BAB II PENDEKATAN TEORITIS
2.1. Tinjauan Pustaka
2.1.1.Konsep dan Teori Mobilitas Penduduk
Istilah umum bagi gerak penduduk dalam demografi adalah population mobility atau secara lebih khusus territorial mobility yang biasanya mengandung
makna gerak spasial, fisik, dan geografis Shryock Siegel,1973 seperti dikutip oleh Rusli, 1996. Mobilitas penduduk horizontal atau geografis dapat dibagi
menjadi mobilitas penduduk non permanen atau mobilitas penduduk sirkuler dan mobilitas penduduk permanen. Mobilitas penduduk non permanen adalah
gerak penduduk dari satu wilayah menuju ke wilayah lain dengan tidak ada niatan menetap di daerah tujuan. Mobilitas penduduk sirkuler ini dibagi menjadi
mobilitas penduduk ulang-alik commuting dan nginap atau mondok di daerah tujuan Mantra, 1994. Standing 1985 menyebutkan bahwa konsep mobilitas
teritorial mencakup empat dimensi penting, yaitu: ruang, tempat tinggal, waktu, dan perubahan kegiatan. Oleh karena itu, tidak semua perpidahan bisa
dikategorikan sebagai migrasi. Perhatian terhadap fenomena gerak penduduk telah berlangsung lama,
berbagai teori yang mencoba menjelaskan fenomena ini pun banyak bermunculan. Teori migrasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah Teori Migrasi Everett S.
Lee. Teori ini mengembangkan sejumlah hipotesa berkenaan dengan volume migrasi, stream dan counterstream, serta karakteristik para migran Lee, 1984.
Lee berpendapat bahwa dalam tiap tindakan migrasi baik yang jarak dekat maupun yang jarak jauh senantiasa terlibat faktor-faktor yang berhubungan
dengan daerah asal, daerah tujuan, pribadi, dan rintangan-rintangan antara. Di tiap daerah ada tiga set faktor-faktor, yaitu:
1. Faktor-faktor yang bertindak untuk mengikat orang dalam suatu daerah atau
memikat orang terhadap daerah itu, yang disebut sebagai faktor-faktor minus -
2. Faktor-faktor yang cenderung untuk menolak mereka, merupakan faktor-
faktor plus + 3.
Faktor-faktor yang pada dasarnya indifferent, tak punya pengaruh menolak atau mengikat 0
Faktor minus - dan plus + yang penulis dapatkan salah satunya adalah dari penelitian Ida Bagoes Mantra 1994, yang merumuskan faktor minus -
sebagai berikut: kekurangan kesempatan kerja baik di bidang pertanian maupun non pertanian di desa, terbatasnya fasilitas pendidikan, dan sebagainya. Adapun
faktor plus + meliputi: menjaga tanah warisan orang tua, menunggu ayah atau ibu yang sudah tua, dan sebagainya. Keterkaitan antar faktor tersebut dapat dilihat
pada Gambar 1: Penghalang Antara
Sumber: Lee 1984 Gambar 1. Faktor Tempat Daerah Asal dan Tempat Derah Tujuan, serta
Penghalang Antara dalam Migrasi Selain faktor penarik dan faktor pendorong yang berasal dari daerah asal
maupun daerah tujuan, terdapat juga faktor perintang antara. Dalam keadaan
+ - + 0 - - 0 - + 0
+ - 0 + 0 - + 0 - +
tertentu sangat mudah diatasi, namun kadang kala juga sulit. Jarak dan biaya transportasi dari daerah asal menuju daerah tujuan merupakan contoh dari
perintang antara. Sedangkan faktor-faktor pribadi umpamanya ada orang-orang yang cepat atau lambat menerima perubahan Rusli, 1996.
