Pemeliharaan Amfibi secara Ek –Situ

tersembunyi, dan dibiarkan menggantung di atas aliran air sungai jernih atau genangan air. Telur dalam busa ditutup dengan dedaunan oleh betina sampai selubung busa tidak kelihatan lalu betina meninggalkan telurnya. Selubung busa ini diletakkan pada tumbuh-tumbuhan yang berada di sekitar air terjun atau sungai. Habitat sungai, air terjun, dan genangan air yang dipilih sebagai lokasi yang dekat dengan tempat peletakan selubung busa adalah habitat yang didominasi oleh tumbuhan air seperti kecubung gunung, pacar air, selada air, dan lumut Aritonang 2010. Tidak hanya pada tumbuhan, Hypananda 2012 menemukan bahwa R. margaritifer juga meletakkan sarang di bawah bebatuan. Akan tetapi, hal ini sangat jarang terjadi. Lokasi bersarang R. margaritifer harus memiliki komponen-komponen lingkungan yang mendukung keberlangsungan hidup berudu yang akan menetas nanti. Beberapa komponen lingkungan yang penting adalah ketersediaan pakan dan arus air. Berudu yang menetas pada habitat yang memiliki pakan yang terbatas akan menurunkan peluang hidup berudu R. margaritifer dan sebaliknya. Menurut Aritonang 2010, berudu yang hidup pada habitat tersebut mengalami persaingan dalam perebutan pakan sehingga meningkatkan mortalitas. Hal ini juga diungkapkan oleh Schiesari et al. 2006 dimana berudu yang hidup di habitat yang kaya akan pakan mengalami laju pertumbuhan yang tinggi dibandingkan habitat yang miskin pakan. Peningkatan laju mortalitas berudu R. margaritifer juga terjadi apabila berudu terbawa hanyut oleh arus sungai yang deras. Pemilihan lokasi bersarang R. margaritifer menentukan tingkat keberhasilan hidup menjadi katak dewasa.

2.4 Pemeliharaan Amfibi secara Ek –Situ

Secara umum, pemeliharaan amfibi secara ek-situ di Indonesia belum pernah dilakukan. Menurut Poole dan Grow 2012 ada beberapa aspek penting yang perlu diperhatikan dalam penangkaran amfibi, yaitu : a. Kandang Komponen yang diperlukan dalam kandang tergantung dari habitat alami dan kebiasaan di alam jenis amfibi itu sendiri. Adapun komponen- komponen tersebut mencakup display background, substrat, komponen kandang, tumbuhan, dan air. b. Air Sumber dan Kualitas Amfibi selalu hidup berdekatan dengan air sehingga mereka sangat peka dengan perubahan kualitas dan kuantitas air. Suhu, pH, amonia, nitrat, nitrit, alkalinitas, dan tingkat kekerasan yang terkandung dalam air harus selalu diperhatikan secara berkala agar tidak berbahaya bagi amfibi. c. Kondisi Lingkungan Parameter lingkungan yang sesuai dengan habitat amfibi akan berdampak positif bagi keberlangsungan hidup amfibi itu sendiri. Parameter ini mencakup suhu udara, kelembaban, dan pencahayaan. Ketiga parameter ini harus disesuaikan dengan kondisi habitat alami amfibi, dalam hal ini R. margaritifer. d. Pakan Di alam, amfibi memperoleh nutrisi untuk tubuhnya dari pakan alaminya. Persaingan dalam memperoleh pakan yang bernutrisi tinggi dapat menyebabkan malnutrisi pada amfibi apabila ketersediaan pakan di alam tidak mencukupi. Dalam penangkaran, kendala-kendala ini harus diatasi untuk menjamin kesejahteraan satwa. Oleh karena itu, pakan yang akan diberikan harus tersedia di toko, diperoleh dari alam, dan dibudidayakan. Beberapa hal penting yang harus diperhatikan dalam memilih pakan untuk satwa adalah mengandung kalsium yang cukup, lemak, vitamin dan ukuran pakan. Selain itu pula, frekuensi pemberian makanan harus diperhatikan dan sesuai dengan kebiasaan satwa di alam. e. Tingkah Laku di alam Kegiatan pengayaan di penangkaran dengan tujuan agar satwa dapat berperilaku seperti biasanya di alam penting dilakukan. Hal ini untuk mencegah satwa dari stres dan timbulnya penyakit. Fokus utama pengayaan adalah untuk membuat habitat buatan semirip mungkin dengan habitat alaminya sehingga mendorong satwa untuk berperilaku normal. Perilaku alami satwa yang penting adalah perilaku makan dan respon saat pemberian makan. Hal ini pula yang menentukan berhasil tidaknya satwa berkembangbiak. f. Pemeliharaan kesehatan Satwa yang dipindahkan dari alam ke habitat buatan perlu dikarantina terlebih dahulu minimal 30 hari agar satwa tidak tertekan akibat proses pemindahan tersebut. Proses pemindahan ini menyebabkan kebanyakan satwa mengalami stres, dehidrasi, kepanasan, kelaparan, atau trauma fisik pada kulit atau organ internalnya. Dalam proses karantina, juga dilakukan sterilisasi pada satwa agar bakteri atau virus berbahaya yang dibawa tidak berkembangbiak dan tertular ke satwa lain. Pada penelitian Kusrini et al. 2008 teridentifikasi bahwa R. margaritifer di TNGP positif terkontaminasi jamur Batrachochytrium dendrobatidis Bd yang menyebabkan penyakit Chytridiomycosis. Jamur ini yang menyebabkan penurunan populasi amfibi secara global. Oleh karena itu, sterilisasi jamur Bd perlu dilakukan untuk menjamin kesehatan R. margaritifer di penangkaran. Apabila aspek-aspek tersebut terpenuhi, peluang keberhasilan dalam kegiatan penangkaran amfibi tentunya akan meningkat. Hal ini terbukti dalam penelitian Narayan et al. 2007, dimana upaya manajemen penangkaran yang dilakukan di habitat kandang buatan outdoor pada 10 individu dewasa Platymantis vitianus berhasil menghasilkan telur dalam waktu ± 7 bulan. Kandang ini dibuat semirip mungkin dengan habitat P. vitianus yang merupakan satwa terestrial. Substrat alami serasah, bambu, kayu busuk, tempurung kelapa, suhu, kelembaban, dan pakan jangkrik rumah Achetus domesticus yang disediakan semirip mungkin dengan habitat alaminya. Meningkatnya keberhasilan penangkaran juga dilaporkan oleh Richard et al. 2008 dimana sebanyak 21 spesies amfibi dari penangkaran berhasil dilepaskan kembali ke alam, 19 diantaranya adalah jenis anura. BAB III METODE PENELITIAN

3.1 Waktu dan Lokasi