Hasil cakupan program imunisasi di Kabupaten Gunungkidul tahun 2010 bila dibandingkan dengan hasil Riskesdas tahun 2010 ternyata jauh
berbeda. Cakupan imunisasi lengkap hasil Riskesdas tahun 2010 sebesar 55,25 DIY sebesar 54,26. Pencatatan yang kurang tertib
dalam KMS atau buku KIA dimungkinkan berpengaruh dalam hasil Riskesda.
Cakupan imunisasi berdasar data dari Puskesmas dapat dilihat pada gambar berikut :
Gambar 4.1
Sumber : Seksi Surveilans dan Imunisasi Dinkes Gunungkidul
4.3. PEMBERANTASAN PENYAKIT 1. Pemberantasan Penyakit Menular
a. Demam Berdarah DB
Kabupaten Gunungkidul merupakan daerah endemis demam berdarah dengan Case Fatality Rate CFR yang cukup tinggi pula bila
dibandingkan dengan standart Nasional. Selama puluhan tahun terakhir, Demam Berdarah selalu berjangkit di wilayah Kabupaten
Gunungkidul. Jumlah kasus penyakit Demam Berdarah di Kabupaten
Gunungkidul mengalami fluktuasi dalam jumlah kasus pada tiap tahun. Berdasar data dari hasil pencatatan dan pelaporan Dinas Kesehatan
21
Kabupaten Gunungkidul selama sepuluh tahun terakhir, fluktuasi kasus tertinggi terjadi di tahun 2010 974 kasus dan terendah tahun 2002 68
kasus. Data selengkapnya tersaji dalam gambar 4.2 berikut:
Gambar 4.2 Jumlah Kasus dan Kematian Demam Berdarah
Di Kabupaten Gunungkidul Tahun 2001-2010
Sumber : Dinas Kesehatan Kabupaten Gunungkidul
Berdasar gambar 4.2 terlihat bahwa, terjadinya kenaikan jumlah kasus DB di Kabupaten Gunungkidul yang sangat mencolok pada tahun
2010. Hal ini, mengindikasikan adanya peningkatan jumlah vector, perilaku masyarakat yang tidak sehat atau mungkin juga pemberantasan
sarang nyamuk yang kurang berhasil. Pola penyakit DBD yang dulu terkenal dengan pola lima tahunan,
pada saat ini rupanya berubah menjadi pola tiga tahunan. Data selengkapnya sebagi berikut:
22
Sumber: Dinas Kesehatan Kab. Gunungkidul
Melihat gambar 4.3 dapat dilihat bahwa, pola kasus menurut waktu bulan untuk penderita DBD di Kabupaten Gunungkidul ternyata
kenaikan bermakna terjadi pada Bulan Januari, Februari dan Maret. Pada tahun 2010, puncak kasus terjadi pada Bulan Februari yang
mencapai 204 kasus. Dengan demikian, pada bulan-bulan tersebut perlu diwaspadai terjadinya KLB.
Kasus DBD sangat erat kaitannya dengan curah hujan. Selain itu, masalah lingkungan, mobilisasi penduduk yang tinggi, serta kepadatan
penduduk juga sangat berperan dalam proses penularan penyakit Demam Berdarah.
Tingginya kasus DB disebabkan banyak faktor, diantaranya masih rendahnya penerapan PHBS dalam rumah tangga maupun di institusi,
serta perilaku sehat masyarakat yang masih rendah ditunjukkan angka bebas jentik ABJ tahun 2010 baru tercapai 76,71. Kondisi tersebut
masih jauh dari target capaian ABJ sebesar 95. Banyaknya kasus DBD menandakan masih adanya vektor nyamuk Aedes Aegypti dan virus
penyebab penyakit DBD. Upaya Pencegahan dan pemberantasan DBD melalui:
1 Pemberantasan Sarang Nyamuk PSN dengan “3M + ikanisasi” yaitu menutup, menguras, mengubur + ikanisasi, Jum’at Bersih.
2 Penggunaan larvasida selektif untuk desa endemis dan endemis sporadis.
23
3 Penyuluhan kesehatan masyarakat Puskesmas. 4 Fogging Focus diwilayah dengan 2 penderita positif DB atau 1
penderita DSSmeninggal. 5 Fogging SMP Sebelum Masa Penularan dilaksanakan di wilayah
desa endemis. 6 PJB Pemantauan Jentik Berkala oleh petugas kesehatan
bekerjasama dengan kader secara berkala, dikembangkan pemantauan mandiri dengan stiker pantau.
7 Penyelidikan epidemiologi, bila ditemukan kasus supaya tertangani dengan tindak lanjut yang dilakukan petugas Puskesmas dan Dinkes.
Pencapaian kinerja program penganggulangan DBD pada tahun 2010 menghasilkan angka yang tidak menggembirakan. IR Insidens
Rate tercatat 134,24100.000 penduduk yang meningkat tajam dibanding tahun sebelumnya 2009 sebesar 39100.000 penduduk.
Adapun CFR ditargetkan 1 pada tahun 2010 justru meningkat menjadi 1,3 meninggal 13 dari total 974 kasus.
Masalah yang dihadapi dalam penanggulangan DBD diantaranya: 1 Masih rendahnya kesadaran masyarakat menjaga rumahnya supaya
tidak menjadi sarang nyamuk pembawa virus dengue. 2 Kepercayaan masyarakat yang masih “Fogging Minded”, sehingga
fogging menjadi hal yang diharapkan jika terdapat kasus, sementara PSN kurang diberdayakan.
3 Penemuan penderita secara dini yang terlambat sehingga rujukan juga terlambat. Suatu kenyataan bahwa, beberapa kasus DBD yang
datang ke sarana pelayanan kesehatan sudah dalam kondisi yang parah DSS. Keterlambatan dalam merujuk pasien ke sarana
pelayanan kesehatan untuk mendapatkan penanganan pengobatan lebih lanjut, menjadi pemicu banyaknya kasus kematian penderita
DBD.
b. Malaria