Berikut adalah faktor penarik dan pendorong terjadinya migrasi: • Faktor penarik:
1. Adanya daya tarik superior ditempat daerah tujuan untuk memperoleh kesempatan kerja seperti yang diinginkan cocok
2. Kesempatan untuk memperoleh pendapatan yang lebih baik 3. Kesempatan memperoleh pendidikan yang lebih baik sesuai yang
diinginkan 4. Kondisi daerah tujuan yang lebih unggul atau menyenangkan: iklim,
sekolah, perumahan, fasilitas lain. 5. Daya tarik aktivitas daerah tujuan: tempat hiburan, wisata, dan lain-lain
• Faktor Pendorong: 1. Makin berkurangnya sumber daya alam dan kebutuhan akan bahan baku
di daerah asal dan melimpahnya bahan baku di daerah tujuan 2. Berkurangnya kesempatan kerja di daerah asal
3. Adanya tekanan-tekanan di daerah asal etnisitas, agama,dan lain-lain 4. Bencana alam, wabah penyakit.
2.1.2.Pengambilan Keputusan Mobilitas Penduduk
Mobilitas penduduk yang dilakukan oleh perempuan secara garis besar didorong oleh tiga motif utama, yaitu:
1. Motif ekonomi: dorongan ini sangat kuat sekali yang disebabkan rasa
ingin menghidupi keluarga dan ingin meningkatkan kesejahteraan. Bekerja di luar desa dirasa sebagai suatu bentuk strategi dalam menghadapi
tantangan sempitnya kesempatan kerja di desa Rahardjo, 1997. 2.
Motif sosial: perempuan ingin bergaul dan mendapatkan pengakuan bahwa sebenarnya dapat berupaya untuk mencari nafkah dan mempunyai status di
masyarakat. Adanya rasa superior di tempat yang baru atau memasuki lapangan kerja yang sesuai. Rasa ini terutama dirasakan oleh para
perempuan yang memiliki pendidikan relatif lebih tinggi daripada perempuan desa pada umumnya. Wahyuni 2000 menyatakan bahwa
peningkatan pendidikan perempuan telah merubah aspirasi pekerjaan bagi perempuan, yang dulunya berkisar pada sektor tradisional berubah untuk
memilih pekerjaan upahan di sektor formal. Adapun sektor tersebut jarang tersedia di desa.
3. Motif budaya: Keinginan untuk hidup dan beraktifitas di kota besar, yang
mempunyai daya tarik tersendiri bagi orang dari kota kecil. Di kota bisa mendapatkan segalanya dan memperoleh kebebasan untuk menikmati
fasilitas-fasilitas atau produk budaya yang ada. Menurut hasil penelitian Noer 2008 beberapa perempuan pelaku migrasi mengaku bermigrasi ke
kota karena sudah tidak kuat lagi menahan cercaan dari warga-warga di desanya akibat statusnya sebagai janda. Oleh karena itu, mereka
memutuskan untuk pergi ke kota yang terkenal dengan budaya individualis
dan tidak terlalu mengurusi urusan orang lain.
Motif-motif tersebut di atas mendorong perempuan untuk pergi meninggalkan desanya dan melakukan mobilitas penduduk ke daerah lain yang
menjanjikan kehidupan yang lebih baik. Dalam proses pengambilan keputusan untuk melakukan gerak penduduk bagi perempuan terdapat beberapa faktor yang
memengaruhi, yakni: 1.
Faktor Status Perkawinan Status perkawinan juga menjadi salah satu pertimbangan keputusan
bermigrasi. Orang dengan status menikah lebih terbatas ruang geraknya dibandingkan dengan yang berstatus belum menikah.
2
2. Akses terhadap Ekonomi
Kelahiran anak pun tak jarang menghambat perempuan untuk melakukan migrasi. Wahyuni 2000
menjelaskan dalam tulisannya bahwa ketika bayi baru dilahirkan maka hanya si ibu yang diharapkan untuk mengasuhnya.
