titik tolak yang dapat diterima kebenarannya. Maka penulis memiliki anggapan
dasar bahwa dalam cerita rakyat Keramat Kuda terkandung nilai-nilai sosiologis
dari masyarakat pemilik cerita tersebut.
1.6 Lokasi Penelitian
Kabupaten Serdang Bedagai adalah salah satu Kabupaten di Provinsi Sumatera Utara dengan luas Kabupaten 1.900.22 Km
2
yang terletak pada koordinat 03040’31 - 2230” LU 98056’37 - 9830” BT. Kabupaten Serdang
Bedagai memiliki 17 Kecamatan diantaranya adalah Kecamatan Kotarih, Silinda, Bintang Bayu, Dolok Masihul, Serba Jadi, Sipis-Pis, Dolok Merawan, Tebing
Tinggi, Tebing Sei Bandar, Bandar Kalipah, Tanjung Beringin, Sei Rampah, Sei Bamban, Teluk Mengkudu, Perbaungan, Pegajahan dan Pantai Cermin.
Kecamatan Teluk Mengkudu adalah daerah yang menjadi tempat penelitian, tepatnya di Desa Mata Pao.
Kecamatan Teluk Mengkudu memiliki beberapa Desa diantaranya adalah Desa Liberia, Sei Buluh, Pematang Setrak, Mata Pao, Makmur, Pasar Baru,
Sialang Buah, Pekan Sialang Buah, Pematang Guntung, Sentong, Bogak Besar Dan Pematang Kualah.
Keadaan Penduduk Penduduk Kabupaten Serdang Bedagai berdasarkan data Biro pusat
Statistik pada tahun 2010 berjumlah 594.383 jiwa dengan komposisi yang berimbang antara laki-laki dan perempuan.
Universitas Sumatera Utara
Masyarakat yang tinggal di Desa Mata Pao terdiri dari berbagai macam suku, seperti Melayu, Jawa, dan Batak.
Penduduk yang berada di desa Mata Pao rata- rata mata pencariannya adalah berkebun. Produk perkebunan unggulan di desa ini adalah kelapa sawit.
Namun sebagian masyarakat ada juga yang bekerja sebagai buruh pabrik dan membuka warung makan dan bekerja di instansi Pemerintah.
.
Universitas Sumatera Utara
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Sosiologi dan Sastra
Membicarakan sosiologi dan sastra adalah membicarakan sampai di mana hubungan antara sosiologi dan sastra. Secara institusional objek sosiologi dan
sastra adalah manusia dalam masyarakat, sedangkan objek ilmu-ilmu kealaman adalah gejala-gejala alam. Masyarakat adalah orang-orang yang hidup bersama
dan menghasilkan kebudayaan. Perbedaannya, apabila sosiologi melukiskan kehidupan manusia dan masyarakat melalui analisis ilmiah dan objektif, sastrawan
mengungkapkan melalui emosi, secara subjektif dan evaluatif. Sastra juga memanfaatkan pikiran, intelektualitas, tetapi tetap didominasi oleh emosionalitas.
Karena itu, Damono 1978: 6-8, mengatakan, “Apabila ada dua orang sosiolog yang melakukan penelitian terhadap suatu
masalah masyarakat yang sama, maka kedua penelitiannya cendrung sama. Sebaliknya, apabila dua orang seniman menulis mengenai masalah masyarakat
yang sama, maka hasil karyanya pasti berbeda. Hakikat sosiologi adalah objektivitas,sedangkan hakikat karya sastra adalah subjektivitas dan kreativitas,
sesuai pandangan masing-masing pengarang. Karya sastra yang sama dianggap plagiat”.
