BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Tidak dapat dipungkiri iklan melalui media massa televisi merupakan kunci keberhasilan untuk mempromosikan suatu produk, karenanya tidak mengherankan
fenomen kampanye yang dilakukan partai politik jelang Pemilihan Umum Pemilu 9 April 2009 adalah melalui iklan politik. Kalau kita ikuti siaran televisi
sepanjang hari khususnya malam hari, kita menyaksikan partai politik tidak hentinya berlomba menayangkan iklan politik.
Biaya tayangan iklan politik cukup mahal hanya partai besar atau partai yang memiliki modal politik besar dapat leluasa mempublikasikan visi dan misi
partai melalui iklan politik mereka kepada pemirsa yakni khalayak penonton televisi. Diantara partai politik yang beriklan pada pelaksanaan Pilkada 9 April
2009 seperti Partai Demokrat, Partai Golkar, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan PDI-P, Partai Keadilan Sejahtera PKS, Partai Amanat Nasional
PAN, Partai Persatuan Pembangunan PPP, Partai Hati Nurani Rakyat Hanura. Namun yang paling gencar menayangkan iklan politik adalah Partai
Gerakan Indonesia Raya Gerindra pimpinan Prabowo Subianto. “Hampir setiap 10 menit sekali iklan politik menghias layar kaca dengan durasi 20 detik sekali
tayang” Umri, Waspada, 2009 : 23. Di mana partai yang lain? Apakah mereka menganggap kampanye iklan
politik tidak penting? Bukan itu alasannya, karena menurut Kariyantono 2007 : 383, menunjukkan:
Universitas Sumatera Utara
“Parpol harus mengkomunikasikan dengan cara memperkenalkan dan mensosialisasikan diri ke masyarakat secara intensif yakni secara terus menerus.
Sarana yang biasa dipilih adalah iklan di media massa terutama televisi, karena kemampuan media menyuntikkan pesan sebagai informasi untuk khalayak secara
luas, dan serentak”. Masalah keterbatasan dana kampanye menjadi pertimbangan yang menjadi
salah satu faktor pembatas yang menjadikan mereka tidak mampu mengiklankan diri secara luas kepada masyarakat. Karena iklan media massa yakni iklan politik
di televisi masih dibutuhkan dalam penyampaian visi dan misi Parpol membangun opini. Bagaimana secara luas masyarakat bisa tahu slogan “Lanjutkan” yang
dikemas dalam iklan politik Partai Demokrat kalau tidak melalui media televisi, atau tema “pembangunan dalam kebhinekaan” yang diusung Partai Golkar, juga
“ekonomi kerakyatan” yang selama ini menjadi visi dan misi Partai Gerindra dan PDI-P.
Banyaknya iklan politik menjelang pelaksanaan Pemilu Legislatif 9 April 2009 terutama di televisi, menunjukkan persaingan kekuasaan dalam
mendapatkan simpati dan dukungan suara rakyat di negara ini begitu berharga. Tidak terkecuali di Kota Medan dengan keberagaman dan kedewasaan berpikir
yang dimiliki masyarakat. Walau iklan politik Pemilu Legislatif lebih bersifat nasional atau tidak secara perseorangan mempromosikan dan pencitraan masing-
masing calon legislatif, akan tetapi partai memposisikan iklan politik sebagai bagian dari kampanye secara keseluruhan sebagai sumber informasi untuk
masyarakat, tujuannya membangun opini publik positif.
Universitas Sumatera Utara
Khalayak pemilih dihadapankan pada ketidakpastian informasi uncertainty berkaitan dengan program dan kandidat Parpol. Kebingungan politis ini
menjadikan kesempatan Parpol semakin besar dalam menarik pemilih yang memiliki keinginan sama hingga informasi semakin gencar disampaikan melalui
iklan politik di televisi. Kenyataan tentang pentingnya televisi sebagai media informasi publik saat
ini disadari betul oleh tim sukses yang berada di belakang masing-masing Parpol, dengan menggabungkan kekuatan pemikiran mereka ditambah kekuatan media
massa pada sisi lain. Hasilnya iklan politik yang terus menerus kritis terhadap lawan politis mereka.
Informasi bagi masyarakat terutama bagi khalayak atau tingkat pemilih pemula dalam Pemilu legislatif diharapkan mampu memberikan informasi bagi
mereka dan mengurangi ketidakpastian dengan bukti nyata penggunaan hak pilih mereka dalam pesta demokrasi. Menarik untuk dikaji bagaimana pengaruh iklan
politik terhadap sikap khalayak pemilih pemula. Pengaruh ini dapat dilihat dari efek iklan politik Parpol di televisi terhadap sikap dan perilaku pemilih pemula.
Keadaan yang menunjukkan kemasan iklan politik yang bermaterikan “asumsi kekinian serta harapan ke masa depan”. Umri, Waspada, 2009 : 23.
Filsuf Aristoteles menggambarkan pembentukan opini publik yang ingin dicapai dalam iklan politik menjadi tiga: yakni didasari logos akal, pathos
emosi, dan ethos karakter Majalah Islam Sabili, 18 Juni 2009 : 44. Jika berbicara logika khalayak dihadapkan pada kondisi informasi yang
menggambarkan visi dan misi yang menawarkan program “masuk akal tidak ya?”,
Universitas Sumatera Utara
untuk pemilih pemula, tentu bagi mereka yang dibutuhkan adalah mengikat emosi ethos dalam menentukan pilihan.
PDI-P menerjemahkan keadaan saat ini di dalam keadaan masyarakat yang sulit secara ekonomi, harga sembako tidak terawasi hingga mudah dimainkan oleh
sebagian orang dengan harga yang mahal, antrian BBM yang menunjukkan kegagalan dalam pengelolaan minyak dan gas, juga semakin sulitnya lapangan
pekerjaan di negara ini, maka mereka menginfomasikan di dalam iklan politik mereka, melalui agenda kontrak politik dengan upaya memberikan sembako
murah, pendidikan yang baik, dan mengatasi permasalahan pengangguran. Tidak jauh berbeda dengan Partai Gerakan Indonesia Raya Gerindra, mereka
mengangkat isu petani, buruh, dan nelayan sebagai kelompok masyarakat yang hampir tidak disentuh oleh pembangunan, petani dengan kesulitan pertanian,
langkanya pupuk, dan sulitnya menjual hasil panen mereka menjadi agenda pengentasan yang ditawarkan, bahan bakar solar untuk kepentingan melaut bagi
nelayan juga tidak diabaikan, termasuk nasib buruh melalui berbagai peninjauan ulang dalam proses peningkatan ekonomi kerakyatan.
Berkebalikan dari itu, Partai Demokrat, dan Partai Golkar, sebagai bagian dari penguasa negeri ini hingga sekarang, malah mengekspos keberhasilan mereka
membangun negara. Inilah yang menunjukkan bahwa komunikasi politik dalam membangun opini publik masih relevan untuk dikaji pengaruhnya terhadap sikap
masyarakat. Terutama bagi pemilih pemula yang menunjukkan minimnya pengalaman mereka dalam menentukan pilihan tidak berdasarkan logika atau akal
logos, akan tetapi lebih pada aspek emosional pathos.
Universitas Sumatera Utara
1.2. Perumusan Masalah