Salah satu persoalan utama ketika membahas migrasi perempuan adalah akses terhadap ekonomi. Migrasi jelas tidak hanya membutuhkan niat maupun
keberanian, namun jelas membutuhkan ekonomi sebagai penopang. Membahas mengenai migrasi perempuan adalah akses terhadap ekonomi yang terdiri dari
biaya perjalanan dan biaya hidup di perantauan. Para migran yang berstatus sebagai janda cerai mendapatkan kemampuan ekonomi berdasarkan harta gono-
gini, adapun yang berstatus janda mati mendapatkan harta waris dari suaminya. Berbeda halnya dengan para migran yang belum menikah, dimana menopangkan
kehidupannya pada orang tua. Noer, 2008. Ketika akses ekonomi ini dirasakan
2
Sri R. Giyarsih U. Listyaningsih, ’ Dampak Non Ekonomi Migrasi Tenaga Kerja Wanita ke
Luar Negeri di Daerah Asal.’ http:jurnal.pdii.lipi.go.idadminjurnal310317.pdf
, diakses pada 30 April 2010
rendah, maka hal ini dapat menjadi faktor yang mengahambat terjadinya mobilitas penduduk perempuan.
3. Umur
Hasil penelitian Giyarsih dan Listyaningsih menunjukkan sekitar 13 persen migran kembali berumur muda yakni di bawah 25 tahun. Pada umumnya migran
kembali dalam kelompok ini baru pertama kali bekerja ke luar negeri. Adioetomo dan Wiyono 2003 menyebutkan DKI Jakarta merupakan provinsi yang paling
banyak menerima migran dari provinsi lain, migrasi menurut umur pada tahun 1995 terlihat bahwa migran usia muda 15-29 tahun mendominasi migran masuk
ke DKI Jakarta, baik laki-laki maupun perempuan. Hal ini menunjukkan umur dalam proses migrasi merupakan aspek penting yang dapat memengaruhi
keputusan yang diambil seseorang. Migrasi cenderung dilakukan oleh kelompok umur produktif dimana dari segi kemampuan fisik jelas lebih memadai.
4. Kemudahan sarana transportasi
Migrasi terkait erat dengan mudahnya sarana transportasi untuk mendukung mobilitas penduduk dari satu wilayah ke wilayah lain. Di daerah penelitian Noer
2008, mayoritas responden berasal dari Bangkalan yang merupakan salah satu Kabupaten di Madura yang memiliki sarana transportasi yang paling memadai.
5. Ketersediaan Informasi mengenai Daerah Tujuan
Informasi mengenai daerah tujuan ini biasanya didapat dari pelopor migran sebelumnya. Para migran terdahulu ini, tidak hanya memberikan informasi, tetapi
juga berperan dalam tahap-tahap awal dari mekanisme penyesuaian diri di daerah tujuan Mantra, 1994.
6. Budaya
Mobilitas wanita merupakan “barang terlarang” di beberapa budaya masyarakat, terutama yang menganut pahan patriarkhi yang kuat. Hal ini
ditemukan di Madura, dimana laki-laki Madura terutama suami, sangat protektif terhadap istri mereka, sehingga hal ini membatasi gerak istri untuk memperoleh
pekerjaan Noer, 2008. Selain itu, budaya yang berkembang di masyarakat dan berhubungan dalam proses pengambilan keputusan mobilitas penduduk adalah
sistem kekerabatan berupa keluarga. Adanya suatu adat menetap sesudah menikah yang bermacam-macam turut menentukan tempat tinggal penduduk perempuan.
Koentjaraningrat 1965 menyebutkan bahwa, dalam masyarakat di dunia ada paling sedikit tujuh kemungkinan adat menetap sesudah menikah residence
patterns, yaitu: •
Adat utrolokal, yang memberi kemerdekaan kepada tiap pengantin baru untuk menetap sekitar pusat kediaman kaum kerabat suami atau di sekitar
pusat kediaman kaum kerabat istri.
• Adat virilokal, yang menentukan bahwa pengantin baru menetap sekitar
pusat kediaman kaum kerabat suami.
• Adat uxorilokal, yang menentukan bahwa pengantin baru menetap sekitar
pusat kaum kerabat istri.