Sastra begitu dekat dengan manusia. Sastra tercipta untuk dinikmati, dipahami dan dimanfaatkan manusia dalam suatu masyarakat. sebagai sesuatu
yang perlu dinikmati karya sastra harus mengandung keindahan yang berasal dari keoriginalitas sehingga dapat memenuhi dan memuaskan kehausan estetika
masyarakat penikmatnya. Sebagai sesuatu yang perlu dipahami, karya sastra memendam kompleksitas yang hanya dapat dimengerti dengan usaha yang
Universitas Sumatera Utara
sungguh-sungguh dan teliti oleh masyarakat pembacanya. Dengan demikian, untuk mengungkap kandungan karya sastra dibutuhkan kepekaan luar biasa.
Sebagai sesuatu perlu dimanfaatkan, karya sastra mengandung nilai berharga yang dapat dipergunakan untuk kesejahteraan manusia.
Banyak kenyataan sosial yang dihadapi manusia dalam kehidupan bermasyarakat. Kenyataan sosial itu dapat berupa tantangan
untuk mempertahankan hidup, kebahagian dalam situasi keberhasilan, frustasi dalam
situasi kegagalan, kesedihan dalam situasi kemalangan, dan lain sebagainya. Kenyataan sosial tersebut muncul sebagai akibat hubungan antar manusia,
hubungan antar masyarakat dan hubugan antar peristiwa dalam batin seseorang. Hal ini senada dengan apa yang disampaikan Damono 1984 : 4-5,
Bahwa, “Kenyataan sosial tersebut mendapatkan perhatian sang pengarang,baik karena dia
menyaksikan maupun dia mengalami sendiri. Dengan demikian, sastra, melalui ramuan pengarang, merefleksikan gambaran kehidupan. Namun,tujuan utama
sang pengarang bukanlah menampilkan kenyataan sosial atau gambaran kehidupan,melainkan dia hendak menjadikan sastra sebagai resep kehidupan yang
mampu menangkal penyakit dan manjur sebagai obat penyembuh. Sastra menjadi peralatan kehidupan manusia. Sastra dengan demikian berperan sebagai : 1.
Pelipur lara, 2. Ungkapan kekesalan, 3. Kritik sosial, 4. Nasihat, 5. Teguran, 6. Pemasyarakatan manusia yang menderita”.
Secara sosiologi, sastra adalah strategi untuk menghadapi situasi yang dialami manusia demi mengembangkan kemasyarakatan. Situasi yang dialami
manusia itu sendiri sesuai dengan norma yang berlaku dalam masyarakat. Dengan demikian, pengarang merupakan ahlu strategi.
Pengarang harus mampu menilai sesuatu dengan tepat dan teliti. Apabila dia tidak mengetahui keadaan sesuatu dengan jelas. Dengan demikian, seorang
Universitas Sumatera Utara
ahli strategi yang bijaksana tidak akan puas dengan strategi yang hanya memuaskan dirinya sendiri. Pengarang akan waspada terhadap ancaman atau
bahaya yang sewaktu-waktu dapat menghadang. Dengan ini dapat dilihat tiga aspek yang saling berhubungan yaitu
hubungan antara sastrawan, sastra, dan masyarakat. Hubungan ini bersifat sosial dan tertuang dalam suatu karya sastra sebagai sarana penghubung antar sastrawan
dan masyarakat pembaca. Dengan demikian, pembicaraan ini bersifat sosiologis yang disebut sosiologi sastra.
Dalam pembicaraan ini terdapat dua istilah ilmu yang perlu dijelaskan untuk memberikan pengertian yang lebih dalam yaitu istilah sosiologi dan sastra.
Sosiologi Soekanto, 1989 : 15-16, mengatakan, “Suatu telaah atau studi yang mempelajari hubungan dan pengaruh timbal balik
antara aneka macam gejala-gejala sosial misalnya antara gejala ekonomi dengan agama ; keluarga dengan moral ; hukum dengan ekonomi ; gerak masyarakat
dengan politik, dan sebagainya, mempelajari hubungan dan pengaruh timbal balik antara gejala sosial dengan gejala-gejala nonsosial misalnya gejala
geografis, geologis dan sebagainya, dan mempelajari ciri-ciri umum semua jenis- jenis gejala sosial”.
