi,
menurut Imam Abu Hanifah dalam hal ini harus dibedakan antara khamar dan minuman keras yang lain. Untuk minuman khamar, sedikit atau banyak, baik mabuk
atau tidak, tetap dihukum, sedangkan untuk minuman keras selain khamar, baru dihukum apabila sampai memabukkan.bahan minuman khamar itu adalah perasan
anggur yang direbus sampai kemudian hilang kurang dua pertiganya.
52
Secara umum yang dimaksud dengan mabuk adalah hilangnya akal sebagai akibat minum minuman keras atau khamar atau yang sejenisnya. Menurut Imam Abu
Hanifah, seorang dikatakan mabuk, apabila ia telah kehilangan akal pikirannya, baik banyak ataupun sedikit, ia tidak dapat membedakan antara langit dengan bumi, dan
antara laki-laki dengan perempuan. Sedangkan Muhammad ibn Hasan dan Imam Abu Yusuf berpendapat bahwa orang mabuk itu adalah orang yang banyak mengigau
pada pembicaraanya. Pendapat ini juga merupakan pendapat imam-imam yang lain. Alasan mereka ini adalah firman Allah SWT dalam surah An-Nisaa ayat 43 :
52
Abdul Qadir Audhah, At- Tasyri‟ Al-Jina‟iy Al-Islamy, Beirut: Dar Al-Kitab Al-Araby.
Hal. 581-582
57
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu
dalam Keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, jangan pula hampiri mesjid sedang kamu dalam Keadaan junub[301],
terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi. dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau datang dari tempat buang air atau kamu
telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, Maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik suci; sapulah mukamu dan
tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun.
Dari ayat tersebut jelaslah bahwa orang yang tidak mengetahui apa yang dikatakannya berarti ia sedang mabuk.
Adapun pertanggung jawaban pidana bagi orang yang mabuk, menurut pendapat yang kuat dari ulama mazhab yang empat, ia tidak dijatuhi hukuman atas
jarimah-jarimah yang dilakukannya, apabila ia dipaksa atau terpaksa untuk minum atau ia meminumnya atas kehendak sendiri, tetapi ia tidak mengetahui bahwa yang
diminumnya itu adalah khamar atau ia meminum minuman keras untuk berobat, lalu ia mabuk. Orang yang mabuk tersebut ketika ia melakukan perbuatannya, sedang
hilang akal dan pikirannya, sehingga dengan demikian maka hukumnya sama dengan orang gila. Akan tetapi, jika seseorang minum minuman keras karena kemauan
sendiri dengan sengaja tanpa alasan, atau ia meminumnya sebagai obat yang sebenarnya tidak diperlukan kemudian ia mabuk, dalam hal ini ia harus bertanggung
jawab atas setiap jarimah yang dilakukannya ketika ia mabuk. Hukuman tersebut
58
diberikan kepadanya sebagai pengajaran, karena ia telah menghilangkan akalnya sendiri secara disengaja.
53
Di samping pendapat yang kuat tersebut, dikalangan ulama mazhab yang empat ada pendapat yang tidak kuat, yaitu bahwa orang yang mabuk tidak dibebani
pertanggungjawaban atas
semua perbuatan
jarimah yang
dilakukannya, bagaimanapun terjadinya dan apa pun sebab mabuknya itu, karena pada saat itu akal
pikirannya sedang hilang. Ini berarti orang yang mabuk tersebut tidak menyadari perbuatannya, sedang kesadaran merupakan dasar adanya pertanggung jawaban
pidana.
54
Mengenai pertanggungjawaban perdata orang yang mabuk tetap dikenakan, sebab jiwa dan harta orang laintetap harus dijamin keselamatannya dan pembebasan
dari hukuman pidana tidak mempengaruhi hukuman perdata. 3.
Gila Syariat Islam memandang seseorang sebagai mukallaf yang dapat dibebani
pertanggungjawaban pidana, apabila ia memiliki kemampuan berfikir dan memilih idrak dan ikhtiar. Apabila salah satu dari kedua perkara ini tidak ada maka
pertanggungjawaban menjadi terhapus. Kemampuan berfikir seseorang itu dapat hilang karena faktor bawaan sejak lahir atau karena adanya gangguan seperti sakit
atau cacat fisik. Hilangnya kemampuan berfikir tersebut dalam bahasa sehari-hari
53
Abdul Qadir Audhah,, At- Tasyri‟ Al-Jina‟iy Al-Islamy I, Beirut: Dar Al-Kitab Al-Araby.