• Adat bilokal, yang menentukan bahwa pengantin baru harus tinggal
berganti-ganti, pada suatu masa tertentu sekitar pusat kediaman kerabat
suami, pada lain masa tertentu sekitar pudat kediaman kaum kerabat istri.
• Adat neolokal, yang menentukan bahwa pengantin baru tinggal sendiri di
tempat kediaman yang baru, tidak mengelompok sekitar tempat kediaman
kaum kerabat suami maupun istri.
• Adat avunkulokal, yang menentukan bahwa pengantin baru tinggal menetap
sekitar tempat kediaman saudara laki-laki ibu avunculus dari suami.
• Adat natolokal, yang menentukan bahwa pengantin baru tinggal terpisah,
suami sekitar pusat kediaman kaum kerabatnya sendiri, dan istri di sekitar
pusat kediaman kaum kerabatnya sendiri pula.
Adat menetap sesudah menikah ini memengaruhi pergaulan kekerabatan dalam masyarakat. Pergaulan kekerabatan inilah yang nantinya mengatur tempat-
tempat tinggal suatu keluarga karena terikat oleh suatu hubungan kekerabatan. Dengan kata lain, sistem kekerabatan ini pun turut menjadi bahan pertimbangan
dalam pengambilan keputusan mobilitas penduduk perempuan.
2.1.3.Konsep Tindakan Rasional Weber
Weber dalam Soekanto, 1982 menyatakan bahwa tindakan sosial berkaitan dengan interaksi sosial, sesuatu tidak akan dikatakan tindakan sosial jika individu
tersebut tidak mempunyai tujuan dalam melakukan tindakan tersebut. Weber menggunakan konsep rasionalitas dalam klasifikasinya mengenai tipe-tipe
tindakan sosial. Pembedaan pokok yang diberikan adalah antara tindakan rasional dan non rasional. Singkatnya, tindakan rasional, menurut Weber, berhubungan
dengan pertimbangan yang sadar dan pilihan bahwa tindakan itu dinyatakan. Di dalam kedua kategori utama mengenai tindakan rasional dan non rasional itu, ada
dua bagian yang berbeda satu sama lain.
1. Tindakan Rasional Instrumental Zweckrationalitat
Tindakan ini dilakukan dengan memperhitungkan kesesuaian antara cara yang digunakan dengan tujuan yang akan dicapai. Tindakan ini yang paling tinggi
rasionalitasnya. Tindakan ini meliputi pertimbangan dan pilihan yang sadar yang berhubungan dengan tujuan dan alat yang digunakan untuk mencapai
tujuan itu. Individu memiliki berbagai tujuan yang harus dilakukan. Berdasarkan kriteria tertentu, ia memilih satu di antara banyak tujuan yang
kadang-kadang saling bersaing. 2.
Tindakan Rasionalitas yang Berorientasi Nilai Wertrationalitat Tindakan ini dilakukan seseorang yang didasari oleh nilai-nilai dasar dalam
masyarakat. Sifat rasionalitas yang berorientasi nilai yang penting adalah bahwa alat – alat hanya merupakan obyek pertimbangan dan perhitungan yang
sadar, tujuannya sudah ada dalam hubungannya dengan nilai – nilai individu yang bersifat absolut atau merupakan nilai akhir baginya. Nilai – nilai akhir
bersifat non rasional dalam hal dimana seseorang tidak dapat memperhitungkannya secara obyektif mengenai tujuan – tujuan mana yang
harus dipilih. 3.
Tindakan Tradisional Tindakan ini dilakukan atas dasar kebiasaan, adat istiadat yang turun temurun.
Tindakan ini biasa dilakukan pada masyarakat yang hukum adat masih kental, sehingga dalam melakukan tindakan ini tanpa mengkritisi dan memikirkan
terlebih dulu. Walaupun bila dipikir ulang sebenarnya tidak masuk akal. Ini merupakan tindakan yang nonrasional.
4. Tindakan Afektif
Tipe tindakan ini ditandai oleh dominasi perasaan atau emosi tanpa refleksi intelektual atau perencanaan yang sadar.
2.2. Kerangka Pemikiran