Apabila kita berbicara tentang gejala sosial maka perhatian kita tertuju pada hubungan manusia dalam suatu kelompok sosial atau masyarakat dengan
lingkungannya, baik yang bersifat sosial budaya maupun tidak. Dengan mempelajari lembaga-lembaga sosial dan segala masalah perekonomian,
keagamaan, politik, dan yang lainl-lain, kita mendapat tentang cara-cara manusia menyesuaikan diri dengan lingkungannya, mekanisme kemasyarakatan, serta
proses pembudayaannya.
Universitas Sumatera Utara
Menurut Damono 1984 : 7 Sastra sebagaimana halnya sosiologi seperti yang disebutkan di atas, “Berurusan dengan manusia dengan masyarakat yakni usaha
manusia untuk menyesuaikan diri dan usahanya untuk mengubah masyarakat itu. Dalam hal ini, sesungguhnya sosiologi dan sastra berbagi hasil atau masalah yang
sama”. Sosiologi sastra juga mempunyai cakupan yang cukup luas sebagaimana
halnya dengan cakupan sastra seperti yang diuraikan diatas. Secara singkat dapat dikatakan bahwa sosiologi sastra adalah studi sosiologi terhadap karya sastra yang
membicarakan hubungan dan pengaruh timbal balik antara sastrawan, sastra dan masyarakat masyarakat pembaca dan kenyataan nilai-nilai sosiologis dalam
masyarakat yang dirujuk karya sastra tersebut, dengan menitik beratkan pada realitas dan gejala nilai-nilai sosiologis yang ada diantara ketiganya. Dengan
batasan seperti itu tampaklah kecendrungan ke arah penyelidikan atau relasi antara kenyataan yang hidup antara masyarakat yang dirujuk karya sastra tersebut
serta sikap budaya dan kreativitas pengarang sebagai anggota masyarakat. Danandjaya 1999 : 414 mengatakan bahwa
“Berbagai alasan dapat mendorong seseorang untuk menganalisis keadaan sosial suatu masyarakat melalui karya sosial suatu masyarakat melalui karya sastra.
Misalnya dengan membaca karangan Ranggawarsito maka ia dapat menemukan suatu khazanah nasihat-nasihat bijaksana mengenai sikap dan prilaku seseorang
dalam masyarakat. Bahkan untuk karya sastra yang semacam itu, sangat relevan untuk mengerti kode etika dan harapan-harapan yang berlaku dalam masyarakat”.
Untuk mengetahui sikap dan prilaku seseorang di dalam suatu masyarakat tertentu, apabila di daerah yang belum dikenal seseorang maka seseorang itu dapat
membaca atau menganalisis karya sastra. Sebab, katya sastra akan membicarakan suatu gambaran tentang sikap prilaku masyarakat yang berlaku di daerah tersebut.
Universitas Sumatera Utara
Dengan demikian, karya sastra melukiskan sikap dan prilaku suatu masyarakat pada zamannya.
2.1.1 Sosiologi Sebagai Pendekatan Sastra
Berbagai cara dapat dilakukan untuk mendekati sebuah karya sastra, misalnya melalui aspresiasi. Apresiasi adalah penghargaan dan pemahaman atas
hasil seni atau budaya. Natawijaya 1980 : 3, mengatakan, “Membuat tingkat aspresiasi dalam sosiologi sebagai pendekatan sastra. Tingkat
aspresiasi sastra itu di bagi lima yaitu: Tingkat penikmatan, tingkat penghargaan, tingkat pemahaman, tingkat
penghayatan dan tingkat implikasi. Tingkat penikmatan dan penghargaan berdasarkan tingkat oprasionalnya masih bersifat monoton atau merasa senang
serta bersifat pemilikan atau merasa kagum. Sedangkan tingkat pemahaman, tingkat penghayatan dan implikasi berdasarkan tindakan oprasionalnya telah
bersifat studi dan meyakini akan karya sastra yang diapresiasi. Selain itu, pendekatan sastra dapat juga dilakukan melalui kritik. Kritik adalah upaya
menentukan nilai hakiki pada sastra dalam bentuk memberi pujian, mengatakan kesalahan, memberi pertimbangan melalui pemahaman dan penafsiran yang
tepat”.
