1
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
“Teori keagenan menggambarkan hubungan dimana pihak prinsipal mendelegasikan kekuasaan kepada pihak agen” Ittonen, 2010. Lebih lanjut, teori
keagenan menyangkut tentang solusi dari masalah yang terjadi dalam hubungan agen-prinsipal sebagai akibat dari conflict of interest. Agency cost terjadi dalam
kontrak antara hubungan agen-prinsipal ini sebagai akibat dari ketidakmampuan prinsipal untuk memonitor aktivitas agen secara sempurna. Di sisi lain, “asimetri
informasi antara manajer dan investor kemudian menciptakan kebutuhan akan informasi akuntansi yang objektif dan dapat dipercaya untuk mengurangi agency
cost” Hao et al, 2011. Peran auditor independen sangat dibutuhkan disini untuk memastikan
bahwa laporan
keuangan tersebut
benar-benar dapat
dipertanggungjawabkan kepada berbagai pihak, dalam hal ini terutama kepada kreditor dan investor.
Sebuah perusahaan diasumsikan beroperasi untuk jangka waktu yang panjang dan bukan hanya untuk sementara waktu. Tetapi di tengah masa
operasionalnya perusahaan dapat mengalami permasalahan keuangan financial distress seperti kerugian atau kewajiban yang gagal dibayar sehingga auditor
menyangsikan kemampuan perusahaan untuk tetap dapat beroperasi. Berdasarkan kondisi-kondisi seperti itu, auditor berhak untuk memberikan paragraf penjelas
non going concern dalam laporan auditor independen perusahaan yang diauditnya. Dalam SA seksi 341 dinyatakan bahwa auditor bertanggung jawab untuk menilai
2
apakah terdapat kesangsian besar terhadap kemampuan perusahaan dalam mempertahankan kelangsungan hidupnya going concern dalam periode waktu
tidak lebih dari satu tahun sejak tanggal laporan audit. Kondisi ekonomi yang mempengaruhi going concern antara lain krisis
ekonomi yang terjadi pada tahun 2008. Kondisi ini berawal dari subprime mortgage yang terjadi di Amerika Serikat yang kemudian menyebabkan krisis
skala global dan berdampak ke seluruh dunia, termasuk Indonesia. Di Indonesia, IHSG menurun drastis, dari sebesar 2.830 pada awal tahun 2008 menurun menjadi
1.355 pada akhir tahun 2008 Bank Indonesia, 2009. Kondisi ini mencerminkan semakin menurunnya kemampuan pendanaan eksternal bagi perusahaan. Dari segi
internal perusahaan sendiri mengalami penurunan yang ditunjukkan dengan tingkat PHK yang saat itu mencapai 10.306 orang hingga Desember 2008 Bank
Indonesia, 2009. Krisis tersebut berdampak pada kemampuan perusahaan dalam menjaga kelangsungan hidupnya dan asumsi going concern dibutuhkan untuk
menjadi pedoman bagi pihak eksternal. Investor yang menginvestasikan dananya dalam sebuah perusahaan tentu menginginkan dividen dalam jangka panjang dan
lembaga keuangan seperti bank yang meminjamkan dananya kepada perusahaan tersebut tentu berasumsi perusahaan akan mampu beroperasi untuk jangka waktu
yang panjang. Penerimaan paragraf penjelas non going concern sendiri dapat
menimbulkan dampak yang tidak menguntungkan bagi pihak perusahaan. Dikhawatirkan bahwa perusahaan akan benar-benar bangkrut sebagai dampak dari
citra buruk yang diakibatkan setelah menerima paragraf penjelas non going
3
concern dalam laporan auditor independennya. Ini menjadi suatu self-fulfilling prophecy yang dilakukan oleh auditor. Carey et al 2008 menyatakan bahwa “a
going-concern-modified opinion might cause additional financial hardships if it leads to further loss of customers, reduced access to credit and loan funds and an
unnecessary decline in share price” yang isinya kira-kira “opini audit non going concern akan memperburuk masalah finansial perusahaan karena dapat
menyebabkan perusahaan kehilangan klien, berkurangnya akses perusahaan terhadap dana pinjaman dan penurunan harga saham perusahaan”. Namun Purba
2009 tidak setuju dengan pendapat yang mengatakan bahwa paragraf penjelas non going concern dalam opini audit akan menciptakan pesimisme pembaca
laporan keuangan. Menurutnya “pemberian warning lebih awal justru lebih baik karena perusahaan dapat mengidentifikasi masalah lebih dini sehingga manajemen
perusahaan dapat menanggapinya dengan segera dan bagaimanapun akuntan publik tetap harus bersifat independen serta objektif dalam memberikan opini dan
penilaian atas kondisi perusahaan”. Ruiz-barbadillo 2004 menyatakan “Audit quality is defined as the
probability of an auditor both discovering and reporting a breach in the client’s accounting system” yang artinya sebagai berikut “kualitas audit diartikan sebagai
gabungan probabilitas seorang auditor untuk dapat menemukan dan melaporkan penyelewengan yang terjadi dalam sistem akuntansi klien”. KAP yang berafiliasi
dengan KAP big four dianggap kualitas auditnya lebih baik. “KAP yang berafiliasi dengan big four yaitu KPMG, PwC, Deloitte dan Ernst Young
dianggap menyediakan kualitas audit yang lebih baik karena dikenal
4
menginvestasikan dana yang lebih besar dalam pelatihan auditor mereka untuk menjamin kompetensi” Hao et al, 2011.