Hal. 583
54
Abdul Qadir Audhah,, At- Tasyri‟ Al-Jina‟iy Al-Islamy I, Beirut: Dar Al-Kitab Al-Araby
59
disebut gila. Abdul Qadir Audah memberikan definisi gila sebagai hilangnya akal, rusak, atau lemah.
55
Definisi tersebut merupakan definisi yang umum dan luas, sehingga mencakup gila, dungu, dan semua jenis penyakit kejiwaan yang sifatnya
menghilankan idrak kemampuan berfikir. Di bawah ini akan dijelaskan jenis-jenis penyakit, baik yang menghilangkan seluruh kekuatan berfikir maupun sebagainya.
a. Gila terus menerus, gila terus menerus adalah suatu keadaan di mana
seseorang tidak dapat berfikir sama sekali, baik baik hal itu diderita sejak lahir maupun yang dating demikian. Dikalangan fuqaha gila semacam ini
disebut Al-Junun Al-Muthbaq. b.
Gila berselang orang yang terkena penyakit gila berselang tidak dapat berfikir, tetapi tidak terus-menerus. Apabila keadaan tersebut menimpanya
maka ia kehilangan pikirannya sama sekali, dan apabila keadaan tersebut telah berlalu hilang maka ia dapat berfikir kembali seperti biasa.
Pertanggungjawaban pidana pada gila terus-menerus hilang sama sekali, sedangkan pada gila berselang ia tetap dibebani pertanggungjawaban
pidana ketika ia dalam kondisi sehat. c.
Gila sebagian, gila sebagian ini menyebabkan seseorang tidak dapat berfikir dalam perkara-perkara tertentu, sedangkan pada perkar-perkara
yang lain masih tetap dapat berfikir. Dalam kondisi di mana ia masih dapat berfikir, ia tetap dibebani pertanggungjawaban pidana, tetapi ketika ia tidak
dapat berfikir, ia bebas dari pertanggung jawaban pidana.
55
Abdul Qadir Audhah,, At- Tasyri‟ Al-Jina‟iy Al-Islamy I, Beirut: Dar Al-Kitab Al-Araby.
Hal. 585
60
d. Dungu al-ithu, para fuqaha sebagaimana dikutip oleh Abdul Qadir Audah
memberikan definisi orang dungu sebagai berikut. Orang dungu adalah orang yang minim pemahamannya, pembicaraannya bercampur baur, tidak
beres fikirannya, baik hal itu bawaan sejak lahir atau timbul kemudian karena suatu penyakit.
56
Dari definisi tersebut dapat dipahami bahwa dungu merupakan tingkatan gila yang paling rendah. Dengan demikian, dungu berbeda dengan gila, karena
dungu hanya mengakibatkan lemahnya berfikir bukan menghilangkannya, sedangkan gila mengakibatkan hilangnya atau kacaunya kekuatan berfikir, sesuai
tingkatan-tingkatan kedunguannya, namun orang yang dungu bagaimanapun tidak sama kemampuan berfikirnya dengan orang biasa normal.
Menurut sebagian fuqaha kekuatan berfikir orang dungu sama dengan orang yang sudah mumayyiz lebih kurang berumur antara tujuh sampai lima belas
tahun, sedang menurut sebagian yang lain sama dengan anak yang belum mumayyiz, karena fikirannya yang tidak stabil itu secara umum orang dungu tidak
dibebani pertanggungjawaban pidana.
4. Di bawah umur
Konsep yang
dikemukakan dalam
Syariat Islam
tentang pertanggungjawaban anak dibawah umur merupakan konsep yang sangat baik.
56
Abdul Qadir Audhah,, At- Tasyri‟ Al-Jina‟iy Al-Islamy I, Beirut: Dar Al-Kitab Al-Araby.
Hal. 587
61
Menurut syariat Islam, pertanggungjawaban pidana didasarkan atas dua perkara, yaitu kekuatan berfikir dan pilihan. Sehubungan dengan kedua dasar tersebut
maka kedudukan anak dibawah umur berbeda-beda sesuai dngan perbedaan masa yang dilaluinya dalam kehidupannya, semenjak ia dilahirkan sampai ia memiliki
kedua perkara tersebut. Secara ilmiah terdapat tiga masa yang dialami oleh setiap orang sejak ia dilahirkan sampai ia dewasa. Pertama, masa tidak adanya
kemampuan berfikir. Kedua, masa kemampuan berfikir yang lemah. Ketiga, masa kemampuan berfikir penuh.
57
C. Dasar Pertimbangan Vonis Hakim