Di samping tingkat apresiasi, ada pula cara lain yang dilakukan dalam upaya mendekati sebuah karya sastra. Karya sastra terbagi atas dua yakni
berdasarkan bentuk dan isi. Maka cara lain yang penulis maksud adalah berdasarkan isi karya sastra, yang misalnya nengandung nilai agama, psikologi,
filsapat dan lain-lain. Meskipun bentuk pendekatan melalui salah satu tingkatan apresiasi atau
melalui satu jenis kritik, akan tetapi terkandung pendekatan tetap mengutamakan isi karya sastra tersebut. Artinya, mendekati karya sastra itu melalui isi yang
dalam hal ini adalah sosiologi. Hanya yang menjadi masalah sekarang, apakah sosiologi dapat mendekati sastra atau sebaliknya sastra bagaimana hubungan
keduanya.
Universitas Sumatera Utara
Salleh 1980 : 64, juga mengatakan bahwa, “Sosiologi menerima sumbangan dari sastra begitu pula sastra menerima
sumbangan dari sosiologi. Hemat penulis, sumbangan yang dimaksud itu adalah sumbangan sosiologi pada sastra yakni masalah-masalah sosiologi dapat dijadikan
sebagai saran pengembangan sosiologi kepada karya sastra, yakni masalah- masalah sosiologi dapat dijadikan sebagai sarana sosiologi”.
Dengan demikian, jelaslah sosiologi dapat dijadikan sebagai salah satu pendekatan sastra, sebab antar sosiologi dan sastra saling menguntungkan. Hanya
perlu disadari bahwa karya sastra bukanlah merupakan cermin yang mendahului pikiran masyarakat zamannya, melainkan karya sastra hanyalah cerminan
masyarakat zamannya.
2.2 Teori yang Digunakan
Penulis membahas penelitian ini berdasarkan teori struktur dari segi intrinsik dan teori sosiologi sastra yang sesuai sehingga tidak menyimpang dari
apa yang diharapkan. Pengertian teori menurut Pradopo, dkk 2001 : 35 ialah “Seperangkat
proposisi yang terintegrasi secara sintaksis dan berfungsi sebagai wahana untuk meramalkan, atau menjelaskan suatu fenomena. Teori juga dapat dilepaskan dari
fakta atau menjelaskan suatu fenomena”. Teori merupakan suatu prinsip dasar yang terwujud dalam bentuk dan
berlaku secara umum yang akan mempermudah seorang penulis dalam memecahkan suatu masalah yang dihadapi. Teori yang diperlukan untuk
membimbing dan memberi arah sehingga dapat menjadi penuntun kerja bagi penulis. Teori yang digunakan dalam pembahasan yaitu teori sruktur dari segi
intrinsik yakni menjelaskan sinopsis, tema, alur, latar, dan watak dalam cerita
Universitas Sumatera Utara
rakyat keramat kuda dan sosiologi sastra dalam buku karangan Sapardi Djoko
Damono.
2.2.1 Teori Struktural
Untuk melihat unsur-unsur yang terkandung dalam karya sastra diterapkan teori struktural. Teori struktural diharapkan mendapatkan suatu hasil yang optimal
dari karya sastra yang akan dianalisis. Teeuw 1984 : 135 berpendapat, “Analisis struktural bertujuan untuk
membongkar dan memaparkan secara cermat keterkaitan dan keterjalinan semua unsur dan aspek karya sastra yang bersama-sama menghasilkan makna yang
menyeluruh”. Berdasarkan pedapat diatas, teori struktural adalah pendekatan yang
bertujuan untuk menganalisis karya sastra berdasarkan unsur-unsur yang membangun karya sastra tersebut dalam suatu hubungan antara unsur
pembentuknya. Pada dasarnya penelitian struktur, yaitu suatu penelitian yang membahas
unsur-unsur karya sastra. Unsur-unsur yang dimaksud adalah tema, alur, latar dan penokohan.