Kasus bangkrutnya perusahaan energi Enron merupakan salah satu contoh terjadinya kegagalan auditor untuk menilai kemampuan perusahaan dalam
mempertahankan kelangsungan usahanya. Widyantari 2011 menyatakan bahwa “dari 228 perusahaan publik yang mengalami kebangkrutan, Enron dan 95
perusahaan lainnya menerima opini wajar tanpa pengecualian pada tahun sebelum terjadinya kebangkrutan”.
“Penilaian going concern didasarkan pada keadaan finansial, operasional, dan aspek lainnya” Hao et al, 2011. Lebih lanjut, “auditor sering memberikan
opini going concern dengan pertimbangan berdasarkan kondisi keuangan yang dilaporkan” Bruynseels dan Willekens, 2006. “Semakin dekat perusahaan
dengan kebangkrutan maka semakin besar kemungkinan perusahaan menerima opini non going concern” Lennox, 2000. “Indikasi kebangkrutan dapat dilihat
dari apakah perusahaan mengalami financial distress, yaitu suatu kondisi dimana arus kas operasi perusahaan tidak mencukupi untuk memenuhi kewajiban
lancarnya” Widyantari, 2011. Pada akhirnya, financial distress ini akan mengarah pada kebangkrutan perusahaan sehingga kelangsungan usaha
perusahaan diragukan. Hao et al 2011 menyatakan bahwa “bukti empiris bahwa rasio keuangan tertentu, terutama cash flowtotal debt, memberikan tanda yang
cukup signifikan sebelum sebuah perusahaan benar-benar bangkrut”. Penelitian ini merujuk kepada penelitian Hao et al 2011 yang meneliti
pengaruh rasio keuangan, independensi audit, dan kualitas audit terhadap
5
kecenderungan auditee menerima opini audit going concern dari auditor. Independensi audit dalam penelitian ini diproksikan dengan fee ratio audit yang
dibayarkan auditee, sementara kualitas audit diproksikan dengan KAP yang berafiliasi dengan big four atau yang tidak berafiliasi dengan big four. Ukuran
rasio keuangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah leverage yang diproksikan dengan debt to asset, likuiditas yang diproksikan dengan current
ratio, profitabilitas yang diproksikan dengan return on asset, dan operating cash inflows ratio. Dipilihnya variabel-variabel tersebut berdasarkan pertimbangan:
current ratio mengindikasikan kemampuan perusahaan untuk memenuhi kewajiban kepada pemasok; return on asset memberikan investor gambaran
mengenai efektivitas perusahaan dalam mengelola aset mereka menjadi laba bersih; leverage menjelaskan kemampuan aset perusahaan menjamin utang; dan
oleh sebab itu, operating cash inflows ratio juga menjadi faktor yang penting dalam memprediksi kebangkrutan.
Adapun perbedaan penelitian ini dengan peneliti terdahulu adalah waktu dan tempat serta adanya perubahan variabel. Penelitian Hao et al 2011
menggunakan sampel perusahaan-perusahaan non finansial di China selama tahun 2004-2007, sementara penelitian ini menggunakan sampel perusahaan-perusahaan
manufaktur di Indonesia selama tahun 2011-2013. Variabel independen yaitu opini audit tahun sebelumnya ditambahkan dalam penelitian ini, sementara
variabel independensi audit tidak digunakan sebagaimana dipakai dalam penelitian terdahulu dikarenakan kurangnya data. Maka peneliti mengambil judul
penelitian ini sebagai berikut “Pengaruh Kualitas Audit, Opini Audit Tahun
6
Sebelumnya, dan Rasio Keuangan Terhadap Penerimaan Opini Audit Going
Concern Pada Perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia”
.
1.2 Batasan Masalah