1. Tema
Stanton 1965 : 88, tema adalah “Makna yang dikandung sebuah cerita. Tema juga merupakan gagasan umum yang menopang sebuah karya sastra yang
terkandung didalamnya menyangkut persamaan dan perbedaan. Tema disaring dalam motif-motif yang terdapat dalam karya sastra”.
Universitas Sumatera Utara
Kemudian Fananie 2000 : 84 mengatakan, “Tema adalah ide, gagasan, pandangan hidup pengarang yang melatarbelakangi karya sastra”. Selanjutnya
Sudjiman 1978 : 74, “Tema adalah gagasan, ide atau pemikiran utama didalam karya sastra yang terungkap ataupun yang tak terungkap”.
Dari pendapat di atas, jelas terungkap bahwa tema adalah suatu hal yang penting dalam sebuah karya sastra. Tema adalah apa yang ingin diungkapkan
pengarang.
2. Alur atau Plot
Semi 1984 : 45, “Alur atau plot adalah struktur rangkaian kejadian dalam cerita yang disusun sebagai buah interaksi khusus sekaligus menandai urutan
bagian-bagian dalam keseluruhan fiksi”. Alur atau plot terbentuk dari rangkaian kisah tentang peristiwa-peristiwa
yang disebabkan sesuatu dengan tahapan-tahapan yang melibatkan konflik atau masalah.
Alur dalam cerita dapat dibagi atas beberapa bagian, seperti yang dikemukakan oleh Lubis 1981 : 17, yaitu :
“1. Situation pengarang mulai melukiskan suatu keadaan
2. Generating Circumtances peristiwa yang bersangkutan mulai bergerak
3. Rising Action keadaan mulai memuncak 4. Climax peristiwa mencapai puncak
5. Denowment pengarang memberikan pemecahan soal dalam semua
peristiwa”
3. Latar atau Setting
Daryanto 1997 : 35 , “Latar atau setting adalah jalan aturan, adap memanjang rangkaian peristiwa yang berlangsung dalam karya fiksi”.
Universitas Sumatera Utara
Selanjutnya, Sumarjo dan Saini 1991 : 76 , menjelaskan bahwa “Latar bukan hanya berfungsi sebagai latar yang bersifat fisikal untuk memuat suatu cerita
menjadi logis. Latar juga memiliki unsur psikologis sehingga latar mampu menuansakan makna tertentu serta mampu menciptakan suasana tertentu yang
menggerakan emosi atau aspek kejiwaan pembacanya”. Latar atau setting disebut juga sebagai landas tumpu, menyaran pada
pengertian tempat, hubungan waktu dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan. Latar memberikan pijakan cerita secara
konkrit dan jelas. Hal ini penting untuk memberikan kesan realistis kepada pembaca, menciptakan suasana tertentu yang seolah-olah ada dan terjadi.
Pembaca, dengan demikian merasa dipermudah untuk mengoprasikan daya imajinasi-nya, disamping dimungkinkan untuk berperan serta secara kritis
sehubungan dengan pengetahuan tentang latar. Pembaca dapat merasakan dan menilai kebenaran, ketepatan dan aktualisasi latar yang di ceritakan sehingga
merasa lebih akrab. Hal ini dapat terjadi jika latar mampu mengangkat suasana setempat , warna lokal, lengkap dengan perwatakannya ke dalam cerita.
Unsur latar dapat dibedakan menjadi tiga unsur yaitu latar tempat, latar waktu dan latar sosial.
4. Perwatakan atau Penokohan
Perwatakan atau karakter kadang-kadang disebut juga penokohan. Dalam sebuah karya sastra, alur dan perwatakan tidak dapat dipisahkan. Hal ini
disebabkan alur meyakinkan watak-watak atau tokoh-tokoh beraksi dan bereaksi.
Universitas Sumatera Utara
Hubungan perwatakan dan alur mejadi penting karena perwatakan adalah sifat menyeluruh manusia yang disorot, termasuk perasaan, keinginan, cara berfikir dan
cara bertindak. Bangun, dkk 1993 : 32, “Perwatakan atau tokoh dapat dilihat melalui
tiga aspek yaitu aspek psikologis, visiologis dan sosiologis”. Perwatakan adalah karakter dari tokoh. Dalam hal ini pengertian sifat atau
ciri khas yang terdapat pada diri tokoh yang dapat membedakan antara satu tokoh dengan yang lainnya. Gambaran watak tokoh dapat diketahui melalui apa yang
diperankan dalam cerita tersebut, kemudian jalan pikirannya serta bagaimana penggambaran fisik tokoh.
Aspek perwatakan karakter merupakan imajinasi pengarang dalam membentuk suatu personalita tertentu dalam sebuah karya sastra. Pengarang
sebuah karya sastra harus mampu menggambarkan diri seseorang tokoh yang ada dalam karyanya.
2.2.2 Teori Sosiologi Sastra
Dalam penelitian ini penulis juga menggunakan sosiologi sastra sebagai
landasan teori dalam menganalisis cerita rakyat Keramat Kuda. Menurut teori ini,
karya sastra dilihat hubungannya dan kenyataan, di mana karya sastra itu mencerminkan kenyataan-kenyataan yang mengandung arti luas, yakni segala
sesuatu yang berada diluar karya sastra dan yang diacu oleh sosiologi sastra. Abrams Damono, 1981 : 179, mengatakan bahwa “Sosiologi sastra
diaplikasikan pada tulisan-tulisan para kritikus sejarawan sastra yang menaruh
Universitas Sumatera Utara
prihatin utama pada cara atau keadaan seseorang pengarang dipengaruhi kelas sosialnya, ideologi sosialnya, kondisi ekonominya, profesinya, dan pembaca”.
Welleek dan Warren dalam Damono,1999 : 84, “Mengklasifikasikan sosiologi sastra menjadi : pertama, sosiologi pengarang yang
memasalahkan status sosial, ideologi sosial, dan lain-lain yang menyangkut pengarang sebagai penghasil sastra. Kedua, sosiologi karya sastra yanag
memasalahka karya sastra itu sendiri, yang menjadi pokok penelaahan adalah apa yang tersirat dalam karya sastra dan apa yang menjadi tujuannya. Ketiga,
sosiologi sastra yang memasalahkan pembaca dan pengaruh sosial karya sastra”.
Adapun nilai-nilai sosiologis menurut pendapat Welleek dan Werren adalah sistem politik, ekonomi dan sosial. Hal ini untuk melihat pengaruh
masyarakat terhadap sastra dan kedudukan sastra dalam masyarakat.
Universitas Sumatera Utara
BAB III METODE PENELITIAN
3.1 Metode Dasar
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif dan bersifat deskriptif, yang oleh Nawawi 1987 : 63 diartikan “Sebagai prosedur pemecahan
masalah yang diselidiki dengan menggambarkan atau melukiskan keadaan objek atau subjek penelitian seseorang, lembaga, masyarakat, dan lain-lain pada saat
sekarang berdasarkan fakta yang tampak atau sebagaimana adanya”. Dengan demikian dalam penelitian ini penulis hanya mendeskripsikan
data-data fakta yang terdapat didalam cerita sehingga dapat diketahui unsur-unsur pembentuk ceritanya dan nilai-nilai sosiologisnya.
3.2 Lokasi Penelitian